PENDAHULUAN
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada
kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan
ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan
secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan
dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM)
terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang
ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa
harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
Secara
ringkas Konvensi ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah
ekonomi tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam
mempertahan kehidupannnya. Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan
tanah
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
mereka secara turun temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan, dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi dan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Gagasan
ekonomi kerakyatan dikembangkan sebagai upaya alternatif dari para ahli ekonomi
Indonesia untuk menjawab kegagalan yang dialami oleh negara negara berkembang
termasuk Indonesia dalam menerapkan teori pertumbuhan. Penerapan teori
pertumbuhan yang telah membawa kesuksesan di negara negara kawasan Eropa
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
ternyata telah menimbulkan kenyataan lain di sejumlah bangsa yang berbeda. Salah satu harapan agar hasil dari pertumbuhan tersebut bisa dinikmati sampai pada lapisan masyarakat paling bawah, ternyata banyak rakyat di lapisan bawah tidak selalu dapat menikmati cucuran hasil pembangunan yang diharapkan itu. Bahkan di kebanyakan negara negara yang sedang berkembang, kesenjangan sosial ekonomi semakin melebar. Dari pengalaman ini, akhirnya dikembangkan berbagai alternatif terhadap konsep pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan. Pertumbuhan ekonomi tetap merupakan pertimbangan prioritas, tetapi pelaksanaannya harus serasi dengan pembangunan nasional yang berintikan pada manusia pelakunya.
Pembangunan
yang berorientasi kerakyatan dan berbagai kebijaksanaan yang berpihak pada
kepentingan rakyat. Dari pernyataan tersebut jelas sekali bahwa konsep, ekonomi
kerakyatan dikembangkan sebagai upaya untuk lebih mengedepankan masyarakat.
Dengan kata lain konsep ekonomi kerakyatan dilakukan sebagai sebuah strategi
untuk
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring ( network ) yang menghubung – hubungkan
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
membangun kesejahteraan dengan lebih mengutamakan pemberdayaan masyarakat. Menurut Guru Besar, FE UGM ( alm ) Prof. Dr. Mubyarto, sistem Ekonomi kerakyatan adalah system ekonomi yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan rakyat, dan menunjukkan pemihakan sungguh – sungguhpada ekonomi rakyat Dalam praktiknya, ekonomi kerakyatan dapat dijelaskan juga sebagai ekonomi jejaring ( network ) yang menghubung – hubungkan
sentra – sentra inovasi, produksi dan kemandirian usaha masyarakat ke dalam suatu jaringan berbasis teknologi informasi, untuk terbentuknya jejaring pasar domestik diantara sentara dan pelaku usaha masyarakat.
Sebagai
suatu jejaringan, ekonomi kerakyatan diusahakan untuk siap bersaing dalam era
globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem manajemen
yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga “ lembaga bisnis
internasional, Ekonomi kerakyatan dengan sistem kepemilikan koperasi dan
publik. Ekomomi kerakyatan sebagai antitesa dari paradigma ekonomi konglomerasi
berbasis produksi masal ala Taylorism. Dengan demikian Ekonomi kerakyatan
berbasis ekonomi jaringan harus mengadopsi teknologi tinggi sebagai faktor
pemberi nilai tambah terbesar dari proses ekonomi itu sendiri. Faktor skala
ekonomi dan efisien yang akan menjadi dasar kompetisi bebas menuntut
keterlibatan jaringan ekonomi rakyat, yakni berbagai sentra-sentra kemandirian
ekonomi rakyat, skala besar kemandirian ekonomi rakyat, skala besar dengan pola
pengelolaan yang menganut model siklus terpendek dalam bentuk yang sering
disebut dengan pembeli .
Berkaitan
dengan uraian diatas, agar sistem ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada
tingkat wacana, sejumlah agenda konkret ekonomi kerakyatan harus segera
diangkat kepermukaan. Secara garis besar ada lima agenda pokok ekonomi
kerakyatan yang harus segera diperjuangkan. Kelima agenda tersebut merupakan
inti dari poitik ekonomi kerakyatan dan menjadi titik masuk ( entry point) bagi
terselenggarakannya system ekonomi kerakyatan dalam jangka panjang =
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya; Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme ; persaingan yang berkeadilan ( fair competition) ; Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah.; Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap ; Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi dalam berbagai bidang usaha dan kegiatan.
Yang
perlu dicermati peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi
kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma
fondasi. Artinya, peningkatan kesejahteraan tak lagi bertumpu pada
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
dominasi pemerintah pusat, modal asing dan perusahaan konglomerasi, melainkan pada kekuatan pemerintah daerah, persaingan yang berkeadilan, usaha pertanian rakyat sera peran koperasi sejati, yang diharapkan mampu berperan sebagai fondasi penguatan ekonomi rakyat. Strategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat
merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan dibawah pimpinan dan pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
Yang menjadi masalah, struktur kelembagaan politik dari tingkat Kabupaten sampai ke tingkat komunitas yang ada saat ini adalah lebih merupakan alat control birokrasi terhadap masyarakat. Tidak mungkin ekonomi kerakyatan di wujudkan tanpa restrukturisasi kelembagaan politik di tingkat Distrik. Dengan demikian persoalan pengembangan
ekonomi rakyat juga tidak terlepas dari kelembagaan politik di tingkat Distrik. Untuk itu mesti tercipta iklim politik yang kondusif bagi pengembangan ekonomi rakyat. Di tingkat kampung dan Distrik bisadimulai dengan pendemokrasian pratana sosial politik, agar benar-benar yang inklusif dan partisiporis di tingkat Distrik untuk menjadi partner dan penekan birokrasi kampung dan Distrik agar memenuhi kebutuhan pembangunan rakyat.
pada dasarnya sejalan dengan apa yang diperjuangkan
para founding fathers bangsa ini (Bung Hatta utamanya) berupa
dirumuskannya Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi
sosial dan kemudian dituangkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pilar dimaksud meliputi
tiga aspek berikut.
1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat (Mubyarto,2002).
Dalam pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana
produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan
anggotaanggota masyarakat. Dengan perkataan lain, dalam sistem ekonomi
kerakyatan kemakmuran masyarakat merupakan fokus utama, bukan kemakmuran
individu. Oleh karena itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan atas asas kekeluargaan.
Untuk lebih mudah memahami konsep ekonomi kerakyatan, Baswir
(2006) menyarankan untuk memulainya dengan menguraikan makna penggalan kalimat
pertama yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Penggalan dimaksud
adalah sebagai berikut.
“…dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.”
Dengan pendekatan di atas, dengan mudah kita ketahui bahwa yang
dimaksud dengan ekonomi kerakyatan tidak lain adalah “demokrasi ekonomi”
sebagaimana dimaksudkan oleh penjelasan Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang secara
substansial, menurut Baswir (2006), mencakup tiga hal berikut.
1. Adanya partisipasi penuh seluruh anggota
masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Karena dengan cara
seperti ini lah semua anggota masyarakat mendapat bagian dari seluruh hasil
produksi nasional.
2. Adanya partisipasi penuh anggota masyarakat
dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Di bawah kondisi seperti ini
tidak ada satu pun anggota masyarakat—termasuk fakir miskin—yang tidak
menikmati hasil produksi nasional.
3. Pembentukan produksi dan pembagian hasil
produksi nasional harus berada di bawah pimpinan atau penilikan anggota
masyarakat. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, kedaulatan ekonomi harus berada di
tangan rakyat. Hal ini bertolak belakang dengan sistem ekonomi pasar, khususnya
neoliberal, di mana kedaulatan ekonomi sepenenuhnya berada di tangan pemilik
modal. Kegiatan pembentukan produksi nasional boleh dilakukan oleh para pemodal
asing, namun kegiatan tersebut harus tetap berada di bawah pengawasan dan
pengendalian masyarakat.
Berkaitan dengan definisi ekonomi kerakyatan yang secara tegas
dinyatakan memiliki karakteristik yang ideal yakni berkeadilan sosial, Mubyarto
(2002) mengemukakan bahwa moral pembangunan yang mendasari paradigm pembangunan
yang berkeadilan sosial mencakup 6 aspek berikut.
1. Peningkatan partisipasi dan emansipasi rakyat
baik laki-laki maupun perempuan dengan otonomi daerah yang penuh dan
bertanggung jawab.
2. Penyegaran nasionalisme ekonomi melawan
segala bentuk ketidakadilan system dan kebijakan ekonomi.
3. Pendekatan pembangunan berkelanjutan yang
multidisipliner dan multikultural.
4. Pencegahan kecenderungan disintegrasi sosial.
5. Penghormatan hak-hak asasi manusia (HAM) dan
masyarakat.
6. Pengkajian ulang pendidikan dan pengajaran
ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi.
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi
Kerakyatan
- Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
- Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
- Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
· Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional
Strategi
Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
1. demokrasi ekonomi diarahkan
untuk menciptakan struktur ekonomi atau konstruksi bangunan ekonomi agar
terwujudnya pengusaha menengah yang kuat dan besar jumlahnya.
2. kedaulatan ekonomi harus
tetap dihormati agar harkat, martabat dan citra ekonomi rakyat dapat
disejajarkan dengan ekonomi usaha besar swasta dan badan usaha milik negara,
tanpa dijadikan objek balas jasa atau belas kasihan.
3. pilar ekonomi diarahkan
untuk merancang komitmen yang kuat antar-stakeholder dalam mengoptimalkan
sumber daya lokal untuk mendorong sekaligus menampung partisipasi bagi
kepentingan rakyat banyak.
4. benteng ekonomi harus
disusun melalui master plan ekonomi kerakyatan yang berbasis sosial budaya
dengan tetap memperhatikan keseimbangan pertumbuhan, pemerataan dan
keseimbangan stabilitas perekonomian rakyat dalam upaya mengatasi kesenjangan
ekonomi antara golongan kapitalis dan nonkapitalis (golongan ekonomi
lemah).
5. kemandirian ekonomi
diarahkan untuk bertumpu dan ditopang oleh kekuatan sumber daya internal yang
dikelola dalam suatu sistem ekonomi.
BAB
2
PERANAN
EKONOMI KERAKYATAN SEBAGAI LANDASAN PEREKONOMIAN
Dalam
Pasal 33 UUD 1945, Ekonomi Kerakyatan adalah sebuah sistem perekonomian yang
ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam bidang ekonomi. Konvensi
ILO169 tahun 1989 memberi definisi ekonomi kerakyatan adalah ekonomi
tradisional yang menjadi basis kehidupan masyarakat local dalam mempertahan
kehidupannnya. Jadi, Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis
pada kekuatan ekonomi rakyat, dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai
kegiatan ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang
dengan secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat
diusahakan dan dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan
Menegah (UKM) terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan,
makanan, dsb., yang ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan
keluarganya tanpa harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya. Tiga
prinsip dasar ekonomi kerakyatan adalah sebagai berikut: (1) perekonomian
disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan; (2)
cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) bumi, air, dan segala kekayaan yang
terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat
disaksikan betapa sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan.
Sebagaimana dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam
sistem ekonomi kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1)
mengembangkan koperasi (2) mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi,
air, dan segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan
dan penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Ekonomi kerakyatan ini dikembangkan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan
masyarakat local dalam mengelola lingkungan dan tanah mereka secara turun
temurun. Aktivitas ekonomi kerakyatan ini terkait dengan ekonomi sub sisten
antara lain pertanian tradisional seperti perburuan, perkebunan, mencari ikan,
dan lainnnya kegiatan disekitar lingkungan alamnya serta kerajinan tangan dan
industri rumahan. Kesemua kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan pasar
tradisional dan berbasis masyarakat, artinya hanya ditujukan untuk menghidupi
dan memenuhi kebutuhan hidup masyarakatnya sendiri. Kegiatan ekonomi
dikembangkan untuk membantu dirinya sendiri dan masyarakatnya, sehingga tidak
mengekploitasi sumber daya alam yang ada.
Dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 yang berbunyi, “Perekonomian disusun atas usaha
bersama berdasar atas asas kekeluargaan, di sini secara jelas nampak bahwa
Indonesia menjadikan asas kekeluargaan sebagai fondasi dasar perekonomiannya.
Kemudian dalam pasal 33 ayat 2 yang berbunyi, “Cabang-cabang produksi yang bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”, dan
dilanjutkan pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi, “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat,” dari bunyinya dapat dilihat bahwa dua pasal
ini mengandung intisari asas itu. Hal ini tercemin dari penguasaan negara akan
sumber-sumber daya alam dan kemudian tindak lanjutnya adalah kembali pada
rakyat, secara tersirat di sini nampak adanya kolektivitas bersama dalam sebuah
negara. Meskipun dalam dua pasal ini tidak terlalu jelas kandungan asas
kekeluargaanya, namun melihat pasal sebelumnya, kedua pasal inipun akan jadi
terkait dengan asas kekeluargaan itu.
Berdasarkan
bunyi kalimat pertama penjelasan Pasal 33 UUD 1945, dapat dirumuskan perihal
substansi ekonomi kerakyatan dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai
berikut.
a.
Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional.
Partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi
nasional menempati kedudukan yang sangat penting dalam sistem ekonomi
kerakyatan. Hal itu tidak hanya penting untuk menjamin pendayagunaan seluruh
potensi sumberdaya nasional, tetapi juga penting sebagai dasar untuk memastikan
keikutsertaan seluruh anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi
nasional tersebut. Hal ini sejalan dengan bunyi Pasal 27 UUD 1945 yang
menyatakan, “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusian.”
b.
Partisipasi
seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan, harus ada jaminan bahwa setiap
anggota masyarakat turut menikmati hasil produksi nasional, termasuk para fakir
miskin dan anak-anak terlantar. Hal itu antara lain dipertegas oleh Pasal 34
UUD 1945 yang menyatakan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh
negara.” Dengan kata lain, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi
ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin
dan anak-anak terlantar di Indonesia.
c.
Kegiatan
pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus
berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, anggota
masyarakat tidak boleh hanya menjadi objek kegiatan ekonomi. Setiap anggota masyarakat
harus diupayakan agar menjadi subjek kegiatan ekonomi. Dengan demikian, walau
pun kegiatan pembentukan produksi nasional dapat dilakukan oleh para pemodal
asing, tetapi penyelenggaraan kegiatan-kegiatan itu harus tetap berada di bawah
pimpinan dan pengawasan anggota-anggota masyarakat. Unsur ekonomi kerakyatan
yang ketiga ini mendasari perlunya partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam
turut memiliki modal atau faktor-faktor produksi nasional. Modal dalam hal ini
tidak hanya terbatas dalam bentuk modal material (material capital), tetapi
mencakup pula modal intelektual (intelectual capital) dan modal institusional
(institusional capital). Sebagai konsekuensi logis dari unsur ekonomi
kerakyatan yang ketiga itu, negara wajib untuk secara terus menerus
mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut
secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Negara wajib
menjalankan misi demokratisasi modal melalui berbagai upaya sebagai berikut:
Ø Demokratisasi
modal material; negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak
kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua
anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota
masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur
terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib
memelihara mereka.
Ø Demokratisasi
modal intelektual; negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara
cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi,
penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian
negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh
dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak swasta yang
menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan
kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi
seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya.
Ø Demokratisasi
modal institusional; tidak ada keraguan sedikit pun bahwa negara memang wajib
melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul,
dan menyatakan pendapat. Secara khusus hal itu diatur dalam Pasal 28 UUD
1945, “Kemerdekaan bersrikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tertulis dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang.” Kemerdekaan
anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat
tersebut tentu tidak terbatas dalam bentuk serikat-serikat sosial dan politik,
tetapi meliputi pula serikat-serikat ekonomi. Sebab itu, tidak ada sedikit pun
alasan bagi negara untuk meniadakan hak anggota masyarakat untuk membentuk
serikat-serikat ekonomi seperti serikat tani, serikat buruh, serikat nelayan,
serikat usaha kecil-menengah, serikat kaum miskin kota dan berbagai bentuk
serikat ekonomi lainnya, termasuk mendirikan koperasi.
Kemudian dalam pasal 27 ayat dua yang berbunyi, “Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.” Makna kekeluargaan
di sini lebih jelas di bandingkan pasal 33 ayat 2 dan 3. Ada hak yang
menjembatani antara negara dan warga negara. Hubungan ini tidak hanya sekedar
apa yang harus di lakukan dan bagaimana memperlakukan. Tetapi ada nilai moral
khusus yang menjadikannya istimewa. Dan nilai moral itu adalah nilai-nilai yang
muncul karena rasa kekeluargaan. Dan hal ini pun tidak jauh beda dengan yang
ada dalam pembukaan UUD, di dalamnya asas kekeluargaan juga muncul secara
tersirat.
Mengacu pada pasal-pasal di atas, asas kekeluargaan dapat digambarkan sebagai
sebuah asas yang memiliki substansi sebagai berikut; kebersamaan, idealis
keadilan, persamaan hak, gotong-royong, menyeluruh, dan nilai-nilai
kemanusiaan.
Menilik dari substansi-substansi itu dapat diketahui bahwa sosialisme telah mengakar ke dalam tubuh perekonomian Indonesia. Ada bagian-bagian aliran sosialisme yang menjadi bagian sistem ekonomi kita. Dan yang perlu di garis bawahi, bagian-bagian aliran sosialisme yang diadopsi itu bukanlah bagian secara keseluruhan, melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dan baik untuk Indonesia
Menilik dari substansi-substansi itu dapat diketahui bahwa sosialisme telah mengakar ke dalam tubuh perekonomian Indonesia. Ada bagian-bagian aliran sosialisme yang menjadi bagian sistem ekonomi kita. Dan yang perlu di garis bawahi, bagian-bagian aliran sosialisme yang diadopsi itu bukanlah bagian secara keseluruhan, melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap sesuai dan baik untuk Indonesia
Tujuan
yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi Kerakyatan
- Membangun Indonesia yang berdikiari secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
- Mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan
- Mendorong pemerataan pendapatan rakyat
- Meningkatkan efisiensi perekonomian secara nasional
LIMA
HAL POKOK YANG HARUS SEGERA DIPERJUANGKAN AGAR SISTEM EKONOMI KERAKYATAN TIDAK
HANYA MENJADI WACANA SAJA
- Peningkatan disiplin pengeluaran anggaran dengan tujuan utama memerangi praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam segala bentuknya
- Penghapusan monopoli melalui penyelenggaraan mekanisme persaingan yang berkeadilan (fair competition)
- Peningkatan alokasi sumber-sumber penerimaan negara kepada pemerintah daerah
- Penguasaan dan redistribusi pemilikan lahan pertanian kepada petani penggarap
- Pembaharuan UU Koperasi dan pendirian koperasi-koperasi “ sejati” dalam berbagai bidan usaha dan kegiatan. Yang perlu dicermati, peningkatan kesejahteraan rakyat dalam konteks ekonomi kerakyatan tidak didasarkan pada paradigma lokomatif, melainkan pada paradigma fondasi.
Ruang
Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat
mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan
makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan
Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata
‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri
bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual,
khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat merupakan suatu
konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual
ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah
individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak
bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau kurus, kecuali binatang itu
adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk
dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas
mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus.
Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi
rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya. Karena dalam dimensi
ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat
‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat
‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus
dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang. Walaupun dalam perjalanannya
seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi
di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan
dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto.
Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan
dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia. Selanjutnya, bagaimana kita
memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah
benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan
selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam
konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau
jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka
rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif
sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’
dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha)
yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih
merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi
yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat
dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar
individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam
permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang
belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok
usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha
di Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan Di Tengah Arus
Kapitalisme Global
Dalam berbagai event politik, Ekonomi
Kerakyatan (seperti koperasi dan UKM) sering dibicarakan, diprogramkan dan
setelah event itu usai tidak diurus lagi. Sehingga yang sebenarnya terjadi
adalah menjadikan issue Ekonomi Kerakyatan sekedar sebagai ”dagangan politik”
untuk menarik simpati. Secara umum, nasib Ekonomi Kerakyatan, khususnya
Koperasi-UKM memang hanya menarik untuk dijadikan komoditi politik ketimbang
secara serius diperjuangkan sebagai kebutuhan rakyat. Bagi (sebagian besar)
politisi, perjuangan untuk menerapkan ekonomi kerakyatan secara riil di arena
politik merupakan mimpi di siang bolong, karena kehidupan politik yang
disemangati nilai-nilai kapitalisme saat ini justru dianggap sebagai peluang
yang lebih menungutungkan ketimbang berjuang memberlakukan ekonomi kerakyatan.
Sikap pesimis, ragu dan oportunis para politisi dan penyelenggara negara
terhadap Ekonomi Kerakyatan akhirnya melahirkan ambivalensi dalam memproduksi
kebijakan. Pertama, secara substansial dan obyektif, mereka
menerima kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang harus diberlakukan di negeri
ini. Alasan ”sesuai perkembangan jaman” merupakan pertimbangan yang seringkali
dirasionalisasi untuk melegitimasi aturan main yang seolah-olah merupakan
penjabaran dari Konstitusi Dasar Republik ini. Kedua, melakukan
formalisasi Ekonomi Kerakyatan secara institusional, dan bukan pemberlakuan
sistem ekonomi nasional secara substansial. Institusionalisasi tersebut berbentuk
lembaga-lembaga Koperasi dan UKM yang fungsi dan perannya sengaja dimarginalkan
dalam kebijakan-kebijakan ekonomi politik. Keberadaan Departemen Koperasi dan
UKM, dalam konteks ini, adalah salah satu bentuk formalisasi dimaksud, sekedar
supaya Pemerintah dianggap menjalankan soko guru ekonomi nasional.
Tulisan ini tidak membahas Koperasi secara khusus, melainkan akan membahas tata
Ekonomi Kerakyatan dalam perspektif politik nasional yang telah dirasuki
semangat kapitalistik seperti disebut di atas. Oleh karena itu, secara
berurutan nanti akan dibahas apa itu Neo-liberalisme atau Kapitalisme Global
baru kemudian Ekonomi Kerakyatan dan terakhir akan disinggung sedikit sejauh
mana relevansi keberadaan Koperasi (sebagai bagian dari ekonomi kerakyatan) di
era Globalisasi ini.
NEO LIBERALISME
Sebelum kita uraikan beberapa persoalan
riil yang terkait dengan Ekonomi Kerakyatan, terlebih dahulu kita kupas apa itu
ideologi Neoliberal, bagaimana perkembangannya serta apa dampak penerapannya.
Neoliberalisme merupakan tahap lanjutan dari liberalisme yang berkembang
sekitar abad 18 sampai 19 di Barat. Liberalisme asal mulanya adalah bentuk
perjuangan kaum borjuis dalam menghadapi kaum konservatif atau feodal. Sehingga
boleh disebut, liberalisme merupakan ideologi kaum borjuis kota. Dalam arti
luas, liberalisme adalah paham yang mempertahankan otonomi individu
melawan intervensi komunitas. Memang, dalam konteks definisi ada “civic
liberalism” maupun liberalisme ekonomi. Dan, liberalisme ekonomi inilah yang
nantinya berkembang menjadi neoliberalisme.
Pada intinya, paham ini memperjuangkan leissez
faire (persaingan bebas), yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas
pemilikan dan kebebasan individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar
untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang melalui regulasi negara.
Kata neo dalam neoliberalisme yang kita bahas ini merujuk pada
bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang dulu
dibangkitkan ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya “The Wealth of
Nations” (1776), di mana dia dan kawan-kawannya menggagas penghapusan
intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Dalam liberalisme, Pemerintah harus
membebaskan mekanisme pasar bekerja, harus melakukan deregulasi dengan
mengurangi restriksi (hambatan) pada proses produksi, mencabut semua rintangan
birokratis perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi
menjamin terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas
adalah cara terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian,
liberalisme di sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah”, atau kebebasan
inidividu untuk menjalankan persaingan bebas, termasuk kebebasan bagi kaum
kapitalis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme
inilah yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal
1900-an. Tapi, konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The
Great Depression) di tahun 1930-an melanda dunia.
Ketika depresi ekonomi melanda dunia,
muncul seorang ekonom Inggris yang bernama John Maynard Keynes, yang
menantang paham liberal. Keynes mengembangkan gagasan alternatif bahwa
pemerintah dapat dan harus melakukan intervensi dalam perekonomian, dan membangun
sebuah model yang sama sekali baru. Ekonomi Keynessian yang sering disamakan
dengan Welfare State (Negara Kesejahteraan, yaitu pemilikan
negara atas sebagian besar industri dan pemerintahan yang intervensionis) itu
mempengaruhi Presiden Roosvelt untuk melahirkan kebijakan yang dikenal
dengan program “New Deal”, karena dianggap berhasil menyelamatkan rakyat
Amerika waktu itu. Sejak itu pula peran pemerintah atau negara dalam ekonomi
makin dapat diterima, makin menguat dan menenggelamkan paham liberalisme.
Kebanyakan negara berkembang juga menganut strategi pembangunan yang didominasi
oleh negara (welfare state).
Namun, krisis kapitalisme di akhir
1970-an menyebabkan semakin berkurangnya tingkat keuntungan kaum kapitalis yang
berakibat pada jatuhnya akumulasi kapital mereka, sehingga meneguhkan mereka
untuk kembali pada sistem liberalisme. Doktrin ekonomi Keynessian
dianggap sebagai penyebab kehancuran kapitalisme waktu itu. Dimotori oleh
ekonom Milton Friedman dan Friederich Hayek, mereka meyakini
bahwa pasar bebas mampu memajukan ekonomi dibandingkan negara dan usaha negara
dalam mengatasi kegagalan ekonomi lebih mendatangkan kerugian daripada
keuntungan. Mereka ingin negara kembali pada fungsi dasarnya dengan cara
melakukan deregulasi, privatisasi atau mengkontrakkan sejumlah fungsi negara
kepada swasta.
Melaui corporate globalization
mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham liberalisme,
bahkan dalam skala global. Paham liberalisme lama itu kini dihidupkan kembali
secara global, yang dikembangkan melalui sebuah “konsensus” yang dipaksakan.
Konsensu 1980-an yang dikenal dengan The Washington Consensus
itu, datang dari para pembela ekonomi pasar bebas yang berasal dari wakil
perusahaan-perusahaan besar Transnasional Corporations (TNC’s) atau Multi
Nasional Corporations (MNC’s), Bank Dunia, IMF serta wakil negera-negara kaya.
Mereka menyebut kesepakatan itu sebagai “reformasi” ekonomi dengan kebijakan
pasar bebas di era global. Intinya adalah negara harus melayani dan memberi
kebebasan swasta untuk memperoleh superprofit (bukan sekedar profit).
Sistem
ekonomi kerakyatan mempunyaiciri-ciriberikutini:
a.Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b.Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c.Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d.Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
a.Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
b.Memerhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
c.Mampu mewujudkan pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
d.Menjamin kesempatan yang sama dalam berusaha dan bekerja.
e. Adanya perlindungan hak-hak konsumen dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
Ekonomi Kerakyatan merupakan amanat konstitusi Undang-Undang
1945. Jika didefinisikan, ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang
menekankan pada keadilan dalam penguasaan sumberdaya ekonomi, proses produksi
dan konsumsi. Dalam ekonomi kerakyatan ini kemakmuran rakyat lebih diutamakan
daripada kemakmuran individu. Sedangkan Ekonomi Rakyat adalah kegiatan ekonomi
orang kecil (wong cilik), yang karena merupakan kegiatan keluarga, tidak
merupakan usaha formal berbadan hukum, tidak secara resmi diakui sebagai sektor
ekonomi yang berperanan penting dalam perekonomian nasional. Dalam literatur
ekonomi pembangunan ia disebut sektor informal, “underground economy“,
atau “extralegal sector“.
Ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik
untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela
kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Hendaknya, perubahan paradigm
tersebut dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat
kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang
kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan.
Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan
membutuhkan adanya political will, tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan
dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil adalah sesuatu kekeliruan
besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang
kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat
kecil sendiri.
Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang
dimaksud dengan affirmative action. Aksi membagi-bagi uang
secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama
ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat
tergantung pada aksi dimaksud.
Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative
action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang
sehat, bukan cash money/cash material. Jika pemahaman ini tidak
dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama
masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity)
dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative
action policy.
Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang
bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah
usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan
Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi di sekelilingnya.
Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial
apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan
sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar
yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme
pasar yang sehat. Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan
ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai tahapan yang pasti
tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya, untuk
mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat. Oleh karena itu,
diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat di mana pemerintah harus
mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam
pembangunan ekonomi rakyat.Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi
kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru
Pelaku
Utama dalam Sistem Perekonomian Indonesia
Sistem ekonomi kerakyatan sendi utamanya adalah UUD 1945
pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (1)
adalah koperasi, dan bentuk usaha yang sesuai dengan ayat (2) dan (3) adalah
perusahaan negara. Adapun dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945 yang berbunyi
“hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan
seorang”. Hal itu berarti perusahaan swasta juga mempunyai andil di dalam
sistem perekonomian Indonesia. Dengan demikian terdapat tiga pelaku utama yang
menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu perusahaan negara
(pemerintah), perusahaan swasta, dan koperasi. Ketiga pelaku ekonomi tersebut
akan menjalankan kegiatan-kegiatan ekonomi dalam sistem ekonomi kerakyatan.
Sebuah sistem ekonomi akan berjalan dengan baik jika pelaku-pelakunya dapat
saling bekerja sama dengan baik pula dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian
sikap saling mendukung di antara pelaku ekonomi sangat dibutuhkan dalam rangka
mewujudkan ekonomi kerakyatan.
Ekonomi kerakyatan dapat menjadi
alternative
Hingga
saat ini definisi atau batasan usaha kecil dan menengah belum ada pembahasan
yang tuntas, sebab tinjauan dari segi kriteria, baik yang menyangkut
modal dan jumlah tenaga kerja berbeda-beda. Namun ada beberapa pendekatan untuk
membuat batasan usaha kecil, dimana pada garis besarnya pendekatan itu dapat
dilakukan secara kuantitatif dan manajemen.
Dari
sudut kuantitatif biasanya jumlah tenaga kerja berkisar pada 5 – 20 orang,
sedangkan dari segi modal, maka modal bersih atau harta perusahaan bisa
mencapai 600 juta dan dari sisi omset atau penerimaan penjualan biasanya sampai
RP 50 juta perbulan. Sementara tingkat teknologi yang digunakan oleh
usaha kecil, menengah dan koperasi pada umumnya adalah teknologi rendah sampai
sedang.
Dari sudut manajemen berarti bahwa pengelolaan usaha kecil belum menunjukkan adanya spesialisasi fungsi-fungsi manajemen secara terpisah (PPM;1997).
Dari sudut manajemen berarti bahwa pengelolaan usaha kecil belum menunjukkan adanya spesialisasi fungsi-fungsi manajemen secara terpisah (PPM;1997).
Dalam
Undang-undang No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil pasal 1 ayat 1 (satu)
dikatakan, bahwa usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil
dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta
kepemilikan sebagaimana di atur dalam undang-undang ini. Sedangkan ayat 2 (dua)
memuat pengertian usaha menengah dan besar yakni kegiatan ekonomi yang
mempunyai kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan lebih besar
daripada kekayaan bersih dan hasil penjualan tahunan usaha kecil.
Pasal 5 ayat 1 (a) dinyatakan bahwa kekayaan bersih yang dimiliki usaha kecil paling banyak adalah Rp 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Pasal 5 ayat 1 (a) dinyatakan bahwa kekayaan bersih yang dimiliki usaha kecil paling banyak adalah Rp 200 juta dan hasil penjualan tahunan paling banyak Rp 1 milyar.
Dari
beberapa definisi yang telah diungkapkan di atas, pada hemat penulis yang
dimaksud dengan usaha kecil adalah suatu kegiatan ekonomi skala kecil yang
mempunyai tenaga kerja berkisar antara 5 sampai dengan 20 orang dengan omset
tahunan sekitar Rp 600 juta sampai dengan Rp 1 milyar, dan modalnya rata-rata
Rp 200 juta – Rp 600 juta dengan tingkat teknologi yang relatif sederhana dan
belum memfungsikan pilar-pilar manajemen secara terspesialisasi.
Sedangkan
usaha menengah menurut BPS (1997) dalam Ringkasan Eksekutif Industri
besar dan sedang adalah kegiatan ekonomi yang jumlah tenaga kerjanya berkisar
antara 20 sampai dengan 99 orang. Dan tentu saja menurut hemat penulis omset dan
modalnya lebih besar dari usaha kecil, tingkat teknologinya lebih baik
dan mengarah pada terspesialisasinya fungsi-fungsi manajemen (marketing,
produksi, SDM dan finance).
Biasanya usaha kecil seringkali diidentikkan dengan idiom ekonomi kerakyatan, namun pengertian ekonomi kerakyatan masih rancu dan cenderung disamakan artinya dengan ekonomi rakyat. Padahal istilah ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi bukan merupakan sebutan yang baru di Indonesia. Istilah ekonomi kerakyatan sendiri secara resmi tertulis dalam satu paragraf pasal 33 UUD 1945. Dimana dalam pasal 33 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Biasanya usaha kecil seringkali diidentikkan dengan idiom ekonomi kerakyatan, namun pengertian ekonomi kerakyatan masih rancu dan cenderung disamakan artinya dengan ekonomi rakyat. Padahal istilah ekonomi kerakyatan atau sering disebut sebagai demokrasi ekonomi bukan merupakan sebutan yang baru di Indonesia. Istilah ekonomi kerakyatan sendiri secara resmi tertulis dalam satu paragraf pasal 33 UUD 1945. Dimana dalam pasal 33 tersebut tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi.
Dari
pengertian di atas, dapat diterjemahkan bahwa sebenarnya pelibatan semua
elemen masyarakat dalam aktivitas usaha menjadi suatu keharusan, yakni produksi
yang notabene selama ini banyak dikerjakan oleh beberapa kelompok saja. Dalam
paragraf tersebut jelas-jelas dinyatakan yaitu diharuskan kepemilikannya
pada anggota-anggota masyarakat. Ini juga berarti bahwa pencerminan distribusi
dan hasil-hasil proses produksi dari aktivitas usaha tersebut bertujuan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat dan bukan kemakmuran orang seorang
yang selama ini terjadi pada berbagai perusahaan baik swasta (besar dan
konglomerat) maupun negri (BUMN).
Dalam
penggalan akhir paragraf tersebut dinyatakan bahwa bangun perusahaan yang
sesuai adalah koperasi. Berarti sistem yang hendak dibangun dalam konteks
ekonomi kerakyatan adalah koperasi, sebab koperasi merupakan sokoguru
perekonomian nasional.
Pengamat
Ekonomi Umar Juoro (1999) mendefinisikan ekonomi kerakyatan sebagai
sistem ekonomi yang mencakup konsep, kebijakan, dan strategi pengembangannya.
Ini artinya bahwa ekonomi kerakyatan bukan sekadar hal yang bersifat parsial
dan karikatif, namun lebih kepada tatanan atau konstruksi menyeluruh antara
satu dengan lainnya yang disebut oleh Umar juoro sebagai sistem. Ini juga
menandakan bahwa karena ekonomi kerakyatan merupakan sistem, sehingga di
dalamnya terkandung terminologi, gagasan atau ide-ide, kebijakan dan strategi
yang dapat dilaksanakan agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan
semula.
MENGEMBANGKAN EKONOMI RAKYAT SEBAGAI
LANDASAN EKONOMI PANCASILA
Kemiskinan
Penduduk Pribumi di Jaman Penjajahan
Pierre
Van der Eng,seorang sejarawan Belanda menulis tentang strata ekonomi penduduk
di jaman penjajahan. Pada tahun 1930, dua tahun setelah Sumpah Pemuda, 51,1
juta penduduk pribumi (Indonesia) yang merupakan 97,4% dari seluruh penduduk
yang berjumlah 60,7 juta hanya menerima 3,6 juta gulden (0,54%) dari pendapatan
“nasional” Hindia Belanda, penduduk Asia lain yang berjumlah 1,3 juta (2,2%)
menerima 0,4 juta gulden (0,06%) sedangkan 241.000 orang Eropa (kebanyakan
Belanda) menerima 665 juta gulden (99,4%). Sangat “njomplangnya” pembagian
pendapatan nasional inilah yang sulit diterima para pejuang perintis
kemerdekaan Indonesia yang bersumpah tahun 1928 di Jakarta. Kemerdekaan,
betapapun sangat “mahal” harganya, harus dicapai karena akan membuka jalan ke
arah perbaikan nasib rakyat dan bangsa Indonesia.Pierre Van der Eng,
Indonesia’s Economy and Standard of Living in the 20th Century dalam Grayson
Lloyd & Shannon Smith, 2001, Indonesia Today, ISEAS, Singapore, hal. 194.
Kini
setelah Indonesia merdeka 58 tahun, ketimpangan ekonomi tidak separah ketika
jaman penjajahan, tetapi konglomerasi (1987-1994) yang menciptakan ketimpangan
ekonomi luar biasa, sungguh-sungguh merupakah “bom waktu” yang kemudian meledak
sebagai krismon 1997. Dalam 26 tahun (1971-1997) rasio pendapatan penduduk
daerah terkaya dan daerah termiskin meningkat dari 5,1 (1971) menjadi 6,8
(1983) dan 9,8 (1997), dan Gini Rasio meningkat berturut-turut dari 0,18
menjadi 0,21 dan 0,24.Van der Eng, idem, hal. 197.
Terbukti
bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi (7% pertahun selama 3 dekade, 1966-1996)
“tidak diridhoi” Allah SWT dan krismon “diturunkan” untuk mengingatkan bangsa
Indonesia.
Dan
jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah) tetapi
mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku
perkataan (ketentuan Kami), kemudian Kami hancurkan negeri itu
sehancur-hancurnya. (Q.S. 17 Al Israa’: 16)
Krisis
Moneter Mengembangkan Keuangan Mikro
Sejak
terjadinya krisis moneter (krismon) yang berakibat langsung pada ditutupnya 16
bank swasta nasional tanggal 1 Nopember 1997, lembaga keuangan mikro berkembang
pesat, terutama di perdesaan. BRI yang merupakan lembaga keuangan mikro
terbesar di Indonesia yang memiliki 3.825 unit-unit desa di seluruh Indonesia
berkembang luar biasa. Di Propinsi DIY jumlah penabung bertambah rata-rata
16,2% per tahun selama 1997 – 2002 dari 457.496 menjadi 950.978 orang. Dan dana
tabungan meningkat 26,3% per tahun dari Rp.263 milyar menjadi Rp.788 milyar
(tabel 2), berarti setiap orang memiliki tabungan di BRI sebesar Rp. 828.368,-.
Penduduk Propinsi DIY tahun 2002 adalah 3,1 juta orang.
Demikian
data-data mikro dari lapangan ini, yang tidak pernah dilihat dan dianalisis
oleh para ekonom makro, menunjukkan betapa keliru kesimpulan telah “hancur
leburnya” ekonomi Indonesia. Ekonomi rakyat Indonesia tidak pernah mengalami
krisis serius meskipun sempat kaget, sehingga tidak memerlukan pemulihan. Kesan
masih adanya “krisis ekonomi” sekarang ini sengaja ditiupkan dan
dibesar-besarkan oleh eks-konglomerat dan para pembelanya termasuk teknokrat.
Konglomerat ingin melepaskan diri dari kewajiban membayar utang pada bank-bank
pemerintah (BLBI dan obligasi rekap). Masyarakat dan pers kita hendaknya
waspada dalam hal ini. Sebaiknya kita tidak ikut-ikutan berbicara tentang
pemulihan ekonomi (economic recovery) jika yang akan kita pulihkan justru
kondisi ekonomi sangat timpang “pra-krisis” yang dikuasai konglomerat dan
menjepit ekonomi rakyat.
Keuangan
Mikro bukan hal baru bagi Indonesia. Yang baru adalah kesadaran dan pengakuan
tentang peranan besar yang dimainkannya dalam perekonomian rakyat dan
perekonomian nasional. Kenyataan ini mempunyai implikasi besar terhadap teori
tentang peranan modal nasional dan upaya-upaya penguatannya dalam pembangunan
ekonomi bangsa. Jika ada pakar ekonomi asing mengatakan “the only way for
Indonesia’s economic recovery is mass capital inflow from abroad”, maka jelas
kami menolak fatwa yang cenderung “ngawur” tersebut.
Fakta
tentang peranan besar keuangan mikro dalam perekonomian nasional hendaknya
menyadarkan pemerintah tentang perlunya mengkaji ulang teori ekonomi perbankan
modern. Kesediaan pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi perbankan
sebesar Rp.650 trilyun untuk “menyelamatkan perbankan modern”, yang bunganya
sangat memberatkan APBN, jelas merupakan kebijakan keliru yang tidak berpihak
pada kebijakan pengembangan keuangan mikro dan pemberdayaan ekonomi rakyat.
BAB 3
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ekonomi kerakyatan adalah sistem ekonomi yang berbasis pada
kekuatan ekonomi rakyat.Dimana ekonomi rakyat sendiri adalah sebagai kegiatan
ekonomi atau usaha yang dilakukan oleh rakyat kebanyakan (popular) yang dengan
secara swadaya mengelola sumberdaya ekonomi apa saja yang dapat diusahakan dan
dikuasainya, yang selanjutnya disebut sebagai Usaha Kecil dan Menegah (UKM)
terutama meliputi sektor pertanian, peternakan, kerajinan, makanan, dsb., yang
ditujukan terutama untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dan keluarganya tanpa
harus mengorbankan kepentingan masyarakat lainnya.
No comments:
Post a Comment