MAKALAH
Al
Islam Kemuhammadiyahan (AIK) IV
“Kewajiban
Menuntut Ilmu, Mengembangkan dan Mengamalkannya”
Oleh :
Kelompok 3
Arfiani
:10536 4622 13
Nurjannah
:10536 4623 13
Rasnah
:10536 4624 13
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah AIK IV ini dengan tepat waktu.
Dalam menulis makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang
dihadapi oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang
telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini walaupun dengan banyak kekurangan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr.
Tasming Tangngareng, M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah AIK IV
yang telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini.
Terimah
kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada berbagai
pihak yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir kata
penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai
bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Makassar, 13 Maret
2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan
Penulisan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Perintah
Menuntut Ilmu 3
B. Keutamaan Orang
yang Berilmu 7
C. Kedudukan Ulama
dalam Islam 10
BAB III PENUTUP
- Kesimpulan 18
- Saran 19
DAFTAR
PUSTAKA 20
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Sesungguhnya Islam adalah syarat
keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan ada
kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah
dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah
menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari
tujuan yang dicita-citakannya.
Mencari
ilmu merupakan kewajiban setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa
menjalani hidup ini dengan baik. Orang yang tidak memiliki ilmu
biasanya akan di manfaatkan oleh orang lain. Bahkan, orang yang tak
berilmu itu akan dibodohi oleh orang lain. Oleh karena itu, kita
sebagai manusia yang diberi akal dan pikiran carilah ilmu demi
kelangsungan hidup yang lebih baik. Menuntut
ilmu dalam Islam hukumnya wajib (fardhu). Para ahli fiqih
mengelompokannya dua bagian, yaitu 1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu
kifayah. Orang yang berilmu sangat dimuliakan oleh Allah SWT dan akan
diangkat derajatnya oleh Allah SWT.
Sehingga Dengan
ilmunya para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi
agung dan mulia kehormatannya. Para ulama bagaikan lentera penerang
dalam kegelapan dan menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa
petunjuk dengan ilmunya, mereka mencapai kedudukan al-Akhyar
(orang-orang yang penuh dengan kebaikan) serta derajat orang-orang
yang bertaqwa.
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas,
adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
- Bagaimana perintah menuntut ilmu dalam islam ?
- Bagaimana keutamaan orang yang berilmu dalam islam ?
- Bagaimana kedudukan Ulama dalam islam ?
- Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini
adalah :
- Untuk memahami perintah menuntut ilmu dalam islam.
- Untuk menjelaskan keutamaan orang yang berilmu dalam islam.
- Untuk menjelaskan kududukan Ulama dalam islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Perintah Menuntut Ilmu
Sesungguhnya Islam adalah syarat
keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan ada
kecuali dengan ilmu. Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah
dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah
menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari
tujuan yang dicita-citakannya.
Jumhur ulama sepakat, tidak ada dalil
yang lebih tepat selain wahyu pertama yang disampaikan Allah SWT
kepada Rasul-Nya, Nabi Muhammad saw sebagai landasan utama perintah
untuk menuntut ilmu. Dijelaskannya pula sarana untuk mendapatkannya,
disertai bagaimana nikmatnya memiliki ilmu, kemuliaannya, dan
urgensinya dalam mengenal ke-Maha Agung-an Sang Khalik dan mengetahui
rahasia penciptaan serta menunjukkan tentang hakikat ilmiah yang
tetap. Sebagaimana firman-Nya : “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Paling Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam (baca
tulis). Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
(Q.S. Al ‘Alaq [96]: 1-5).
Dalam ayat yang lain, Allah SWT juga
berfirman : “…Katakanlah
: “ Adakah sama orang-orang yang mengetahui (ilmu agama Islam)
dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran”.
(Q.S. Az Zumar [39]: 9).
Para mufasir menyimpulkan firman
Allah di atas, bahwa : 1). Tidaklah sama antara hamba Allah yang
memahami ilmu agama Allah, yaitu yang menyadari dirinya, memahami
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mentaati segala perintah dan
larangan-Nya, dengan orang-orang yang mendustakan nikmat-nikmat
Allah, yang tidak mau mempelajari ilmu agama Allah; 2). Hanya
orang-orang yang berakal sehatlah yang dapat mengambil hikmah atau
pelajaran dari tanda-tanda kekuasaan Allah.
Terkait hal tersebut, Rasulullah saw
menandaskan bahwa menuntut, memahami dan mendalami ilmu agama Islam
itu, merupakan kewajiban utama setiap muslim. Sebagaimana hadis yang
diriwayatkan Abi Sufyan r.a., ia mendengar Rasulullah Saw telah
bersabda : “siapa
yang dikehendaki menjadi orang baik oleh Allah, Allah akan memberikan
kepahaman kepadanya dalam agama Islam”.
(H.R. Bukhari, Muslim). Memahami ilmu agama akan membuat seorang
muslim, baik dan benar dalam beribadah kepada Allah SWT, jauh dari
Bid’ah atau hal-hal lain yang membatalkan ibadah kita. Serta mampu
membentengi diri dan keluarga dari aqidah berbahaya.
Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya
wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu
1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
1). Fardhu ‘ain, adalah setiap ilmu
yang harus dipelajari oleh setiap muslim tentang Ilmu Agama Islam,
agar akidahnya selamat, ibadahnya benar, mu’amalahnya lurus dan
sesuai dengan yang disyariatkan Allah Azza wa Jalla, yang tertuang
dalam Al Qur’an dan Sunah Nabi-Nya yang sahih. Inilah yang
diperintahkan Allah dalam firman-Nya, “Maka
ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (yang hak) Melainkan
Allah”. (Q.S.
Muhammad [47]: 19). Juga yang dimaksudkan oleh Rasulullah Saw dalam
haditsnya, “
Mencari ilmu itu wajib bagi setiap muslim”.
(H.R. Ibnu Majah). Pengertian mencari ilmu di sini, adalah mencari
ilmu agama Islam, hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan.
2). Fardhu kifayah : adalah ilmu
yang memperdalam ilmu-ilmu syariat dengan mempelajari, menghafal, dan
membahasnya. Misalnya spesialisasi dalam ilmu-ilmu yang dibutuhkan
umat Islam, seperti sistem pemerintahan, hukum, kedokteran,
perekonomian, dan lain-lain. Tapi jika sebagian dari mereka ada yang
mengerjakannya, maka gugurlah kewajiban dari yang lainnya. Sedangkan
jika tidak ada seorang pun yang melakukannya, maka semua menanggung
resikonya.
Inilah yang diserukan Allah SWT dalam
firman-Nya, “Tidak
sepatutnya bagi orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang).
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
(Q.S. At-Taubah [9]: 122).
Bahwa tidak ada jalan untuk mengenal
Allah, meraih ridha-Nya serta menggapai keuntungan dan kedekatan
dengan-Nya, kecuali dengan ilmu. Ilmu adalah cahaya yang dengannya
Allah mengutus para Rasul, menurunkan kitab-kitab, dan dengannya pula
memberi petunjuk dari kesesatan dan kebodohan. Dengan ilmu
terungkaplah seluruh keraguan, khurafat dan kerancuan. (Q.S. Al
Maidah [5]: 15-16) dan (Q.S. Al-A’raf [7] : 157).
Allah SWT dan Rasul-Nya telah pula
menentukan pedoman bagi kita hingga akhir zaman, barangsiapa yang
berpegang teguh kepada Al Qur’an dan As Sunnah (Hadis) Sahih, tidak
akan sesat selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT :
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan Taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu,
kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rosul (sunnahnya),
jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
“. (Q.S. An Nisa [4] : 59). Dan hadits nabi Saw.
“ Sesungguhnya aku telah
meninggalkan sesuatu bagimu, jikalau kamu berpegang teguh dengannya,
maka kamu tidak akan sesat selamanya, (yaitu) Kitab Allah (Al Qur’an)
dan Sunnah Nabi-Nya”.
(H.R. Hakim; at-Targhib, 1 : 60).
Banyak jalan untuk menuntut ilmu
agama. Antara lain mengikuti majelis taklim yang istiqomah mengkaji
Al Qur’an dan As Sunnah sahih di berbagai tempat dan media. Ilmu
agama ada di Qur’an , Tafsir Qur’an, juga hadis-hadis sahih, yang
sudah diterjemahkan. Jika kita tidak memahami ilmu agama Islam,
bagaimana kita bisa tahu mana perintah dan larangan Allah ? Bagaimana
kita bisa tahu ibadah yang kita lakukan itu sah dan diterima Allah ?
Tapi umat Islam juga jangan sembarangan menimba ilmu. Salah-salah
memilih sumber ilmu, maka kelak ilmu yang dimiliki itu akan tersesat.
- Keutamaan Orang Berilmu
Mencari ilmu merupakan kewajiban
setiap manusia. Tanpa ilmu kita tidak bisa menjalani hidup ini dengan
baik. Orang yang tidak memiliki ilmu biasanya akan di manfaatkan oleh
orang lain. Bahkan, orang yang tak berilmu itu akan dibodohi oleh
orang lain. Oleh karena itu, kita sebagai manusia yang diberi akal
dan pikiran carilah ilmu demi kelangsungan hidup yang lebih baik.
Ilmu menurut Imam Al Ghozali, dibagi menjadi 2
yaitu :
1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal
1. Ilmu yang bersifat Syariat
2. Ilmu yangbersifat Akal
Dari keduanya ada yang berupa Ilmiah Teoritis, dan ada yang Ilmiah
Praktis
- Ilmu Syari’at
Ilmu Syariat ini terbagi menjadi 2 :
1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah,
Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
1. Ilmu Ushul (Pokok) atau Ilmu Tauhid ( Merupakan Ilmiah Teoritis)
2. Ilmu Furu' atau Cabang ( Merupakan Ilmiah Praktis ), hal ini ada
yang menyangkut Hak Alloh Ta'ala seperti segala yang terkait Ibadah,
Hak Hamba Alloh terkait dengan tata pergaulan manusia yang terdiri 2
aspek, yaitu Aspek Mu'amalah dan Aspek Mu'aqodah, serta
Hak Jiwa (Akhlak/Budi pekerti) sifat / akhlak baik harus dibina,
dimiliki, dikembangkan dan sifat / akhlak jelek harus dihindari, dibuang.
- Ilmu Akal
Ilmu Akal itu bersifat berdiri
sendiri, yang melahirkan
komposisi
keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
keseimbangan.
Ilmu Akal ini menurut beliau dibagi menjadi 3 tingkatan, yaitu :
1.Tingkat Kesatu ialah Matematika dan Logika
2.Tingkat kedua ialah Ilmu Alamiah (
Aksi dan Reaksi Alam )
3.Tingkat ketiga, adalah Ilmu Teori
tentang Realitas, berujung pada
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
ilmu Kenabian, Mukjijat, Teori Jiwa yang Suci.
Ilmu memiliki banyak keutamaan,
diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak
terputus pahalanya sebagaimana dalam hadits: ”jika manusia
meninggal maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: shodaqoh
jariahnya, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang mendoakan
kedua orang tuanya,” (HR Bukhori dan Muslim)
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran
sebagaimana dalam firman Allah SWT: (Allah menyatakan bahwasanya
tidak ada ilah yang berhak disembah kecuali dia. Yang menegakkan
keadilan. para malaikat dan orang berilmu (juga menyatakan yang
demikian itu,). (QS. Ali Imran 18)
3. Allah memerintahkan kepada nabinya
Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu sebagaimana dalam firman
Allah, (… dan katakanlah: Ya Rabb ku, tambahkanlah kepadaku ilmu)
(QS.Thahaa 114)
4. Allah mengangkat derajat orang
yang berilmu. Sebagaimana firman Allah, (… Allah mengangkat orang
beriman dan memiliki ilmu diantara kalian beberapa derajat dan Allah
mengetahui apa yang kamu kerjakan). (QS. Mujadilah 11)
5. Orang berilmu adalah orang yang
takut Allah SWT, sebagaimana dalam firmannya: (…. sesungguhnya yang
takut kepada Allah diantara hambanya hanyalah orang-orangyang
berilmu). (QS. Fathir 25).
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang
sangat besar, sebagaimana firman-Nya: (Allah menganugerahkan
al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi
hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran
(dari firman Allah)). ( QS. Al-Baqarah 269)
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan
Allah kepada seseorang ”Barang siapa yang Allah menghendaki
kebaikan padanya, maka Allah akan membuat dia paham dalam agama,”
(HR Bukhari dan Muslim).
8. Menuntut ilmu merupakan jalan
menuju surga, ”Barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka
menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga,”
(HR Muslim)
9. Diperbolehkannya ”hasad”
kepada ahli ilmu,”Tidak hasad kecuali dalam dua hal, yaitu terhadap
orang yang Allah beri harta dan ia menggunakannya dalam kebenaran dan
orang yang Allah beri hikmah lalu ia mengamalkannya dan
mengajarkannya,” (HR Bukhari )
10. Malaikat akan membentangkan
sayap terhadap penuntut ilmu,”Sesungguhnya para malaikat
benar-benar membentangkan sayapnya karena ridho atas apa yang
dicarinya,” (HR. Ahmad dan Ibnu majah).
- Kedudukan Ulama dalam Islam
Tidak samar bagi setiap muslim akan
kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat
dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran
mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya,
mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa.
Dengan ilmunya para ulama menjadi
tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung dan mulia
kehormatannya. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman: قُلْ
هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ Katakanlah,
“Apakah sama
orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak
mengetahui?” (QS.
az-Zumar: 9) Dan firman-Nya Azza wa Jalla: يَرْفَعِ
اللَّهُ الَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ
وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
Niscaya Allah
akan mengangkat (derajat) orang-orang yang diberi ilmu beberapa
derajat.” (QS.
al-Mujadilah: 11)
Diantara keutamaannya adalah para
malaikat akan membentangkan sayapnya karena tunduk akan ucapan
mereka, dan seluruh makhluk hingga ikan yang berada di airpun ikut
memohonkan ampun baginya. Para ulama itu adalah pewaris Nabi, dan
sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak juga dirham, yang
mereka wariskan hanyala ilmu, dan pewaris sama kedudukannya dengan
yang mewariskannya, maka bagi pewaris mendapatkan kedudukan yang sama
dengan yang mewariskannya itu. Di dalam hadits Abi Darda radhiyallahu
‘anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang meniti suatu
jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan
menuju surga. Sesungguhya para malaikat akan membuka sayapnya untuk
orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang mereka lakukan.
Dan sesungguhnya seorang yang alim akan dimohonkan ampun oleh makhluk
yang ada di langit maupun di bumi hingga ikan yang berada di air.
Sesungguhnya keutamaan orang alim atas ahli ibadah seperti keutamaan
bulan purnama atas seluruh bintang.
Sesungguhnya para ulama itu pewaris
para Nabi. Dan sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar tidak
juga dirham, yang mereka wariskan hanyalah ilmu. Dan barangsiapa yang
mengambil ilmu itu, maka sesungguhnya ia telah mendapatkan bagian
yang paling banyak.” (Shahih, HR Ahmad (V/196), Abu Dawud (3641),
at-Tirmidzi (2682), Ibnu Majah (223) dan Ibnu Hibban (80/al-Mawarid).
Para ulama telah mewarisi ilmu yang
telah dibawa oleh para Nabi, dan melanjutkan peranan dakwah di
tengah-tengah umatnya untuk menyeru kepada Allah dan ketaatan
kepada-Nya. Juga melarang dari perbuatan maksiat serta membela agama
Allah. Mereka berkedudukan seperti rasul-rasul antara Allah dan
hamba-hamba-Nya dalam memberi nasehat, penjelasan dan petunjuk, serta
untuk menegakkan hujjah, menepis alasan yang tak berdalih dan
menerangi jalan. Muhammad bin al-Munkadir berkata, “Sesungguhnya
orang alim itu perantara antara Allah dan hamba-hamba-Nya, maka
perhatikanlah bagaimana dia bisa masuk di kalangan hamba-hamba-Nya.”
Sufyan bin ‘Uyainah berkata,
“Manusia yang paling agung kedudukannya adalah yang menjadi
perantara antara Allah dengan hamba-hamba-Nya, yaitu para Nabi dan
ulama.” Sahl bin Abdullah berkata, “Barangsiapa yang ingin
melihat majlisnya para Nabi, maka hendaklah dia melihat majelisnya
para ulama, dimana ada seseorang yang datang kemudian bertanya,
‘Wahai fulan apa pendapatmu terhadap seorang laki-laki yang
bersumpah kepada istrinya demikian dan demikian?’ Kemudian dia
menjawab, ‘Istrinya telah dicerai.’ Kemudian datang orang lain
dan bertanya, ‘Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang
bersumpah pada istrinya demikian-demikian?’ Maka dia menjawab, ‘Dia
telah melanggar sumpahnya dengan ucapannya ini.’ Dan ini tidak
dimiliki kecuali oleh Nabi atau orang alim. (maka cari tahulah
tentang mereka itu).” Maimun bin Mahran berkata, “Perumpamaan
seorang alim disuatu negeri itu, bagaikan mata air yang tawar di
negeri itu.”
Jikalau para ulama memiliki
kedudukan dan martabat yang tinggi seperti itu, maka wajib atas
orang-orang yang awam untuk menjaga kehormatan serta kemuliaannya.
Dari Ubadah bin Ashomit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Bukan termasuk umatku
orang yang tidak memuliakan orang yang lebih tua, tidak menyayangi
yang lebih muda, dan tidak tahu kedudukan ulama.” Dan di antara hak
para ulama adalah mereka tidak diremehkan dalam hal keahlian dan
kemampuannya, yaitu menjelaskan tentang agama Allah, serta penetapan
hukum-hukum dan yang semisalnya dengan mendahului mereka, atau
merendahkan kedudukannya, serta sewenang-wenang dengan kesalahannya,
juga menjauhkan manusia darinya atau perbuatan-perbuatan yang biasa
dilakukan oleh orang-orang jahil yang tidak tahu akan kedudukan dan
martabat para ulama.
Satu hal yang sudah maklum bagi
setiap orang, bahwa mempercayakan setiap cabang-cabang ilmu tidak
dilakukan kecuali kepada para ahli dalam bidangnya. Jangan meminta
pendapat tentang kedokteran kepada makanik, dan jangan pula meminta
pendapat tentang senibena kepada para dokter, maka janganlah meminta
pendapat dalam suatu ilmu kecuali kepada para ahlinya. Maka bagaimana
dengan ilmu syariah, pengetahuan tentang hukum-hukum dan fiqh
kontemporer? Bagaimana kita meminta pendapat kepada orang yang tidak
terkenal alim mengenainya dan tidak pula punya kemampuan memahaminya
jauh sekali sebagai ulama yang mujtahid dan para imam yang kukuh
ilmunya serta ahli fiqh yang memiliki keupayaan sebagai ahli
istimbath? Allah Ta’ala berfirman: "Dan
apabila sampai kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun
ketakutan, mereka (langsung) menyiarkannya, (padahal) apabila mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat)
mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ulil amri).
Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah
kamu mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
(QS. an-Nisa`: 83)
Dan yang dimaksud dengan Ulil Amri
dalam ayat ini adalah para ulama yang 'Alim dan cermat dalam
beristimbath hukum-hukum syariat baik dari kitab maupun sunnah,
karena nash-nash yang jelas tidaklah cukup untuk menjelaskan seluruh
permasalahan kontemporer dan hukum-hukum terkini, dan tidaklah begitu
mahir untuk beristimbath serta mengerluarkan hukum-hukum dari
nash-nash kecuali para ulama yang berkelayakan. Abul ‘aliyah
mengatakan tentang makna “Ulil Amri” dalam ayat ini, “Mereka
adalah para ulama, tidakkah kamu tahu Allah berfirman, ‘(Padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil
Amri)’.” Dari Qatadah, “(Padahal) apabila mereka menyerahkannya
kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka”, dia mengatakan,
“Kepada ulamanya.” “Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka
(Rasul dan Ulil Amri).”, tentulah orang-orang yang membahas dan
menyelidikinya mengetahui akan hal itu. Dan dari Ibu Juraij,
“(Padahal) apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul” sehingga
beliaulah yang akan memberitakannya “dan kepada Ulil Amri” orang
yang faqih dan faham agama. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakan dalam
Fath al-Bari: Ibnu Attin menukil dari ad-Dawudi, bahwasanya beliau
menafsirkan firman Allah Ta’ala “Dan
Kami turunkan az-Zikir (al-Qur`an) kepadamu, agar engkau menerangkan
kepada manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka.”
An-Nahl : 44, berkata: Allah Ta’ala banyak menurunkan
perkara-perkara yang masih bersifat global, kemudian ditafsirkan oleh
Nabi-Nya apa-apa yang diperlukan pada waktu itu, sedangkan apa-apa
yang belum terjadi pada saat itu, penafsirannya di wakilkan kepada
para ulama. Sebagaimana firman Allah Ta’ala : (padahal)
apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara
mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan
dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka.
(QS. an-Nisa`: 83) Al-’Allamah Abdurrahman bin Sa’di
rahimahullahu menafsirkan ayat ini: Ini merupakan pelajaran tentang
adab dari Allah untuk para hamba-Nya, bahwa perbuatan mereka tidak
layak, maka sewajarnya bagi mereka, apabila ada urusan yang penting,
juga untuk kemaslahatan umum, yang berkaitan dengan keamanan dan
kebahagiaan kaum mukminin, atau ketakutan yang timbul dari suatu
musibah, maka wajib bagi mereka untuk memperjelas dan tidak
tergesa-gesa untuk menyebarkan berita itu, bahkan mereka
menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil Amri dikalangan mereka, yang
ahli dalam hal pemikiran ilmu, dan nasehat , yang faham akan
permasalahan, kemaslahatan dan mafsadatnya.
Jikalau mereka memandang pada
penyebaran berita itu ada maslahat dan sebagai penyemangat bagi kaum
mukminin, yang membahagiakan mereka, serta dapat melindungi dari
musuh-musuhnya maka hal itu dilakukan, dan apabila mereka memandang
hal itu tidak bermanfaat, atau ada manfaatnya akan tetapi mudhorotnya
lebih besar dari manfaatnya maka tidak menyebarkan berita itu, oleh
karena itu Allah berfirman : “tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi)
dari mereka.” Yaitu: mengerahkan pikiran dan pandangannya yang
lurus serta ilmunya yang benar. Dan dalam hal ini ada kaidah tentang
etika (adab) yaitu: apabila ada pembahasan dalam suatu masalah
hendaknya di berikan kepada ahlinya dan tidak mendahului mereka,
karena itu lebih dekat dengan kebenaran dan lebih selamat dari
kesalahan. Juga ada larangan untuk tergesa-gesa menyebarkan berita
tatkala mendengarnya, yang patut adalah dengan memperhatikan dan
merenungi sebelum berbicara, apakah ada maslahat maka disebarkan atau
mudharat maka dicegah. Selesai ucapan syaikh rahimahullahu.
Dengan penjelasan ini diketahui wahai
teman-teman semua, bahwa perkara yang sulit dan hukum-hukum yang
kontemporer serta penjelasan hukum-hukum syariatnya tidak semua orang
boleh campur tangan dalam masalah itu, kecuali para ulama yang
memiliki bashirah dalam agama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullahu berkata, “Jabatan dan kedudukan tidaklah menjadikan
orang yang bukan alim menjadi orang yang alim, kalau seandainya
ucapan dalam ilmu dan agama itu berdasarkan kedudukan dan jabatan
niscaya khalifah dan sulthan (pemimpin negara) lebih berhak untuk
berpendapat dalam ilmu dan agama. Juga dimintai fatwa oleh manusia,
dan mereka kembali kepadanya pada permasalahan yang sulit difahami
baik dalam ilmu ataupun agama.
Apabila pemimpin negara saja tidak
mengaku akan kemampuan itu pada dirinya, dan tidak memerintahkan
rakyatnya untuk mengikuti suatu hukum dalam satu pendapat tanpa
mengambil pendapat yang lain, kecuali dengan al-Qur`an dan as-Sunnah,
maka orang yang tidak memiliki jabatan dan kedudukan lebih tidak
dianggap pendapatnya.” Selesai ucapan Ibnu Taimiyah. Dan kita
memohon kepada Allah Ta’ala agar memberkati kita, dengan adanya
para ulama, juga memberikan kita manfaat dengan ilmu mereka, serta
membalas mereka dengan sebaik-baik balasan. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar dan mengabulkan permintaan.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Sesungguhnya Islam adalah syarat
keselamatan di sisi Allah. Islam tidak tegak dan tidak akan ada
kecuali dengan ilmu. . Tidak ada cara dan jalan untuk mengenal Allah
dan sampai kepada-Nya kecuali dengan ilmu. Allah lah yang telah
menunjukan jalan yang paling dekat dan mudah untuk sampai kepada-Nya.
Barangsiapa yang menempuh jalan tersebut, tidak akan menyimpang dari
tujuan yang dicita-citakannya. Menuntut ilmu dalam Islam hukumnya
wajib (fardhu). Para ahli fiqih mengelompokannya dua bagian, yaitu
1). Fardhu ‘ain; dan 2). Fardhu kifayah.
Ilmu memiliki banyak keutamaan,
diantaranya:
1. Ilmu adalah amalan yang tidak
terputus pahalanya.
2. Menjadi saksi terhadap kebenaran.
3. Allah memerintahkan kepada nabinya
Muhammad SAW untuk meminta ditambahkan ilmu.
4. Allah mengangkat derajat orang
yang berilmu.
5. Orang berilmu adalah orang yang
takut Allah SWT.
6. Ilmu adalah anugerah Allah yang
sangat besar.
7. Ilmu merupakan tanda kebaikan
Allah kepada seseorang.
8. Menuntut ilmu merupakan jalan
menuju surge.
9. Diperbolehkannya ”hasad”
kepada ahli ilmu.
10. Malaikat akan membentangkan
sayap terhadap penuntut ilmu
Tidak samar bagi setiap muslim akan
kedudukan ulama dan tokoh agama, serta tingginya kedudukan, martabat
dan kehormatan mereka dalam hal kebaikan mereka sebagai teladan dan
pemimpin yang diikuti jalannya serta dicontoh perbuatan dan pemikiran
mereka. Para ulama bagaikan lentera penerang dalam kegelapan dan
menara kebaikan, juga pemimpin yang membawa petunjuk dengan ilmunya,
mereka mencapai kedudukan al-Akhyar (orang-orang yang penuh dengan
kebaikan) serta derajat orang-orang yang bertaqwa. Dengan ilmunya
para ulama menjadi tinggi kedudukan dan martabatnya, menjadi agung
dan mulia kehormatannya.
- Saran
Sebagai seorang muslim kita sudah
semestinya bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, karena dalam islam
orang yang berilmu itu sangat di muliakan dan akan diangkat
derajatnya oleh Allah SWT. Selain dari itu, ilmu juga memiliki banyak
keutamaan. Maka dari itu, setelah kta memahami tentang perintah
menuntut ilmu dalam islam, keutamaan ilmu dan kedudukan orang yang
berilmu, kita sebagai ummat muslim diharapkan dapat mengamalkannya
dalam kehidupan kita sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
Riyanto,
Prof. 2010. Ceramah Kultum. Diakses pada tanggal13 Maret
2015.
Admin.
2013. Al-qur’an dan Hadits. Diakses pada tanggal 13 Maret 2015
Indra,
Dodi. 2013. Keutamaan Ilmu. Diakses pada tanggal 14 Maret 2015.
Monica.
2014. Kedudukan Ulama dalam Islam. Diakses pada tanggal 14
Maret 2015.
2 comments:
Izin Copas gan... buat referensi :)
TRIMAKASIH INI SANGAT MEMBANTU UNTUK BAHAN ARTIKEL SAYA:)
Post a Comment