PENERAPAN ILMU BERBASIS SUNNATULLAH DAN QADARULLAH
Pengertian Sunnatullah
Kata sunnatullah dari segi bahasa terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan. Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam
memperlakukan masyarakat. Dalam al-Qur’an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas kali. Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaksud di dalam al-Qur’an, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis.
Sunatullah adalah bagian yang bersifat 'dinamis' dari ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta ini. Karena sunatullah memang hanya semata terkait dengan segala proses penciptaan dan segala proses kejadian lainnya (segala proses dinamis). Sunatullah itu sendiri tidak berubah-ubah, namun masukan dan keluaran prosesnya yang bisa selalu berubah-ubah secara 'dinamis' (segala keadaan lahiriah dan batiniah 'tiap saatnya'), dan tentunya sunatullah juga berjalan atau berlaku 'tiap saatnya'. Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses kejadian (lahiriah dan batiniah), yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', yang tiap saatnya pasti selalu mengatur segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini.
Ilmu berdasarkan Sunnatullah
Segala bentuk ilmu-pengetahuan (beserta segala teori dan rumus di dalamnya), yang dikenal dan dicapai oleh manusia, secara "amat obyektif" (sesuai dengan fakta-kenyataan-kebenaran secara apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi), pada dasarnya hanya semata hasil dari pengungkapan, atas sebagian amat sangat sedikit dari ilmu-pengetahuan-Nya (terutama sunatullah).
Bahkan nantinya, segala bentuk ilmu-pengetahuan yang belum dikenal, juga hanya hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, yang justru telah ditentukan atau ditetapkan-Nya, sebelum awal penciptaan alam semesta ini.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'. Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'. Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Usaha seperti ini justru juga telah dilakukan oleh para nabi-Nya. Sehingga seluruh pengetahuan mereka tentang pengetahuan atau kebenaran-Nya, terutama yang paling penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan batiniah), memang telah bisa tersusun relatif sempurna (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan tidak saling bertentangan secara keseluruhannya). Hal ini yang justru telah mengakibatkan tiap pengetahuan mereka, bisa disebut 'wahyu-Nya'. Baca pula artikel/posting "Cara proses diturunkan-Nya wahyu".
Segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia mestinya bisa dipilih terlebih dahulu, secara amat hati-hati, cermat dan selektif, sebelum dipakai atau diyakini, karena relatif bisa mudah menyesatkan, terutama pada agama, ajaran dan paham yang bersifat 'musyrik' dan 'materialistik', yang memang pasti tidak sesuai dengan kebenaran-Nya (mustahil berasal dari Allah dan tidak bersifat mendasar / hakiki).
Pengertian Qadarullah
Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman.
Ilmu berdasarkan Qadarullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.”
(Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’
Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
AYAT AL-QURAN DAN HADITS
Kedudukan Ilmu pengetahuan dalam Islam menempati kedudukan tinggi dimana Al-Qur’an memandang orang yang beriman dan berilmu pengetahuan berada pada posisi yang tinggi dan mulia, dan juga ditegaskan dalam Hadits-hadits Nabi yang memuat anjuran dan dorongan untuk menuntut ilmu. “Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58]: Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa ayat dan hadits rasulullah saw sebagai berikut:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah saw pun memerintahkan para orang tua agar mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.” (Al-Hadits Nabi saw). “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin, Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Hadis Nabi saw).
Ayat ini menguraikan bagaimana kedudukan dari setiap umat manusia yang memiliki tingkat keimanan yang tinggi yang dibarengi dengan Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Tidak akan beriman seseorang jika tidak memiliki pengetahuan dan sesungguhnya pengetahuan itu akan melahirkan kemudharatan jika tidak dibarengi dengan kaar keimanan yang baik. Hal ini memberikan indikasi bahwa sesungguhnya antara Islam dan Ilmu Pengetahuan adalah maerupakan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)
وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu yang benar menurut syari’at Islam adalah ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di alam semesta ini. Dalam Al-
Qur’an maupun As-Sunah kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk menuntut ilmu dan dihukumi wajib. Karena sesungguhnya ilmu merupakan syarat utama diterimanya suatu amalan. Ilmu pada dasarnya memiliki banyak keutamaan, tiga di antaranya adalah ilmu dapat mengangkat derajat pemiliknya (seorang mukmin) di atas hamba lainnya, Allah SWT akan memudahkan bagi orang yang berilmu jalan menuju surga, seluruh makhluk akan memintakan ampun bagi para penuntut ilmu. Individu muslim yang menuntu ilmu dalam masa yang sama perlu menghindari perasaan malas dan mudah jemu dengan buku pengajian. Ini dapat diatasi dengan membaca nota atau buku-buku yang kecil dan ringan. Selain itu amalan zikrullah dan membaca ayat-ayat suci Al-Quran mampu melembut hati manusai kerana sesiapa yang menjauhi nasihat ataupun tazkirah diri ditakuti Allah akan mengeraskan hatinya sebagaimana firman ALLAH S.W.T. yang bermaksud :
“Dan ingatlah ketika mana nabi Musa berkata kepada kaumnya :Wahai kaumku! Mengapa kamu menyakitiku sedangkan kamu mengetahui bahawa aku ini adalah utusan Allah .
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan teman yang buruk hanyalah seumpama pembawa minyak wangi dan peniup tungku api seorang tukang besi. Bagi pembawa minyak wangi, boleh jadi sama ada dia memberinya kepada kamu (minyak wangi) atau kamu membeli daripadanya (minyak wangi) atau kamu mendapat bau harum daripadanya. Bagi peniup tungku api seorang tukang besi, boleh jadi sama ada ia akan membakar pakaian kamu (kerana kesan tiupan api) atau kamu mendapat bau yang tidak sedap daripadanya (bau besi).”
Oleh itu sesiapa yang berusaha untuk memahami agama Islam hendaklah sentiasa berhubung dengan orang-orang yang perhubungannya sentiasa bersama ilmu. Mereka adalah orang-orang yang perhatiannya sentiasa kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih,
No comments:
Post a Comment