- IMAN
Pengertian iman dari bahasa
Arab yang artinya percaya. Sedangkan menurut istilah, pengertian iman
adalah membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan
dengan tindakan (perbuatan). Dengan demikian, pengertian iman kepada
Allah adalah membenarkan dengan hati bahwa Allah itu benar-benar ada
dengan segala sifat keagungan dan kesempurnaanNya, kemudian pengakuan
itu diikrarkan dengan lisan, serta dibuktikan dengan amal perbuatan
secara nyata.
Jadi, seseorang dapat
dikatakan sebagai mukmin (orang yang beriman) sempurna apabila
memenuhi ketiga unsur keimanan di atas. Apabila seseorang mengakui
dalam hatinya tentang keberadaan Allah, tetapi tidak diikrarkan
dengan lisan dan dibuktikan dengan amal perbuatan, maka orang
tersebut tidak dapat dikatakan sebagai mukmin yang sempurna. Sebab,
ketiga unsur keimanan tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan
tidak dapat dipisahkan.
- IMAN SEBAGAI SUMBER NILAI
Manusia memerlukan
kepercayaan sebagai sumber atau titik ideal dalam hidupnya. Titik
ideal sebagai sumber nilai, menjadi titik nilai yang baku atau
konstan. Nilai sebagai penopang kehidupan manusia dan peradaban
manusia tidak boleh berubah,jika nilai ini berubah maka sama halnya
dengan fondasi rumah yang dirubah, secara reaktif maka rumah itu akan
rubuh dan pola rumah itu akan berubah.
Sebagai sumber nilai, maka
sesuatu itu harus tidak berubah, menjadi sumber segala nilai dan esa,
serta secara bersamaan merupakan kebenaran hakiki. Sumber nilai
tersebut adalah Tuhan, karena sifat Tuhan yang tidak berubah dan
menjadi satu titik kebenaran itu sendiri. Tuhan adalah subjek bagi
sekalian alam dan dunia, sedang alam adalah objek yang digerakkan
melalui kehendak berpikir bebas. Kehendak berpikir bebas hanya
dimiliki manusia,dipandang dalam segi biologi, manusia termasuk dalam
klasifikasi homo
sapiens
(yang memiliki arti "manusia yang tahu") yang merupakan
primata dalam golongan mamalia yang memiliki kemampuan berpikir
tinggi (Wikipedia, 2014). Tan Malaka dalam Madilog, mengartikan
manusia lebih sederhana, yaitu hewan yang berakal. Dua pengertian
diatas mengisyaratkan bahwa manusia merupakan kesempurnaan atas
penciptaan Tuhan di bumi, hal ini sesuai dengan konsep Islam bahwa
manusia diturunkan sebagai Khalifah di muka bumi (Lihat: Al Quran 2:
30). Dalam segi rohani yang berkorelasi dengan kebudayaan, bahwa
manusia adalah pembawa peradaban dengan ke"agama"an yang
dibawahnya. Agama disini berarti kepercayaan, yang dijadikan sumber
nilai tersebut.
Agama sebagai pedoman,
sering juga agama sebagai peradaban yang ekslusif. Agama menjadi
pengikat atas cara-cara yang dianggap paling mendekatkan pada
kebenaran, maka tidak jarang pertentangan dan konfrontasi agama-agama
yang memiliki kencenderungan yang sama dan berbeda sekaligus. Agama
sebagai peletak peradaban menjadi penting karena dalam agama aspek
kultur dan doktrin menjadi satu, hingga muncul peradaban seperti
Islam Syah, Protestan dan lain sebagainya.
Sebaga upaya pendekatan diri
pada kebenaran, bentuk kepercayaan atau iman juga tidak jauh dari
pandangan keagamaan tentang konsep ke-Tuhan-nan itu sendiri. Dalam
kajian filsafat yang mengunakan metode rasio, mengalami kebuntuhan
tentang rasio yang mencoba mendiskripsikan tuhan. Al Ghazali membawa
suatu perubahan pada semangat metafisika, peletak atas keterbatasan
rasio pada kebenaran hakiki tersebut. Maka agama memang tidak jauh
dari doktrin, namun manusia yang memiliki keutamaan dalam berpikir
memberikannya ruang pada pencarian-pencarian pada segi ontologis
tersebut.
Dalam Islam, bahwa manusia
sudah memiliki kepercayaan pada Tuhan sejak masa tiga bulan dalam
kandungan, ikatan primodial ini termaktub dalam Al Quran. Sedang
Karel Amstrong mengatakan bahwa sejak 4.300 tahun yang lalu manusia
sudah menyadari bahwa ada kekuatan yang melebihi apapun di dunia ini.
Cara berkepercayaan itupun muncul dalam bentuk mitologi, hingga dalam
bentuk kebatinan.
Tentu sangat tidak mungkin
bahwa manusia akan mampu mengetahui sesuatu yang melebihi batas
kemampuannya, maka harus ada penghubung, dan Tuhan sebagai subjek
atas dunialah yang semestinya mengenalkan Dia pada objeknya.
Pengenalan ini dalam sejarah tiga agama besar - dan hampir memiliki
kemiripan sejarah atau masih satu rumpun - melalui pembawa pesan
sebagai mediator, fungsi ini dipegang oleh para nabi atau rasul.
Hingga tidak ada upaya pengambaran Tuhan secara mitologi.
Pengambaran Tuhan secara
mitologi, seperti memnyerupakan bentuk Tuhan dengan benda-benda yang
menjadi objeknya, akan menunjukan bahwa tuhan lemah, karena Tuhan
sebagai subjek penciptakaan yang "diserupakan" dengan objek
yang diciptakan-Nya. Dalam pegabaran ini menimbulkan suatu paradigma
yang kontradiktif dengan keadaan Tuhan, pendangan ini salah dan jelas
pandangan ini menimbulkan suatu distorsi tentang keyakinan yang
menimbulkan nilai yang menjadi sumber kebenaran.
Rasul dan Nabi menjadi
pembawa pesan dan memberikan peringatan tentang kesalahan penafsiran
atas kebenaran, hingga tidak ada fitnah diantara yang lain, kebenaran
hanya tertuju pada ke-Esa-an Tuhan semata. Maka sikap percaya harus
berlandaskan pada kebenaran yang pendekatan yang tidak bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada, dari situ peradaban manusia akan
tercipta dan bernilai.
No comments:
Post a Comment