MAKALAH
Al
Islam Kemuhammadiyahan (AIK) IV
“PARADIGMA
PENGEMBANGAN IPTEKS”
Oleh :
Kelompok 6
SANGKALA
:10536 4625 13
ANDI
RAHMIYATI :10536 4645 13
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah AIK IV ini dengan tepat waktu.
Dalam menulis makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang
dihadapi oleh penulis, namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang
telah berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini, sehingga penulis
dapat menyelesaikan makalah ini walaupun dengan banyak kekurangan.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada Bapak Dr.
Tasming Tangngareng, M.Ag. selaku dosen pembimbing mata kuliah AIK IV
yang telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan makalah ini.
Terimah kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada
berbagai pihak yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir
kata penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sebagai bahan perbaikan dalam menyusun makalah kedepannya, dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Makassar, 13 Maret
2015
Penulis
DAFTAR
ISI
HALAMAN
JUDUL i
KATA
PENGANTAR ii
DAFTAR
ISI iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan
Penulisan 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Definisi
IPTEK dan seni 3
B. Paradigma
hubungan agama dan seni 9
C.
Integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam 11
BAB
III PENUTUP
- Kesimpulan 17
- Saran 17
DAFTAR
PUSTAKA 18
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dizaman
modern yang canggih seperti saat ini, kemajuan akan Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (yang kemudian disingkat IPTEK) dan seni, sangatlah
berpengaruh terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia. Tidak
dapat dipungkiri, keberadaan IPTEK dan seni tidak pernah lepas dengan
keberadaan manusia. Manusia sebagai subjek dari berkembangnya ilmu
pengetahuan itu sendiri. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, maka
berkembanglah pula teknologi dan seni. Keberadaan yang tidak akan
pernah terpisahkan tersebut, kemudian memunculkan beberapa dampak
terhadap kehidupan manusia didunia. Dampak tersebut berupa dampak
positif dan negatif. Adanya dampak negatif terhadap kehidupan manusia
ini, akan menimbulkan beberapa yang kurang di inginkan.
Peran
Islam dalam perkembangan IPTEK pada dasarnya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma
inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler
seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa
Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qa’idah fikriyah)
bagi seluruh ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti bahwa Aqidah Islam
sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi
standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang
sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang
bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam)
sebagai standar bagi pemanfaatan IPTEK dalam kehidupan sehari-hari.
Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat
Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti
yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya
pemanfaatan IPTEK, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum
syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan IPTEK jika telah
dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek IPTEK dan
telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam
memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Rumusan
Masalah
a.
Apa
definisi IPTEK dan seni?
b.
Bagaimana
paradigma hubungan agama dan seni?
c.
Bagimana
integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam?
Tujuan
a.
Mengetahui
apa maksud dan definisi dari IPTEK dan seni
b.
Mengetahui
paradigma hubungan agama dan seni
c.
Mengetahui
integrasi iman, IPTEK dan seni dalam islam
BAB
II
PEMBAHASAN
- Definisi IPTEK dan Seni
Definisi
IPTEK
IPTEK
adalah singkatan dari ilmu pengetahuan, teknologi. Ilmu adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi,
dan diinterpretasi, menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji
kebenarannya dan dapat diuji ulang secara ilmiah (International
Webster’s Dictionary dalam Modul Acuan Proses Pembelajaran MPK,
2003)
Secara
etimologis, kata ilmu berarti kejelasan, karena itu segala yang
terbentuk dari akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Kata ilmu
dengan berbagai bentuknya terulang 854 kali dalam Al-qur’an. Kata
ini digunakan dalam arti proses pencapaian pengetahuan dan obyek
pengetahuan . Setiap ilmu membatasi diri pada salah satu bidang
kajian. Oleh sebab itu seseorang yang memperdalam ilmu-ilmu tertentu
disebut sebagai spesialis. Dari sudut pandang filsafat, ilmu lebih
khusus dibandingkan dengan pengetahuan.
Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah. Sedang teknologi
adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari.
Jadi
ilmu pengetahuan atau sains adalah himpunan pengetahuan manusia yang
dikumpulkan melalui proses pengkajian dan dapat dinalar atau dapat
diterima oleh akal. Dengan kata lain, sains dapat didefinisikan
sebagai pengetahuan yang sudah sistematis (science is systematic
knowledge). Dalam pemikiran sekuler, sains mempunyai tiga
karakteristik, yaitu obyektif, netral dan bebas nilai, sedangkan
dalam pemikiran Islam, sain tidak boleh bebas nilai, baik nilai lokal
maupun nilai universal.
Ilmu
pengetahuan dan teknologi merupakan dua sosok yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Ilmu adalah
sumber teknologi yang
mampu memberikan kemungkinan munculnya berbagai penemuan rekayasa dan
ide-ide. Adapun teknologi
adalah
terapan atau aplikasi dari ilmu yang
dapat ditunjukkan dalam hasil nyata yang
lebih
canggih dan dapat mendorong manusia untuk berkembang lebih maju lagi.
Sebagai umat Islam kita harus menyadari bahwa dasar-dasar filosofis
untuk mengembangkan ilmu dan teknologi itu bisa dikaji dan digali
dalam Alquran sebab kitab suci ini banyak mengupas
keterangan-keterangan mengenai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperi
kita ketahui, teknologi kini telah merembet dalam kehidupan
kebanyakan manusia bahkan dari kalangan atas hingga menengah kebawah
sekalipun. Dimana upaya tersebut merupakan cara atau jalan di dalam
mewudkan kesejahteraan dan meningkatkan harkat dan martabat manusia.
Atas dasar kreatifitas, akalnya, manusia mengembangkan IPTEK dalam
rangka untuk mengolah SDA yang di berikan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Dimana dalam pengembangan IPTEK harus didasari terhadap moral dan
kemanusiaan yang adil dan beradab, agar semua masyarakat mengecam
IPTEK secara merata. Disatu sisi telah terjadi perkembangan yang
sangat baik sekali di aspek telekomunikasi, namun pelaksanaan
pembangunan IPTEK masih belum merata.
Masih
banyak masyarakat kurang mampu
yang
putus harapannya untuk mendapatkan pengetahuan dan teknologi. Hal itu
dikarenakan tingginya
biaya pendidikan yang harus mereka tanggung. Maka
dari
itu pemerintah perlu menyikapi dan menanggapi masalah-masalah
tersebut, agar peranan IPTEK dapat bertujuan untuk meningkatkan
sumber daya manusia yang ada. Perkembangan
IPTEK disamping bermanfaat untuk
kemajuan
hidup Indonesia juga memberikan dampak negatif.
Hal
yang perlu diperhatikan dalam penerapan IPTEK untuk menekan dampaknya
seminimal mungkin antara lain:
1.
Menjaga
keserasian dan keseimbangan dengan lingkungan setempat.
2.
Teknologi
yang akan diterapkan hendaknya betul-betul dapat mencegah timbulnya
permasalahan di tempat itu.
3.
Memanfaatkan
seoptimal mungkin segala sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang ada.
Dengan
perkembangan dan kemajuan zaman dengan sendirinya pemanfaatan dan
penguatan IPTEK mutlak diperlukan untuk mencapaikesejahteraan bangsa.
Visi dan Misi IPTEK dirumuskan sebagai paduan untuk mengoptimalkan
setiap sumber daya IPTEK yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia.Undang-undang No.18 Tahun2002 tentang Sistem Nasional
Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang telah
berlaku sejak 29 Juli 2002, merupakan penjabaran dari visi dan misi
IPTEK sebagaimana termaksud dalam UUD 1945 Amandemen pasal 31 ayat 5,
agar dapat dilaksanakan oleh pemerintah beserta seluruh rakyat dengan
sebaik baiknya. Selain itu pula perkembangan IPTEK di berbagai bidang
di tengah perkembangan zaman yang semakin pesat semestinya dapat
meningkatkan kualitas Sumber
Daya
Manusia
di tengah bermunculannya dampak negatif dari adanya perkembangan
IPTEK, sehingga diperlukan pemikiran yang serius dan mantap dalam
menghadapi permasalahan dalam penemuan-penemuan baru tersebut.
Pengetahuan
yang dimiliki manusia ada dua jenis, yaitu:
1.
Dari luar manusia, ialah wahyu, yang hanya diyakini bagi mereka
yang
beriman kepada Allah SWT.
Ilmu dari wahyu diterima dengan yakin,
sifatnya
mutlak.
2.
Dari dalam diri manusia, dibagi dalam tiga kategori : pengetahuan,
ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Ilmu dari manusia diterima dengan kritis,
sifatnya
nisbi.
Al-Qur’an
dan As-Sunnah adalah sumber Islam yang isi keterangannya
mutlak
dan wajib diyakini (QS. Al-Baqarah/2:1-5 dan QS. An-Najm/53:3-4).
Dalam
sudut pandang filsafat ilmu, pengetahuan dengan ilmu sangat
berbeda
maknanya.
Pengetahuan
adalah segala sesuatu yang diketahui
manusia
melalui tangkapan panca
indra,
intuisi dan firasat sedangkan, ilmu
adalah
pengetahuan yang sudah diklasifikasi, diorganisasi, disistematisasi
dan
diinterpretasi sehingga menghasilkan kebenaran obyektif, sudah diuji
kebenarannya
dan dapat diuji ulang secara ilmiah.
Secara
etimologis kata
ilmu
berarti kejelasan, oleh karena itu segala yang terbentuk dari
akar katanya mempunyai ciri kejelasan. Dalam Al-Qur’an, ilmu
digunakan dalam
arti
proses pencapaian pengetahuan dan obyek pengetahuan sehingga
memperoleh
kejelasan. Dalam kajian filsafat, setiap ilmu membatasi diri pada
salah
satu bidang kajian.
Sebab
itu seseorang yang memperdalam ilmu
tertentu
disebut sebagai spesialis, sedangkan orang yang banyak tahu tetapi
tidak
mendalam disebut generalis.
Istilah
teknologi merupakan produk ilmu pengetahuan.
Dalam
sudut
pandang
budaya, teknologi merupakan salah satu unsur budaya sebagai hasil
penerapan
praktis dari ilmu pengetahuan.
Meskipun
pada dasarnya teknologi juga memiliki karakteristik obyektif dan
netral.
Dalam
situasi tertentu teknologi
tidak
netral lagi karena memiliki potensi untuk merusak dan potensi
kekuasaan.
Di
sinilah letak perbedaan ilmu pengetahuan dengan teknologi.
Teknologi
dapat membawa dampak positif berupa kemajuan dan
kesejahteraan
bagi manusia juga sebaliknya dapat membawa dampak negatif berupa
ketimpangan-ketimpangan dalam kehidupan manusia dan
lingkungannya
yang berakibat kehancuran alam semesta.
Dalam
pemikiran Islam,
ada
dua sumber ilmu yaitu akal dan wahyu.
Keduanya
tidak boleh dipertentangkan.
Manusia
diberi kebebasan dalam
mengembangkan
akal budinya berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan sunnah
rasul.
Atas dasar itu, ilmu dalam pemikiran Islam ada yang bersifat abadi
(perennial
knowledge) tingkat kebenarannya bersifat mutlak, karena
bersumber
dari Allah. Ada pula ilmu yang bersifat perolehan (aquired
knowledge)
tingkat kebenarannya bersifat nisbi, karena bersumber dari akal
pikiran manusia.
Dalam
pemikiran sekuler (perennial knowledge) yang bersumber dari
wahyu
Allah tidak diakui sebagai ilmu, bahkan mereka mempertentangkan
antara
wahyu dengan akal, agama dipertentangkan dengan ilmu.
Sedangkan
dalam
ajaran Islam wahyu dan akal, agama dan ilmu harus sejalan tidak
boleh
dipertentangkan.
Memang
demikian adanya karena hakikat agama
adalah
membimbing dan mengarahkan akal.
Definisi
Seni
Ensiklopedi
Indonesia
Di
dalam Ensiklopedia Indonesia dinyatakan bahwa seni merupakan ciptaan
segala hal karena keindahannya orang senang melihat atau
mendengarkannya.
Ki Hajar Dewantara
Ki
Hajar Dewantara berpendapat, seni adalah perbuatan manusia yang
timbul dari hidupnya, perasaan, dan bersifat indah sehingga dapat
menggetarkan jiwa perasaan manusia.
Akhdiat Karta
Miharja
Akhdiat
Karta Miharja berpendapat, seni adalah kegiatan rohani manusia yang
merefleksikan kenyataan dalam suatu karya, bentuk, dan isinya
mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam
rohani.
Prof. Drs. Suwaji
Bastomi
Hal
senada diungkapkan oleh Prof. Drs. Suwaji Bastomi bahwa seni adalah
aktivitas batin dengan pengalaman estetis yang dinyatakan dalam
bentuk agung, mempunyai daya untuk membangkitkan rasa takjub dan
haru.
Drs. Sudarmaji
Drs.
Sudarmaji berpendapat, seni adalah segala manifestasi batin dan
pengalaman estetis dengan menggunakan media garis, bidang, warna,
tekstur, volume, dan gelap terang.
Dari
beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa seni merupakan
hasil aktivitas batin yang direfleksikan dalam bentuk karya yang
dapat membangkitkan perasaan orang lain. Dalam pengertian ini yang
termasuk seni adalah kegiatan yang menghasilkan karya indah. Definisi
umum seni adalah segala macam keindahan yang diciptakan oleh manusia.
Pandangan
Islam tentang seni. Seni merupakan ekspresi keindahan. Dan keindahan
menjadi salah satu sifat yang dilekatkan Allah pada penciptaan jagat
raya ini. Allah melalui kalamnya di Al-Qur’an mengajak manusia
memandang seluruh jagat raya dengan segala keserasian dan
keindahannya. Allah berfirman: “Maka apakah mereka tidak melihat ke
langit yang ada di atas mereka, bagaimana Kami meninggikannya dan
menghiasinya, dan tiada baginya sedikit pun retak-retak?” [QS 50:
6].
Allah
itu indah dan menyukai keindahan. Inilah prinsip yang didoktrinkan
Nabi saw., kepada para sahabatnya. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa
Rasulullah saw. bersabda :
“Tidak
masuk surga orang yang di dalam hatinya terbetik sifat sombong
seberat atom.” Ada orang berkata,” Sesungguhnya seseorang senang
berpakaian bagus dan bersandal bagus.” Nabi bersabda,”
Sesungguhnya Allah Maha Indah, menyukai keindahan. Sedangkan sombong
adalah sikap menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” (HR.
Muslim).
Bahkan
salah satu mukjizat Al-Qur’an adalah bahasanya yang sangat indah,
sehingga para sastrawan arab dan bangsa arab pada umumnya merasa
kalah berhadapan dengan keindahan sastranya, keunggulan pola
redaksinya, spesifikasi irama, serta alur bahasanya, hingga sebagian
mereka menyebutnya sebagai sihir. Dalam membacanya, kita dituntut
untuk menggabungkan keindahan suara dan akurasi bacaannya dengan
irama tilawahnya sekaligus.
Rasulullah
bersabda :
“Hiasilah
Al-Qur’an dengan suaramu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I, Ibnu
Majah, Ibnu Hibban, Darimi)
Maka
manusia menyukai kesenian sebagai representasi dari fitrahnya
mencintai keindahan. Dan tak bisa dipisahkan lagi antara kesenian
dengan kehidupan manusia. Namun bagaimana dengan fenomena sekarang
yang ternyata dalam kehidupan sehari-hari nyanyian-nyanyian cinta
ataupun gambar-gambar seronok yang diklaim sebagai seni oleh
sebagian orang semakin marak menjadi konsumsi orang-orang bahkan
anak-anak.Sebaiknya di kembalikan kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bahwa dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Dan
diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu sebagai olok-olokan.
Mereka itu memperoleh azab yang menghinakan.” (Luqman:6)
Jikalau
kata-kata dalam nyanyian itu merupakan perkataan-perkataan yang tidak
berguna bahkan menyesatkan manusia dari jalan Allah, maka HARAM
nyanyian tersebut. Nyanyian-nyanyian yang membuat manusia terlena,
mengkhayalkan hal-hal yang tidak patut maka kesenian tersebut haram
hukumnya.
- Paradigma Hubungan Agama dan IPTEK
Perkembangan
iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek. Agama yang dimaksud
di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan
Penciptanya (dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia
dengan dirinya sendiri (dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian),
dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (dengan aturan mu’amalah
dan uqubat/sistem pidana). Dalam Al Qur’an surat Ali Imron ayat
190 – 191 yang artinya :
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,. (yaitu)
orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam
keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan
bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah
Kami dari siksa neraka.”
Dari
ayat diatas menjelaskan betapa pentingnya ilmu pengetahuan dan
teknologi untuk dipelajari dan dimiliki.
Secara
garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi yang mendasari hubungan
keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
Pertama,
paradagima sekuler,
yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu
sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah
dipisahkan dari kehidupan agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi
hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan
tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini
memandang agama dan IPTEK tidak bisa mencampuri dan mengintervensi
yang lainnya.
Kedua,
paradigma sosialis,
yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi
agama sama sekali. Agama itu tidak ada, tidak ada hubungan dan kaitan
apa pun dengan IPTEK. IPTEK bisa berjalan secara independen dan lepas
secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler
di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi
secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya
dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Berdasarkan
paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan IPTEK. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam
paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis. Paham Materialisme Dialektis adalah paham
yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus
menerus melalui proses dialektika, yaitu melalui
pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah mengandung
benih perkembangan itu sendiri. Sedang dalam paradigma sosialis,
agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist)
dan dibuang sama sekali dari kehidupan. Berdasarkan paradigma
sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama sekali dengan
iptek.
Ketiga,
paradigma Islam,
yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur
kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan.
Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan
al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu
asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu
pengetahuan manusia. Paradigma ini memerintahkan manusia untuk
membangun segala pemikirannya berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas
dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang pertama kali
turun:
“Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan.” (Qs. Al-Alaq
[96]: 1).
Ayat
ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu
tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan
bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang
merupakan asas Aqidah Islam. Paradigma inilah yang telah mencetak
muslim-muslim yang taat dan shaleh tapi sekaligus cerdas dalam iptek.
Itulah hasil dan prestasi cemerlang dari paradigma Islam ini yang
dapat dilihat pada masa kejayaan IPTEK Dunia Islam antara tahun 700 M
- 1400 M.
Pada
masa inilah dikenal nama-nama seperti :
1.
Jabir bin Hayyan (w. 721) sebagai ahli kimia termasyhur,
2.
Al-Khawarizmi (w. 780) sebagai ahli matematika dan astronomi,
3.
Al-Battani (w. 858) sebagai ahli astronomi dan matematika,
4.
Al-Razi (w. 884) sebagai pakar kedokteran, ophtalmologi, dan
kimia,
5.
Tsabit bin Qurrah (w. 908) sebagai ahli kedokteran dan teknik,
dan masih banyak lagi.
- Integrasi Iman, IPTEK dan Seni dalam Islam.
Diakui
bahwa iptek, disatu sisi telah memberikan banyak manfaat bagi
kehidupan umat manusia. Namun di sisi lain, iptek telah mendatangkan
“petaka” yang pada gilirannya mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Kemajuan dalam bidang iptek telah menimbulkan perubahan sangat cepat
dalam kehidupan umat manusia. Perubahan ini, selain sangat cepat
memiliki daya jangkau yang amat luas. Hampir tidak ada segi-segi
kehidupan yang tidak tersentuh oleh perubahan. Perubahan ini pada
kenyataannya telah menimbulkan pergeseran nilai nilai dalam kehidupan
umat manusia, termasuk di dalamnya nilai-nilai agama, moral, dan
kemanusiaan.
Dalam
perkembangannya lebih lanjut, setelah terjadi revolusi industri di
Barat , terutama sepanjang abad XVIII dan XIX, sains bahkan menjadi
“agama baru” atau “agama palsu”(Pseudo Religion). Dalam
kajian teologi modern di Barat, timbul mazhab baru yang dinamakan
“saintisme” dalam arti bahwa sains telah menjadi isme, ideologi
bahkan agama baru. Namun sejak pertengahan abad XX, terutama seteleh
terjadi penyalahgunaan iptek dalam perang dunia I dan perang dunia
II, banyak pihak mulai menyerukan perlunya integrasi ilmu dan agama,
iptek dan imtaq. Pembicaraan tentang iptek mulai dikaitkan dengan
moral dan agama hingga sekarang (ingat kasus kloning misalnya). Dalam
kaitan ini, keterkaitan iptek dengan moral (agama) di harapkan bukan
hanya pada aspek penggunaannya saja (aksiologi), tapi juga pada
pilihan objek (ontologi) dan metodologi (epistemologi)-nya sekaligus.
Di
Indonesia, gagasan tentang perlunya integrasi Imtaq dan iptek ini
sudah lama digulirkan. Hal ini, selain karena adanya problem dikotomi
antara apa yang dinamakan ilmu-ilmu umum (sains) dan ilmu-ilmu agama
(Islam), juga disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa pengembangan
iptek dalam sistem pendidikan kita tampaknya berjalan sendiri, tanpa
dukungan asas iman dan takwa yang kuat, sehingga pengembangan dan
kemajuan iptek tidak memiliki nilai tambah dan tidak memberikan
manfaat yang cukup berarti bagi kemajuan dan kemaslahatan umat dan
bangsa dalam arti yang seluas-luasnya.
Secara
lebih spesifik, integrasi Imtaq dan iptek ini diperlukan karena empat
alasan.
Pertama,
sebagaimana telah dikemukakan, iptek akan memberikan manfaat yang
sangat besar bagi kesejahteraan hidup umat manusia bila iptek
disertai oleh asas iman dan takwa kepada Allah SWT. Sebaliknya, tanpa
asas Imtaq, iptek bisa disalahgunakan pada tujuan-tujuan yang
bersifat destruktif. Iptek dapat mengancam nilai-nilai kemanusiaan.
Jika demikian, iptek hanya absah secara metodologis, tetapi batil dan
miskin secara maknawi.
Kedua,
pada kenyataannya, iptek yang menjadi dasar modernisme, telah
menimbulkan pola dan gaya hidup baru yang bersifat sekularistik,
materialistik, dan hedonistik, yang sangat berlawanan dengan
nilai-nilai budaya dan agama yang dianut oleh bangsa kita.
Ketiga,
dalam hidupnya, manusia tidak hanya memerlukan sepotong roti
(kebutuhan jasmani), tetapi juga membutuhkan Imtaq dan nilai-nilai
sorgawi (kebutuhan spiritual). Oleh karena itu, penekanan pada salah
satunya, hanya akan menyebabkan kehidupan menjadi pincang dan berat
sebelah, dan menyalahi hikmat kebijaksanaan Tuhan yang telah
menciptakan manusia dalam kesatuan jiwa raga, lahir dan bathin, dunia
dan akhirat.
Keempat,
Imtaq menjadi landasan dan dasar paling kuat yang akan mengantar
manusia menggapai kebahagiaan hidup. Tanpa dasar Imtaq, segala
atribut duniawi, seperti harta, pangkat, iptek, dan keturunan, tidak
akan mampu alias gagal mengantar manusia meraih kebahagiaan. Kemajuan
dalam semua itu, tanpa iman dan upaya mencari ridha Tuhan, hanya akan
mengahsilkan fatamorgana yang tidak menjanjikan apa-apa selain
bayangan palsu.
“Dan
orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di
tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu Dia tidak mendapatinya sesuatu
apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah
memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah
adalah sangat cepat perhitungan-Nya”. (Q.S. An-Nur:39).
Maka
integrasi Imtaq dan iptek harus diupayakan dalam format yang tepat
sehingga keduanya berjalan seimbang (hand in hand) dan dapat
mengantar kita meraih kebaikan dunia (hasanah fi al-Dunya) dan
kebaikan akhirat (hasanah fi al-akhirah) seperti do’a yang setiap
saat kita panjatkan kepada Tuhan:
“Dan
di antara mereka ada orang yang bendoa: “Ya Tuhan Kami, berilah
Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami
dari siksa neraka” (Q.S. Al-Baqarah :201).
Integrasi
Imtaq dan iptek, berarti, kita harus membongkar filsafat ilmu sekuler
yang selama ini dianut. Kita harus membangun epistemologi islami yang
bersifat integralistik yang menegaskan kesatuan ilmu dan kesatuan
Imtaq dan iptek dilihat dari sumbernya, yaitu Allah SWT seperti
banyak digagas oleh tokoh-tokoh pendidikan Islam kontemporer. Selain
pada pada aspek filsafat, orientasi, tujuan, dan epistemologi
pendidikan seperti telah diuraikan di atas, integrasi Imtaq dan iptek
itu perlu dilakukan dengan metode pembelajaran yang tepat. Pendidikan
Imtaq pada akhirnya harus berbicara tentang pendidikan agama (Islam)
di berbagai sekolah maupun perguruan tinggi. Untuk mendukung
integrasi pendidikan Imtaq dan iptek dalam sistem pendidikan nasional
kita, maka pendidikan agama Islam disemua jenjang pendidikan tersebut
harus dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik,
integralistik dan fungsional.
Dengan
pendekatan holistik, Islam harus dipahami secara utuh, tidak parsial
dan partikularistik. Pendidikan islam dapat mengikuti pola iman,
Islam dan Ihsan, atau pola iman, ibadah dan akhlakul karimah, tanpa
terpisah satu dengan yang lain, sehingga pendidikan Islam dan kajian
Islam tidak hanya melahirkan dan memparkaya pemikiran dan wacana
keislaman, tetapi sekaligus melahirkan kualitas moral (akhlaq al
karimah) yang menjadi tujuan dari agama itu sendiri. Pendidikan Islam
dengan pendekatan ini harus melahirkan budaya “berilmu amaliah dan
beramal ilmiah”. Integrasi ilmu dan amal, Imtaq dan iptek haruslah
menjadi ciri dan sekaligus nilai tambah dari pendidikan islam.
Secara
pendekatan integralistik, pendidikan agama tidak boleh terpisah dan
dipisahkan dari pendidikan sains dan teknologi. Pendidikan iptek
tidak harus dikeluarkan dari pusat kesadaran keagamaan dan keislaman
kita. Ini berarti, belajar sains tidak berkurang dan lebih rendah
nilainya dari belajar agama. Belajar sains merupakan perintah Tuhan
(Al -Quran), sama dan tidak berbeda dengan belajar agama itu sendiri.
Penghormatan Islam yang selama ini hanya diberikan kepada ulama
(pemuka agama) harus pula diberikan kepada kaum ilmuan (Saintis) dan
intelektual.
Secara
fungsional, pendidikan agama harus berguna bagi kemaslahatan umat dan
mampu menjawab tantangan dan pekembangan zaman demi kemuliaan Islam
dan kaum muslim. Dalam perspektif Islam ilmu memang tidak untuk ilmu
dan pendidikan tidak untuk pendidikan semata. Pendidikan dan
pengembangan ilmu dilakukan untuk kemaslahatan umat manusia yang
seluas-luasnya dalam kerangka ibadah kepada Allah SWT.
Semetara
dari segi metodologi, pendidikan dan pengajaran agama disemua jenjang
pendidikan tersebut, tidak cukup dengan metode rasional dengan
mengisi otak dan kecerdasan peserta didik semata-mata, sementara jiwa
dan spiritualitasnya dibiarkan kosong dan hampa. Pendidikan agama
perlu dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek afektif
melalui praktik dan pembiasaan, serta melalui pengalaman langsung dan
keteladanan prilaku dan amal sholeh. Dalam tradisi intelektual Islam
klasik, pada saat mana Islam mencapai puncak kejayaannya, aspek
pemikiran teoritik (al aql al nazhari) tidak pernah dipisahkan dari
aspek pengalaman praksis (al aql al amali). Pemikiran teoritis
bertugas mencari dan menemukan kebenaran, sedangkan pemikiran praksis
bertugas mewujudkan kebenaran yang ditemukan itu dalam kehidupan
nyata sehingga tugas dan kerja intelektual pada hakekatnya tidak
pernah terpisah dari realitas kehidupan umat dan bangsa. Dalam
paradigma ini, ilmu dan pengembangan ilmu tidak pernah bebas nilai.
Pengembangan iptek harus diberi nilai rabbani (nilai ketuhanan dan
nilai Imtaq), sejalan dengan semangat wahyu pertama, iqra’ bismi
rabbik. Ini berarti pengembangan iptek tidak boleh dilepaskan dari
Imtaq. Pengembangan iptek harus dilakukan untuk kemaslahatan
kemanusiaan yang sebesar-besarnya dan dilakukan dalam kerangka ibadah
kepada Allah SWT.
“Barang
siapa ingin menguasai dunia dengan ilmu, barang siapa ingin menguasai
akhirat dengan ilmu, dan barang siapa ingin menguasai kedua-duanya
juga harus dengan ilmu” (Al-Hadist).
Penanaman
kesadaran pentingnya nilai-nilai agama memberi jaminan kepada siswa
akan kebahagiaan dan keselamatan hidup, bukan saja selama di dunia
tapi juga kelak di akhirat. Jika hal itu dilakukan, tidak menutup
kemungkinan para siswa akan terhindar dari kemungkinan melakukan
perilaku menyimpang, yang justru akan merugikan masa depannya serta
memperburuk citra kepelajarannya. Untuk itu, komponen penting yang
terlibat dalam pembinaan keimanan dan ketakwaan (Imtaq) serta akhlak
siswa di sekolah adalah guru. Kendati faktor lain ikut mempengaruhi,
tapi dalam pembinaan siswa harus diakui guru faktor paling dominan.
Ia ujung tombak dan garda terdepan, yang memberi pengaruh kuat pada
pembentukan karakter siswa.
Tujuan
pendidikan sebenarnya mengisyaratkan, proses dan hasil harus
mempertimbangkan keseimbangan dan keserasian aspek pengembangan
intelektual dan aspek spiritual (rohani), tanpa memisahkan keduanya
secara dikhotomis. Namun praktiknya, aspek spiritual seringkali hanya
bertumpu pada peran guru agama. Ini dirasakan cukup berat, sehingga
pengembangan kedua aspek itu tidak berproses secara simultan. Upaya
melibatkan semua guru mata ajar agar menyisipkan unsur keimanan dan
ketakwaan (Imtaq) pada setiap pokok bahasan yang diajarkan,
sesungguhnya telah digagas oleh pihak Departeman Pendidikan Nasional
maupun Departemen Agama.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
Perkembangan
iptek dan seni, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek dan seni. Dari
uraian di atas dapat dipahami, bahwa peran Islam yang utama dalam
perkembangan iptek dan seni setidaknya ada 2 (dua). Pertama,
menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar
penggunaan iptek dan seni. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar
manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat
Islam dalam mengaplikasikan iptek dan seni.
Untuk
itu setiap muslim harus bisa memanfaatkan alam yang ada untuk
perkembangan iptek dan seni, tetapi harus tetap menjaga dan tidak
merusak yang ada. Yaitu dengan cara mencari ilmu dan mengamalkanya
dan tetap berpegang teguh pada syari’at Islam.
- Saran
Dengan
adanya makalah ini diharapkan para pembaca memahami bagaimana
sebenarnya paradigma islam itu dalam menyaikapi Ilmu pengetahuan,
Teknologi dan seni tersebut. Selain itu, para pembaca juga diharapkan
mampu memahami bagaimana integrasi Imtaq (Iman dan Taqwa) dalam Iptek
dan seni tersebut.
Karena
semakin berkembangnya zaman, keberadaan Iptek dan seni sangat
berpengaruh terhadap kepribadian hidup manusia. Untuk itu diperlukan
pegangan yang berfungsi sebagai pengendali akan adanya
perubahan-perubahan tersebut.
Akan
tetapi makalah kami masih jauh dari sempurna sehingga kritik dan
saran dari pembaca sangat kami butuhkan guna pembuatan makalah kami
berikutnya yang lebih baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman.
1969. ‘Aisyah, Maqa1 fi al-Insan; Dirasah Qur’aniyyah. Mesir: Dar
al-Ma’arif. Al-’Ainain, Ali Khalil Abu. 1980. Falsafah
at-Tarbiyah al-Islamiyyah fi al-Qur’an al-Karim. Mesir: Dar
al-Fikri al- ’Araby.
Asy-Syaibany, Omar Muhammad at-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ary, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Daradjat, Zakiah. 1992. llmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Muthahhari, Murtadha. 1986. Memahami al-Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein. Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj at-tarbiyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar asy-Syuruq.
Asy-Syaibany, Omar Muhammad at-Toumy. 1979. Falsafah Pendidikan Islam. Terj. Hasan Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang.
Asy’ary, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’an. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
Daradjat, Zakiah. 1992. llmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Bumi Aksara.
Idris, Zahara dan Lisma Jamal. 1992. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Gramedia.
Muthahhari, Murtadha. 1986. Memahami al-Qur’an. Terj. Agus Fahri Husein. Jakarta: Yayasan Bina Tauhid.
Mulkhan, Abdul Munir. 1993. Paradigma Intelektual Muslim: Pengantar Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah. Yogyakarta: SIPRESS.
Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah. Jakarta: UI-Press.
Nawawi, Hadari. 1993. Pendidikan daIam Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Quthb, Muhammad. 1993. Manhaj at-tarbiyah al-Islamiyyah. Kairo: Dar asy-Syuruq.
No comments:
Post a Comment