MAKALAH AIK IV
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Etika sangat
penting bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa
mempertimbangkan tujuan untuk kehidupan kemanusiaan dan
keberlangsungan lingkungan hidup baik hayati maupun non hayati adalah
pembunuhan diri eksistensi manusia. Etika merupakan salah satu bagian
dari teori tentang nilai atau yang dikenal dengan aksiologi.
Aksiologi itu sendiri ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat
nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di
dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan
masalah-masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika,
filsafat agama dan epistimologi.
Diberbagai media
massa banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan serangkaian
pemboman di berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris
tersebut ternyata menyisakan suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan
yang tidak didialogkan dengan permasalahan-permasalahan yang sudah
ada sebelumya dan tidak dikomunikasikan dengan ilmuwan agama lainnya
ternyata bisa menimbulkan korban manusia-manusia tak bersalah.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana hubungan ilmu dengan kemanusiaan ?
2.
Bagaimana hubungan ilmu dan kemaslahatan hidup ?
3.
Maanakah ayat-ayat yang berkaitan dengan etika islam dalam penerapan
ilmu?
C.
Tujuan Masalah
1.
Mengetahui Hubungan ilmu dengan kemanusiaan
2.
Mengetahui hubungan ilmu dan kemaslahatan hidup
3. Mengetahui
ayat ayat yang berkaitan dengan etika islam dalam penerapan ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
- ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN ILMU
- Pengertian Etika
Istilah
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai
banyak arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput,
kandang, kebiasaan/adat, akhlak,watak, perasaan, sikap, cara
berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti
dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.
Jadi, secara etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat
kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 –
mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu
pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata
‘etika’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang baru (Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 – mengutip dari Bertens 2000),
mempunyai arti :
- ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
- kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
- nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
“Etika
adalah studi tentang tingkah laku manusia, tidak hanya menentukan
kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga menyelidiki manfaat atau
kebaikan seluruh tingkah laku manusia”.
Apakah
Ilmu itu ?
Ilmu merupakan kata
yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu
yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam
bahasa Inggeris Ilmu biasanya dipadankan dengan kata science,
sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata
science umumnya diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu
Pengetahuan, meskipun secara konseptual mengacu paada makna yang
sama. Untuk lebih memahami pengertian Ilmu (science) di bawah ini
akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu
adalah pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara
bersistem menurut metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) itu
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Dari
pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung arti
pengetahuan, tapi pengetahuan dengan ciri-ciri khusus yaitu yang
tersusun secara sistematis atau menurut Moh Hatta (1954 : 5)
“Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu.
Ilmu
adalah kumpulan ( akumulasi ) dari banyak pengetahuan, sedangkan
pengetahuan merupakan kumpulan (akumulasi ) dari banyak
informasi .
- Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu
menempati kedudukan yang sangat penting dalam ajaran islam , hal ini
terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an yang memandang orang berilmu
dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi yang
banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu.
Didalam
Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya di gunakan lebih dari
780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana tercermin dari
AL qur’an sangat kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan
dengan ilmu, sehingga dapat menjadi ciri penting dari
agama
Islam sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani9
(1995;;
39) sebagai berikut ;‘’Salah
satu ciri yang membedakan Islam dengan yang lainnya adalah
penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al quran dan Al –sunah
mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan kearifan
,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat
tinggi’’
ALLah
s.w.t berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadilah ayat 11
“ALLah
meninggikan baberapa derajat (tingkatan) orang-orang yang beriman
diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmupengetahuan).dan ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat
di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang beriman dan
berilmu akan menjadi memperoleh kedudukan yang tinggi. Keimanan
yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong untuk menuntut ILmu
,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa
kecilnya manusia dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasa kepada
ALLah bila melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan
fuirman ALLah:
“sesungguhnya
yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah ulama
(orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping ayat
–ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat
istimewa, AL qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a
agar ditambahi ilmu, seprti tercantum dalam AL qur’an sursat
Thaha ayayt 114
“dan
katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan “.
Dalam
hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah satu wahana menambah
ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal menekeankan
pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman ALLah yang
pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat
5 yang artinya:
1.
bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2.
Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3.
Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4.
yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5.
Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589]
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Ayat
–ayat trersebut , jelas merupakan sumber motivasi bagi umat islam
untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu,untuk terus membaca
,sehingga posisi yang tinggi dihadapan ALLah akan tetap terjaga,
yang berearti juga rasa takut kepeada ALLah akan menjiwai seluruh
aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh ,
dengan demikian nampak bahwa keimanan yang dibarengi denga ilmu akan
membuahkan amal ,sehingga Nurcholis Madjd (1992: 130) meyebutkan
bahwa keimanan dan amal perbuatan membentuk segi tiga pola hidup yang
kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal .
Ilmu
sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia
dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya.
Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para
ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi
kehidupan manusia agar tidak menimbulkan dampak negatif.
- Peran Islam Dalam Perkembangan Iptek
- Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan, sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
- Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat (pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek, jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya, walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia
- Hal Hal Yang Berkaitan Peran Islam Dalam Perkembangan Iptek
- Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Untuk
memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu
pengetahuan (sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang
diperoleh melalui proses yang disebut metode ilmiah (scientific
method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992). Sedang teknologi adalah
pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan ilmu pengetahuan
dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri, 1986).
Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran
untuk memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999).
Agama yang dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang
diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur
hubungan manusia dengan Penciptanya (dengan aqidah dan aturan
ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri (dengan aturan
akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan manusia
lainnya (dengan aturan muamalah dan uqubat/sistem pidana)
(An-Nabhani, 2001).
Bagaimana
hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan
ideologi yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis
paradigma :
- Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah dipisahkan dari kehidupan (fashl al-dinan al-hayah). Agama tidak dinafikan eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan pengetahuan).
- Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama sekali dari kehidupan.
Paradigma
tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis dan
memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama
menurutnya membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme
yang kejam. Karl Marx mengatakan:
Religion
is the sigh of the oppressed creature, the heart of the heartless
world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the
opium of the people.
(Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia
yang tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi
yang tanpa ruh/spirit. Agama
adalah candu bagi rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The
Critique of Hegels Philosophy of Right, termuat dalam On Religion,
1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan
paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya sama
sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam
paradigma sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya
Materialisme Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme
Dialektis adalah paham yang memandang adanya keseluruhan proses
perubahan yang terjadi terus menerus melalui proses dialektika, yaitu
melalui pertentangan-pertentangan yang ada pada materi yang sudah
mengandung benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000: 110).
- Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma
ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya
berdasarkan Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita
pahami dari ayat yang pertama kali turun :
1). bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (Qs. sl-Alaq [96]:
1).
Ayat
ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu
tidak boleh lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan
bismi rabbika, yaitu tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang
merupakan asas Aqidah Islam (Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma
Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan bukan
berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu
(Yahya Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT:
kepunyaan
Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah
(pengetahuan) Allah Maha meliputi segala sesuatu. (Qs.
an-Nisaa` [4]: 126). Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan
seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu
mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs.
ath-Thalaq [65]: 12).
- Aqidah Islam Sebagai Dasar Iptek
Inilah
peran pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam
harus dijadikan basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah
paradigma Islam sebagaimana yang telah dibawa oleh Rasulullah
Saw.Paradigma Islam inilah yang seharusnya diadopsi oleh kaum
muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada sekarang.
Diakui
atau tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap
membebek dan mengekor Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan
hidup, gaya hidup, termasuk dalam konsep ilmu pengetahuan.
Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa menjelaskan, mengapa
di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam, diajarkan sistem
ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal haram.
Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap
diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan
keimanan muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus
bertolak belakang dengan Aqidah Islam.
Kekeliruan
paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan
fundamental dan perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma
sekuler yang ada saat ini, dengan paradigma Islam yang memandang
bahwa Aqidah Islam (bukan paham sekularisme) yang seharusnya
dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan manusia.
Namun
di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus
bersumber dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep
iptek harus distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur
al-Qur`an dan al-Hadits dan tidak boleh bertentangan dengan keduanya
(Al-Baghdadi, 1996: 12).
- Syariah Islam Standar Pemanfaatan Iptek
Peran
kedua Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam
harus dijadikan standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram
(hukum-hukum syariah Islam) wajib dijadikan tolok ukur dalam
pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga bentuknya. Iptek yang boleh
dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh syariah Islam.
Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Keharusan
tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits
yang mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk
menggunakan iptek) dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara
lain firman Allah:
“Maka demi
Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan,
kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya”. (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
Ikutilah apa yang
diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (daripadanya). (Qs. al-Araaf [7]: 3). [528] Maksudnya:
pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada kesesatan.
Sabda
Rasulullah Saw:
“Barangsiapa
yang melakukan perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka
perbuatan itu tertolak”.
[HR. Muslim].
Berikut ini akan
dijelaskan tentang hubungan ilmu dan kemanusiaan,hubungan ilmu dan
kemaslahatan hidup,serta ayat-ayat alquran dan hadisnya.
A.
ILMU DAN KEMANUSIAAN
Filsafat merupakan
kajian ilmu yang sangat dipertimbangkan dalam melakukan pelbagai
bentuk tindakan manusia. Kajian ilmu tersebut diharapkan agar manusia
memanfaatkan alam ini dengan bijak sesuai dengan kebutuhan yang tidak
berlebihan pula agar alam yang kita tempati ini tidak rusak dan
menjadi bencana bagi umat manusia.
Hubungan ilmu dengan
kemanusiaan sangatlah erat sekali dikarenakan ilmu bisa berkembang
karena keberadaan manusia,manusia mewujudkan sifat-sifat baiknya
untuk memelihara kelangsungan hidup ini didunia dan manusia memenuhi
kebutuhan hidupnya juga dengan ilmu.Hal ini sesuai dengan firman
Alloh SWT didalam Al-Qur’an yaitu mnusia diciptakan oleh Alloh
sebagai kholifah di bumi sebagai wakil tuhan untuk menjaga kehidupan
didunia ini.
Tentunya degan ilmu
manusia akan diarahkan kepada hal yang baik menurut dirinya dan
bermanfaat untuk lainnya. Dan manusialah yang bisa mengembangkan
keilmuaannnya yang didapat melalui proses berpikir.
- Hubungan Antara Ilmu Dan Kemanusiaan
Pada masa lampau
kedudukan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat
dirasakan. Ilmu sama sekali tidak memberikan pengaruhnya terhadap
masyarakat. Ungkapan Aristoteles tentang ilmu “Umat manusia
menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia arahkan
perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. (Van Melsen,1987).
Dewasa ini ilmu
menjadi sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari, seolah-olah
manusia tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan. Kebutuhan yang
sederhanapun sekarang memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan sandang,
papan ,dan papan sangat tergantung dengan ilmu. Maka kegiatan ilmiah
dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut.
1.
Segala sesuatu dalam realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan
saja untuk mengerti realitas dengan lebih baik, melainkan juga untuk
menguasainya lebih mendalam menurut segala aspeknya.
2.
Semua aspek realitas membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti
air, makanan , udara, cahaya, kehangatan, dan tempat tinggal tidak
akan cukup untuk penyelidikan itu. (Van Melsen,1987).[1]
Dengan demikian,
ilmu pada dewasa ini mengalami fungsi yang berubah secara radikal,
dari tidak berguna sama sekali dalam kehidupan praktis menjadi “
tempat tergantung “ kehidupan manusia. Oleh karena itu keterkaitan
ilmu dengan kemanusiaan sangatlah erat hubungannya dan tidak dapat
dipisahkan sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan ilmu tanpa manusia
tidak akan berkembang pesat sampai sekarang ini dan manusia tanpa
ilmu juga tidak dapat hidup untuk proses pemenuhan kebutuhan yang
kompleks.
Walaupun pada zaman
dahulu sering kita ketahui dalam sejarah peradaban manusia saat itu
memanfaatkan ilmu hanya untuk berperang dan menguasai daerah jajahan
baru sehingga peran serta ilmu itu sendiri jauh dari harapan manusia
dalam segi nilai dan moralitas. Dan inilah yang mengubah pemikiran
manusia saat ini untuk mencapai hakekat daripada keilmuan itu.
Kita ketahui juga
ilmu saat ini berkembang dengan pesat yang mempengaruhi reproduksi
dan penciptaan manusia itu sendiri. Jadi, ilmu bukan saja menimbulkan
gejala dehumanisasi namun bahkan kemungkinan mengubah hakikat
kemanusiaan itu sendiri, atau dengan ilmu bukanlah sarana yang
membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri.[2]
Dengan ilmu manusia
dapat memanfaatkan segala sesuatu didasari nilai yang positif
sehingga dalam kehidupan bersosialnya dapat terjalin hubungan yang
serasi, seimbang, selaras.
2.
Manfaat Ilmu bagi Kemanusiaan
Ilmu pada dasarnya
mengungkap realitas sebagaimana adanya.Hasil-hasil kegiatan keilmuan
memberikan alternatif kepada manusia untuk mengambil suatu keputusan
yang menurut dirinya menjadi keputusan yang terbaik, walaupun
nantinya keputusan itu dianggap kurang tepat oleh manusia lain. Akan
tetapi hakikat kebenaran pastinya akan dimanfaatkan oleh manusia
secara umum karena sifat daripada kebenaran yang mengungkap adalah
waktu.
Menghadapi kenyataan
seperti ini, ilmu yang mempelajari alam sebagaimana adanya mulai
mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya: untuk apa sebenarnya
ilmu itu harus dipergunakan ? dimana batas wewenang penjelejahan
keilmuan? Kearah mana pengembangan keilmuan harus diarahkan?
Pertanyaan ini jelas tidak merupakan urgensi ilmuwan seperti
Copernicus, Galileo, dan ilmuwan seangkatannya, namun bagi ilmuwan
yang hidup dalam abad kedua puluh yang telah mengalami dua kali
perang dunia dan hidup dalam bayangan perang dunia ketiga,
pertanyaan-pertanyaan tidak dapat dielakkan. Dan untuk menjawab
pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Banyaknya kejadian
yang melanda umat manusia dewasa ini, manusia semakin menyadari bahwa
manfaat ilmu sangat penting membentuk etika, moral, norma, dan
kesusilaan.
Arti kesusilaan
menurut Leibniz filsuf pada zaman modern berpendapat bahwa kesusilaan
adalah hasil suatu “ menjadi” yang terjadi di dalam jiwa.
Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kehendak yang
sadar, yang berarti sampai kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh
lengkap, disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Apa yang benar-benar
kita kehendaki telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah
yang gelap. (Harun Hadiwijoyo, 1990, hlm. 44-45). Oleh karena itu,
tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan perkembangan itu dalam
diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan batin
kita.[3]
C.
fungsi manusia dalam perkembangan ilmu
Manusia merupakan
makhluk yang sangat sempurna dibanding dengan makluk-makluk ciptaan
Alloh yang lain di muka bumi ini.Dengan dibekali pembawaan dari Alloh
SWT berupa akal untuk mengelola keseimbangan alam ini.Tujuan Alloh
menciptakan manusia itu sendiri adalah sebagai wakil atau kholifah
secara langsung di muka bumi ini agar tujuan hidup menjadi serasi,
selaras, seimbang.
Manusia mendapatkan
ilmu melalui perantaraan kalam yang diciptakan oleh Alloh.Hal ini
sesuai dengan firman Alloh surat Al-Alaq Ayat 1-5 sebagai berikut :
اقْرَØ£ْ
بِاسْÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّØ°ِÙŠ Ø®َÙ„َÙ‚َ (Ù¡)Ø®َÙ„َÙ‚َ
الإنْسَانَ Ù…ِÙ†ْ عَÙ„َÙ‚ٍ (Ù¢)اقْرَØ£ْ
ÙˆَرَبُّÙƒَ الأكْرَÙ…ُ (Ù£)الَّØ°ِÙŠ
عَÙ„َّÙ…َ بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ (Ù¤)عَÙ„َّÙ…َ
الإنْسَانَ Ù…َا Ù„َÙ…ْ ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ (Ù¥)
Artinya:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang
Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dapat kita ketahui
tentang ayat diatas bahwa Alloh menciptakan manusia dengan penuh
kasih sayang dan kesempurnaan baik secara fisik dan rohani. Dengan
dibekali hal diatas maka fungsi manusia terhadap ilmu adalah
menemukan, mengembangkan, menciptakan, kemudian mengevaluasi terhadap
ilmu yang didapatnya melalui proses berpikir yang alami dan
sistematis. dengan pemikiran seperti itu manusia bisa membagi atau
memetakan suatu ilmu degan spesifikasi tertentu yang berkembang saat
ini dan sudah dimanfaatkan oleh manusia.
Ilmu merupakan
cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu, meskipun secara
metodoloigis ilmu tidak membedakan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu
sosial secara garis besar.
Berhubungan dengan
ilmu sosial maka ada keterkaitan antara manusia dengan kemanusiaan
sehingga melahirkan konsep ilmu itu sendiri yaitu :
1.
Interaksi
2.
saling ketergantungan
3.
Kesinambungan dan Perubahan
4.
Keragaman/Kesamaan/Perbedaan
5.
Konflik dan konsensus
6.
Pola (Pattern)
7.
Tempat atau lokasi
8.
Kekuasaan atau Power
9.
Nilai Kepercayaan
10. Keadilan
Dan Pemerataan
11. Kelangkaan
12. Kekhususan
13. Budaya
(Culture)
14.
Nasionalisme.[4]
- Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani
Kehidupan secara
lebih baik merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh manusia dalam
kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara lebih baik manusia perlu
untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu dapat melalui
pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri dan
dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama.
Dalam
paper kerja ini kami akan membahas tentang unsur-unsur pembentuk
manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup lebih baik. Dengan
kata lain, konteks filsafat
budaya sebagai ilmu tentang kahidupan manusia
akan lebih disempitkan atau dibatasi pada kerangka berpikir
pembentukan
manusia yang lebih baik.
Pembentukan manusia yang lebih baik bukan dalam arti moral; baik
buruknya manusia, tetapi dalam arti pembentukan manusia sebagai
makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif filsafat budaya,
yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis. Filsafat
bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat
adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok
mencoba mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur
pembentuk itu antara lain:
(1) pengetahuan
manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya;
(2)
manusia dalam hubungannya dengan hidup komunitas;
dan
(3)
agama membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi
unsur yang penting dalam usaha membentuk manusia yang lebih baik.
Dengan pengetahuan yang memadai manusia dapat mengembangkan diri dan
hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum dalam pengetahuan,
dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini ilmu
lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari
pengetahuan. Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk
memahami hidup manusia dan secara kritis dilihat oleh ilmu.
Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih pada pengetahuan manusia
tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia mengetahui dan
mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih sempurna
dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu
manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau
dunianya. Dengan pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau
lingkungannya, manusia dapat mengadaptasikan dirinya secara cepat dan
lebih mudah.
Manusia ternyata
tidak hidup sendirian dalam dunianya. Ia hidup dalam hubungan dengan
dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan hakikat dari manusia,
yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain untuk
dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara
lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia
pada hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam
suatu komunitas tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi,
kebersamaannya dengan orang lain dalam suatu komunitas inilah yang
turut menentukan pembentukan yang memperkenankan manusia itu hidup
atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna dalam dunianya.
Unsur lain yang
menurut kelompok dapat membantu membentuk manusia sehingga manusia
dapat hidup secara lebih baik, lebih bijaksana adalah agama. Dengan
kata lain, agama mengandung nilai-nilai universal yang pada
hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Ketiga unsur
pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan
dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.
I.
Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan
sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan
salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan
manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia
adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya.
Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai
tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah
dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam
hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada
manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan
dirinya.
Pengetahuan
merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi makhluk yang memilikinya.
Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia menguasai makhluk
lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam lingkungan
manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik
bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan
menjadikan manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain,
dan itu membentuk manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan
manusia begitu kompleks. Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena
dilaksanakan oleh suatu makhluk yang bersifat daging dan jiwa
sekaligus, maka pengetahuan manusia merupakan sekaligus
inderawi
dan intelektif.
Pengetahuan dikatakan inderawi
lahir atau luar bila
pengetahuan itu mencapai secara langsung, melalui penglihatan,
pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba, kenyataan yang
mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi
batin
ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan
dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada
maupun yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan
intelektif
merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana
pengetahuan yang dimiliki manusia tentang dirinya dan dunianya dapat
membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik? Manusia mengetahui
dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan kekurangan yang
ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti
menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam
dunianya itu, baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri
maupun tantangan yang diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia
dapat diatasi dengan apa yang ada dalam dunianya. Tentu saja melalui
suatu relasi, baik relasi dengan orang lain maupun relasi dengan
alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya membantu
manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah
satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui
pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang
diharuskan untuk seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan
yang membedakannya dari semua binatang.
Jadi, melalui
pengetahuanlah manusia mempunyai hubungan dengan dirinya, dunia dan
orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda dimanisfestasikan dan
orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri dirnya. Melalui
pengetahuan pula manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat
membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan manusia
dapat melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak
menjadi baik berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui
pengetahuan manusia dapat mengenal dirinya, orang lain dan dunia di
sekitarnya, sehingga ia mampu menempatkan dirinya dalam dunianya itu
(dapat beradaptasi dengan dunianya).
II.
Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum
komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan
manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang
diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan
atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang
lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti
sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia
yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama.
Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu
yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja
sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu
setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau
bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin
dicapai.
Akan tetapi serentak
pula tak dapat disangkal bahwa melalui kehidupan komunitas
kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses sosialisai dan
internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam hidup
komunitas itu disampaikan kepada setiap individu (anggota
persekutuan). Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan
dalam diri setiap individu.
Dalam hubungan
dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik, maka
pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah kehidupan komunitas
dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau lebih
bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan
di atas maka dapat dikatakan bahwa kehidupan komunitas dapat
membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat dikatakan demikian
karena pada dasarnya kodrat manusia adalah makhluk
sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya
atau orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada
bersama dengan orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain
dan membentuk suatu persekutuan yang disebut sebagai komunitas.
Mereka membentuk hidup besama karena ada nilai yang ingin dicapai
secara bersama. Nilai yang ingin dicapai adalah membentuk
hidup secara lebih baik.
Nilai hidup
secara lebih baik
itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam
komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai yang diinginkan
itu (membentuk
hidup secara lebih baik),
kemudian disosialisasikan kepada individu (anggota komunitas) dan
selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi pegangan dalam
dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui kehidupan
komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat
nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang
membentuk manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis
dalam hidup.
III.
Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah
diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik,
yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya,
yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara
yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah
dunianya. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan
penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya,
terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan
bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung
ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami
sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup
yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam
perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara
internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat
dilepaskan dari agama dalam kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa
agama menjadi sarana di mana manusia dapat memenuhi keinginannya
untuk dapat hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata lain agama
membantu manusia untuk dapat hidup lebih baik. Melalui agama manusia
dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya yang lengkap
sehingga menjadi suatu microcosmos
yang sempurna dalam macrocosmos.
Setiap agama umumnya
mengajarkan kepada para penganut atau pengikutnnya untuk hidup
sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia maupun di hadapan
yang ilahi. Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia kepada
hidup yang lebih baik. Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih
baik, lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam
diri manusia itu.
BAB
III
PENUTUP
- Kesimpulan
- Ilmu sangat bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak menimbulkan dampak negatif.
- Peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua). Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan. Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek. Jika dua peran ini dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita simak firman-Nya: “Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Qs. al-A’raaf [7]: 96).
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin Salam,
1998. Pengantar
Filsafat,
Jakarta, Bina Aksara
Hartono Kasmadi,
dkk. 1990. Filsafat
Ilmu, Semarang,
IKIP Semarang Press
Hasbullah Bakry,
1986, Sistematika
Filsafat, Jakarta,
Wijaya.
Jan Hendrik Rapat,
1996. Pengantar
Filsafat,
Yogyakarta, Kanisius
Jujun S.
Suriasumantri, tt. Filsafat
Ilmu, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Solihatin Etin,
Rahardjo, 2008, Cooperative
Learning,
Jakarta, PT. Bumi Aksara
Surajiyo, 2008,
Fislafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta:
PT. Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment