MAKALAH
Al Islam Kemuhammadiyahan (AIK) IV
ETIKA ISLAM
DALAM PENERAPAN ILMU
Oleh :
Kelompok IX
FARADIBA
:10536 4622 13
NURFAJRI
INDASARI :10536 4623 13
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas
rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah AIK IV
ini dengan tepat waktu. Dalam menulis
makalah ini, tidak sedikit masalah dan rintangan yang dihadapi oleh penulis,
namun berkat bantuan dari berbagai pihak yang telah berpartisipasi dalam
pembuatan makalah ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini
walaupun dengan banyak kekurangan. Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis
ucapkan kepada Bapak Dr. Tasming Tangngareng, M.Ag. selaku dosen pembimbing
mata kuliah AIK IV yang telah banyak membimbing penulis dalam pembuatan makalah
ini. Terimah kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada berbagai
pihak yang tidak\ bisa penulis ucapkan satu-persatu. Akhir kata penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan perbaikan dalam
menyusun makalah kedepannya, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Makassar, 13 Maret 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Etika
sangat penting bagi pengembangan ilmu, apapun disiplinnya. Tanpa
mempertimbangkan tujuan untuk kehidupan kemanusiaan dan keberlangsungan
lingkungan hidup baik hayati maupun non hayati adalah pembunuhan diri eksistensi
manusia. Etika merupakan salah satu bagian dari teori tentang nilai atau yang
dikenal dengan aksiologi. Aksiologi itu sendiri ialah ilmu pengetahuan yang
menyelidiki hakekat nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan
kefilsafatan. Di dunia ini terdapat banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan
dengan masalah-masalah nilai yang khusus seperti ekonomi, estetika, etika,
filsafat agama dan epistimologi.
Diberbagai
media massa banyak membicarakan tentang teroris yang melakukan serangkaian pemboman
di berbagai tempat di Indonesia. Di balik bom teroris tersebut ternyata
menyisakan suatu masalah bahwa pemahaman keagamaan yang tidak didialogkan
dengan permasalahan-permasalahan yang sudah ada sebelumya dan tidak
dikomunikasikan dengan ilmuwan agama lainnya ternyata bisa menimbulkan korban
manusia-manusia tak bersalah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
hubungan ilmu dengan kemanusiaan ?
3. Maanakah
ayat-ayat yang berkaitan dengan etika islam dalam penerapan ilmu?
C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui Hubungan ilmu dengan kemanusiaan
2. Mengetahui hubungan ilmu dan kemaslahatan hidup
3. Mengetahui ayat ayat yang berkaitan dengan
etika islam dalam penerapan ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ETIKA ISLAM DALAM PENERAPAN ILMU
1.
Pengertian Etika
Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata ‘etika’
yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu ta etha. Ethos mempunyai banyak
arti yaitu : tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat,
akhlak,watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat
kebiasaan.
Arti dari bentuk jamak inilah yang melatar-belakangi terbentuknya istilah
Etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara
etimologis (asal usul kata), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang
biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (K.Bertens, 2000).
Dalam Kamus Bahasa Indonesia yang lama (Poerwadarminta, sejak 1953 –
mengutip dari Bertens,2000), etika mempunyai arti sebagai : “ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral)”. Sedangkan kata ‘etika’ dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia yang baru (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1988 –
mengutip dari Bertens 2000), mempunyai arti :
1.
ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak);
2.
kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak;
3.
nilai mengenai benar dan salah
yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
“Etika adalah studi tentang tingkah laku
manusia, tidak hanya menentukan kebenarannya sebagaimana adanya, tetapi juga
menyelidiki manfaat atau kebaikan seluruh tingkah laku manusia”.
Apakah
Ilmu itu ?
Ilmu
merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari ‘alima – ya’lamu yang
berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa Inggeris Ilmu
biasanya dipadankan dengan kata science, sedang pengetahuan dengan knowledge. Dalam bahasa Indonesia kata science umumnya
diartikan Ilmu tapi sering juga diartikan dengan Ilmu Pengetahuan, meskipun
secara konseptual mengacu paada makna yang sama. Untuk lebih memahami
pengertian Ilmu (science) di bawah ini akan dikemukakan beberapa pengertian :
“Ilmu adalah
pengetahuan tentang sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut
metode-metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu dibidang (pengetahuan) itu (Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Dari pengertian di atas nampak bahwa Ilmu memang mengandung arti pengetahuan, tapi pengetahuan dengan ciri-ciri
khusus yaitu yang tersusun secara sistematis atau menurut Moh Hatta (1954 : 5)
“Pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan disebut Ilmu.
Ilmu adalah
kumpulan ( akumulasi ) dari banyak pengetahuan, sedangkan pengetahuan merupakan
kumpulan (akumulasi ) dari banyak informasi .
B. Kedudukan Ilmu Menurut Islam
Ilmu menempati kedudukan yang sangat penting dalam
ajaran islam , hal ini terlihat dari banyaknya ayat AL qur’an yang memandang
orang berilmu dalam posisi yang tinggi dan mulya disamping hadis-hadis nabi
yang banyak memberi dorongan bagi umatnya untuk terus menuntut ilmu. Didalam Al qur’an , kata ilmu dan kata-kata jadianya
di gunakan lebih dari 780 kali , ini bermakna bahwa ajaran Islam sebagaimana
tercermin dari AL qur’an sangat
kental dengan nuansa nuansa yang berkaitan dengan ilmu, sehingga dapat menjadi
ciri penting dari agama Islam
sebagamana dikemukakan oleh Dr Mahadi Ghulsyani9 (1995;; 39)
sebagai berikut ;‘’Salah satu ciri yang membedakan
Islam dengan yang lainnya adalah penekanannya terhadap masalah ilmu (sains), Al
quran dan Al –sunah mengajak kaum muslim untuk mencari dan mendapatkan Ilmu dan
kearifan ,serta menempatkan orang-orang yang berpengetahuan pada derajat
tinggi’’
ALLah s.w.t
berfirman dalam AL qur;’an surat AL Mujadilah ayat 11
“ALLah meninggikan baberapa derajat (tingkatan)
orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang berilmu (diberi
ilmupengetahuan).dan ALLAH maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Ayat di atas dengan jelas menunjukan bahwa orang yang
beriman dan berilmu akan menjadi memperoleh
kedudukan yang tinggi. Keimanan yang dimiliki seseorang akan menjadi pendorong
untuk menuntut ILmu ,dan Ilmu yang dimiliki seseorang akan membuat dia sadar betapa
kecilnya manusia dihadapan ALLah ,sehingga akan tumbuh rasa kepada ALLah bila
melakukan hal-hal yang dilarangnya, hal ini sejalan dengan fuirman ALLah:
“sesungguhnya yang takut kepada allah diantara hamba –hambanya hanyaklah
ulama (orang berilmu) ; (surat faatir:28)
Disamping
ayat –ayat Qur’an yang memposisikan Ilmu dan orang berilmu sangat istimewa, AL
qur’an juga mendorong umat islam untuk berdo’a agar ditambahi ilmu, seprti tercantum dalam AL qur’an sursat Thaha
ayayt 114
“dan
katakanlah, tuhanku ,tambahkanlah kepadaku ilmu penggetahuan “.
Dalam hubungan inilah konsep membaca, sebagai salah
satu wahana menambah ilmu ,menjadi sangat penting,dan islam telah sejak awal
menekeankan pentingnya membaca , sebagaimana terlihat dari firman ALLah yang
pertama diturunkan yaitu surat Al Alaq ayat 1sampai dengan ayat 5 yang artinya:
1. bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang
mengajar (manusia) dengan perantaran kalam[1589],
5. Dia
mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
[1589]
Maksudnya: Allah mengajar manusia dengan perantaraan tulis baca.
Ayat –ayat trersebut , jelas merupakan sumber motivasi
bagi umat islam untuk tidak pernah berhenti menuntut ilmu,untuk terus membaca
,sehingga posisi yang tinggi dihadapan
ALLah akan tetap terjaga, yang berearti juga rasa takut kepeada ALLah akan
menjiwai seluruh aktivitas kehidupan manusia untuk melakukan amal shaleh , dengan demikian nampak bahwa
keimanan yang dibarengi denga ilmu akan membuahkan amal ,sehingga Nurcholis
Madjd (1992: 130) meyebutkan bahwa keimanan dan amal perbuatan membentuk segi
tiga pola hidup yang kukuh ini seolah menengahi antara iman dan amal .
Ilmu sangat
bermanfaat, tetapi juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta
tergantung dengan orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu perlu ada etika,
ukuran-ukuran yang diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan
pengembangan ilmu dan aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak menimbulkan
dampak negatif.
C.
Peran Islam Dalam Perkembangan
Iptek
1.
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma ilmu pengetahuan. Paradigma
inilah yang seharusnya dimiliki umat Islam, bukan paradigma sekuler seperti
yang ada sekarang. Paradigma Islam ini menyatakan bahwa Aqidah Islam wajib
dijadikan landasan pemikiran (qaidah fikriyah) bagi seluruh bangunan ilmu
pengetahuan. Ini bukan berarti menjadi Aqidah Islam sebagai sumber segala macam
ilmu pengetahuan, melainkan menjadi standar bagi segala ilmu pengetahuan. Maka
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan Aqidah Islam dapat diterima dan diamalkan,
sedang yang bertentangan dengannya, wajib ditolak dan tidak boleh diamalkan.
2.
Kedua, menjadikan Syariah Islam (yang lahir dari Aqidah Islam) sebagai standar
bagi pemanfaatan iptek dalam kehidupan sehari-hari. Standar atau kriteria
inilah yang seharusnya yang digunakan umat Islam, bukan standar manfaat
(pragmatisme/utilitarianisme) seperti yang ada sekarang. Standar syariah ini
mengatur, bahwa boleh tidaknya pemanfaatan iptek, didasarkan pada ketentuan
halal-haram (hukum-hukum syariah Islam). Umat Islam boleh memanfaatkan iptek,
jika telah dihalalkan oleh Syariah Islam. Sebaliknya jika suatu aspek iptek
telah diharamkan oleh Syariah, maka tidak boleh umat Islam memanfaatkannya,
walau pun ia menghasilkan manfaat sesaat untuk memenuhi kebutuhan manusia
D. Hal Hal Yang
Berkaitan Peran Islam Dalam Perkembangan
Iptek
1.
Paradigma Hubungan Agama-Iptek
Untuk
memperjelas, akan disebutkan dulu beberapa pengertian dasar. Ilmu pengetahuan
(sains) adalah pengetahuan tentang gejala alam yang diperoleh melalui proses
yang disebut metode ilmiah (scientific method) (Jujun S. Suriasumantri, 1992).
Sedang teknologi adalah pengetahuan dan ketrampilan yang merupakan penerapan
ilmu pengetahuan dalam kehidupan manusia sehari-hari (Jujun S. Suriasumantri,
1986). Perkembangan iptek, adalah hasil dari segala langkah dan pemikiran untuk
memperluas, memperdalam, dan mengembangkan iptek (Agus, 1999). Agama yang
dimaksud di sini, adalah agama Islam, yaitu agama yang diturunkan Allah SWT
kepada Nabi Muhammad Saw, untuk mengatur hubungan manusia dengan Penciptanya
(dengan aqidah dan aturan ibadah), hubungan manusia dengan dirinya sendiri
(dengan aturan akhlak, makanan, dan pakaian), dan hubungan manusia dengan
manusia lainnya (dengan aturan muamalah dan uqubat/sistem pidana) (An-Nabhani,
2001).
Bagaimana
hubungan agama dan iptek? Secara garis besar, berdasarkan tinjauan ideologi
yang mendasari hubungan keduanya, terdapat 3 (tiga) jenis paradigma :
a.
Pertama, paradagima sekuler, yaitu paradigma yang memandang agama dan iptek adalah
terpisah satu sama lain. Sebab, dalam ideologi sekularisme Barat, agama telah
dipisahkan dari kehidupan (fashl al-dinan al-hayah). Agama tidak dinafikan
eksistensinya, tapi hanya dibatasi perannya dalam hubungan pribadi manusia
dengan tuhannya. Agama tidak mengatur kehidupan umum/publik. Paradigma ini
memandang agama dan iptek tidak bisa mencampuri dan mengintervensi yang
lainnya. Agama dan iptek sama sekali terpisah baik secara ontologis (berkaitan
dengan pengertian atau hakikat sesuatu hal), epistemologis (berkaitan dengan
cara memperoleh pengetahuan), dan aksiologis (berkaitan dengan cara menerapkan
pengetahuan).
b.
Kedua, paradigma sosialis, yaitu paradigma dari ideologi sosialisme yang
menafikan eksistensi agama sama sekali. Agama itu tidak ada, dus, tidak ada
hubungan dan kaitan apa pun dengan iptek. Iptek bisa berjalan secara independen
dan lepas secara total dari agama. Paradigma ini mirip dengan paradigma sekuler
di atas, tapi lebih ekstrem. Dalam paradigma sekuler, agama berfungsi secara
sekularistik, yaitu tidak dinafikan keberadaannya, tapi hanya dibatasi perannya
dalam hubungan vertikal manusia-tuhan. Sedang dalam paradigma sosialis, agama
dipandang secara ateistik, yaitu dianggap tidak ada (in-exist) dan dibuang sama
sekali dari kehidupan.
Paradigma tersebut didasarkan pada pikiran Karl Marx (w. 1883) yang ateis
dan memandang agama (Kristen) sebagai candu masyarakat, karena agama menurutnya
membuat orang terbius dan lupa akan penindasan kapitalisme yang kejam. Karl
Marx mengatakan: Religion is the sigh of the
oppressed creature, the heart of the heartless world, just as it is the spirit
of a spiritless situation. It is the opium of the people. (Agama adalah keluh-kesah makhluk tertindas, jiwa dari suatu dunia yang
tak berjiwa, sebagaimana ia merupakan ruh/spirit dari situasi yang tanpa
ruh/spirit. Agama adalah candu bagi
rakyat) (Lihat Karl Marx, Contribution to The Critique of Hegels Philosophy of
Right, termuat dalam On Religion, 1957:141-142) (Ramly, 2000: 165-166).
Berdasarkan paradigma sosialis ini, maka agama tidak ada sangkut pautnya
sama sekali dengan iptek. Seluruh bangunan ilmu pengetahuan dalam paradigma
sosialis didasarkan pada ide dasar materialisme, khususnya Materialisme
Dialektis (Yahya Farghal, 1994: 112). Paham Materialisme Dialektis adalah paham
yang memandang adanya keseluruhan proses perubahan yang terjadi terus menerus
melalui proses dialektika, yaitu melalui pertentangan-pertentangan yang ada
pada materi yang sudah mengandung benih perkembanganitu sendiri (Ramly, 2000:
110).
c.
Ketiga, paradigma Islam, yaitu paradigma yang memandang bahwa agama adalah dasar
dan pengatur kehidupan. Aqidah Islam menjadi basis dari segala ilmu
pengetahuan. Aqidah Islam yang terwujud dalam apa-apa yang ada dalam al-Qur`an
dan al-Hadits-- menjadi qaidah fikriyah (landasan pemikiran), yaitu suatu asas
yang di atasnya dibangun seluruh bangunan pemikiran dan ilmu pengetahuan
manusia (An-Nabhani, 2001).
Paradigma ini memerintahkan manusia untuk membangun segala pemikirannya berdasarkan
Aqidah Islam, bukan lepas dari aqidah itu. Ini bisa kita pahami dari ayat yang
pertama kali turun :
1). bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan, (Qs. sl-Alaq [96]:
1).
Ayat ini berarti manusia telah diperintahkan untuk membaca guna memperoleh
berbagai pemikiran dan pemahaman. Tetapi segala pemikirannya itu tidak boleh
lepas dari Aqidah Islam, karena iqra` haruslah dengan bismi rabbika, yaitu
tetap berdasarkan iman kepada Allah, yang merupakan asas Aqidah Islam
(Al-Qashash, 1995: 81).
Paradigma Islam ini menyatakan bahwa, kata putus dalam ilmu pengetahuan
bukan berada pada pengetahuan atau filsafat manusia yang sempit, melainkan
berada pada ilmu Allah yang mencakup dan meliputi segala sesuatu (Yahya
Farghal, 1994: 117). Firman Allah SWT: kepunyaan
Allah-lah apa yang di langit dan apa yang di bumi, dan adalah (pengetahuan)
Allah Maha meliputi segala sesuatu. (Qs. an-Nisaa` [4]: 126). Allah-lah
yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku
padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,
dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (Qs. ath-Thalaq [65]: 12).
2.
Aqidah Islam Sebagai Dasar
Iptek
Inilah peran
pertama yang dimainkan Islam dalam iptek, yaitu aqidah Islam harus dijadikan
basis segala konsep dan aplikasi iptek. Inilah paradigma Islam sebagaimana yang
telah dibawa oleh Rasulullah Saw.Paradigma Islam inilah yang seharusnya
diadopsi oleh kaum muslimin saat ini. Bukan paradigma sekuler seperti yang ada
sekarang.
Diakui atau
tidak, kini umat Islam telah telah terjerumus dalam sikap membebek dan mengekor
Barat dalam segala-galanya; dalam pandangan hidup, gaya hidup, termasuk dalam
konsep ilmu pengetahuan. Bercokolnya paradigma sekuler inilah yang bisa
menjelaskan, mengapa di dalam sistem pendidikan yang diikuti orang Islam,
diajarkan sistem ekonomi kapitalis yang pragmatis serta tidak kenal halal
haram. Eksistensi paradigma sekuler itu menjelaskan pula mengapa tetap
diajarkan konsep pengetahuan yang bertentangan dengan keyakinan dan keimanan
muslim. Misalnya Teori Darwin yang dusta dan sekaligus bertolak belakang dengan
Aqidah Islam.
Kekeliruan
paradigmatis ini harus dikoreksi. Ini tentu perlu perubahan fundamental dan
perombakan total. Dengan cara mengganti paradigma sekuler yang ada saat ini,
dengan paradigma Islam yang memandang bahwa Aqidah Islam (bukan paham
sekularisme) yang seharusnya dijadikan basis bagi bangunan ilmu pengetahuan
manusia. Namun di sini perlu dipahami dengan seksama, bahwa ketika Aqidah Islam
dijadikan landasan iptek, bukan berarti konsep-konsep iptek harus bersumber
dari al-Qur`an dan al-Hadits, tapi maksudnya adalah konsep iptek harus
distandardisasi benar salahnya dengan tolok ukur al-Qur`an dan al-Hadits dan
tidak boleh bertentangan dengan keduanya (Al-Baghdadi, 1996: 12).
3.
Syariah Islam Standar
Pemanfaatan Iptek
Peran kedua
Islam dalam perkembangan iptek, adalah bahwa Syariah Islam harus dijadikan
standar pemanfaatan iptek. Ketentuan halal-haram (hukum-hukum syariah Islam)
wajib dijadikan tolok ukur dalam pemanfaatan iptek, bagaimana pun juga
bentuknya. Iptek yang boleh dimanfaatkan, adalah yang telah dihalalkan oleh
syariah Islam. Sedangkan iptek yang tidak boleh dimanfaatkan, adalah yang telah
diharamkan syariah Islam.
Keharusan
tolok ukur syariah ini didasarkan pada banyak ayat dan juga hadits yang
mewajibkan umat Islam menyesuaikan perbuatannya (termasuk menggunakan iptek)
dengan ketentuan hukum Allah dan Rasul-Nya. Antara lain firman Allah:
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka
sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya”. (Qs. an-Nisaa` [4]: 65).
Ikutilah apa yang diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin
selain-Nya[528]. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya). (Qs.
al-Araaf [7]: 3). [528] Maksudnya: pemimpin-pemimpin yang membawamu kepada
kesesatan.
Sabda Rasulullah Saw:
“Barangsiapa yang melakukan
perbuatan yang tidak ada perintah kami atasnya, maka perbuatan itu tertolak”. [HR. Muslim].
Berikut
ini akan dijelaskan tentang hubungan ilmu dan kemanusiaan,hubungan ilmu dan
kemaslahatan hidup,serta ayat-ayat alquran dan hadisnya.
A. ILMU DAN KEMANUSIAAN
Filsafat merupakan kajian ilmu yang
sangat dipertimbangkan dalam melakukan pelbagai bentuk tindakan manusia. Kajian
ilmu tersebut diharapkan agar manusia memanfaatkan alam ini dengan bijak sesuai
dengan kebutuhan yang tidak berlebihan pula agar alam yang kita tempati ini
tidak rusak dan menjadi bencana bagi umat manusia.
Hubungan ilmu dengan kemanusiaan
sangatlah erat sekali dikarenakan ilmu bisa berkembang karena keberadaan
manusia,manusia mewujudkan sifat-sifat baiknya untuk memelihara kelangsungan hidup ini didunia dan manusia
memenuhi kebutuhan hidupnya juga dengan ilmu.Hal ini sesuai dengan firman Alloh
SWT didalam Al-Qur’an yaitu mnusia diciptakan oleh Alloh sebagai kholifah di
bumi sebagai wakil tuhan untuk menjaga kehidupan didunia ini.
Tentunya degan ilmu manusia akan
diarahkan kepada hal yang baik menurut dirinya dan bermanfaat untuk lainnya.
Dan manusialah yang bisa mengembangkan keilmuaannnya yang didapat melalui
proses berpikir.
1.
Hubungan Antara Ilmu Dan
Kemanusiaan
Pada masa lampau kedudukan ilmu
pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari belum dapat dirasakan. Ilmu sama sekali
tidak memberikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Ungkapan Aristoteles tentang
ilmu “Umat manusia menjamin urusannya untuk hidup sehari-hari, barulah ia
arahkan perhatiannya kepada ilmu pengetahuan”. (Van Melsen,1987).
Dewasa ini ilmu menjadi sangat berguna dalam kehidupan
sehari-hari, seolah-olah manusia tidak dapat hidup tanpa ilmu pengetahuan.
Kebutuhan yang sederhanapun sekarang memerlukan ilmu, misalnya kebutuhan
sandang, papan ,dan papan sangat tergantung dengan ilmu. Maka kegiatan ilmiah
dewasa ini berdasarkan pada dua keyakinan berikut.
1. Segala sesuatu dalam
realitas dapat diselidiki secara ilmiah, bukan saja untuk mengerti realitas
dengan lebih baik, melainkan juga untuk menguasainya lebih mendalam menurut
segala aspeknya.
2. Semua aspek realitas
membutuhkan juga penyelidikan primer, seperti air, makanan , udara, cahaya,
kehangatan, dan tempat tinggal tidak akan cukup untuk penyelidikan itu. (Van
Melsen,1987).[1]
Dengan demikian, ilmu pada dewasa
ini mengalami fungsi yang berubah secara radikal, dari tidak berguna sama
sekali dalam kehidupan praktis menjadi “ tempat tergantung “ kehidupan manusia.
Oleh karena itu keterkaitan ilmu dengan kemanusiaan sangatlah erat hubungannya
dan tidak dapat dipisahkan sendiri-sendiri. Hal ini disebabkan ilmu tanpa
manusia tidak akan berkembang pesat sampai sekarang ini dan manusia tanpa ilmu
juga tidak dapat hidup untuk proses pemenuhan kebutuhan yang kompleks.
Walaupun pada zaman dahulu sering
kita ketahui dalam sejarah peradaban manusia saat itu memanfaatkan ilmu hanya
untuk berperang dan menguasai daerah jajahan baru sehingga peran serta ilmu itu
sendiri jauh dari harapan manusia dalam segi nilai dan moralitas. Dan inilah
yang mengubah pemikiran manusia saat ini untuk mencapai hakekat daripada
keilmuan itu.
Kita ketahui juga ilmu saat ini
berkembang dengan pesat yang mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia itu
sendiri. Jadi, ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan
kemungkinan mengubah hakikat kemanusiaan itu sendiri, atau dengan ilmu bukanlah
sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan
tujuan hidup itu sendiri.[2]
Dengan ilmu manusia dapat
memanfaatkan segala sesuatu didasari nilai yang positif sehingga dalam
kehidupan bersosialnya dapat terjalin hubungan yang serasi, seimbang, selaras.
2. Manfaat Ilmu bagi
Kemanusiaan
Ilmu pada dasarnya mengungkap
realitas sebagaimana adanya.Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif
kepada manusia untuk mengambil suatu keputusan yang menurut dirinya menjadi
keputusan yang terbaik, walaupun nantinya keputusan itu dianggap kurang tepat
oleh manusia lain. Akan tetapi hakikat kebenaran pastinya akan dimanfaatkan
oleh manusia secara umum karena sifat daripada kebenaran yang mengungkap adalah
waktu.
Menghadapi kenyataan seperti ini, ilmu yang mempelajari
alam sebagaimana adanya mulai mempertanyakan hal-hal yang bersifat seharusnya:
untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan ? dimana batas wewenang
penjelejahan keilmuan? Kearah mana pengembangan keilmuan harus diarahkan?
Pertanyaan ini jelas tidak merupakan urgensi ilmuwan seperti Copernicus,
Galileo, dan ilmuwan seangkatannya, namun bagi ilmuwan yang hidup dalam abad
kedua puluh yang telah mengalami dua kali perang dunia dan hidup dalam bayangan
perang dunia ketiga, pertanyaan-pertanyaan tidak dapat dielakkan. Dan untuk
menjawab pertanyaan ini maka ilmuwan berpaling kepada hakikat moral.
Banyaknya kejadian yang melanda umat manusia dewasa
ini, manusia semakin menyadari bahwa manfaat ilmu sangat penting membentuk
etika, moral, norma, dan kesusilaan.
Arti kesusilaan menurut Leibniz filsuf pada zaman
modern berpendapat bahwa kesusilaan adalah hasil suatu “ menjadi” yang terjadi
di dalam jiwa. Perkembangan dari nafsu alamiah yang gelap sampai kehendak yang
sadar, yang berarti sampai kesadaran kesusilaan yang telah tumbuh lengkap,
disebabkan oleh aktivitas jiwa sendiri. Apa yang benar-benar kita kehendaki
telah terkandung sebagai benih di dalam nafsu alamiah yang gelap. (Harun
Hadiwijoyo, 1990, hlm. 44-45). Oleh karena itu, tugas kesusilaan pertama ialah meningkatkan
perkembangan itu dalam diri manusia sendiri. Kesusilaan hanya berkaitan dengan
batin kita.[3]
C. fungsi manusia dalam perkembangan
ilmu
Manusia merupakan makhluk yang sangat sempurna
dibanding dengan makluk-makluk ciptaan Alloh yang lain di muka bumi ini.Dengan
dibekali pembawaan dari Alloh SWT berupa akal untuk mengelola keseimbangan alam
ini.Tujuan Alloh menciptakan manusia itu sendiri adalah sebagai wakil atau
kholifah secara langsung di muka bumi ini agar tujuan hidup menjadi serasi,
selaras, seimbang.
Manusia mendapatkan ilmu melalui perantaraan kalam
yang diciptakan oleh Alloh.Hal ini sesuai dengan firman Alloh surat Al-Alaq
Ayat 1-5 sebagai berikut :
اقْرَØ£ْ
بِاسْÙ…ِ رَبِّÙƒَ الَّØ°ِÙŠ Ø®َÙ„َÙ‚َ (Ù¡)Ø®َÙ„َÙ‚َ الإنْسَانَ Ù…ِÙ†ْ عَÙ„َÙ‚ٍ (Ù¢)اقْرَØ£ْ
ÙˆَرَبُّÙƒَ الأكْرَÙ…ُ (Ù£)الَّØ°ِÙŠ عَÙ„َّÙ…َ بِالْÙ‚َÙ„َÙ…ِ (Ù¤)عَÙ„َّÙ…َ الإنْسَانَ Ù…َا
Ù„َÙ…ْ ÙŠَعْÙ„َÙ…ْ (Ù¥)
Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu
yang Menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah,
dan Tuhanmulah yang Maha pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran
kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Dapat kita ketahui tentang ayat
diatas bahwa Alloh menciptakan manusia dengan penuh kasih sayang dan
kesempurnaan baik secara fisik dan rohani. Dengan dibekali hal diatas maka
fungsi manusia terhadap ilmu adalah menemukan, mengembangkan, menciptakan,
kemudian mengevaluasi terhadap ilmu yang didapatnya melalui proses berpikir
yang alami dan sistematis. dengan pemikiran seperti itu manusia bisa membagi
atau memetakan suatu ilmu degan spesifikasi tertentu yang berkembang saat ini
dan sudah dimanfaatkan oleh manusia.
Ilmu merupakan cabang pengetahuan
yang mempunyai ciri-ciri tertentu, meskipun secara metodoloigis ilmu tidak
membedakan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial secara garis besar.
Berhubungan dengan ilmu sosial maka
ada keterkaitan antara manusia dengan kemanusiaan sehingga melahirkan konsep
ilmu itu sendiri yaitu :
1. Interaksi
2. saling ketergantungan
3. Kesinambungan dan
Perubahan
4.
Keragaman/Kesamaan/Perbedaan
5. Konflik dan konsensus
6. Pola (Pattern)
7. Tempat atau lokasi
8. Kekuasaan atau Power
9. Nilai Kepercayaan
10. Keadilan Dan Pemerataan
11. Kelangkaan
12. Kekhususan
13. Budaya (Culture)
14. Nasionalisme.[4]
B. Filsafat dalam kemaslahatan hidup insani
Kehidupan secara lebih baik merupakan tujuan yang
ingin dicapai oleh manusia dalam kehidupannya. Untuk mencapai hidup secara
lebih baik manusia perlu untuk dibentuk atau diarahkan. Pembentukan manusia itu
dapat melalui pendidikan atau ilmu yang mempengaruhi pengetahuan tentang diri
dan dunianya, melalui kehidupan sosial atau polis, dan melalui agama. Dalam paper kerja ini kami akan membahas
tentang unsur-unsur pembentuk manusia yang dapat membantu manusia untuk hidup
lebih baik. Dengan kata lain, konteks filsafat budaya sebagai ilmu tentang
kahidupan manusia akan lebih disempitkan atau dibatasi pada kerangka
berpikir pembentukan manusia yang lebih baik. Pembentukan manusia yang
lebih baik bukan dalam arti moral; baik buruknya manusia, tetapi dalam arti
pembentukan manusia sebagai makhluk yang hidup dan berbudaya dalam perspektif
filsafat budaya, yakni hidup yang lebih bijaksana, dan lebih kritis.
Filsafat bukanlah ilmu positif seperti fisika, kimia, biologi, tetapi filsafat
adalah ilmu kritis yang otonom di luar ilmu-ilmu positif. Kelompok mencoba
mengangkat tiga unsur pembentukan manusia. Ketiga unsur pembentuk itu antara
lain:
(1) pengetahuan
manusia tentang diri sendiri dan lingkungannya;
(2) manusia dalam hubungannya dengan hidup
komunitas; dan
(3) agama
membantu manusia hidup dengan lebih baik.
Pengetahuan menjadi unsur yang penting dalam usaha
membentuk manusia yang lebih baik. Dengan pengetahuan yang memadai manusia
dapat mengembangkan diri dan hidupnya. Apa yang diketahui secara lebih umum
dalam pengetahuan, dalam ilmu diketahui secara lebih masuk akal. Dalam hal ini
ilmu lebih kritis daripada hanya menerima apa yang didapat dari pengetahuan.
Sekalipun demikian kelompok megangkat pengetahuan untuk memahami hidup manusia
dan secara kritis dilihat oleh ilmu. Pengetahuan yang dimaksud di sini lebih
pada pengetahuan manusia tentang diri sendiri dan dunianya. Ketika manusia
mengetahui dan mengenal dirinya secara penuh, ia akan hidup secara lebih
sempurna dan lebih baik dalam dunia yang adalah dunianya. Berkaitan dengan itu
manusia juga membutuhkan pengetahuan tentang lingkungan atau dunianya. Dengan
pengetahuan yang ia miliki tentang dunia atau lingkungannya, manusia dapat
mengadaptasikan dirinya secara cepat dan lebih mudah.
Manusia ternyata tidak hidup sendirian dalam dunianya.
Ia hidup dalam hubungan dengan dan membutuhkan manusia lain, yang menunjukkan
hakikat dari manusia, yaitu sebagai makhluk sosial. Manusia membutuhkan orang lain
untuk dapat membentuk dan mengembangkan dirinya sehingga dapat hidup secara
lebih baik; lebih bijaksana dan lebih kritis. Dengan demikian manusia pada
hakikatnya hidup bersama dengan orang lain atau hidup dalam suatu komunitas
tertentu, mengalami kehidupan polis. Jadi, kebersamaannya dengan orang lain
dalam suatu komunitas inilah yang turut menentukan pembentukan yang
memperkenankan manusia itu hidup atas cara yang lebih baik dan lebih sempurna
dalam dunianya.
Unsur lain yang menurut kelompok dapat membantu
membentuk manusia sehingga manusia dapat hidup secara lebih baik, lebih
bijaksana adalah agama. Dengan kata lain, agama mengandung nilai-nilai
universal yang pada hakikatnya mengajarkan yang baik bagi penganutnya.
Ketiga unsur pembentuk manusia untuk hidup secara
lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok
berikut.
I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya
Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan)
bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan
pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia
adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu
juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya
bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu
memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia
bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi
pembentukan dan pengembangan dirinya.
Pengetahuan merupakan kekayaan dan kesempurnaan bagi
makhluk yang memilikinya. Manusia dapat mengetahui segala-galanya, maka ia
menguasai makhluk lain yang penguasaannya terhadap pengetahuan kurang. Dalam
lingkungan manusia sendiri seseorang yang tahu lebih banyak adalah lebih baik
bila dibandingkan dengan yang tidak tahu apa-apa. Pengetahuan menjadikan
manusia berhubungan dengan dunia dan dengan orang lain, dan itu membentuk
manusia itu sendiri.
Namun, pengetahuan manusia begitu kompleks.
Pengetahuan manusia menjadi kompleks karena dilaksanakan oleh suatu makhluk
yang bersifat daging dan jiwa sekaligus, maka pengetahuan manusia
merupakan sekaligus inderawi dan intelektif. Pengetahuan
dikatakan inderawi lahir atau luar bila pengetahuan itu mencapai secara
langsung, melalui penglihatan, pendengaran, penciuman, perasaan dan peraba,
kenyataan yang mengelilingi manusia. Sementara, pengetahuan itu dikatakan inderawi
batin ketika pengetahuan itu memperlihatkan kepada manusia, dengan ingatan
dan khayalan, baik apa yang tidak ada lagi atau yang belum pernah ada maupun
yang terdapat di luar jangkauan manusia. Pengetahuan intelektif
merupakan watak kodrati pengetahuan manusia yang lebih tinggi.
Lalu bagaimana pengetahuan yang dimiliki manusia
tentang dirinya dan dunianya dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih
baik? Manusia mengetahui dirinya berarti mengenal dengan baik kelebihan dan
kekurangan yang ada pada dirinya. Sementara, manusia mengetahui duninya berarti
menusia mengenal secara baik apa yang ada atau terkandung dalam dunianya itu,
baik potensi yang dapat memudahkan manusia itu sendiri maupun tantangan yang
diperhadapkan kepadanya. Kekurangan manusia dapat diatasi dengan apa yang ada
dalam dunianya. Tentu saja melalui suatu relasi, baik relasi dengan orang lain
maupun relasi dengan alam. Pengetahuan dan pengenalan atas diri dan dunianya
membantu manusia untuk mengarahkan dirinya kepada hidup yang lebih baik. Salah
satu cara manusia mengetahui dirinya dan lingkungannya adalah melalui
pendidikan. Dan pendidikan di sini tentu saja pendidikan yang diharuskan untuk
seni yang baik, yang khas hanya untuk manusia, dan yang membedakannya dari
semua binatang.
Jadi, melalui pengetahuanlah manusia mempunyai
hubungan dengan dirinya, dunia dan orang lain. Melalui pengetahuan benda-benda
dimanisfestasikan dan orang-orang dikenal, dan bahwa tiap orang menghadiri
dirnya. Melalui pengetahuan pula manusia bisa berada lebih tinggi, dan dapat
membentuk hidupnya secara lebih baik. Dengan pengetahuan manusia dapat
melalukan sesuatu atau membentuk kembali sesuatu yang rusak menjadi baik
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Melalui pengetahuan manusia dapat
mengenal dirinya, orang lain dan dunia di sekitarnya, sehingga ia mampu
menempatkan dirinya dalam dunianya itu (dapat beradaptasi dengan dunianya).
II. Manusia dalam hidup komunitas
Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu
perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian
suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu
didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang
lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai
suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu
persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu
selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya,
nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam
mencapai tujuan bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling
berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan
yang ingin dicapai.
Akan tetapi serentak pula tak dapat disangkal bahwa
melalui kehidupan komunitas kepribadian manusia dapat dibentuk melalui proses
sosialisai dan internalisasi. Artinya, melalui nilai-nilai yang dicapai dalam
hidup komunitas itu disampaikan kepada setiap individu (anggota persekutuan).
Selanjutnya, nilai-nilai itu dijadikan oleh pegangan dalam diri setiap
individu.
Dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup
secara lebih baik, maka pertanyaan yang patut dikemukakan adalah apakah
kehidupan komunitas dapat membentuk manusia untuk hidup secara lebih baik atau
lebih bijaksana dan kritis?
Menjawab pertanyaan di atas maka dapat dikatakan bahwa
kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik. Dapat
dikatakan demikian karena pada dasarnya kodrat manusia adalah
makhluk sosial. Itu berarti manusia selalu berada bersama dengan sesamanya atau
orang lain. Ia tidak berada sendirian, melainkan selalu berada bersama dengan
orang lain. Manusia selalu berada dengan orang lain dan membentuk suatu
persekutuan yang disebut sebagai komunitas. Mereka membentuk hidup besama
karena ada nilai yang ingin dicapai secara bersama. Nilai yang ingin dicapai
adalah membentuk hidup secara lebih baik. Nilai hidup secara lebih
baik itu dicapai lewat interaksi atau kerja sama setiap individu dalam
komunitas. Selanjutnya, setelah mencapai nilai yang diinginkan itu (membentuk
hidup secara lebih baik), kemudian disosialisasikan kepada individu
(anggota komunitas) dan selanjutnya individu menjadikan nilai tersebut menjadi
pegangan dalam dirinya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa melalui
kehidupan komunitas dapat membentuk hidup manusia secara lebih baik, lewat
nilai yang ditemukan dalam kehidupan komunitas itu. Nilai itulah yang membentuk
manusia menjadi lebih baik, lebih bijaksana dan kritis dalam hidup.
III. Agama membantu manusia hidup lebih baik
Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan
karakter naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia
dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup
atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah
dunianya. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama
dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan
bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal
lainnya. Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti
tertentu filsafat dipahami sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan
manusia kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik
dalam perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara
internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari agama dalam
kehidupannya. Maksudnya adalah bahwa agama menjadi sarana di mana manusia dapat
memenuhi keinginannya untuk dapat hidup dengan lebih bijaksana. Dengan kata
lain agama membantu manusia untuk dapat hidup lebih baik. Melalui agama manusia
dapat menjadi bijaksana untuk mencapai realisasi dirinya yang lengkap sehingga
menjadi suatu microcosmos yang sempurna dalam macrocosmos.
Setiap agama umumnya mengajarkan kepada para penganut
atau pengikutnnya untuk hidup sebagai orang yang saleh, baik di hadapan manusia
maupun di hadapan yang ilahi. Dengan demikian agama dapat mengarahkan manusia
kepada hidup yang lebih baik. Agama membentuk manusia untuk menjadi lebih baik,
lebih bijaksana dengan menanamkan nilai-nilai universal dalam diri manusia itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Ilmu sangat bermanfaat, tetapi
juga bisa menimbulkan bencana bagi manusia dan alam semesta tergantung dengan
orang-orang yang menggunakannya. Untuk itu perlu ada etika, ukuran-ukuran yang
diyakini oleh para ilmuwan yang dapat menjadikan pengembangan ilmu dan
aplikasinya bagi kehidupan manusia agar tidak menimbulkan dampak negatif.
2. Peran Islam yang utama dalam perkembangan iptek setidaknya ada 2 (dua).
Pertama, menjadikan Aqidah Islam sebagai paradigma pemikiran dan ilmu
pengetahuan. Jadi, paradigma Islam, dan bukannya paradigma sekuler, yang
seharusnya diambil oleh umat Islam dalam membangun struktur ilmu pengetahuan.
Kedua, menjadikan syariah Islam sebagai standar penggunaan iptek. Jadi, syariah
Islam-lah, bukannya standar manfaat (utilitarianisme), yang seharusnya
dijadikan tolok ukur umat Islam dalam mengaplikasikan iptek. Jika dua peran ini
dapat dimainkan oleh umat Islam dengan baik, insyaallah akan ada berbagai
berkah dari Allah kepada umat Islam dan juga seluruh umat manusia. Mari kita
simak firman-Nya: “Kalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan
bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan
bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka
disebabkan perbuatannya”. (Qs. al-A’raaf [7]: 96).
DAFTAR PUSTAKA
Burhanudin Salam, 1998. Pengantar Filsafat,
Jakarta, Bina Aksara
Hartono Kasmadi, dkk. 1990. Filsafat Ilmu, Semarang,
IKIP Semarang Press
Hasbullah Bakry, 1986, Sistematika Filsafat, Jakarta,
Wijaya.
Jan Hendrik Rapat, 1996. Pengantar Filsafat,
Yogyakarta, Kanisius
Jujun S. Suriasumantri, tt. Filsafat Ilmu, Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Solihatin Etin, Rahardjo, 2008, Cooperative
Learning, Jakarta, PT. Bumi Aksara
Surajiyo, 2008, Fislafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia, Jakarta: PT. Bumi Aksara
No comments:
Post a Comment