MAKALAH
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan dan keikhlasan hati, puji syukur
kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat dan rahim-Nya yang telah dilimpahkan,
taufiq dan hidayah-Nya dan atas segala kemudahan yang telah diberikan sehingga
penyusunan makalah Akhlak Tasawuf dapat terselesaikan.
Shalawat terbingkai salam semoga abadi terlimpahkan kepada
sang pembawa risalah kebenaran yang semakin teruji kebenarannya baginda
Muhammad SAW, keluarga dan sahabat-sahabat, serta para pengikutnya. Semoga
syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini.
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat
bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari
keterbatasan yang penulis miliki, untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima
segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan skripsi
ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT., jualah penulis memohon Rahmat dan
Ridho-Nya.
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... .... i
KATA PENGANTAR........................................................................................................ ii
DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................. 1
A. Latar Belakang.................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................................................... 1
C. Tujuan................................................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 2
A. Pengertian........................................................................................................... 2
B. Ukuran Baik dan Buruk................................................................................. .... 3
C. Aliran – Aliran Tentang Baik dan Buruk............................................................ 4
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 10
A. Kesimpulan........................................................................................................ 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Balakang
Setiap perbuatan manusia itu ada
yang baik dan ada yang tidak baik atau buruk. Baik dan buruk merupakan dua
istilah yang banyak digunakan untuk menentukan suatu perbuatan yang dilakukan
oleh seseorang. Pernyataan tersebut dapat dijadikan indikator untuk menilai
perbuatan itu baik atau buruk sehingga dapat dilatarbelakangi sesuatu yang
mutlak dan relatif.
Pernyataan – pernyataan tersebut
perlu dicarikan jawaban dan dapat dijadikan rumusan masalah sehingga para
pembaca menilai sesuatu itu baik atau buruk memiliki indikator yang pasti.
Untuk itu dijadikan pembahasan masalah adalah Bagaimana ukuran menilai baik dan
buruk menurut pandangan Islam
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Baik dan Buruk ?
2. Apakah Ukuran Baik Buruk dalam ilmu
akhlak?
3. Apa sajakah aliran baik dan buruk?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian Baik dan
Buruk
2. Untuk mengetahui Ukuran yang dipakai
dalam menilai baik dan buruk
3. Untuk mengetahui aliran baik buruk
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam ilmu akhlak kita berjumpa dengan istilah baik buruk,
benar salah, apakah kita pakai itu benar atau salah dan apakah
kebiasaan-kebiasaan yang kita perbuat untuk baik apa buruk.
A. Pengertian
1.
Baik
dan Buruk
Dari segi
bahasa baik adalah terjemahan dari kata khayr (dalam bahasa Arab) yang artinya
“ yang baik”, good; best (dalam bahasa Inggris) good = that which is morally
right or acceptable sedangkan kebalikan Kata baik adalah buruk, kata buruk
sepadan dengan kata syarra, kobikh dalam bahasa Arab dan evil ;bad dalam bahasa
Inggris. Dikatakan bahwa yang disebut baik adalah sesuatu yang menimbulkan rasa
keharuan dan kepuasan, kesenangan, persesuaian, dan seterusnya1.Bila
dihubungkan dengan akhlak, yang dimaksud dengan baik (sebut: akhlaq yang baik)
menurut Burhanudin Salam adalah adanya keselarasan antara prilaku manusia dan
alam manusia tersebut . Sementara itu, Ahmad Amin menyatakan bahwa perilaku
manusia dianggap baik atau buruk bergantung pada tujuan yang dicanangkan oleh
pelaku.
Kedua
pengertian tersebut tampaknya lebih baik disatukan menjadi satu definisi, sebab
definisi pertama lebih memperhatikan akibat dari perilaku yang dihasilkan,
sementara definisi kedua lebih menitik beratkan pada tujuan terwujudnya
perilaku. Dengan hanya mempertimbangkan tujuan pelaku, seseorang akan cenderung
berani melakukan tindakan yang tidak selaras dengan alam dengan dalih bertujuan
baik, juga adanya kesulitan mengukur kebenaran tujuan pelaku. Berdasarkan
pertimbangan tersebut, barangkali dapat dirumuskan bahwa perilaku yang baik
adalah prilaku yang memiliki tujuan baik dan selaras dengan alam manusia.
B. Ukuran Baik dan Buruk
Ukuran baik dan buruk yang dikenal dalam
ilmu akhlak antara lain :
1.
Nurani
Jiwa manusia memiliki kekuatan yang
mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Kekuatan tersebut dapat
mendorongnya berbuat baik dan mencegahnya berbuat buruk. Jiwanya akan merasa
bahagia jika telah berbuat baik dan merasa tersiksa jika telah berbuat buruk.
Kekuatan ini disebut nurani. Masing – masing individu memiliki kekuatan yang
berbeda satu sama lain. Perbedaan kekuatan ini dapat menyebabkan perbedaan
persepsi tentang sesuatu yang dianggap baik dan yang dianggap buruk.
2.
Rasio
Rasio merupakan anugerah Tuhan yang
diberikan kepada manusia, yang membedakannya dengan makhluk lain. Dengan rasio
yang dimiliki, manusia dapat menimbang mana perkara yang baik dan yang buruk.
Dengan akalnya manusia dapat menilai bahwa perbuatan yang berakibat baik layak
disebut baik dan dilestarikan, dan begitu sebaliknya. Penilaian rasio manusia
akan terus berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan pengalaman –
pengalaman yang mereka miliki.
3.
Adat
Adat istiadat yang berlaku dalam
kelompok ataupun masyarakat tertentu menjadi salah satu ukuran baik dan buruk
anggotanya dalam berperilaku. Melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan
masyarakat sekitarnya ataupun kelompoknya akan menjadi problem dalam
berinteraksi. Masing – masing kelompok atau masyarakat tertentu memiliki
batasan – batasan tersendiri tentang hal – hal yang harus diikuti dan yang
harus dihindari. Sesuatu yang dianggap baik oleh masyarakat satu belum tentu
demikian menurut masyarakat yang lain. Mereka akan mendidik dan mengajarkan
anak-anak mereka untuk melakukan kebiasaan–kebiasaan yang mereka anggap baik
dan melarang melakukan sesuatu yang tidak menjadi kebiasaan mereka.
4.
Pandangan
Individu
Kelompok atau masyarakat tertentu
memiliki anggota kelompok atau masyarakat yang secara individual memiliki
pandangan atau pemikiran yang berbeda dengan kebanyakan orang di kelompoknya.
Masing–masing individu memiliki kemerdekaan untuk memiliki pandangan dan
pemikiran tersendiri meski harus berbeda dengan kelompok atau masyarakatnya.
Masing–masing individu memiliki hak untuk menentukan mana yang dianggapnya baik
untuk dilakukan dan mana yang dianggapnya buruk. Tidak mustahil apa yang semula
dianggap buruk oleh masyarakat, akhirnya dianggap baik, karena terdapat
seseorang yang berhasil meyakinkan kelompoknya bahwa apa yang dianggapnya buruk
adalah baik.
5.
Norma
Agama
Seluruh agama di dunia ini
mengajarkan kebaikan. Ukuran baik dan buruk menurut norma agama lebih bersifat
tetap, bila dibandingkan dengan ukuran baik dan buruk dimata nurani, rasio,
adat istiadat, dan pandangan individu. Keempat ukuran tersebut bersifat relatif
dan dapat berubah sesuai dengan ruang dan waktu. Ukuran baik dan buruk yang
berlandaskan norma agama kebenarannya lebih dapat dipercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan, karena norma agama merupakan ajaran Tuhan Yang Maha
Suci. Disamping itu, ajaran Tuhan lebih bersifat universal, lebih terhindar
dari subyektifitas individu maupun kelompok.
C. Aliran – aliran tentang Baik dan
Buruk
Membicarakan baik dan buruk pada perbuatan manusia maka
penentuan dan karakternya baik dan buruk perbuatan manusia dapat diukur melalui
fitrah manusia.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
Menurut Poedja Wijatna berhubungan dengan perkembangan pemikiran manusia dengan pandangan filsafat tentang manusia (Antropologi Metafisika) dan ini tergantung pula dari Metafisika pada umumnya.
Dan dapat disimpulkan bahwa diantara aliran-aliran filsafat
yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk diantaranya :
1. Aliran Hedoisme
Dalam filsafat Yunani Kuno ditemukan bahwa Hedonisme sudah
muncul sekitar 433-355SM oleh Aristippos dari Kyrene, salah seorang murid
Socrates. Menurut paham ini banyak yang disebut perbuatan yang baik adalah
perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan, dan kepuasan nafsu
biologis. Aliran ini tidak mengatakan bahwa semua perbuatan mengandung
kelezatan, melainkan adapula yang mendatangkan kepedihan, dan apabila ia
disuruh memilih manakah perbuatan yang harus dilakukan, maka yang dilakukan
adalah yang mendatangkan kelezatan. Maka apabila terjadi keraguan dalam memilih
sesuatu perbuatannya, harus diperhitungkan banyak sedikitnya kelezatan dan
kepedihannya dan sesuatu itu baik apabila diri seseorang yang melakukan perbuatan
mengarah kepada tujuan.
2. Aliran Adat Istiadat ( Sosialisme )
Menurut aliran ini ditentukan
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Di
dalam masyarakat kita jumpai adat istiadat yang berkenaan dengan cara
berpakaian, makan, minum, bercakap-cakap dan sebagainya. Orang yang mengikuti
cara-cara yang demikian itulah yang dianggap orang yang baik, dan orang yang
menyalahinya adalah orang yang buruk.
Setiap bangsa memiliki adat istiadat
tertentu. Apabila seorang dari mereka menyalahi adat istiadat itu, sangat
dicela dan dianggap keluar dari golongan bangsanya.
Pada masa sekarang, kita dapat
membenarkan adat istiadat semacam itu dan bukan mengingkarinya, dan bila adat
istiadat itu banyak salahnya, maka tidak tepat dijadikan ukuran baik dan buruk
bagi perbuatan-perbuatan kita. Poedja Wijatna mengatakan bahwa adat istiadat
pada hakikatnya produk budaya manusia yang sifatnya nisbi dan relative.
Keberadaan paham adat istiadat ini menunjukkan eksistensi dan pesan moral dalam
masyarakat. Berpegang adat istiadat itu, meskipun tidak benar ada juga
faedahnya, sebab ada juga orang – orang yang tidak mau melanggar adat istiadat
yang baik, dan banyak pula orang – orang yang tidak mau mengikutinya adat
istiadat dari lingkungannya.
3. Intuition ( Humanisme )
Paham intuition melihat bahwa
sesuatu dianggap baik atau buruk bukan karena akibat yang ditimbulkannya,
melainkan dari keberadaan sesuatu itu sendiri. Jujur, adil, berani, dianggap
baik dan kebalikannya dianggap buruk, bukan karena akibat yang ditimbulkan oleh
sesuatu tersebut, melainkan karena memang sifat jujur, adil dan berani itu
secara dhatiyyah baik.
Paham ini memiliki pendirian bahwa
setiap manusia memiliki kekuatan batin untuk membedakan antara baik dan buruk,
misalnya ketika seseorang mendengarkan suara musik, secara otomatis, tanpa
berfikir panjang, ia dapat menilai bahwa suara musik tersebut baik atau jelek.
Kekuatan tersebut disebut intuisi (laqanat). Oleh karena itu, paham ini disebut
intuition (laqanat) perbedaan yang menonjol antara aliran intuition dan
hedonisme terletak pada:
a.
Sesuatu
yang baik akan tetap baik dan tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Tidak
bergantung pada tujuan yang akan dicapai, juga tidak bergantung pada akibat
yang dihasilkan.
b.
Sesuatu
yang baik itu sesuatu yang pasti tidak membutuhkan alasan mengapa dianggap baik
dan mengapa dianggap buruk.
c.
Sesuatu
yang tidak menerima keraguan, adalah mustahil sesuatu yang berlawanan, baik dan
buruk, suatu ketika dianggap baik dan suatu ketika dianggap buruk.
Setiap orang memiliki suara hati
yang dapat mengarahkannya untuk berbuat baik dan melaksanakan kewajibannya.
Kebaikan dan kewajiban tersebut membuahkan kenikmatan dan kebahagiaan yang
dapat mengantarkan manusia pada sesuatu yang disenangi dan terhindar dari
penderitaan. Suara hati tidak tunduk karena sesuatu itu menyenangkan atau
menyakitkan, tetapi tunduk pada kewajiban. Kewajiban tetap harus dilaksanakan
meski menghalang-halangi kesenangan dan menyebabkan sakit. Kebaikan tetap baik
meski untuk apakah menghasilkan kenikmatan atau kesusahan adalah cara
berfikirnya pedagang. Jika berfikir tentang moralitas, seharusnya lebih dari
sekedar menghitung untung rugi.
Kelompok yang masuk dalam aliran intuition ini antara lain, kelompok filosof kuno yang dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Mereka adalah pengikut Zeno seorang filosof Yunani 342-270SM. Mereka tidak menjadikan kenikmatan dan kekayaan sebagai keinginan terbesarnya, yang menjadi keinginan terbesarnya adalah hidup sebagai seorang yang bijaksana dalam kondisi apapun, susah maupun senang, fakir maupun kaya.
Kelompok yang masuk dalam aliran intuition ini antara lain, kelompok filosof kuno yang dikenal dengan sebutan kaum Sofis. Mereka adalah pengikut Zeno seorang filosof Yunani 342-270SM. Mereka tidak menjadikan kenikmatan dan kekayaan sebagai keinginan terbesarnya, yang menjadi keinginan terbesarnya adalah hidup sebagai seorang yang bijaksana dalam kondisi apapun, susah maupun senang, fakir maupun kaya.
Dalam perkembangannya, pemikiran
aliran intuition ini, di Barat dikembangkan oleh Immanuel Kant, ia merupakan
salah seorang pemikir besar filsafat moral dari Jerman, yang hidup di tahun
1724-1804. menurutnya rasio manusia merupakan asas moral. Baik-buruk tidak
dapat diukur dengan melihat akibat yang ditimbulkannya (nikmat atau sakit),
tetapi aqal secara alamiah dapat menunjukkan baik dan buruk.
Kemudian lebih jauh Immanuel Kant
mengembangkan pemikirannya dengan menciptakan sistem moral deontologi. Kant
berpendapat bahwa sesuatu yang baik adalah kehendak yang baik. Sesuatu yang
baik akan tetap baik, jika digunakan oleh kehendak yang baik. Sesuatu yang baik
dapat menjadi buruk karena kehendak yang jahat. Kehendak akan menjadi baik,
bila seseorang bertindak karena kewajiban. Jika bertindak karena maksud
lain-bukan karena kewajiban-sesuatu tersebut menjadi tidak baik, perbuatan
dianggap baik bila hanya dilakukan karena wajib dilakukan. Bertindak sesuai
dengan kewajiban tersebut, oleh Kant disebut legalitas.
Selanjutnya, Kant membagi kewajiban menjadi dua, kewajiban yang mengandung imperative, hipotesis dan yang mengandung imperative kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah (kewajiban) yang mengikutsertakan syarat, misalnya “Jika ingin lulus dalam ujian, maka harus belajar” imperative kategoris adalah perintah (kewajiban) tanpa mengikutsertakan syarat, misalnya “janji harus ditepati” (sepakat atau tidak dengan norma ini, tetap harus dilakukan dan memang adanya demikian). Berkaitan dengan moral, perilaku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat, tanpa pertimbangan yang lain.
Selanjutnya, Kant membagi kewajiban menjadi dua, kewajiban yang mengandung imperative, hipotesis dan yang mengandung imperative kategoris. Imperative hipotesis adalah perintah (kewajiban) yang mengikutsertakan syarat, misalnya “Jika ingin lulus dalam ujian, maka harus belajar” imperative kategoris adalah perintah (kewajiban) tanpa mengikutsertakan syarat, misalnya “janji harus ditepati” (sepakat atau tidak dengan norma ini, tetap harus dilakukan dan memang adanya demikian). Berkaitan dengan moral, perilaku manusia hanya dibimbing oleh norma yang mewajibkan begitu saja tanpa syarat, tanpa pertimbangan yang lain.
Pelaksanaan imperative kategoris
menuntut adanya otonomi kehendak. Kehendak yang otonom dapat menentukan dirinya
sendiri dan tidak membiarkan diri ditentukan oleh faktor dari luar, seperti
kecenderungan atau emosi. Yang dimaksud otonomi kehendak oleh Kant adalah:
secara umum manusia membuat hukum moral dan kehendak menaklukkan diri kepada
hukum tersebut. Manusia yang hidup dengan mengikuti hukum moral, ia akan
menyerahkan diri.
2. Vitalisme
Menurut paham ini yang baik ialah
yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Paham ini pernah dipraktekkan
pada penguasa di zaman feodalisme terhadap kaum yang lemah dan bodoh. Dengan
kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki ia mengembangkan pola hidup feodalisme,
kolonialisme, dictator dan tirani. Perbuatan dan ketetapan yang dikeluarkan
menjadi pegangan bagi masyarakat, mengingat orang yang bodoh dan lemah selalu
mengharapkan pertolongan dan bantuannya.
Dalam masyarakat yang sudah maju,
dimana ilmu pengetahuan dan keterampilan sudah mulai banyak dimiliki oleh
masyarakat, paham vitalisme tidak akan mendapat tempat lagi, dan digeser dengan
pandangan yang bersifat demokratis.
3. Religiosme
Menurut paham ini dianggap baik
adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk
adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini
keyakinan feologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan
penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Tuhan,
jika yang bersangkutan tidak beriman kepadanya. Menurut Poedjawijatna aliran
ini dianggap paling baik dalam praktek, namun terdapat pula keberatan terhadap
aliran ini, yaitu karena ketidakumuman dari ukuran baik dan buruk yang
digunakannya.
Diketahui bahwa di dunia ini
terdapat bermacam-macam agama, dan masing-masing agama menentukan baik buruk
menurut ukurannya masing – masing. Agama Hindu, Budha, Yahudi. Kristen, dan Islam,
misalnya masing – masing memiliki pandangan dan tolak ukur tentang baik dan
buruk yang satu dan lainnya berbeda-beda.
4. Evolusi (Evolution)
Mengikuti paham ini mengatakan bahwa
segala sesuatu yang ada di ala ini mengalami evolusi yaitu berkembang dari apa
adanya menuju kepada kesempurnaannya. Paham ini pertama muncul dibawah oleh
seorang ahli pengetahuan bernama “LAMARK”. Dia berpendapat bahwa jenis binatang
itu berubah satu sama lainnya. Pendapat ini bukan hanya berlaku pada
benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan. Tetapi
juga berlaku pada benda yang tak dapat dilihat / diraba oleh indra, seperti
akhlak dan moral.
5. Aliran Tradisional
Tiap umat manusia mempunyai adat /
tradisi dan peraturan tertentu yang dianggap baik untuk dilaksanakan. Karena
itu, kapan dan dimanapun juga, dipengaruhi oleh adat kebiasaan atau tradisi
bangsanya, karena lahir dalam lingkungan bangsanya.
Harus diakui, bahwa aliran ini
banyak mengandung kebenaran, hanya secara ilmiah kurang memuaskan, karena tidak
umum. Dengan demikian, maka terjadilah bermacam-macam perbedaan adat /
kebiasaan diantara bangsa-bangsa, tidak itu saja, bahkan perbedaan antar suku.
6. Baik Buruk Aliran Naturalisme
Yang menjadi ukuran baik dan
buruknya perbuatan manusia menurut aliran ini adalah perbuatan yang sesuai
dengan fitrah / naluri manusia itu sendiri, baik mengenai fitrah lahir maupun
fitrah batin. Aliran ini berpendirian bahwa segala sesuatu dalam dunia ini
menuju kepada suatu tujuan tertentu. Dengan memenuhi panggilan nature setiap
sesuatu akan dapat sampai kepada kesempurnaan. Karena akal pikiran itulah yang
menjadi wasilah bagi manusia untuk mencapai tujuan kesempurnaan, maka manusia
harus melakukan kewajibannya dengan berpedoman kepada akal.
7. Baik Buruk Aliran Theologis
Aliran ini berpendapat bahwa yang
menjadi ukuran baik dan buruknya perbuatan manusia, adalah didasarkan atas
ajaran Tuhan, apakah perbuatan itu diperintahkan/dilarang oleh-Nya. Dengan
perkataan theologies saja nampaknya masih samara karena di dunia ini terdapat
bermacam-macam agama yang mempunyai kitab suci sendiri-sendiri yang antara satu
dengan yang lain tidak sama. Sebagai jalan keluar dari kesamaran itu ialah
dengan mengkaitkan etika, theologies ini dengan jelas kepada agama, missal
etika theologies menurut Kristen, etika theologies menurut Yahudi dan Theologis
menurut Islam.
8.
Baik
dan Buruk Menurut Ajaran Islam
Ajaran Islam adalah ajaran yang
bersumberkan wahyu Allah SWT. Al Qur’an yang dalam penjabarannya dilakukan oleh
hadits Nabi Muhammad SAW.
Menurut ajaran Islam penentuan baik
dan buruk harus didasarkan pada petunjuk Al Qur’an dan Al Hadits. Jika tidak
memperhatikan Al Qur’an dan Al Hadits dapat dijumpai berbagai istilah yang
mengacu pada yang baik dan adapula yang mengacu pada yang buruk. Misal Al hasanah
dikemukakan oleh Al – Eqghib al Asfahani adalah suatu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan sesuatu yang disukai atau dipandang baik. Lawan dari al
hasanah adalah al sayyiah. Yang termasuk al hasanah missal keuntungan
kelapangan rezeki dan kemenangan. Misalnya kita jumpai pada ayat yang artinya:
Ajaran manusia menuju Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Adapun
kata Al birr digunakan untuk menunjukkan pada upaya memperluas/memperbanyak
melakukan perbuatan yang baik. Jika kata tersebut digunakan untuk sifat Allah,
maka maksudnya adalah bahwa Allah memberikan balasan pahala yang besar, dan
jika digunakan untuk manusia, maka yang dimaksud adalah ketaatannya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relative sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskannya dan pengertian ini bersifat subjektif, karena bergantung pada individu yang menilainya.
Sesuatu yang disebut baik atau buruk itu relative sekali, karena bergantung pada pandangan dan penilaian masing-masing yang merumuskannya dan pengertian ini bersifat subjektif, karena bergantung pada individu yang menilainya.
Beberapa
aliran-aliran filsafat yang mempengaruhi dalam penentuan baik dan buruk
diantaranya :
1.
Baik
dan Buruk Menurut Ajaran Islam
2.
Baik
Buruk Aliran Theologis
3.
Baik
Buruk Aliran Naturalisme
4.
Aliran
Tradisional
5.
Evolusi
(Evolution)
6.
Religiosme
7.
Vitalisme
8.
Intuition
( Humanisme )
9.
Aliran
Adat Istiadat ( Sosialisme )
10. Aliran Hedoisme
DAFTAR PUSTAKA
Nata,
Abiddin. 1996. Akhlak Tasawuf. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Mustofa,
Akhmad. 1999. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia
Shaltat,
Mahmud. 1994. Aqidah Dan Syari’at Islam. Jakarta : Bumi Aksara
Al
Baqir, Muhammad. 1994. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung. Karisma.
No comments:
Post a Comment