AL-ISLAM
KEMUHAMMADIYAAN
PRNSIP
DAN AJARAN ISLAM DALAM ILMU
OLEH
: KELOMPOK 13
Kelas
III. E
1. NUR
EKASARI
2. KHAERA
UMMAH
PROGRAM
STUDI STRATA SATU (S-1)
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
NOVEMBER
2014/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
belakang
Islam
merupakan agama Samawi yang diturunkan oleh ALLAH S.W.T. kepada manusia dan
Nabi Muhammad S.A.W. merupakan rasul yang diturunkan oleh ALLAH S.W.T. kepada
manusia sebagai pembimbing serta rujukan. Perkara yang menjadi asas kepada
penganut agama Islam adalah iman dan amal. Iman adalah kepercayaan kita kepada
apa jua yang diturunkan oleh ALLAH S.W.T. dan amal pula merupakan ibadah yang
wajib serta perlu dilaksanakan bagi membenarkan iman seseorang itu. Bagi
memperolehi iman serta amal yang benar perkara yang perlu ada bagi setiap
individu muslim itu adalah ilmu. Seperti mana wahyu pertama yang diturunkan
kepada Rasulullah Surah Al-‘Alaq ayat 1-5 dengan jelas mewajibkan. Orang yang
berilmu juga mendapat pengiktirafan dan kedudukan yang tinggi di sisi ALLAH
S.W.T. seperti yang firmanNYA:
“Allah
memberikan hikmah (ilmu pengetahuan) kepada sesiapa yang dikehendakiNya dan
orang-orang yang diberikan ilmu pengetahuan beerti ia telah diberikan kebaikan
yang banyak”. (Al-Baqarah:269)
BAB
II
PEMBAHASAN
PRINSIP
DAN AJARAN ISLAM DALAM ILMU
Ilmu
pengetahuan merupakan prasyarat terpenting bagi pembangunan bangsa yang kuat
dan dihormati. Setiap perkara di dunia ini mestilah disandarkan kepada ilmu
seperti iman dan perkara keagamaan, ekonomi,politik, sosial, perpaduan dan
sebagainya. Iman atau amalan tanpa ilmu ibarat sebuah bangunan di atas pasir
atau sarang labah-labah. Apabila datang ribut yang kuat maka akan binasalah ia.
Ilmu pengetahuan juga adalah asas pembentukan sesebuah tamadun manakala akhlak
pula adalah pengutuh atau pengukuh yang berperanan mengekalkan kekuatan
pembangunan bangsa, negara atau sebuah tamad.
Individu
muslim yang menuntu ilmu dalam masa yang sama perlu menghindari perasaan malas
dan mudah jemu dengan buku pengajian. Ini dapat diatasi dengan membaca nota
atau buku-buku yang kecil dan ringan. Selain itu amalan zikrullah dan membaca
ayat-ayat suci Al-Quran mampu melembut hati manusai kerana sesiapa yang
menjauhi nasihat ataupun tazkirah diri ditakuti Allah akan mengeraskan hatinya
sebagaimana firman ALLAH S.W.T. yang bermaksud :
“Dan
ingatlah ketika mana nabi Musa berkata kepada kaumnya :Wahai kaumku! Mengapa
kamu menyakitiku sedangkan kamu mengetahui bahawa aku ini adalah utusan Allah .
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan
teman yang buruk hanyalah seumpama pembawa minyak wangi dan peniup tungku api
seorang tukang besi. Bagi pembawa minyak wangi, boleh jadi sama ada dia
memberinya kepada kamu (minyak wangi) atau kamu membeli daripadanya (minyak
wangi) atau kamu mendapat bau harum daripadanya. Bagi peniup tungku api seorang
tukang besi, boleh jadi sama ada ia akan membakar pakaian kamu (kerana kesan
tiupan api) atau kamu mendapat bau yang tidak sedap daripadanya (bau besi).”
Oleh
itu sesiapa yang berusaha untuk memahami agama Islam hendaklah sentiasa
berhubung dengan orang-orang yang perhubungannya sentiasa bersama ilmu. Mereka
adalah orang-orang yang perhatiannya sentiasa kepada al-Qur’an dan al-Sunnah
yang sahih, usahanya sentiasa kepada mengkaji kitab-kitab peninggalan para
ulama’ dan pemikirannya sentiasa ke arah memperbaiki keadaan umat Islam dan
menjaga kemurnian agama Islam. Di antara mereka ialah para alim ulama’ dan
guru-guru, maka hendaklah memuliakan mereka, mendengar nasihat mereka dan
mengikuti jejak langkah mereka. Seandainya mereka berbuat salah, hendaklah
menasihati mereka secara sopan dan tersembunyi, tidak secara kasar dan terbuka
kepada orang ramai. Di antara mereka adalah orang-orang yang dalam proses
memahami agama Islam, maka hendaklah menjadikan mereka sebagai sahabat karib,
selalu meluangkan masa berkongsi ilmu, bertukar-tukar pendapat dan saling
menasihati.
Adab menuntut ilmu yang kelima adalah beramal dengan
segala ilmu yang diperolehi. Para penuntut ilmu perlu
mengamalkan segala ilmu yang dipelajari setakat mana yang termampu olehnya.
Ulama’ silam sentiasa member peringatan bahawa orang yang berilmu dan tidak
beramal dengan ilmunya akan dihumban ke dalam api neraka lebih dahulu daripada
penyembah berhala. Jadikanlah ilmu yang dipelajari sebagai benteng daripada
terjerumus ke kancah maksiat dan jadikanlah juga ia sebagai senjata di dalam
mematahkan serangan musuh Islam serta jadikankanlah ia sebagai ubat yang
mujarab di dalam menyembuhkan penyakit jahil dan batil di dalam masyarakat.
Jangan jadikan ia sebagai barangan jualan untuk mengejar kekayaan dunia yang
sementara. Tanpa usaha yang bersungguh- sungguh, pengamalan ilmu yang dipelajari
itu tidak mampu untuk dilaksanakan.Seperti firman ALLAH S.W.T.
“Wahai
orang-orang yang beriman! mengapa kamu mengatakan apa yang kamu tidak kotakan?
Amat besar kebencian Allah di sisi Allah bahawa kamu mengatakan apa yang tidak
kamu kotakan” (As-Sof: 2-3)
A. ILMU DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Ilmu
dari sudut bahasa berasal dari perkataan Arab "Alima" yang bererti
mengetahui atau perbuatan yang bertujuan untuk mengetahui tentang sesuatu
dengan sebenarnya. Selama
ini dan bahkan sampai saat ini masih cukup banyak diantara kita yang memandang
ilmu it secara dikotomis, yakni ada ilmu agama tersendiri dan ilmu umum secara
tersendiri pula. Keduanya seakan berdisi sendiri-sendiri, tanpa ada kaitan
sama sekali. Akibatnya kedua ilmu ini semakin jauh dan tidak pernah berinteraksi
secara harmonis, sehingga apabila ada orang yang ahli dalam suatu bidang ilmu
pengetahuan tertentu, belum pasti dia itu mengetahui tentang posisi ilmu agama
dalam ilmu tersebut, dan demikian juga sebaliknya.
Padahal kita yakin bahwa ilmu pengetahuan itu datangnya dari Tuhan, dan Islam
pun juga dari Tuhan, karena itu secara teori sesungguhnya kedua ilmu itu
merupakan entitas yang satu yang seharusnya tidak boleh dipisahkan.
Akibat dari pemisahan tersebut, saat ini cukup banyak orang yang hanya berkutat
dengan keilmuan tertentu saja, tanpa mengaitkan sama sekali ilmu tersebut
dengan Islam. Sementara dilain pihak ada juga orang yang hanya menekuni
ilmu agama saja tenpa mau tahu tentang keitannya dengan ilmu pengetahuan
lain. Dan inilah saat ini yang terjadi di masyarakat kita, dan ini
sesungguhnya harus dianggap kecelakaan sejarah yang kedepan tidak boleh lagi
terjadi.
Kita semua yakin dan sangat percaya bahwa Islam itu meliputi segala hal, dan
Tuhan tidak mungkin membedakan, apalagi memisahkan antara Islam dan segala
keilmuan yang ada di dunia ini. Kalau kita mau mengkaji dan menggali akar
keilmuan bagi segala ilmu pengetahua yang ada, tentu kita akan mendapatkannya
di dalam al-Quran . Hanya saja kecenderungan umat kita saat ini justru
menjauh dari ruh al-Quran, karena memang para intelektual Islam yang ada
saat ini kurang sekali mengkaitkan antara pembahasan suatu keilmuan tertentu
dengan al-Quran. Tulisan dan buku yang mereka hasilkan juga masih belum
mengarah kepengintegrasian antara keduanya. Sedangkan para ulama sendiri
juga seolah enggan untuk berusaha mengerti dan mengetahui keilmuan lain selain
Islam, meskipun ilmu tersebut sangat dibutuhkan oleh umat.
Akibat dari ini semua para ahli dalam berbagai bidang keilmuan,
kadang-kadang tidak tahu sama sekali tentang kaitan ilmu yang dikuasai tersebut
dengan Islam. Ia bahkan menganggap bahwa ilmu yang dia geluti selama ini
hanylah sebuah ilmu keduniaan, dan tidak terkait dengan ilmu keislaman, padahal
ia itu seorang ilmuwan muslim. Alangkah naif dan ruginya kita,
kalau hal ini terus-menerus kita biarkan berjalan dan tidak ada upaya
sedikitpun dari kita untuk mengubahnya.
Islam, dalam hal ini al-Quran telah
mampu memberikan inspirasi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dalam segala
bidang, tetapi kenapa saat ini al-Quran tidak diikut sertakan dalam setiap
pembahasan keilmuan yang bersifat duniawi. Bukankah al-Quran itu suatu
kitab yang memang diperuntukkan bagi kita dalam rangka mengelola dunia
ini?. Tuhan tidak bermaksud menjadikan kalamNya tersebut hanya
untuk beribadah mahdlah yang hanya berimplikasi terhadap kehidupan akhirat
saja, melainkan Tuhan pasti bermaksud menjadikan al-Quran itu sebagai pedoman
semua umat dalam rangka kehidupannya di dunia dan sekaligus dalam rangka
mempersiapkan kehidupannya di akhirat.
Karena itulah Tuhan selalu mengkaitkan kehidupan akhirat dengan kehidupan di
dunia. Pada saat ini memang kita sedang hidup di alam dunia dengan tugas
memakmurkan dunia ini dengan segala pernik-perniknya, tetapi Tuhan juga
mengingatkan bahwa jangan sekali-kali kita melupakan kehidupan akhira yang
kekal. jadi dengan melihat dari ini semua kita dapat menyimpulkan bahwa
Islam terutama melalui al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad SAW., tidak pernah sekalipun
berusaha memisahkan antara kelimuan yang bersifat duniawi dan bermanfaat
untuk merajut kehidupan di duna, dengan keilmuan yang bersifat ukhrawi dan
tentu akan bermanfaat di akhirat.
Dengan
kenyataan ini, sesungguhnya sudah tidak ada alasan lagi untuk terus
mempertahankan dikotomi keilmuan yang selama ini kita lestarikan. Kita
harus segera mengembalikan kondisi ini kepada kondisi ideal, sesuai dengan
pandangan al-Quran dan sunnah Nabi. Kita tidak boleh lagi menjauhkan dan
memisahkan keilmuan Islam dari kehidupan dunia yang kita geluti
sehari-hari. Apapun ilmu yang kita kembangkan, termasuk keilmuan yang
selama ini dianggap murni keduniaan, harus kita warnai dengan keilmuan
Islam. Atau dengan kata lain bahwa Islam (al-Quran dan Sunnah) harus kita
jadikan panglima dalam pengembangan segala bidang ilmu. Di
dalam Islam ilmu terbahagi kepada dua iaitu ilmu Fardhu Ain dan ilmu Fardhu
Kifayah. Ilmu Fardhu Ain
ialah segala macam ilmu untuk mengenal ALLAH S.W.T., mengetahui sifat-sifat
ALLAH S.W.T, mengetahui perkara ghaib, mengetahui cara beribadat, halal dan
haram, mengetahui ilmu yang berkaitan dengan menjaga hati dan amalan hati,
seperti sabar, ikhlas, hasad, ujub, takabur dan sebagainya. Berasaskan inilah
para ulama’ menklasifikasikan ilmu kepada ilmu Tauhid, ilmu Feqah dan ilmu
Tasawuf atau lebih kita kenali sebagai ilmu Syara’.
Ilmu Fardhu Kifayah pula ialah ilmu yang perlu diketahui
untuk keperluan dan keselesaan hidup di dunia. Ilmu Fardhu Kifayah merupakan
pelengkap kepada tahap keilmuan ummah selepas ilmu Fardhu Ain. Antara cabang
ilmu yang dikategorikan sebagai ilmu Fardhu Kifayah adalah ilmu perubatan,
kejuruteraan, perindusterian, matematik, ekonomi, politik dan lain-lain. Maksud
Fardhu Kifayah ialah wajib ada dalam satu kumpulan umat Islam seorang individu
muslim yang menuntut ilmu itu dan semua orang dalam kumpulan itu terlepas
daripada dosa. Sebaliknya jika tidak ada seorang pun dalam kumpulan itu yang
mengetahui ilmu ini, maka semua orang dalam kumpulan itu berdosa (Al-Ghazali,
1988).
Di antara ilmu-ilmu agama yang utama sekali pada
nilaian ALLAH S.W.T. adalah ilmu agama yang telah diwahyukannya kepada
Rasul-Nya. Sebabnya kerana ilmu agama ini diturunkan oleh ALLAH S.W.T. dengan dua
tujuan:
Pertama: Kerana mengaturkan hubungan manusia sesame
manusia dan mengatur hubungan manusia dengan ALLAH S.W.T.. Dengan ilmu agama
ini ALLAH S.W.T. mengajar mereka adab peraturan yang jika diamalkan oleh
seseorang akan hiduplah ia dengan saudara-saudaranya - manusia yang lain –
dalam keadaan kasih mesra dan bersih suci dari perasaan hasad dengki.
Kedua : Dengan ilmu agama inijuga ALLAH S.W.T.
mengajar mereka adab peraturan yang jika diamalkan oleh seseorang dalam
hubungannya dengan Tuhan akan berjayalah ia mencapai keredhaan-Nya, iaitu
dengan menjadikan dia berkehidupan bahagia di dunia dan mendapat balasan yang
sebaik-baiknya di akhirat kelak.
B. PENERAPAN ILMU BERBASIS SUNNATULLAH DAN QADARULLAH
1. Pengertian Sunnatullah
Kata sunnatullah dari segi bahasa
terdiri dari kata sunnah dan Allah. Kata sunnah antara lain berarti kebiasaan.
Sunnatullah adalah kebiasaan-kebiasaan Allah dalam
memperlakukan masyarakat. Dalam
al-Qur’an kata sunnatullah dan yang semakna dengannya seperti sunnatina atau
sunnatul awwalin terulang sebanyak tiga belas kali. Sunnatullah adalah
hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para Rasul,
undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaksud di dalam
al-Qur’an, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis.
Sunatullah
adalah bagian yang bersifat 'dinamis' dari ilmu-pengetahuan-Nya di alam semesta
ini. Karena sunatullah memang hanya semata terkait dengan segala proses
penciptaan dan segala proses kejadian lainnya (segala proses dinamis).
Sunatullah itu sendiri tidak berubah-ubah, namun masukan dan keluaran prosesnya
yang bisa selalu berubah-ubah secara 'dinamis' (segala keadaan lahiriah dan
batiniah 'tiap saatnya'), dan tentunya sunatullah juga berjalan atau berlaku
'tiap saatnya'. Sunatullah berupa tak-terhitung jumlah aturan atau rumus proses
kejadian (lahiriah dan batiniah), yang bersifat 'mutlak' dan 'kekal', yang tiap
saatnya pasti selalu mengatur segala zat ciptaan-Nya di alam semesta ini.
2. Ilmu berdasarkan Sunnatullah
Segala bentuk
ilmu-pengetahuan (beserta segala teori dan rumus di dalamnya), yang dikenal dan
dicapai oleh manusia, secara "amat obyektif" (sesuai dengan
fakta-kenyataan-kebenaran secara apa adanya, tanpa ditambah dan dikurangi),
pada dasarnya hanya semata hasil dari pengungkapan, atas sebagian amat sangat
sedikit dari ilmu-pengetahuan-Nya (terutama sunatullah).
Bahkan nantinya,
segala bentuk ilmu-pengetahuan yang belum dikenal, juga hanya hasil dari usaha
mengungkap atau memformulasikan sunatullah, yang justru telah ditentukan atau
ditetapkan-Nya, sebelum awal penciptaan alam semesta ini.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'. Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Dan segala bentuk ilmu-pengetahuan lainnya pada manusia, yang bukan hasil dari usaha mengungkap atau memformulasikan sunatullah, secara "amat obyektif", tentunya bukan bentuk ilmu-pengetahuan yang 'benar'. Ilmu-pengetahuan Allah, Yang Maha Mengetahui bersifat 'mutlak' (pasti benar) dan 'kekal' (selalu benar). Sedangkan segala bentuk ilmu-pengetahuan manusia (bahkan termasuk para nabi-Nya), pasti bersifat 'relatif' (tidak mutlak benar), 'fana' (hanya benar dalam keadaan tertentu) dan 'terbatas' (tidak mengetahui segala sesuatu hal). Karena tiap manusia memang pasti memiliki segala kekurangan dan keterbatasan.
Namun tiap manusia justru bisa berusaha semaksimal mungkin, agar tiap bentuk ilmu-pengetahuannya bisa makin 'sesuai' atau 'mendekati' ilmu-pengetahuan Allah di alam semesta ini, dengan menggunakan akalnya secara relatif makin cermat, obyektif dan mendalam.
Usaha seperti
ini justru juga telah dilakukan oleh para nabi-Nya. Sehingga seluruh
pengetahuan mereka tentang pengetahuan atau kebenaran-Nya, terutama yang paling
penting, mendasar dan hakiki bagi kehidupan umat manusia (hal-hal gaib dan
batiniah), memang telah bisa tersusun relatif sempurna (relatif amat lengkap, mendalam, konsisten, utuh dan
tidak saling bertentangan secara keseluruhannya). Hal ini yang justru telah
mengakibatkan tiap pengetahuan mereka, bisa disebut 'wahyu-Nya'. Baca pula
artikel/posting "Cara proses diturunkan-Nya wahyu".
Segala bentuk
ilmu-pengetahuan manusia mestinya bisa dipilih terlebih dahulu, secara amat
hati-hati, cermat dan selektif, sebelum dipakai atau diyakini, karena relatif
bisa mudah menyesatkan, terutama pada agama, ajaran dan paham yang bersifat
'musyrik' dan 'materialistik', yang memang pasti tidak sesuai dengan kebenaran-Nya
(mustahil berasal dari Allah dan tidak bersifat mendasar / hakiki).
3. Pengertian Qadarullah
Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman.
4. Ilmu berdasarkan Qadarullah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
لا يؤمن عبد حتى يؤمن بالقدر خبره وشره
حتى بعلم أن ما أصابه لم يكن ليخطئه وأن ما أخطأه لم يكن ليصيبه
“Tidak beriman salah seorang dari kalian
hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin
bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput
darinya tidak akan menimpanya.”
(Shahih,
riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah
radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya
(no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits
ini shahih.’
Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya
kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab,
الإيمان أن تؤ من با لله وملا ئكته وكتبه
ورسله واليوم الا خر وتؤ من بالقدرخيره وشره
“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya,
Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik
maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))
Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
كل شيء بقدر حتى العجز والكيسز
“Segala sesuatu telah ditakdirkan,
sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
C. AYAT AL-QURAN DAN HADITS
Kedudukan Ilmu pengetahuan dalam Islam menempati kedudukan tinggi dimana
Al-Qur’an memandang orang yang beriman dan berilmu pengetahuan berada pada
posisi yang tinggi dan mulia, dan juga ditegaskan dalam Hadits-hadits Nabi yang
memuat anjuran dan dorongan untuk menuntut ilmu. “Allah akan mengangkat derajat
orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS.
Mujadillah [58]: Hal ini juga ditegaskan
dalam beberapa ayat dan hadits rasulullah saw sebagai berikut:
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Mujaadilah [58] :11)
Rasulullah saw pun memerintahkan para orang tua agar mendidik
anak-anaknya dengan sebaik mungkin. “Didiklah anak-anakmu, karena mereka itu
diciptakan buat menghadapi zaman yang sama sekali lain dari zamanmu kini.”
(Al-Hadits Nabi saw). “Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap Muslimin,
Sesungguhnya Allah mencintai para penuntut ilmu.” (Hadis Nabi saw).
Ayat ini menguraikan bagaimana kedudukan dari setiap umat manusia yang
memiliki tingkat keimanan yang tinggi yang dibarengi dengan Penguasaan terhadap
ilmu pengetahuan. Tidak akan beriman seseorang jika tidak memiliki pengetahuan
dan sesungguhnya pengetahuan itu akan melahirkan kemudharatan jika tidak
dibarengi dengan kaar keimanan yang baik. Hal ini memberikan indikasi bahwa
sesungguhnya antara Islam dan Ilmu Pengetahuan adalah maerupakan dua sisi mata
uang yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan
ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada
sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun
yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang
hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak
terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
إنا كل شىء خلقنه بقدر
“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs.
Al-Qamar: 49)
وخلق كـل شىء فقدره, تقديرا
“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan
ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)
وإن من شىء إلا عنده بمقدار
“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya,
dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs.
Al-Hijr: 21)
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ilmu yang benar menurut syari’at Islam adalah ilmu yang
bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunah serta tanda-tanda kekuasaan Allah SWT di
alam semesta ini. Dalam Al-
Qur’an maupun As-Sunah kita sebagai
umat Islam diperintahkan untuk menuntut ilmu dan dihukumi wajib. Karena
sesungguhnya ilmu merupakan syarat utama diterimanya suatu amalan. Ilmu pada
dasarnya memiliki banyak keutamaan, tiga di antaranya adalah ilmu dapat
mengangkat derajat pemiliknya (seorang mukmin) di atas hamba lainnya, Allah SWT
akan memudahkan bagi orang yang berilmu jalan menuju surga, seluruh makhluk
akan memintakan ampun bagi para penuntut ilmu. Individu muslim
yang menuntu ilmu dalam masa yang sama perlu menghindari perasaan malas dan
mudah jemu dengan buku pengajian. Ini dapat diatasi dengan membaca nota atau
buku-buku yang kecil dan ringan. Selain itu amalan zikrullah dan membaca
ayat-ayat suci Al-Quran mampu melembut hati manusai kerana sesiapa yang
menjauhi nasihat ataupun tazkirah diri ditakuti Allah akan mengeraskan hatinya
sebagaimana firman ALLAH S.W.T. yang bermaksud :
“Dan
ingatlah ketika mana nabi Musa berkata kepada kaumnya :Wahai kaumku! Mengapa
kamu menyakitiku sedangkan kamu mengetahui bahawa aku ini adalah utusan Allah .
“Sesungguhnya perumpamaan teman yang shalih dan
teman yang buruk hanyalah seumpama pembawa minyak wangi dan peniup tungku api
seorang tukang besi. Bagi pembawa minyak wangi, boleh jadi sama ada dia
memberinya kepada kamu (minyak wangi) atau kamu membeli daripadanya (minyak
wangi) atau kamu mendapat bau harum daripadanya. Bagi peniup tungku api seorang
tukang besi, boleh jadi sama ada ia akan membakar pakaian kamu (kerana kesan
tiupan api) atau kamu mendapat bau yang tidak sedap daripadanya (bau besi).”
Oleh itu sesiapa yang berusaha untuk
memahami agama Islam hendaklah sentiasa berhubung dengan orang-orang yang
perhubungannya sentiasa bersama ilmu. Mereka adalah orang-orang yang
perhatiannya sentiasa kepada al-Qur’an dan al-Sunnah yang sahih,
No comments:
Post a Comment