A. Pendahuluan
Hak Asasi Manusia yang selanjutnya
disebut HAM dalam perspktif sejarahnya dapat ditarik sampai pada
permulaan kisah manusia dalam pergaulan hidup di dunia ini sejak ia
sadar akan hak yang dimilikinya dan kedudukannya sebagai subyek hukum.
Tetapi menurut hasil penelitian, sejarah HAM tumbuh dan berkembang sejak
HAM itu diperjuangkan ketika berhadapan dengan kesewenang-wenangan
kekuasaan negara.[1]
Dari sejarah dunia kita mengetahui bahwa
negara negara Eropa pernah menjajah bangsa-bangsa di benua Asia, Afrika,
Australia, dan Amerika. Realitas sejarah berupa penjajahan suatu
bangsa atas bangsa lain ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM
dalam bentuknya yang klasik. Tidak hanya oleh negara asing, pelanggaran
HAM juga mungkin dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyatnya sendiri.
Misalnya pada masa Orde Baru, kebebasan berkumpul, berserikat, dan
mengeluarkan pendapat sangat dibatasi. Begitu juga kejahatan terhadap
kemanusiaan dalam berbagai bentuknya sering terjadi, seperti
penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan atas orang-orang yang dianggap
dapat mengancam dan menggoyahkan eksistensi kekuasaannya. Rezim Orde
Baru yang represif dan otoriter sudah terlalu banyak melakukan
pelanggaran pelanggaran HAM, sehingga menimbulkan gejolak gejolak sosial
dan politik yang pada akhirnya mengakibatkan kejatuhannya pada bulan
Mei 1998 lalu.
Rezim Orde Baru berkuasa selama lebih
dari tiga puluh tahun, sebuah rentang waktu yang cukup lama bagi sebuah
kekuasaan untuk dapat menanamkan pengaruhnya terhadap pola pikir dan
prilaku masyarakatnya. Sungguhpun rezim tersebut telah jatuh dan
berganti dengan rezim baru (Orde Reformasi) tetapi pengaruh Rezim Orde
Baru itu masih tampak kuat dalam membentuk dan mewarnai kehidupan
masyarakat Indonesia sehingga karena begitu kuatnya pengaruh tersebut
maka pemerintahan dibawah rezim Orde Reformasi itu tidak lebih sebagai
kondisi transplacement-meminjam istilah Samuel P.
Huntington-yaitu munculnya pemerintahan baru sebagai hasil gabungan
antara sosok penguasa yang benar benar baru dengan sosok penguasa lama
dari rezim otoriter sebelumnya.[2]
Namun demikian dalam era reformasi ini
telah berhasil disusun instrumen instrumen penegakan HAM. Diantaranya
amandemen UUD ‘45 yang kemudian memasukkan HAM dalam bab tersendiri
dengan pasal pasal yang menyebutkan HAM secara lebih detail. Selain
amandemen UUD ‘45 juga ditetapkannya Ketetapan MPR RI No. XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia yang menugaskan kepada lembaga lembaga tinggi
negara dan seluruh aparatur pemerintah untuk menghormati, menegakkan
dan menyebarluaskan pemahaman mengenai HAM kepada seluruh masyarakat.
Juga menugaskan kepada Presieden RI dan DPR RI untuk meratifikasi
berbagai instrumen PBB tentang HAM sepanjang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan UUD 45, dan diudangkannya Undang Undang RI No 09 Tahun
1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dan Undang
Undang RI No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang juga
memperkuat posisi Komnas HAM yang dibentuk sebelumnya berdasarkan
Keppres. No 50 Tahun 1993 Tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia,
serta diundangkannya Undang Undang RI No 26 Tahun 2000 Tentang
Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Sungguhpun instrumen instrumen penegakan
HAM di Indonesia sudah cukup memadai, tapi dalam prakteknya penegakan
HAM masih dihadapkan kepada berbagai problem yang perlu diidentifikasi
dan dicarikan solusi, sehingga Indonesia sebagai negara hukum yang
diantara ciri-cirinya menegakkan HAM tidak hanya sebuah lip service atau retorika belaka, tapi benar benar menjadi sebuah jati diri negara Indonesia yang sesungguhnya.
B. Kajian Teoritis
1. Hak Asasi Manusia
Pasal 1 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999
Tentang Hak Asasi Manusia merumuskan pengertian HAM sebagai perangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahNya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.
Dari pengertian di atas dapat dipahami
bahwa HAM itu adalah hak yang tidak terpisahkan dari esensi dan
eksistensi manusia dan merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang harus
dihormati dan dilindungi oleh siapapun juga. Mengabaikannya berarti
mengingkari anugerah Tuhan Yang Maha Esa sekaligus berarti pula
mengingkari eksistensiNya sebagai al-Khaliq. Manusia merupakan
makhluk yang paling mulia dalam pandangan Tuhan . Ia diberiNya akal
budi yang menjadi sebuah potensi baginya untuk dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk. Karenanya martabat manusia yang mulia
tersebut harus dihormati dan dijunjung tinggi termasuk hak hak yang
melekat padanya. Hak hak itu meliputi :
- 1. Hak untuk hidup
- 2. Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan
- 3. Hak mengembangkan diri
- 4. Hak memperoleh keadilan
- 5. Hak atas kebebasan pribadi
- 6. Hak atas rasa aman
- 7. Hak atas kesejahteraan
- 8. Hak turut serta dalam pemerintahan
- 9. Hak wanita
- 10. Hak anak[3]
Rincian di atas apabila disimpulkan lebih
lanjut dapat dipahami bahwa pada hakikatnya HAM itu terdiri atas dua
hak dasar yang paling fundamental yaitu hak persamaan dan hak kebebasan.
Kedua hak dasar ini saling mempengaruhi dan sekaligus akan menjamin
terpenuhinya pula hak asasi yang lain. Sebagai contoh, tidak mungkin
kehidupan demokrasi dapat diwujudkan kalau rakyat tidak dijamin hak
persamaan dan hak kebebasannya untuk memilih wakil wakilnya di parlemen [4]
Penerapan HAM sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 39 Tahun 1999 hanya
dapat dibatasi berdasarkan Undang Undang. Pembatasan itu hanya dapat
dilakukan demi ketertiban umum dan kepentingan bangsa bukan kepentingan
penguasa. Untuk itu tidak ada satu ketentuanpun dalam Undang Undang
tentang HAM di atas boleh diinterpretasikan bahwa pemerintah atau pihak
manapun dibenarkan mengurangi, merusak atau menghapuskan HAM. Oleh
karenanya siapapun tidak dibenarkan mengambil keuntungan sepihak
dan/atau mendatangkan kerugian bagi pihak lain dalam menginterpretasikan
ketentuan dalam Undang Undang Tentang HAM sehingga mengakibatkan
berkurang dan terhapusnya HAM yang dijamin oleh Undang Undang tersebut.[5]
2. Kewajiban Dasar Manusia
Sangat tidak proporsional apabila
membahas HAM tanpa membahas pula Kewajiban Dasar Manusia, sebab diantara
keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Hak itu timbul dari
pelaksanaan kewajiban. Dalam Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi
Manusia PBB tidak dicantumkan Kewajiban Dasar Manusia. Kewajiaban Dasar
ini lahir dari UU No 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia BAB IV
pasal 67-70.
Yang dimaksud dengan Kewajiban Dasar
Manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan
tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya HAM. Kewajiban Dasar itu
meliputi :
- 1.Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan. Kewajiban ini berlaku bagi setiap orang yang berada dalam wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang berada di Indonesia.
- 2.Ikut serta dalam upaya pembelaan negara.
- 3.Menghormati HAM. Setiap orang wajib menghormati HAM, moral, etika dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Moral dan etika adalah suatu konsepsi tentang baik dan buruknya tingkah laku manusia didalam masyarakat. Sedangkan tertib kehidupan bermasyarakat diatur oleh hukum, moral/etika, adat, dan agama/kepercayaan.
- 4.Menghormati hak asasi orang lain. Setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik. Untuk itu tugas pemerintah dalam hal ini adalah menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukannya.
- 5.Tunduk pada pembatasan yang ditetapkan Undang Undang. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh Undang Undang. Hal ini dimaksudkan untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
3. Instrumen Penegakan HAM di Indonesia
Pemikiran HAM sejak awal pergerakan
kemerdekaan hingga saat ini mendapat pengakuan dalam bentuk hukum
tertulis yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berpuncak pada konstitusi sebagai peraturan perundang-undangan
tertinggi di Indonesia. Sekalipun UUD 45 memuat ketentuan ketentuan
tentang HAM yang mencakup bidang sipil, politik, ekonomi, sosial dan
budaya tetapi pengaturan itu dianggap belum detail sehingga timbul
permasalahan dalam bentuk hukum apakah rincian HAM itu harus ditetapkan.
Ismail Suny berpendapat bahwa terdapat tiga kemungkinan bentuk hukum yang dapat menampung rincian HAM itu:
- 1. Menjadikannya sebagai bagian integral dari UUD 45 yaitu dengan melakukan amandemen UUD 45.
- 2. Menetapkan rincian HAM dalam Ketetapan MPR. Keberatannya adalah bahwa suatu Ketetapan MPR pada umumnya tidak mengatur ancaman hukuman bagi pelanggarnya.
- 3. Mengundangkannya dalam suatu Undang Undang yang mengatur tentang sanksi hukum terhadap pelanggarnya.
Dari tiga kemungkinan bentuk hukum di
atas dalam realitasnya secara keseluruhan telah dipraktekkan oleh
pemerintah Indonesia dalam menguraikan rincian HAM.[6]
Berikut ini akan dijelaskan secara lebih detail bentuk bentuk hukum di atas sebagai instrumen penegakan HAM di Indonesia:
- a. Amandemen UUD 45.
Wacana tentang perlunya HAM dimasukkan
dalam UUD 45 berkembang ketika kesadaran akan pentingnya jaminan
perlindungan HAM semakin meningkat menyusul jatuhnya rezim Orde Baru
yang represif dan otoriter. Telah diakui bahwa UUD 45 tidak secara
eksplisit mengatur tentang HAM, bahkan beberapa pakar secara tegas
menyatakan bahwa konstitusi negara kita tidak mengenal HAM karena
dirumuskan sebelum adanya Deklarasi Universal HAM. Atas dasar itu
amandemen UUD 45 untuk memasukkan HAM didalamnya merupakan tuntutan
reformasi yang tidak bisa dielakkan. Dan usaha ini diharapkan akan
semakin memperkuat komitmen negara Indonesia untuk menegakkan dan
melindungi HAM di Indonesia, karena dengan menjadi bagian integral UUD
45 HAM itu akan menjadi hak yang dilindungi secara konstitusional (constitutional right) . Pemikiran ini kemudian direalisasikan pada Sidang Tahunan MPR Tahun 2000 melalui amandemen II UUD 45.
- b. Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia.
Ketetapan ini disahkan oleh Rapat
Paripurna Sidang Istimewa MPR pada tanggal 13 Nopember 1998. Pada masa
awal reformasi tuntutan mengenai perlunya suatu aturan yang memuat
ketentuan tentang HAM yang lebih rinci mengemuka dengan kuat dan menjadi
isu sentral yang cukup luas. Untuk mengakomodasi tuntutan tersebut
bentuk hukum yang dipilih untuk mengatur tentang HAM adalah Ketetapan
MPR, karena pada saat itu masih terjadi tarik menarik antara kelompok
yang menghendaki amandemen UUD 45 dan kelompok yang menolaknya. Maka
untuk menjembatani dua kolompok yang saling berseberangan ini dicarilah
suatu pola yang secara relatif lebih dapat diterima oleh mereka yaitu
dengan membuat Ketetapan MPR yang mengatur tentang HAM, di samping
secara prosedural pola ini lebih mudah dilakukan dibanding dengan
amandemen UUD 45.
- c. Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dipandang sebagai
Undang Undang pelaksana dari Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak
Asasi Manusia di atas, karena salah satu dasar hukumnya adalah Ketetapan
MPR tersebut. Ketika Undang Undang ini didiskusikan terdapat dua
pendapat yang kontradiktif tentang perlunya Undang Undang tentang HAM.
Pendapat pertama menyatakan bahwa pada dasarnya ketentuan mengenai HAM
tersebar dalam berbagai Undang Undang . Oleh karenanya tidak perlu
dibuat Undang Undang khusus tentang HAM. Pendapat lain menyatakan bahwa
Undang Undang tentang HAM diperlukan mengingat Tap MPR tentang HAM yang
sudah ada tidak berlaku oprasional dan Undang Undang yang sudah ada
tidak seluruhnya menampung materi HAM. Selain itu, Undang Undang tentang
HAM akan berfungsi sebagai Undang Undang payung bagi peraturan
perundang-undangan mengenai HAM yang sudah ada selama ini.[7]
Undang Undang No.39
Tahun 1999 selain memuat ketentuan ketentuan tentang HAM juga mengatur
tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang fungsi pokoknya adalah
melakukan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi
tentang HAM.
- d. Undang Undang No.26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Undang Undang ini dapat dianggap sebagai tonggak hukum kedua dalam penegakan HAM dalam level Undang Undang setelah UU. No.39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang Undang ini merupakan
pengganti dari Peraturan Pmerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) No 1
Tahun 1999 yang mengatur hal yang sama yang telah ditolak oleh DPR
sebelumnya[8]
- e. Undang Undang No. 09 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum.
Pengaturan tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum melalui Undang Undang ini bertujuan:
- 1. Mewujudkan kebebasan yang bertanggung jawab sebagai salah satu pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila dan UUD 45.
- 2. Mewujudkan perlindungan hukum yang konsisten dan berkesinambungan dalam menjamin kemerdekaan menyampaikan pendapat.
- 3. Mewujudkan iklim yang kondusif bagi berkembangnya partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.
- 4. Menempatkan tanggung jawab sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan kepentingan perorangan atau kelompok.
4. Problem Penegakan HAM Di Indonesia
Otoritarianisme rezim Orde Baru antara
lain ditandai dengan banyaknya kasus kasus pelanggaran HAM baik yang
terselubung maupun yang terbuka. Memang pada masa itu instrumen
instrumen penegakan HAM telah ada sekalipun tidak selengkap di era
reformasi misalnya ketentuan ketentuan tentang HAM yang tersebar dalam
peraturan perundang-undangan yang sudah ada, Deklarasi Universal Tentang
Hak Asasi Manusia yang telah disetujui dan diumumkan oleh Resolusi
Majlis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948, dibentuknya Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia berdasarkan Keppres No 50 Tahun 1993 dan lain
lain. Instrumen instrumen di atas ternyata tidak dapat berfungsi bagi
penegakan HAM karena hukum secara umum pada masa Orde Baru hanya
diajdikan alat untuk mempertahankan kekuasaan, bukan untuk mewujudkan
kebenaran dan keadilan, atau dengan kata lain hukum pada masa itu tidak
untuk ditegakkan. Padahal seorang filosof hukum aliran realisme bernama
Wilhelm Lundsted mengatakan bahwa hukum itu bukan apa-apa (law is nothing). Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa hukum baru memiliki makna setelah ditegakkan. Tanpa penegakan hukum bukan apa apa [9]
Sungguhpun rezim Orde Baru telah tumbang dan berganti dengan Orde Reformasi, tetapi pengaruh dari sistem dan paradigma lama (status quo) masih sangat kuat, sebab pengertian reformasi yang terjadi di Indonesia bukan mengganti orang orang lama (kelompok status quo)
secara total tetapi memunculkan orang-orang baru (kelompok reformis)
dan bergabung dengan orang orang lama dalam menjalankan pemerintahan.
Maka yang terjadi adalah pertarungan dan pergumulan antara dua kelompok
itu. Dan ternyata, setelah era reformasi bergulir kurang lebih lima
tahun, nampak bahwa kekuatan kelompok status quo masih
mendominasi sistem yang sedang berjalan termasuk dalam penegakan hukum.
Keterpurukan hukum di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang
meliputi tiga unsur sistem hukum, sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence
Meir Friedmann, yaitu struktur (structure), substansi (substance), kultur hukum (legal culture).[10]
- 1. Struktur, yang dimaksud dengan struktur dalam sistem hukum Indonesia adalah institusi institusi penegakan hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, serta hirarki peradilan dari yang terendah (Pengadilan Negeri, Pengadilan Agama, dan lain-lain) hingga yang tertinggi (Mahkamah Agung), begitu juga aparat penegak hukum yang bekerja pada institusi institusi penegakan hukum tersebut. Problem yang terjadi berkenaan dengan struktur ini adalah belum adanya kemandirian yudisial yang menjamin resistensi institusi institusi penegakan hukum terhadap intervensi pihak lain serta rendahnya kualitas moralitas dan integritas personal aparat penegak hukum sehingga hukum tidak dapat bekerja secara sistemik dan proporsional, termasuk dalam penegakan HAM.
- 2. Substansi, yaitu aturan, norma dan pola prilaku nyata manusia yang ada dalam sistem itu atau produk produk yang dihasilkannya berupa keputusan keputusan yang mereka keluarkan dan mencakup pula hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan aturan yang ada dalam kitab undang undang (law books). Yang menjadi problem dari substansi ini adalah kuatnya pengaruh positivisme dalam tatanan hukum di Indonesia yang memandang hukum sebagai sesuatu yang muncul dari otoritas yang berdaulat dalam bentuk undang undang dan mengabaikan sama sekali hukum diluar yang tersebut serta memandang prosedur hukum sebagai segala-galanya dalam penegakan hukum tanpa melihat apakah hal tersebut dapat mewujudkan keadilan dan kebenaran.
- 3. Kultur hukum, yaitu suasana pikiran dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari, dan disalahgunakan. Kultur hukum yang merupakan ekspressi dari tingkat kesadaran hukum masyarakat belum kondusif bagi bekerjanya sistem hukum secara proporsional dan berkeadilan.
Keterpurukan hukum di Indonesia yang
meliputi tiga unsur sistem hukum di atas sangat menghambat penegakan HAM
di negara kita sehingga wajar apabila kasus kasus pelanggaran HAM yang
tergolong berat hingga sekarang tidak ada yang berhasil diusut secara
tuntas dan profesional dan sudah tentu hal ini sangat mengusik rasa
keadilan masyarakat secara umum.
Selain itu secara struktural, kemandirian
institusi institusi penegakan hukum di Indonesia masih juga menjadi
problem yang cukup serius. Institusi institusi penegakan hukum tersebut
belum cukup resisten terhadap intervensi pihak lain terutama eksekutif,
padahal penegakan HAM memerlukan kemandirian yudisial dan pemerintahan
berdasarkan hukum (rule of law).
Problem penegakan HAM di Indonesia tidak
hanya menyangkut sistem hukum yang mengalami degradasi sebagaimana telah
dijelaskan di atas, tapi juga melibatkan sistem sistem lain yang
turut berpengaruh secara signifikan misalnya sistem politik, ekonomi
dan sosial.
Sistem politik transisional dari sistem
politik otoriter ke demokratis ternyata tidak bisa berjalan mulus.
Pergantian rezim dari Orde Baru ke Orde Reformasi telah banyak
menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM. Begitu juga ketika Orde
Reformasi berkuasa timbul gejolak dan pergumulan di antara kekuatan
reformasi sendiri, tanpa menafikan pengaruh dan peran kuat orang-orang
yang pro-status quo untuk saling berebut kekuasaan, yang hal
ini juga banyak menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran HAM, terutama
ketika militer diposisikan sebagai alat dan pendukung kekuasaan yang
sedang berlangsung.
Sistem ekonomi yang dibangun selama masa
Orde Baru terbukti belum mampu menyejahterakan dan mengangkat martabat
kehidupan bangsa Indonesia terutama rakyat kecil yang secara kuantitatif
paling banyak jumlahnya. Bahkan sejak terjadi krisis ekonomi yang
menyebabkan jatuhnya rezim Orde Baru, kondisi bangsa Indonesia semakin
terpuruk den krisis itu semakin melebar dan meluas hingga bersifat
multidimensional. Keterpurukan ekonomi ini juga menjadi problem
penegakan HAM di negara kita, sebab bagaimana seorang akan dapat
menghormati dan menghargai serta menghayati HAM kalau ia belum mampu
memenuhi kebutuhan dasarnya yang minimum sekalipun?
Dalam psikologi dikenal teori Abraham Maslow tentang The Basic Need Hierarchy Theory yang mengatakan bahwa ada lima tingkatan kebutuhan dasar manusia yaitu :
- a. Kebutuhan pokok fisiologis
- b. Kebutuhan akan keselamatan dan keamanan dari bahaya luar
- c. Kebutuhan akan cinta, kemisraan dan kebutuhan seksual
- d. Kebutuhan akan martabat, penghargaan sosial dan harga diri serta kebutuhan diperlakukan secara adil
- e. Kebutuhan untuk aktualisasi diri dan mempunyai sesuatu (obsesi).
Dalam konteks ini, Tjuk Wirawan berasumsi
bahwa apabila sebagian besar rakyat Indonesia sudah mampu memenuhi
kebutuhan dasarnya sampai dengan hirarki keempat yang berarti sebagian
besar rakyat sudah menginginkan pengakuan martabat dan harga dirinya
serta membutuhkan penghargaan sosial dan ingin diperlakukan secara adil,
maka pada taraf inilah penghormatan HAM dan penegakan serta
penghayatannya yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia akan dapat
dicapai.[11]
Sistem sosial masyarakat Indonesia pada
dasarnya bersumber dari nilai-nilai agama dan budaya yang menghargai dan
menghormati kedudukan manusia sebagai makhluk Allah SWT yang termulia
di bumi ini. Nilai-nilai agama dan budaya tersebut kemudian membentuk
etika sosial yang menjadi acuan bagi masyarakat dalam berprilaku dan
berinteraksi antara yang satu dengan yang lain dalam hidup bermasyarakat
berbangsa dan bernegara. Masyarakat Indonesia terkenal dengan sifat
sopan santunnya, sikap hormatnya kepada orang lain serta rasa
kekeluargaannya yang sangat tinggi. Tapi yang menjadi permasalahan
adalah mengapa ketika terjadi krisis multidimensional karakter sosial
yang positif tersebut menjadi berbalik seratus delapan puluh derajat,
sehingga yang terjadi adalah kebiadaban, keangkuhan dan kekerasan yang
kemudian menimbulkan ketidak-tertiban dan ketidak-harmonisan sosial (social disorder and disharmony).[12]
Dan kondisi sosial semacam ini tentu sangat tidak kondusif bagi usaha
usaha penegakan HAM di Indonesia. Frans Magnis Suseno mencoba memberi
jawaban dari permasalahan di atas. Menurutnya sistem sosial masyarakat
Indonesia rusak karena sistem sistem yang lain tidak bekerja dengan
baik, misalnya sistem hukum, sistem politik dan sistem ekonomi.
Seandainya sistem sistem ini bekerja dengan baik maka sistem sosial itu
akan menjadi baik pula, karena sistem sistem tersebut antara satu sama
lain saling mempengaruhi.[13]
C. Analisis
Penegakan HAM secara umum membutuhkan
penciptaan sebuah kondisi yang kondusif melalui penguatan sistem. Di
Indonesia selama masa Orde Baru dan masa transisi dari corak
pemerintahan otoriter ke demokratis, sistem itu tidak berjalan secara
proporsional. Sebagai konsekuensinya, maka banyak unsur unsur yang
berjalan diluar sistem; dan hal ini berarti sebuah penyimpangan dari
koridor sistem itu. Sebagai contoh terjadinya bentuk bentuk kekerasan
dan tindakan main hakim sendiri serta kerusuhan massal yang sangat
destruktif dan lain lain merupakan bentuk distorsi sistem yang lebih
disebabkan oleh ketidak-percayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang
ada. Apa yang dikatakan oleh Frans Magnis Suseno di atas memanglah
benar. Bahkan berkenaan dengan lemahnya sistem hukum di Indonesia, David
Black pada tahun 1970-an sudah mempertanyakan tentang kondisi hukum di
negara kita Is law there? (adakah hukum?).[14]
Begitu terpuruknya kondisi hukum di Indonesia sehingga mengakibatkan
terjadinya krisis berskala luas dan bersifat multidimensional.
Memang benar terpuruknya hukum itu dapat
juga dipengaruhi oleh sistem lain seperti sistem politik, sistem ekonomi
dan sistem sosial tapi pengaruh lemahnya sistem hukum terhadap rusaknya
sistem sistem tersebut paling signifikan sebab hukum dilihat dari
segi tujuannya merupakan yang paling bertanggung jawab atas hal tersebut
di atas. Tujuan hukum itu antara lain untuk memberikan pengayoman
kepada anggota masyarakat yang dilakukan dengan usaha mewujudkan
- 1. Ketertiban dan keteraturan yang memunculkan prediktabilitas.
- 2. Kedamaian yang berketenteraman.
- 3. Keadilan (distributif, komulatif, vindikatif, protektif).
- 4. Kesejahteraan dan keadilan sosial.
- 5. Pembinaan akhlak luhur berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[15]
Dari sini dapat ditarik suatu asumsi
bahwa seandainya sistem hukum itu bekerja dengan baik untuk mencapai
tujuannya di atas, maka krisis yang bersifat multidimensional itu akan
dapat teratasi dan penegakan HAM akan berjalan dengan baik. Dengan
demikian rekonstruksi sistem hukum harus menjadi sebuah perioritas.
Rekonstruksi sistem hukum tersebut meliputi tiga unsur pokok, yaitu
struktur, substansi. dan kultur.
Struktur mencakup institusi-institusi
penegakan hukum, yang dalam prakteknya belum sepenuhnya independen, atau
dengan kata lain masih sering diintervensi oleh pihak lain dalam
mengambil keputusan hukum. Keberadaan Kepolisian dan Kejaksaan sebagai
institusi penegakan hukum yang merupakan bagian dari eksekutif adalah
sebuah problem tersendiri bagi kemandirian yudisial di negara kita.
Selain institusi, struktur sistem hukum
juga meliputi aparat penegak hukum. Problem krusial yang ada pada
jajaran aparat penegak hukum secara umum adalah tingkat moralitas dan
integritas personalnya yang sangat rendah sehingga hukum tidak dapat
diimplementasikan sesuai ketentuan yang berlaku. Hukum tidak lebih
sebagai sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan atau dinegosiasikan
berdasarkan kepentingan yang melatarinya. Dua permasalahan di atas
menuntut upaya restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum,
sehingga kemandirian yudisial dapat dicapai. Demikian juga reformasi
sistem pendidikan calon aparat penegak hukum agar dihasilkan out-put yang
profesional dan memiliki tingkat moralitas dan integritas personal yang
tinggi. Faktor ini sangatlah penting dan menentukan sebab bagaimanapun
baiknya sebuah sistem hukum itu dibangun tentu tidak akan berarti apa
apa kalau kualitas aparatnya rendah secara profesional maupun moral dan
personal. Secara ekstrim keterpurukan hukum di Indonesia penyebab
utamanya adalah banyaknya aparat penegak hukum yang tidak memenuhi
kualifikasi di atas.
Substansi, yang menjadi permasalahan berkenaan dengan substansi adalah kuatnya pengaruh legal positivism
dalam sistem hukum di negara kita. Pemikiran positivisme hukum lahir
bersama dengan kelahiran negara modern pada akhir abad 18. Sebelum itu
masyarakat masih menggunakan hukum yang dinamakan interactional law atau customary law. Positivisme kental dengan dokumentasi dan formalisasi hukum dalam wujudnya sebagai bureaucratic law.
Dalam ilmu hukum yang legalistik-positivistik hukum dipandang sebagai
pranata pengaturan yang mekanistik dan deterministik. Dengan kata lain
positivisme telah melakukan penyederhanaan penyederhanaan yang
berlebihan dan hukum dipahami sebagai suatu keteraturan. Bagi kaum
positivis, hukum tidak lain dari perintah yang bersumber dari otoritas
yang berdaulat dalam masyarakat yang mengharuskan orang atau orang
orang untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu. Perintah itu disandarkan
kepada ancaman keburukan berupa sanksi yang dipaksakan berlakunya bagi
orang yang tidak taat. Perintah, kewajiban untuk mentaati dan sanksi
merupakan tiga unsur essensial hukum dalam pandangan positivisme. Bagi
faham ini hukum positif berbeda jika dibandingkan dengan asas asas lain
misalnya asas asas yang didasarkan pada moralitas, religi, kebiasaan,
konvensi ataupun kesadaran masyarakat.Bahkan lebih ekstrim lagi, hukum
harus melarang setiap aturan yang mirip hukum tetapi tidak bersifat
perintah dari otoritas yang berdaulat.[16]
Dilihat dari latarbelakang munculnya,
posistivisme ini dilatari oleh politik liberalisme yang memperjuangkan
kemerdekaan individu sehingga wajar apabila faham ini tidak memberikan concern terhadap
keadilan yang luas bagi masyarakat. Dan baginya untuk mewujudkan
kemerdekaan individu diperlukan kepastian hukum dalam bentuk undang
undang dan prosedur hukum yang jelas. Bahkan demi kepastian hukum
prinsip keadilan dan kemanfaatan bisa dikorbankan. [17]
Dengan memahami karakter posistivisme di
atas, maka apabila faham ini terus mendominasi sistem hukum negara kita
tentu akan menghambat penegakan hukum yang berkeadilan dan menimbulkan
keterpurukan hukum yang krusial terus menerus. Maka untuk bisa keluar
dari problem ini bangsa Indonesia harus dapat melepaskan diri dari
belenggu positivisme karena dengan hanya mengandalkan teori dan
pemahaman hukum secara legalistik-positivistik yang berbasis pada
peraturan tertulis (rule bound) dan prosedur hukum semata
sistem hukum Indonesia tidak akan pernah mampu menangkap hakikat
kebenaran dan keadilan. Dan lebih ironis lagi penegakan hukum hanya
diimplementasikan dalam format peradilan formal (formal justice)
semata yang tidak akan mampu menangkap substansinya. Hukum hanya
berurusan dengan hal hal yang bersifat teknis dan teknologis. Sentuhan
kemanusiaan hukum menjadi hilang. Hukum direduksi menjadi dua hal yang
berhadapan secara berlawanan yaitu benar-salah, menang-kalah dan lain
sebagainya. Langkah strategis yang sangat mendesak untuk dilakukan
untuk dapat keluar dari perangkap positivisme yang sangat merugikan
tatanan hukum kita adalah melakukan reformasi hukum menuju Sistem Hukum Progresif.
Untuk sampai kepada sistem hukum progresif ini semua konsep perlu
dikaji ulang dan digugat, baik konsep negara hukum, konsep penegakan
hukum, konsep peradilan bahkan konsep keadilan itu sendiri. Karena
fokusnya menuju hukum progresif maka kemudian yang dihasilkan nanti
adalah negara hukum progresif, konsep penegakan hukum progresif, konsep
keadilan progresif dan konsep konsep hukum lain yang progresif. Untuk
memulai reformasi hukum bisa dilakukan dari posisi saat ini, dari
tradisi dan praktek bernegara hukum dan penegakan hukum yang diterapkan
selama ini. Semua ini dijadikan obyek gugatan, atau dengan kata lain
keterpurukan hukum yang terjadi selama ini menjadi entry point gugatan untuk menemukan format baru yang progresif.
Kultur hukum (legal culture).
Yang menjadi problem dari kultur hukum adalah belum kondusifnya praktek
budaya penegakan hukum bagi bekerjanya sistem hukum secara sistemik dan
berkeadilan. Kentalnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme) di Indonesia
yang hingga kini menjadi permasalahan bangsa yang krusial sangat
menghambat penegakan hukum secara umum termasuk penegakan HAM. Untuk
membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan yang baik
dari kalangan aparat penegak hukum dan para elite kekuasaan untuk
menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia sebagai negara
hukum sebagaimana telah ditegaskan dalam UUD 45. Hal ini dapat terwujud
apabila mereka memiliki moralitas dan integritas personal yang tinggi
dalam menjalankan tugas masing-masing.
D. Kesimpulan
Dari keseluruhan pembahasan makalah ini selanjutnya dapat ditarik beberapa poin kesimpulan sebagai berikut:
- 1. HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan anugerahNya yang wajib dihormati dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Penegakan HAM harus diimbangi dengan pelaksanaan Kewajiban Dasar Manusia karena diantara keduanya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Penegakan HAM hanya dapat dibatasi oleh Undang Undang untuk menjaga ketertiban umum dan hak-hak asasi orang lain.
- 2. Instrumen penegakan HAM di Indonesia secara konstitusional dan yuridis cukup kuat dan memadai.
- 3. Penegakan HAM di Indonesia dihadapkan kepada problem problem. Diantaranya terpuruknya sistem hukum negara Indonesia yang unsur unsurnya terdiri dari struktur, substansi dan kultur hukum, di samping terpuruknya sistem sistem lain yang juga berpengaruh seperti sistem ekonomi, politik dan sosial.
- 4. Solusi problem penegakan HAM diupayakan melalui rekonstruksi sistem hukum nasional dengan melakukan restrukturisasi institusi-institusi penegakan hukum untuk menjamin kemandirian yudisialnya serta mereformasi sistem pendidikan aparat penegak hukum agar bermoral dan profesional. Di samping itu dipandang perlu meninjau ulang ideologi positivisme yang bercorak formalistik dan prosedural yang sangat berpengaruh terhadap sistem hukum nasional untuk dapat merumuskan sistem hukum yang progresif yang mampu menangkap substansi keadilan dan kebenaran sebagai essensi penegakan hukum secara umum. Lebih dari itu, untuk membangun kultur hukum yang kondusif diperlukan keteladanan dari jajaran aparat penegak hukum dan para elite penguasa serta seluruh warga negara untuk menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap Indonesia sebagai negara hukum. Dari semua usaha di atas, diharapkan sistem hukum nasional akan dapat ditata kembali dan akan berpengaruh secara signifikan terhadap perbaikan sistem yang lain termasuk penegakan HAM.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Ahmad. 2002. Keterpurukan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Arief Sidharta, Bernard. 2000. Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum. Bandung: CV.Mandar Maju.
Kleden, Ignas. 2001. Menulis Politik: Indonesia Sebagai Utopia, Jakarta: Kompas.
Lopa, Baharuddin. 2001. Masalah Masalah Politik, Hukum Sosial Budaya, Agama: Sebuah Pemikiran. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Manan, Bagir. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia. Bandung: PT. Alumni.
Neil J., Kritz (ed.). 1995. Transitional Justice How Emerging Democracies Reckon With Former Regims. vol I. Washington: United States Institute of Peace Press.
Prinst, Darwan. 2001. Sosialisasi, Diseminasi Penegakan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Purbopranoto. Kuntjoro. 1979. Hak Hak Asasi Manusia Dan Pancasila, Jakarta: Pradnya Paramita.
Rahardjo, Satjipto. “Hukum Progresif”. Jentera. Edisi 2-2003: hlm. 62.
Sujata, Antonius. 2000. Reformasi Dalam Penegakan Hukum. Jakarta: Djambatan.
Undang Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Wirawan, Tjuk. 1995. Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Hak Hak Asasi Manusia. (Makalah) UNEJ.
No comments:
Post a Comment