MAKALAH CIVIL SOCIETY
( Masyarakat Madani ).
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah
dari konsep civil society yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri
Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium Nasional dalam rangka forum
ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta. Konsep yang
diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal
adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar
Ibrahim menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem
sosial yang subur yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan
antara kebebasan perorangan dengan kestabilan masyarakat.
Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat
terbaik karena sifat-sifat yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan
menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik oleh masyarakat selama sejalan dengan
nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran. Selanjutnya Shihab
menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka menjalankan
amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya. (Quraish Shihab, 2000,
vol.2: 185). Perujukan
terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (lihat, QS. Ali Imran [3]: 105). Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf
nahi mungkar yang direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata
yang baik sebagaimana yang tercermin dalam QS an-Nahl [16]: 125. Dalam rangka
membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan
fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama
umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam,
menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja,
tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya. Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan
dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka
bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam
saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa
yang di maksud dengan masyarakat madani?
2.
Bagaimana
sejarah pemikiran
tentang masyarakat madani?
3.
Apa syarat terbentuknya masyrakat madani?
4.
Seperti apa karakteristik
masyarakat madani?
5.
Apa
saja yang menjadi pilar penegak terciptanya masyarakat madani?
6. Bagaimana masyarakat Indonesia bisa
menjadi masyarakat yang madani?
C. Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menjelaskan tentang masyarakat
madani mulai dengan definisi, sejarah, karakteristik,dan syarat-syarat terbentuknya, hingga nilai –
nilai masyarakat madani dapat terealisasi dalam kehidupan nyata.
D.
Manfaat
Manfaat
di buatnya makalah ini adalah untuk mengetahui apa makna dari masyarakat madani itu sendiri dan
hal-hal yang berkaitan dengannya. Selain itu, supaya pembaca lebih luas
wawasannya dalam suatu ilmu, khususnya mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Masyarakat Madani ( Civil Society )
Sekitar pertengahan abad XVIII dalam tradisi Eropa
pengertian dari istilah civil society di anggap sama pengertiannya
dengan istilah negara (state) yakni suatu kelompok/kekuatan yang mendominasi
seluruh kelompok masyarakat lain. Akan tetapi pada paruh abad XVIII,
terminologi ini mengalami pergeseran makna. State dan civil society
dipahami sebagai dua buah entitas yang berbeda, sejalan dengan proses
pembentukan sosial (social information) dan perubahan-perubahan struktur
politik dan Eropa sebagai pencerahan (enlightenment) dan modernisasi dalam
mengahadapi persoalan duniawi. Pendapat ini diungkapkan oleh AS Hikam tahun
1999.[1]
Selanjutnya, istilah
masyarakat madani di Indonesia diperkenalkan oleh Dr. Anwar Ibrahim, ketika
menyampaikan ceramah dalam acara Festival istiqlal II tahun 1995 di Jakarta,
sebagai terjemahan dari civil society dalam bahasa Inggris, atau
al-Mujtama’al-madani dalam bahasa Arab, adalah masyarakat yang bermoral yang
menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas masyarakat,
dimana masyarakat memiliki daya dorong usaha dan inisiatif individual
(Prasetyo, et al. 2002: 157).[2]
Adapun yang memaknai civil society identik dengan “masyarakat berbudaya”(civilized society). Lawannya, adalah “
masyarakat liar”(savage society).[3]
Akan tetapi secara global bahwa yang di maksud dengan
masyarakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat yang berdiri
secara mandiri di hadapan penguasa dan negara memiliki ruang publik ( publik sphere ) dalam mengemukakan
pendapat adanya lembaga-lembaga mandiri yang dapat menyalurkan aspirasi dan
kepentingan publik.[4]
Untuk menciptakan civil
society yang kuat dalam konteks pertumbuhan dan perkembangan demokrasi
diperlukan strategi penguatan kearah pembentukan Negara secara gradual dengan
suatu masyarakat politik yang demokratif-partisipatif, reflektif, dan dewasa
yang mampu menjadi penyeimbang dan control atas kecenderungan aksesif Negara.[5]
Yang perlu kita garis bawahi
dalam pengertian masyarakat madani ini adalah bahwa masyarakat tersebut
mempunyai cita-cita agar rakyatnya aman, nyaman dan sejahtera, serta system
yang di gunakan cukup baik karena setiap orang tidak harus menggantungkan
dirinya kepada orang lain.
B. Sejarah Pemikiran Masyarakat
Madani (Civil
Society).
Untuk
memahami masyarakat madani terlebih dahulu harus di bangun paradigma bahwa
konsep masyarakat madani ini bukan merupakan suatu konsep yang final dan sudah
jadi, akan tetapi merupakan sebuah wacana yang harus dipahami sebagai sebuah
proses. Oleh karena itu,
untuk memahaminya haruslah di analisis secara historic.[6]Menurut
Manfred, Cohen dan
Arato serta M. Dawam Rahardjo, wacana masyarakat madani sudah mengemuka pada
masa Aristoteles. Disini ada beberapa fase tentang sejarah pemikiran masyarakat
madani.
Fase
pertama,(Aristoteles, 384-322 SM) masyarakat madani di pahami sebagai
system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike, yakni
sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam berbagai
pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia
politike yang di kemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk
menggambarkan sebuah masyarakat politis dan etis dimana warga negara di
dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Hukum sendiri dianggap etos,
yakni seperangkat nilai yang di sepakati tidak hanya dengan prosedur politik,
tetapi juga sebagai subtansi dasar kebijakan (viertue) dari berbagai
bentuk interaksi di antara warga negara.
Konsepsi Aristoteles ini
diikuti oleh Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) dengan istilah societies
civilizes, yaitu sebuah komunitas yang mendominasi komunitas yang lain. Tema
yang di kedepankan oleh Cicero ini lebih menekankan pada konsep Negara kota
(city-state), yakni untuk menggambarkan kerajaan , kota dan bentuk korporasi
lainnya, sebagai kesatuan yang terorganisasi. Konsepsi masyarakat madani yang
aksentuasinya pada system kenegaraan ini dikembangkan pula oleh Thomas Hobbes
(1588-1679 M) dan John Locke (1632-1704).[7] Pada
masa itu civil society dipahami sebagai suatu wilayah yang mencakup
masyarakat politik (politica society) dan masyarkat ekonomi (economic
society).[8]
Fase kedua. Pada tahun 1767 Adam Ferguson mengembangkan wacana
civil society dengan konteks sosial dan politik di skotlandia. Berbeda pendapat
dengan pendahulunya, Ferguson lebih menekankan visi etis pada civil society
dalam kehidupan sosial.[9]
Pendapat ini digunakan untuk mengantisipasi perubahan sosial yang diakibatkan
oleh revolusi indutri munculnya kapitalisme serta mencoloknya perbedaan antara
publik dan individu. Dengan konsepnya ini, Ferguson berharap bahwa publik
memiliki spirit untuk menghalangi munculnya kembali depotisme, karena dalam
masyarakat madani itulah solidaritas sosial muncul dan diilhami oleh sentimen
moral dan sikap saling menyayangi serta saling mempercayai antar warga negara
secara alamiah.[10]
Fase ketiga. Pada tahun 1792 Thomas
Paine memaknai wacana civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan
lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai antitesis negara. Bersandar pada
paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan ini,
negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Menurutnya, civil society
adalah ruang dimana warga negara dapat mengembangkan kepribadian dan memberi
peluang bagi pemuasan kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Sejalan dengan
pandangan ini, civil society harus lebih dominan dan sanggup mengontrol negara
demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.[11]
Fase keempat. Wacana civil society
selanjutnya dikembangkan oleh G. W. F. Hegel (1770-1831 M), Karl Max (1818-1883
M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Pandangan mereka, civil society
merupakan elemen ideologi kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas
pandangan Paine yang memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan
pandangan Paine, Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif
terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas Rasyid,
erat kaitannya dengan perkembangan sosial masyarakat borjuasi eropa yang
pertumbuhannya ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman
dominasi negara.
Lebih lanjut Hegel
menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga (3) entitas
sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi
pribadi sebagai anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan. Selanjutnya, masyarakat sipil merupakan lokasi atau tempat
berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama
kepentingan ekonomi. Dan terakhir, negara merupakan representasi dari ide
universal yang bertugas melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai
hak penuh untuk melakukan intervensi terhadap civil society.
Berbeda dengan Hegel, Karl Max memandang bahwa civil
society dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society
merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan kelas
pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society harus
dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Antonio Gramsci berbeda pendapat dengan Marx, yaitu
ia lebih memandang pada sisi ideologis. Menurut Gramsci, civil society
merupakan tempat berebutan posisi hegemoni di luar kekuatan Negara, aparat
mengembangkan hegemoni untuk membentuk consensus dalam masyarakat.
Fase kelima. Wacana civil society
sebagai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang dikembangkan oleh Alexis de
Tocqueville (1805-1859). Bersumber dari penglamannya mengamati budaya demokrasi
Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang
kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil
merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan
yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika yang
bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga negara
di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.[12]
Beberapa fase sudah di sebutkan, bahwa setiap fase
mempunyai pandangan yang berbeda-beda dalam mengartikan masyarakat madani
tersebut. Mulai dari ,(Aristoteles, 384-322 SM) yang memaknai masyarakat madani
sebagai system kenegaraan dengan menggunakan istilah koinonia politike,
yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
berbagai pencaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Dan pada
akhirnya pada fase ke lima yang menganggap masyarakat madani sebagai kelompok penyeimbang kekuatan negara.
Namun fase-fase tersebut pada intinya hampir sama dalam menafsirkan masyarakat
madanai yaitu masyarakat yang mandiri yang memiliki hak untuk memaparkan
pendapat-pendapatnya di muka umum untuk memenuhi kesejahteraan daerahnya.
C.
Syarat Terbentuknya Masyarakat Madani.
Banyak pendapat tentang
pembahasan syarat-syarat terbentuknya masyarakat madani. Elemen dasar
terbentuknya masyarakat madani menurut Rasyid dalam Barnadib (2003:63) adalah
(1) masyarakat yang memiliki moral dan peradaban yang unggul, menghargai persamaan
dan perbedaan (plural), keadilan, musyawarah, demokrasi; (2) masyarakat yang
tidak bergantung pada pemerintah pada sector ekonomi;(3) tumbuhnya
intelektualis yang memiliki komitmen independent; dan (4) bergesernya budaya
paternalistic menjadi budaya yang lebih modern dan lebih independent.
Barnadib (2003:67-68) juga mengemukakan adanya empat
syarat terbentuknya masyarakat madani, yakni: (1) pemahaman yang sama (one standart), artinya diperlukan
pemahaman bersama di kalangan masyarakat tentang apa dan bagaimana masyarakat
madani;(2) keyakinan (confidence) dan
saling percaya (social trust),
artinya perlu ditumbuhkan dan dikondisikan keyakinan di masyarakat, bahwa
madani adalah merupakan masyarakat yang ideal;(3) satu hati dan saling tergantung, artinya
kondisi kesepakatan, satu hati dan kebersamaan dalam menentukan arah kehidupan
yang dicita-citakan dan (4) kesamaan pandangan tentang tujuan dan misi.[13]
Syarat-syarat di atas sangatlah berperan penting dalam
kaitannya pembentukan masyarakat madani. Karenanya semua syarat tersebut harus
ada ketika suatu kelompok menginginkan masyaraktnya dikatakan masyarakat yang
madani.
D. Karakteristik Masyarakat Madani
Penyebutan karakteristik civil society dimaksudkan untuk menjelaskan, bahwa dalam merealisir
wacana civil society diperlukan prasyarat yang bersifat universal. Prasyarat
ini tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, melainkan satu kesatuan integral
yang menjadi dasar dan nilai bagi eksistensi civil society. Karakteristik
tersebut antara lain adalah free public
sphere, demokrasi, toleransi, pluralism, keadilan,sosial (social justice) dan berkeadaban.[14]
1. Free Public Sphere (wilayah publik yang bebas).
Yang di maksud dengan istilah “ free public sphere”
adalah adanya ruang public yang bebas sebagai sarana dalam mengemukakan
pendapat. Pada ruang public yang bebaslah individu dalam posisinya yang setara
mampu melakukan transaksi-transaksi wacana dan praksis politik tanpa mengalami
distorsi dan kekhawatiran. Aksentuasi prasyarat ini dikemukakakan oleh Arendt
dan Habermas.[15]
Warga Negara dalam wacana free public sphere memiliki hak penuh dalam setiap
kegiatan politik. Warga Negara berhak melakukan secara merdeka dalam
menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta menerbitkan dan
mempublikasikan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Sebagai sebuah prasyarat, maka untuk mengembangkan dan
mewujudkan civil society dalam sebuah tatanan masyarakat, maka free
public sphere menjadi salah bagian yang harus di perhatikan. Karena dengan
mengesampingkan ruang public yang bebas dalam tatana civil society, akan
memungkinkan terjadinya pembungkaman kebebasan warga negara dalam menyalurkan
aspirasinya.[16]
2. Demokrasi.
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi
keberadaan civil society yang murni (genuine). Tanpa demokrasi, masyarakat
sipil tidak mungkin terwujud. Secara umum demokrasi adalah suatu tatanan social
politik yang bersumber dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.[17]Penekanan
demokrasi (demokratis) disini dapat mencakup sebagai bentuk aspek kehidupan
seperti politik, social, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya.[18]
3. Toleransi.
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan
menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap menghargai pandangan berbeda
orang lain, toleransi, mengacu kepada pandangan Nurcholish Majid, adalah
persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi
menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai
kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai hikmah atau
manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Senada dengan Majdid, Azra
menyatakan untuk menciptakan kehidupan yang bermoral, masyararakat madani
menghajatkan sikap-sikap toleransi, yakni kesediaan individu-individu untuk
menerima beragam perbedaan pandangan politik di kalangan warga bangsa.
4. Pluralisme.
Kemajemukan atau pluralism merupakan prasyarat lain
bagi civil society. Namun, prasyarat ini harus benar-benar di tanggapi dengan tulus
ikhlas dari kenyataan yang ada, karena mungkin dengan adanya perbedaan wawasan
akan semakin bertambah. Kemajemukan dalam pandangan Majdid erat kaitannya
dengan sikap penuh pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata
diperlukan dalam masyarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Majdid,
kemajemukan social merupakan dekrit Allah untuk umat manusia.[19]
5. Keadilan Sosial.
Keadilan dimaksudkan untuk
menyebutkan keseimbangan dan pembagian yang proporsional terhadap hak dan
kewajiban setiap warga negara dalam semua aspek kehidupan.
Dengan terciptanya keadilan sosial, akan
tercipta masyarakat yang sejahtera seperti nilai yang terkandung dalam
pengertian masyarakat madani. Secara esensial, masyarakat memiliki hak yang
sama dalam memperoleh kebijakan-kebijakan yang di tetapkan oleh pemerintah
(penguasa).
Sangatlah bagus beberapa
karakteristik masyarakat madni di atas, mulai dari free public spere,
demokrasi, toleransi, plurasime, dan keadilan social. Bahwa masyarakat tersebut
selain bebas mengemukakan pendapat juga mempunyai rasa toleran terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada. Selain itu juga, mempunyai jiwa keadilan terhadap
orang-orang di sekitar, agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
E. Pilar Penegak Masyarakat Madani.
Yang di maksud disini adalah institusi-institusi yang
menjadi bagian dari social control yang berfungsi mengkritisi
kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi
masyarakat yang tertindas. Ada lima pilar penegak masyarakat madani:[20]
1. Lembaga Swadaya Masyarakat, tugas dari institusi social ini adalah membantu dan
memperjuangkan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang tertindas. Selain itu
LSM juga mengadakan pelatihan-pelatihan dan sosialisasi program-program
pembangunan masyarakat.
2. Pers, institusi ini sangat penting dalam kaitannya
penegakan masyarakat madani karena dapat mengkritisi dan menjadi bagian dari
social control yang dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan
pemerintah yang berkenaan dengan warga negara.
3. Supermasi Hukum, dalam hal ini semua warga negara harus taat terhadap
peraturan hukum yang sudah ditetapkan. Hal tersebut untuk mewujudkan masyarakat
yang damai dalam memperjuangkan hak dan kebebasan antar warga negara.
4. Perguruan Tinggi, yang mana dosen dan mahasiswa merupakan bagian dari
kekuatan social dan masyarakat madani yang bergerak pada jalur moral force
untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi berbagai kebijakan-kebijakan
pemerintah, dengan catatan dalam mengkritisinya tersebut tidak melanggar
peraturan hokum yang ada. Disisi lain perguruan tinggi juga bisa mencari
solusi-solusi dari permaslahan yang ada di masyarakat
5. Partai Politik,
partai politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan
asipirasi politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai
politik ini menjadi persyaratan bagi tegaknya masyarakat madani.
Dari point satu sampai lima sungguh sangatlah berperan penting dalam
menegakkan masyarakat madani itu sendiri, karena ketika masyarakat merasa tidak
puas atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, pilar-pilar penegak tersebut bisa
di gunakan untuk mewakili masyarakat madani yang dapat menyuarakan semua
ansipari-anspirasi dari masyarakat yang menjadi uneg-uneg atas ketidakpuasannya
terhadap pemerintah.
F.
Masyarakat Madani Indonesia.
Gerakan untuk membentuk masyarakat madani berkaitan
dengan proses demokratisasi yang sedang melanda dunia dewasa ini. Sudah tentu
perwujudan kehidupan yang demokratis untuk setiap bangsa mempunyai ciri-ciri
tertentu di samping ciri-ciri universal. Salah satu cirri dari bermasyarakat
Indonesia ialah kebhinekaan dari bangsa Indonesia.
Masyarakat dan budaya Indonesia yang bhinneka.
Menurut pendapat Lombard, Indonesia berada dalam persimpangan pengaruh
budaya internasional. Oleh sebab itu, di Indonesia bukanlah hanya terdapat berbagai
suku, akan tetapi budaya pun bermacam-macam akibat Negara-negara lain yang
pernah masuk ke Indonesia selama berabad-abad. Dengan adanya masyarakat
Indonesia yang demokratis justru akan memperoleh dasar perkembangan yang sangat
relevan dengan adanya kebhinekaan masyarakat Indonesia. Kehidupan demokrasi
sebagai ciri utama masyarakat madani akan mendapat persemaian yang yang
sempurna dalam corak kebhinekaan masyarakat dan budaya Indonesia.
Beberapa ciri pokok masyarakat madani Indonesia.
Sebenarnya ide masyarakat madani sudah dikembangkan mulai zaman Yunani
klasik seperti ahli piker Cicero. Di dalam kaitan ini Hikam misalnya mengambil
pemikiran Alexis Tocqueville mengenai ciri-ciri masyarakat madani. Dengan
pendekatan elektrik, Hikam merumuskan empat ciri utama dari masyarakat madani
yaitu:
1.
Kesukarelaan. Artinya masyarakat madani bukanlah merupakan suatu
masyarakat paksaan atau karena indoktrinasi. Kenggotaan masyarakat madani
adalah kenggotan pribadi yang bebas, dan mempunyai cita-cita yang di wujudkan
bersama.
2.
Keswasembadaan. Setiap orang mempunyai harga diri yang tinggi,
tidaklah setiap anggota masyarakat madani selalu menggantungkan kehidupannya
kepada orang lain. Namun, justru membantu orang lain yang sekiranya membutuhkan
pertolongan.
3.
Kemandirian tinggi terhadap
Negara. Bagi mereka
(anggota masyarakat madani) Negara adalah kesepakatan bersama sehingga tanggung
jawab yang lahir dari kesepakatan tersebut adalah juga tuntutan dan tanggung
jawab dari masing-masing anggota. Inilah Negara yang berkedaulatan rakyat.
4.
Keterkaitan pada nilai-nilai
hokum yang disepakati bersama.
Hal ini berarti suatu masyarakat madani adalah
suatu masyarakat yang berdasarkan hokum dan bukan Negara kekuasaan.
Di atas merupakan ciri-ciri masyarakat madani yang di
ungkapkan oleh Hikam dengan pendekatan eklektik. Dan beliau melampiaskan
ciri-ciri tersebut ke Negara Indonesia.[21]
Selain itu, cirri-ciri di atas juga bisa menjadi
gambaran seperti apakah sebenarnya masyarakat madani itu. Dan agar orang-orang
tidak salah persepsi dalam memandang masyarakat madani itu sendiri.
G. Civil Society sebagai Indikator
Keberhasilan Pembangunan.
Di
indonesia pada hakikatnya proses pembangunan masih sarat oleh prakarsa
pemerintah dan aparatnya baik dari segi perencanaan maupun pelaksanannya,
walaupun pemerintah indonesia secara formal mengatakan bahwa partisipasi rakyat
dalam pembangunan merupakan unsur yang paling penting dalam menciptakan
keberhasilan pembangunan Indonesia.
Sebagai pembuktiannya,
pmerintah mendirikan organisasi - organisasi seperti LKMD, PKK, HKTI di tingkat
kecamatan dan partai politik di tingkat
nasional.
Hambatan-
hambatan organisasi tersebut untuk mendukung terciptanya masyarakat madani
yaitu :
a) Organisasi tersebut bukan organisasi
yang bersifat otonom. Program, dana dan pengurus terdiri dari pejabat atau
mantan pejabat pemerintahan. Masyarakat
memandangnya baik-aik saja, akan tetapi oknum-oknum tertentu ada yang bisa
menghambat jalannya suatu proses pembangunan.
b) Lemahnya partai politik dan pers
indonesia.
c) Akibat absennya civil society dalam
proses pembangunan indonesia walaupun hampir meninggalkan era pembangunan 25 tahun
tahap pertama pembagunan indonesia belum mampu menciptakan kehidupan soisal
budaya politik modern bagi bangsa indonesia yang mampu menjadi dasar bagi
pembangunan manusi indonesia sutuhnya.[22]
Sehubungan dengan adanya hambatan –
hambatan tersebut, mengakibatkan tatanan masyarakat yang madani secara utuh
belum bias tercapai di Indonesia. Selain itu, masih ada factor lain diantaranya
korupsi yang kian merakyat dan membudaya, kolusi yang menelurkan pejabat –
pejabat yang kurang bertanggung jawab serta nepotisme yang menjadikan
persaingan kehidupan yang tidak sehat dan penuh kecurangan. Jauh dari tolok
ukur sebagai masyarakat yang madani.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat kita pahami bahwa makna dari civil society itu adalah suatu masyarakat yang begitu partisipasi atas
system demokrasi dan menjunjung tinggi hak asasi orang lain. Hal tersebut
sesuatu yang baik, yang apabila suatu parlemen (pemerintahan) belum bisa,
bahkan tidak bias menegakan system demokrasi dan hak asai manusia..
Di sinilah kemudian civil society menjadi alternatif pemecahan dengan
pemberdayaan dan pnguatan daya kontrol masyarakat terhadap kebijakan –
kebijakan pemerintah yang pada akhirnya terwujud kekuatan masyarakat sipil yang
mampu merealisasikan konsep hidup yang demokrasi dan menghargai hak asaai
manusia. Terjaminnya mutu perekonomian,
lengkapnya fasilitas dunia pendidikan, terbukanya masyarakat dalam memberikan
suatu kritikan terhadap pemerintah dan bertaqwa kepada Sang Kholiq, merupakan faktor – faktor yang dapat
membangun masyarakat madani di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
M.Hum, Mahrus, dkk, Pancasila
dan Kewarganegaraan, Yogyakarta:
Pokja UIN Sunan Kalijaga, 2005.
Rosyada, Dede, dkk, Demokrasi,
HAM dan Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2003
Soetrisno, Loekman, Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Kanisius, 1995.
Suryadi Culla, Adi, Masyarakat Madani: pemikiran, teori, dan
relevansinya dengan cita-cita reformasi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
1999.
Tim Dosen Pendidikan
Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi Muhammadiyah,Bandung:
ALFABETA, 2009.
Tilaar, H. A. R.
Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat
Madani Indonesia, Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA, 2002.
Ubaedillah, dkk, Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani, Jakarta: Prenada Media,2008.
BAB I
No comments:
Post a Comment