5 Apr 2014

KONTAK SOSIAL DAN JARAK SOSIAL




BAGIAN KEDUA
PROSES-PROSES SOSIAL YANG PALING MENDASAR


BAB III
KONTAK SOSIAL DAN JARAK SOSIAL

            Kini kita tidak lagi membicarakan perlengkapan psikologis dari kehidupan individual tetapi memusatkan perhatian terhadap proses-proses sosial yang mendasar, yyang serta merta mempegaruhi perkembangannya. Di sini hanya akan dibahas sedikit saja dari proses sosial yang mendasar itu, namun demikian pentingnya sehingga tak ada kehidupan individual dan kehidupan sosial yaang dapat dijelaskan dengan sempurna tanpa pengetahuan yang mendasar itu. Proses yang dimaksud, sebagai contohnya ialah kontak sosial, dan isolasi sosial.
            Sosiolog yang hanya lebih mengutamakan mempelajari fenomena yang disebut ‘masyarakat luas’ (Great Society) seperti mobilitas sosial, stratifikasi sosial, dan pranata sosial, tanpa mwnghubungkan studinya dengan penyelidikan yang cermat terhadap proses sosial yang mendasar ini kemungkinan besar belum dapat menampilkan suatu analisa setepatnya bagaimana mestinya.

1.      KONTAK PRIMER DAAN KONTAK SEKUNDER
            Kita mesti membedakan dua jenis kontak sosial. Pertama, kontak primer, yakni kontak yang dikembangkan secara intim dan mendalam berupa pergaulan tatap muka di mana hubungan secara visual dan perasaan-perasaan yang berhubungan dengan pendengaran senantiasa digunakan. Kedua, kontak sekunder, yakni kontak yang ditandai oleh pengaruh keadaan luar dan jarak yang lebih besar. Orang yang secara mental terbentuk oleh kontak primer, dan oleh ide-ide primer, mengembangkan ciri-ciri yang berbeda daripada mereka yang di bentuk oleh kontak sekunder. Sekedar contoh, dapat dibandingkan antara seorang wanita yang fungsi utamanya sebagai nyonya rumah tangga dan sebagai seorang ibu dengan seorang manajer pabrik atau dengan seorang politisi. Sudah tentu terdapat hubungan antara ciri-ciri kepcribadian yang dikembangkan melaui kontak primer dan kontak sekunder. Keinginan untuk menghargai publik selalu terjadi sebagai pemindahan faktor psikologis, sekurang-kurangnya sebagian, sebagai pengganti keterbatasan keintiman dari tanggapan yang dialami ditengah-tengah kehidupan keluarga.
            Jelas kiranya bahwa kawasan tempat berlangsungnya kontak sekunder yang sebenarnya adalah dalam kehidupan kekotaan. Revolusi industri yang melahirkan kota-kota dan yang memecah kehidupan sosial seperti kehidupan masyarakat desa menjadi unit-unit kecil, merupakan faktor yang sangat penting dalam menciptakan sebagian besar antar hubungan yang bersifat abstrak dan impersonal. Kontak sekunder, dengan demikian mendorong terciptanya sikap-sikap yang abstrak. Kontak sekunder ini juga memungkinkan kita untuk membandingkan kepentingan jangka panjang dan yang penuh perhitungan, karena kecenderungan-kecenderungan dapat diperkirakan dan disusun, demikian pula sistem kontrol yang baru terhadap publik dapat diperbuat dan dipergunakan dengan menekankan kepada segi-segi perbedaan peranan yang dimainkan mereka seperti membedakan mereka selaku pembayaran pajak atau selaku buruh atau majikan. Situasi hubungan tatap muka, yang menandai kontak primer, dewasa inipun telah mengalami perubahan.

2.      KONTAK BERDASARKAN SIMPATI DAN BERDASARKAN KATEGORIS
            Klasifikasi lain dari kontak sosial, dapat pula dibuat atas dasar sudut pandangan psikologis dan sosiologis. Orang yang tidak termasuk ke dalam kelompok kita sendiri, tidak termasuk ke dalam bidang kontak primer kita. Kita tidak menganggap mereka sebagai anggota kelompok kita yang sesungguhnya tetapi kita membuat penggolongan atau kategori terhadap mereka. Ini berarti bahwa kita mengklasifikasikan mereka dalam pengertian perbedaan derajat simpati atau antipati terhadap mereka. Di sini kita berhadapan dengan dasar atau asal mula dari prasangka. Perasaan simpati berhubungan dengan perbedaan kategori dan kelompok-kelompok menciptakan apa yang dapat kita klasifikasikan misalnya sebagai: ‘orang negro’, ‘orang Jerma’, ‘orang Yahudi’, ‘orang asing’, ‘orang luar’, ‘mereka’, dan sebagainya.
            Fase permulaan proses kategori ini terdapat pada jenis primitif dari penyesuaian diri. Kita mulai dengan menunjukkan atau menentukan kelompok kita sendiri dengan tanda-tanda yang baik, disebabkan karena kita tidak mampu menghadapi setiap obyek yang kontak dengan kita, maka kita membedakan dan memisah-misahkannya. Selanjutnya jika kita pertama kali bertemu dengan seorang manusia yang belum kita kenal, biasanya kita merasakan suatu perasaan simpati atau antipati secara tiba-tiba. Ini jelas adalah suatu interpretasi dari sikap-demikian pula lazimnya dalam dunia binatang-dimana simpati dan antipati adalah sejenis alat untuk menseleksi pengalaman-pengalaman yang tepat. Pengertian kita, dalam sebagian besar kasus adalah ditentukan oleh gagasan dan prasangka yang kita miliki. Dasar alamiah dari prasangka adalah suatu kecenderungan untuk mencocokkan pengalaman-pengalaman baru ke dalam kategori yang lama dengan mempergunakan generalisasi yang mula-mula untuk menanggulangi pengalaman baru itu. Setiap pengalaman yang nyata, didasarkan atas kontak yang dekat dan langsung atau primer. Pengertian atau pemahaman, adalah suatu pertarungan antara penyesuaian diri segera terhadap versi baru dari pengalaman dan kecenderungan terhadap prasangka. Orang yang selalu bergerak secara sosial dan secara geografis ( mobilitas vertikal dan horizontal), lebih kritis dan lebih tidak memihak dalam menilai orang lain, dan dengan demikian kurang berprasangka karena pengalamannya itu di pergunakannya untuk berhubungan dengan bermaca-macam orang lain. Seperti kita ketahui, orang yang berurat berakar di satu tempat tertentu saja, lebih tinggi derajat prasangkanya dibandingkan dengan orang yang banyak bergerak tersebut diatas. Orang yang banyak bergerak (mobile) dapat lebih mudah beralih dari pengalaman-pengalaman kategori kepada pengalaman-pengalaman spesifik. Kesan atau impresi penting pertama yang kita peroleh dari kehidupan kota besar itu bereaksi terhadap kesadaran diri sendiri dan terhadap penilaian diri sendiri. Kesadaran diri sendiri penduduk kota besar tidak stabil dan tidak kaku. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat desa, prestise atau gengsi didasarkan atas siapa orang tua kita, dari keluarga mana kita berasal, daan dimana posisi kita dalam komunitas desa itu. Dalam kehidupan kota besar, prestise sebagian besar didasarkan atas hasil usaha (achievement) personal. Sebagai akibatnya penduduk kota besar selalu lebih mengisolasi dirinya dan penilaian terhadap dirinya sendiri di-internalisasikan.
            Akibat dari kenyataan serupa ialah fleksibelitas, tetapi juga ketidak-stabilan, ketidak-sungguhan, dan skeptisme yang terdapat dalam watak penduduk kota besar. Selanjutnya individu yang relatif anonim sifatnya dalam kehidupan kota besar, memperluas lingkungan kehidupan sehingga memungkinka kita untuk memindahkan sebagian tanggungjawab kita kepada orang lain atau kepada institusi lain. Sebagai akibatnya, orang kian lama kian menjadi penonton saja terhadap situasi yang ada.
            Dalam hubungan persahabatan sejati, unsur penggolong-golongan yang terdapat dalam kontal personal, tidak muncul. Persahabatan sejati ini didasarkan atas hubungan simpati yang berarti suatu keinginan untuk mengidentifikasikan kepentingan. Ungkapan ‘kita’ secara tak langsung menyatakan adanya saling mengidentifikasikan diri masing-masing dan difusi kepribadian. Ungkapan ‘tetangga kita’ dalam pengertian tertentu, pada dasarnya berarti kita sendiri. Semakin individualis seseorang, semakin sukar baginya untuk berusaha mengidentifikasikan dirinya dengan orang lain. Malahan, perasaan yang mendua atau bercabang biasanya muncul ditengah-tengah pengidentifikasian diri, dan masing-masing cabang perasaan itu besar perbedaannya. Persahabatan dan perkawinan, adalah dua jenis antara hubungan yang sedikit banyak berhasil menyalurkan atau menyatukan perasaan yang bercabang itu.
            Tempat pengalaman yang paling awal dari kesatuan sosial dan identifikasi, terdapat pada kelompok primer atau kelompok tatap muka seperti keluarga, kelompok teman sepermainan, hubungan tetangga, klub, masyarakat faternal atau sekolah. Perasaan cinta, kepahlawanan dan keberanian, begitu juga mabisi, kesombongan dan dendam kesumat, kesemuanya dibentuk di dalam kelompok primer. Menurut C.H. Cooley, perasaan cinta kemerdekaan dan keadilan  yang merupakan cita-cita primer yang mendasari ajaran kristen demokrasi dan sosialisme, ketiganya didasarkan atas ide-ide dari kelompok primer.
            Kontak di dalam dan di luar kehidupan kelompok, telah dianalisa oleh sosiolog seperti Sumner, Cooley, dan Burgess. Menurut mereka, hubungan simpati internal yang egotisme kelompok menghasilkan dua standar perasaan yang berbeda. Di satu pihak, kemauan baik, kerjasama, dan saling percaya di antara sesama anggota kelompok sendiri. Di lain pihak, perasaan bermusuhan dan kecurigaan terhadapanggota kelompok lain. Hubungan persaudaraan di kalangan anggota kelompok sendiri dan perasaan bermusuhan terhadap anggota kelompok lain atau terhadap ‘out-group’ adalah dua hal yang saling berhubungan. Perlawanan dan permusuhan yang gawat terhadap orang asing atau terhadap kelompok lain, memperkuat solidaritas di kalangan sesama anggota kelompok sendiri sehingga perselisihan yang terjadi di kalangan internal kelompok sendiri, tidak dapat melemahkan permusuhan itu.
            Etnosentrisme adalah istilah teknis yang dipakai untuk mengungkap sikap serupa itu. Bagi anggotanya, kelompok sendiri adalah segala-galanya. Setiap kelompok etnosentrisme memelihara dan mempertahankan rasa harga diri, kesetiaan, kesombongan, dan perasaan superioritas yang dimilikinya sendiri, mengagung-agungkan Tuhan-nya sendiri serta memandang dengan perasaan jijikdan mencela terhadap segala sesuatu yang dimiliki kelompok lain. Kejijikan itu diekspresikan dengan memakai kata-kata yang menghina, dengan menyebut dan menandai kelompok lain itu sebagai ‘pemakan babi’, ‘tak bersunat’, pemakan lembu’, daan sebagainya. Apa yang mendasari penilaian demikian itu, mungkin dapat kita sebut dengan istilah ‘moralitas kafir’. Atas dasar mengkafirkan kelompok lain nasionalisme, juga didasarkan atas sikap prasangka dan moralitas kafir demikian itu.

3.      JARAK SOSIAL
            Dalam setiap kontak sosial, secara tak langsung menyatakan suatu jarak sosial. Jarak sosial itu mungkin berati jarak eksternal atau jarak internal atau jarak mental. Seluruh jenis dan aneka ragam kehidupan sosial dan kultural tak kan dapat dijelaskan dengan memadai tanpa mengkategorikan jarak sosial. Tanpa jarak sosial, takkan ada obyek dan takkan ada kehidupan sosial itu sendiri. Pengambilan jarak, pada waktu bersamaan adalah salah satu dari pada perilaku yang penting untuk mempertahankan dan untuk melanjutkan otoritas peradaban manusia. Demokrasi mengurangi jarak sosial. Prestise-prestise komandan ketentaraan misalnya sebagian besar adalah persoalan jarak sosial. Secara harfiah jarak sosial berarti mengubah barang sesuatu menjadi terpencil, memindahkan suatu obyek yang dekat kepada suatu posisi yang jauh dari titik semula. Perkataan ‘jarak’ berasal dari pengalaman langsung kita terhadap ruang. Anehnya ialah bahwa pengalaman mngenai ruang juga menyediakan pola bagi pengalaman mental. Behawa seseorang berada pada jarak 5 meter dari saya misalnya, adalah suatu pengalaman tentang ruang; tetapi jika saya mengatakan bahwa seseorang mempunyai jarak sosial dari saya, maka ini berarti bahwa saya mempunyai status sosial  yang lebih tinggi atau lebih rendah dari orang yang bersangkutan. Ada persamaan tertentu antara kedua jenis jarak ini meskipun keduanya tidaklah identik. Ahli sosiologi berbicara tentang penciptaan jarak buatan. Lalu apa gerangan yang dimaksudkannya? Jarak mengenai ruang, yang dapat diukur dengan mudah dalam arti pisik adalah dapat diubah melalui suatu tindakan dengan sengaja oleh manusia, menjadi barang sesuatu yang dapat disebut jarak mental. Pengurangan identifikasi termasuk ke dalam penciptaan jarak mental ini. Bergerak dari tindakan-tindakan yang intim dan simpatik menuju pengasingan diri tanpa perlu menerapkan tingkah laku yang menggolong-golongkan atau yang bersifat menyerang.
            Baiklah saya berikan contoh di sini di lapangan yang murni pengalaman yang berhubungan dengan panca-indera tentang bagaimana proses yang fundamental dari pengambilan jarak itu dapat di selidiki. Seorang pelaut dalam pelayarannya menuju pelabuhan, mungkin pertama kali menyenagi pemandangan yang jelas terhadap kota pelabuhan yang terletak di depannya di kejauhan. Tiba-tiba keseluruhan penglihatannya berubah menjadi jauh disebabkan karena adanya kabut. Sebenarnya kota pelabuhan itu tidaak lebih jauh dari pada jarak sebelumnya tetapi kabut telah menciptakan suatu kepalsuan ilusi, seakan-akan kota pelabuhan itu sedemikian jauhnya dalam penglihatan pelaut itu. Dalam contoh ini, jarak bukanlah di ciptakan oleh subyek, melainkan oleh halimum atau kabut. Keseluruhan jarak mentaal yang akan kita bicarakan berikut ini berasal dari spontanitas subyek; yang dalam kenyataannya kesemuanya diciptakan oleh subyek.
            Evolusi jarak mental dari jarak ruang dapat ditunjukkan dengan jelas dalam kasus ketakutan. Kenyataan, jarak yang disebabkan karena rasa takut adalah jarak yang paling sederhana. Jika saya tetap mempertahankan jarak ruang antara saya dengan orang lain yang lebih kuat dari saya, maka dalam jarak ruang antara kami ini, berisi jarak mental dari rasa takut itu. Binatang yang dikurung, dalam situasi tertentu masing-masing memelihara jarak ruang terhadap yang relatif lebig kuat secara proporsional. Makin pengecut binatang itu, makin jauh jarak ruang yang diambilnya terhadap binatang yang ditakutinya.
            Schjelderup Ebbe yang melakukan penyelidikan yang cermat, menyatakan adanya suatu hierarki yang teratur di kalangan kehidupan sosial binatang seperti di kalangan ayang betina, ayam jantan, dan anak ayam. Ebbe meneliti kehidupan ayam itu dalam kelompok yang terdiri atas 2-25 ekor dan kemudian terhadap kelompok yang terdiri atas 25-100 ekor. Menurutnya hal pertama yang dikemukakannya ialah bahwa selama mencari makan, selama memakan/makanan di pot makanan atau pergi bertengger untuk beristirahat atau pergi kesarang , ayam jantan melihatkan untuk bertelur, ayam jantan memperlihatkan suatu keteraturan yang pasti. Ayam yang terkuat atau paling jagoan, selalu yang mula-mula sekali datang ke tempat-tempat tersebut baru kemudian disusul oleh ayam yang lain menurut urutan tingkat keberaniannya terhaadap sesamanya. Seluruh tempat tersebut selalu diambil oleh ayam yang terkuat itu lebih dulu. Persoalan yang timbul ialah: bagaimana aturan itu dibentuk.? Penelitian menunjukkan bahwa aturan itu dibentuk melaui pertarungan antara sesamanya. Jika dua anak ayam bertemu maka pertama kali yang dilakukannya adalah membuat tingkatan sosial diantara mereka melalui pertarungan. Anak ayam yang lari pertama kali, akan menjadi taklukan untuk selama-lamanya. Dengan demikian, suatu urutan lengkap dapat disusun menurut hasil pertarungan itu dan terlihat pula bahwa hierarki ini dipertahankan dengan keras oleh ayam itu. Penelitian ini juga menemukan bahwa tingkatan yang teratur ini tidak mengikuti dengan keras perbedaan dalam segi kekuatan fisik tetapi mengikuti apa yang disebut superioritas psikolgi, di mana aspek keberanian sangat besar peranannya. Tetapi adalah suatu kenyataan pula bahwa ketakutan selalu memainkan peranan pula.
            Penyelidikan berikutnya mempelajari tingkahlaku khas dari ayam-ayam yang paling jagoan dan ayam yang ditaklukkannya. Terlihat adanya aturan umum bahwa ayam yang berada di puncak hierarki, dalam arti yang terkuat, lebih penuh dengan kebajikan debandingkan dengan ayam yang yang berada di tingkat menengah. Terlihat bahwa sekali jagoan itu mencapai tingkat jagoan dalam arti mengalahkan semua ayam lainnya, maka ia tak perlu lagi berkelahi untuk mempertahankan posisi jagoan itu. Dia menjadi jagoan untuk selamanya. Jarak psikologis telah terbentuk dan berlangsung secara stabil. Tetapi ayam berada di tingkat menengah hierarki, sangat agresif karena mereka khawatir dalam mepertahankan posisinya yang secara permanen terancam dari dua fron. Percobaan selanjutnya ialah untuk mengetahui bagaimana cara ayam tersebut bertingkah laku dalam mengubah kondisi. Jika kita mengambil seekor ayam jantan yang menjadi pemimpin dari satu kelompok lain dimana ia menjadi salah seekor yang berkedudukan sebagai anggota kelas mengengah, maka ternyata ia mengubah pola tingkahlakunya. Dari semula penuh kebajikan, kemudian berubah menjadi lebih agresif. Jelas ini disebabkan karena kekhawatiran dalam mempertahankan posisinya. Sebaliknya jika ayam yang paling jagoan dari satu kelompok besar kemudian digabungkan kedalam dan menjadi jagoan kelompok kecil, maka tingkahlakunya lebih penuh kebajikan dibandingkan dengan tingkahlakunya ketika berada pada posisi sebagai jagoan kelompok besar. Ujung dari penelitian ini melihat kemungkinan besar bahwa tingkahlaku ayam itu lebih banyak tergabung kepada posisi sosialnya dibandingkan dengan karakter bawaannya.
            Ebbe kemudian mencoba pula meneliti keteraturan jarak sosial dan tingkahlaku sosial di kalangan anak sekolah. Peneliti menemukan bahwa dalam suatu hierarki tertentu yang kesemuanya tak serupa dengan penilaian gurunya tetapi merupakan hasil ciptaan kehidupan kelompo anak sekolah itu.
            Jika pimpinan dari satu kelompok dimasukkan ke dalam kelompok lain dimana ia menjadi anggota kelas menengah disana, maka tingkahlakunya berubah. Dengan demikian di antara anak sekolah itu juga supaya tingkah lakunya tergantung kepada sosialnya secara individual dan juga kepada apa yang disebut: karakter, yang untuk sebagian besar merupakan hasil dari berbagai situasi sosial.
            Adalah jelas sekali trdapat tendensi umum tertentu yang melekat dalam kehidupan kelompok anak sekolah seperti itu yang berperan menurut aturan yang sama, wlaupun mereka di ubah oleh perlengkapan mental dari komposisi kehidupan kelompok. Salah satu perbedaan utama antara tingkah laku binatang dan tingkah laku manusia dalam kehidupan kelompok, terlihat dari kenyataan bahwa binatang tidak mampu mengatur tindakan yang menjurus ke arah perubahan secara revolusioner. Hanya ada pemberontakan secara individual yang ada dalam kehidupan kelompok binatang. Ayam yang ditaklukkan selalu berusaha meningkatkan posisinya melalui pertarungan baru terutama dalam kasus di mana ayam yang ditaklukkan itu tak harus inferior secara badaniah tetapi disebabkan karena ketakutan psikologis yang timbul. Dengan mengamati pertarungannya orang dapat melihat bahwa binatang yang ditaklukkan itu adalah sangat gelisah, ia berupaya untuk menciptakan kebiasaan dan membangun sikap takluk, menciptakan jarak ketakutan. Revesz, seorang peneliti di bidang sosiologi binatanng lainnya meneliti tingkah laku kera yang dikandangkan. Dikandang yang diamatinya itu terdapat seekor kera yang unggul, empat ekor yang lemah, dan seekor anak kera. Ketika makanan yang dibawa ke kandangnya, yang terjadi mula-mula ialah perebutan makanan menurut dorongan hati (impulse) masing-masing kera itu. Tetapi tingkah laku demikian segera membuka jalan bagi situasi di mana kera yang terkuat mampu memuaskan dirinya sendiri tanpa rintangan, sebagai kera utama. Kera lain yang rebut makanan yang ada ditepi tiba-tiba rupanya menyadari dan mengingat hasil pertarungan dan gigitan kera yang terkuat yang terjadi sebelumnya, sehingga kemudian mereka menghindar ke arah yang berlawanan dan mengakhiri perebutan makanan itu. Segera setelah hal ini terjadi, anak kera maju ke depan dan menempatkan dirinya berdekatan dengan kera yang terkuat, mulai memakan pisang yang tersedia dengan tenang tanpa digigit oleh sang jagoan. Sepanjang anak kera ini tidak mencampuri persaingan kera yang lain itu, maka ia menjadi seekor kera yang mendapat bagian dalam kompetisi, maka ia segera ditaklukkan dan akan sama nasibnya dengan kera lain yang berkompetisi. Jelas kiranya bahwa dalam setiap situasi yang khas, suatu jarak tertentu terus-menerus tercipta dengan sendirinya di kalangan kehidupan binatang itu.  Di sini jarak ruang pada waktu bersamaan mengandung jarak ketakutan dan rasa hormat. Jarak obyektif cenderung dihubungkan dengan kualitas jarak mental.
            Ungkapan bahasa Jerman ‘drei Schritt von Leib’ (tiga langkah dari manusia) digunakan untuk menandai sikap pemeliharaan jarak dari seseorang menggambarkan dengan sempurna keadaan masyarakat dimana jarak ruang pada waktu bersamaan mengungkapkan ketakutan dan rasa hormat.langkah pertama ialah jarak normal antara anggota dari suatu masyarakat. Jarak dari tiga langkah selanjutnya, merupakan pemaksaan terhadap orang yang berada di luar kelompok dominan sebagai tanda dari status yang disubordinasikan di dalam hirarki masyarakat yang ketat. Jarak yang berlebih ini, yang dapat dipertentangkan dengan keadaan berkurangnya jarak menggambarkan keintiman. Keintiman yang berhubungan erta dengan keakraban dan kontak pisik yang terjadi antara individu dalam kelompok, sekali lagi menunjukkan kenyataan bahwa jarak obyektif cenderung berhubungan erat dengan kualitas jarak mental.
            Selama berlangsungnya proses diferensiasi, tipe-tipe jarak yang lebih kompleks muncul dari jarak ketakutan; sebagai contohnya adalah jarak kekuasaan. Jarak konvensional yang telah berkembang dengan cepat dalam suatu masyarakat sebagai tanggapan terhadap keperluan akan keamanan pribadi telah berkembang dengan cepat dalam suatu masyarakat senagai tanggapan terhadap keperluan akan keamanan pribadi telah berkembng dalam berbagai masyarakat menjadi suatu simbol antar hungan kekuasaan dan berpengaruh nyata terhadaap hiraarki sosial.
            Kita dapat membedakan tiga jenis jarak. Pertama, jarak yang menjamin terpeliharanya tata sosial dan hirarki sosial tertentu. Kedua, jarak eksistensial. Ketiga, jarak diri sendiri, yakni jarak yang diciptakan di dalam diri seseorang individu tertentu.

4.      PEMELIHARAAN HIRARKI SOSIAL
            Struktur hirarkis tata sosial, adanya kelas-kelas dantingkatan dalam kehidupan, dalam sebagian besar kasus ditunjang oleh sejenis jarak tertentu. Jarak yang jelas kelihatan di dalam pergaulan sosial dan di dalam penyelesaian obyek kultural yang dimiliki masyarakat, memelihara suatu stratifikasi sosial melalui peralatan mental yang cenderung menggantikan kedudukan kekuasaan. Sistem berpakaian yang sangat canggih dan tatakrama, gaya berbicara, sikap dan adat kebiasaan, dapat dipergunakan untuk memelihara jarak antara kelompok penguasa dan oraang yang dikuasainya. Tugas tersembunyi sistem tersebut ialah untuk menciptakan jarak dan dengan demikian untuk mengawetkan kekuasaan minoritas penguasa.
            Jarak digambarkan dengan sendirinya oleh bentuk pergaulan sosial dan oleh jarak obyek tertentu dalam lingkungan kebudayaan masyarakat tertentu. Pergaulan sosial, dapat terbentuk dalam dua cara. Pertam, dengan membatasi atau meniadakan kerjasama antara dua kelompok penguasa dan yang dikuasai. Misalnya dengan melarang perkawinan campuran antara aanggota kedua kelompok atau dengan memantangkan makan bersama pada satu meja atau dengan memantangkan makan suatu sistem kebiasaan yang canggih, yang menonjolkan jarak antara strata masyarakat yang berbeda.
            Melalui penyatuan mayoritas orang yang tertindas secara mendadak, maka setiap kelompok penguasa dapat digulingkan. Karena itu prinsip memecah-belah dan kemudian menguasai-devide and rule-selalu diikuti oleh kelompok penguasa dan bila pelaksanaan prinsip ini berhasil baik maka stabilitas sistem sosial yang ada akan terjamin. Namun demikian bukan hanya pergaulan sosial dimana masing-masing strata sosial dan antara strata sosial yang berbeda saja yang dikendalikan oleh jarak sosial itu. Obyek-obyek sosial dan lingkungan kultural pun dijaga jaraknya dengan cara yang sama. Jika kita mengamati masyarakat yang berbeda dan bertanya kepada diri sendiri: apakah yang dapat membuatnya mempunyai jarak, maka kita akan menemukan bahwa di keduanya terdapat baik manusianya seperti pemimpin dan raja maupun obyek-obyeknya seperti barang peninggalannya. Dalam masyarakat primitif mislanya, sifat ke-Tuhanan dari para pemimpinnya atau rajanya sebagian besar dipelihara melalui upacara seremonial yang rumit yang dapat melindungi pemimpin atau raja itu dan memisahkan mereka dari rakyat yang diperintahnya. Tokoh ‘orang suci’ sebaliknya menjadi orang yang dikeramatkan terutama karena ia meningkatkan jarak dan dengan demikian mengisolasikan dirinya dari pengikutnya. Selanjutnya pepatah-petitih dan peribahasa dapat sipisahkan dari pemakaian sehari-hari menjadi mantera-mantera, seperti kalimat yang dipetik dari kitab suci oleh seorang pendeta. Orang juga dapat memisahkan institusi dan organisasi atau bidang kehidupan dan aktifitas seperti kesenian atau hari libur.
            Ada kesamaan antara jarak sosial dan jarak obyek dari lingkungan kultural. Peningkatan nilai tertentu secara palsu dan menjaga jarak dalam kebiasaan sehari-hari ditopang oleh sistem yang sama. Ide kekesatriaan seperti kepahlawanan dan sopan santun, meningkatkan dan memisahkan pola perilaku tertentu dan meningkatkan kebutuhan yang tak dapat dipenuhi oleh orang kebanyakan. Jadi ide tersebut mempunyai fungsi sosial yang sama dengan jarak yang berperan dalam pergaulan sosial.
            Evolusi demokrasi ditandai oleh kecenderungan baik dengan mengurangi jarak atau dengan mengubah metode pengambilan jarak. Sementara dalam masyarakat pra-demokrasi peraturan-peraturan keras menentukan cara-cara berpakaian yang boleh dikenakan oleh tingkat sosial yang berbeda, maka masyarakat demokrasi mengganti sistem yang usang itu dengan ‘mode’. Bertingkahlaku dan bergaul menjadi lebih bebas. Suatu proses penyamarataan ke atas dan ke bawah dikembangkan dan kebebasan menonjolkan diri untuk sebagian besar menggantikan peraturan seremonial tradisional. Hambatan terhadap kebebasan menonjolkan diri, juga dapat dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan jarak sosial. Dengan demikian, orang yang berada pada kedudukan yang lebih tinggi dapat membatasi diri mereka sendiri untuk mengawetkan jenis tingkah laku martabat tertentu.


5.      JARAK EKSISTENSIAL
            Jarak sosial jenis ini dapat diamati jika kita mengenyampingkan seluruh tindakan pengambilan jarak yang berasal dari pergaulan sosial. Dengan demikian akan terdapat suatu bentuk jarak tertentu yang lain dari jenis jarak sosial yang dapat ditunjukkan melalui contoh berikut. Jika seorang wanita dari kalangan yang sederhana mengunjungi seorang pendeta demi untuk maksud pengakuan dosa, maka baginya pendeta itu bukanlah sebagai seorang yang khas tetapi merupakan suatu kepribadian yang mencerminkan kemampuan untuk meningkatkan status sosial. Namun pada waktu bersamaan, wanita itu mungkin pula dipengaruhi oleh rasa keakrabannya terhadap si pendeta atau oleh perasaannya sendiri yang merasa sedemikian renggangnya dengan pendeta itu. Perasaan terakhir inilah yang kita sebut sebagai jarak eksistensial itu. Tetapi kedua topeng individual biasanyaa berpengaruh secara serentak. Proses demokratisasi lazimnya cenderung mengurangi jarak sosial dan membuka hubungan eksistensial yaang murni antara manusia.
            Perbedaan-perbedaan eksistensial merupakan suatu antara hubungan antara individual yang lahir secara eksklusif dari kualitas kejiwaan manusia. Perbedaan eksistensial ini terlihat ketika seseorang sekonyong-konyong menyadari keintiman dirinya dengan orang lain, dan ia mengadakan kontak yang erat dengan batinnya yang paling dalam. Jarak eksistensial ini dalam sebagian besar masyarakat sejak lama dikacaukan dengan jarak sosial, mislanya dalam masyarakat berkasta. Kelahiran individualisme akhirnya merobek topeng sosial dari manusia.

6.      PENCIPTAAN JARAK DALAM KEPRIBADIAN TUNGGAL
            Seorang individu dapat berada sedemikian dekatnya atau jauh dari kepribadian sebenarnya yang dimilikinya, sama seperti ia juga dapat merasa dekat atau jauh dari kepribadian orang lain. Kita dapat mengamati dari dalam diri seseorang individu fenomena yang menunjukkan jauh-dekatnya seseorang dari kepribadiannya sendiri, yang dengan tiba-tiba kepribadiannya itu menjadi asing bagi dirinya sendiri. Abad demokrasi telah merusak jarak sosial, namun dengan demikian penonjolan jarak eksistensial menjadi lebih besar. Pengasingan diri sendiri yang terdapat dalam situasi kultural tertentu merintangi penonjolan diri sendiri secara individual.
            Pengambilan jarak adalah suatu faktor yang amat penting dalam mengubah struktur kekuasaan menjadi pola mental dan kultural. Sejaraah telah menunjukkan bahwa perubahan dalam gaya kultural berhubungan erat dengan perubahan dalaam struktur kekuasaan. Sosiologi kultural membahas masalah ini secara terperinci dan telah menemukan bagaimana organisasi kekuasaan dalam berbagai jenis perkembangan sejarah berpengaruh terhadap berbagai bentuk jarak mental.

2 comments:

Unknown said...

Tulisannya sangat membantu sekali :) boleh tau referensinya pke buku apa aja ya ? Trmakasih

Anonymous said...

Terima kasih udah upload. Kalo boleh tau, referensinya dapet dari mana ajaa, butuh banget ya Allah.

Translate