|
|
ISLAM memperkenankan kepada
setiap muslim, bahkan menyuruh supaya geraknya baik, elok dipandang dan
hidupnya teratur dengan rapi untuk menikmati perhiasan dan pakaian yang
telah dicipta Allah.
Adapun tujuan pakaian dalam pandangan Islam ada dua
macam; yaitu, guna menutup aurat dan berhias. Ini adalah merupakan
pemberian Allah kepada umat manusia seluruhnya, di mana Allah telah
menyediakan pakaian dan perhiasan, kiranya mereka mau mengaturnya sendiri.
Maka berfirmanlah Allah s.w.t.:
"Hai anak-cucu Adam! Sungguh Kami telah menurunkan
untuk kamu pakaian yang dapat menutupi aurat-auratmu dan untuk
perhiasan." (al-A'raf: 26)
Barangsiapa yang mengabaikan salah satu dari dua perkara
di atas, yaitu berpakaian untuk menutup aurat atau berhias, maka sebenarnya
orang tersebut telah menyimpang dari ajaran Islam dan mengikuti jejak
syaitan. Inilah rahasia dua seruan yang dicanangkan Allah kepada umat
manusia, sesudah Allah mengumandangkan seruanNya yang terdahulu itu, dimana
dalam dua seruanNya itu Allah melarang keras kepada mereka telanjang dan
tidak mau berhias, yang justru keduanya itu hanya mengikuti jejak syaitan
belaka.
Untuk itulah maka Allah berfirman:
"Hai anak-cucu Adam! Jangan sampai kamu dapat
diperdayakan oleh syaitan, sebagaimana mereka telah dapat mengeluarkan
kedua orang tuamu (Adam dan Hawa) dari sorga, mereka dapat menanggalkan
pakaian kedua orang tuamu itu supaya kelihatan kedua auratnya."
(al-A'raf: 27)
"Hai anak-cucu Adam! Pakailah perhiasanmu di
tiap-tiap masjid dan makanlah dan minumlah tetapi jangan berlebih-lebihan
(boros)." (al-A'raf: 31)
Islam mewajibkan kepada setiap muslim supaya menutup
aurat, dimana setiap manusia yang berbudaya sesuai dengan fitrahnya akan
malu kalau auratnya itu terbuka. Sehingga dengan, demikian akan berbedalah
manusia dari binatang yang telanjang.
Seruan Islam untuk menutup aurat ini berlaku bagi setiap
manusia, kendati dia seorang diri terpencil dari masyarakat, sehingga
kesopanannya itu merupakan kesopanan yang dijiwai oleh agama dan moral yang
tinggi.
Bahaz bin Hakim dari ayahnya dari datuknya
menceriterakan, kata datuknya itu:
"Ya, Rasulullah! Aurat kami untuk apa harus kami
pakai, dan apa yang harus kami tinggalkan? Jawab Nabi. 'Jagalah auratmu itu
kecuali terhadap isterimu atau hamba sahayamu.' Aku bertanya lagi: 'Ya,
Rasulullah! Bagaimana kalau suatu kaum itu bergaul satu sama lain?' Jawab
Nabi, 'Kalau kamu dapat supaya tidak seorang pun yang melihatnya, maka
janganlah dia melihat.' Aku bertanya lagi: 'Bagaimana kalau kami
sendirian?' Jawab Nabi, 'Allah tabaraka wa Ta'ala, lebih berhak (seseorang)
malu kepadaNya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Tarmizi, Ibnu Majah, Hakim
dan Baihaqi)
Islam Agama Bersih dan Cantik
Sebelum
Islam mencenderung kepada masalah perhiasan dan gerak yang baik, terlebih
dahulu Islam mengerahkan kecenderungannya yang lebih besar kepada masalah
kebersihan adalah merupakan dasar pokok bagi setiap perhiasan yang baik dan
pemandangan yang elok.
Dalam
salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. pernah bersabda sebagai berikut:
"Menjadi bersihlah kamu,
karena sesungguhnya Islam itu bersih." (Riwayat Ibnu Hibban)
Dan
sabdanya pula:
"Kebersihan itu dapat
mengajak orang kepada iman. Sedang iman itu akan bersama pemiliknya ke
sorga." (Riwayat Thabarani)
Rasulullah
s.a.w. sangat menekankan tentang masalah kebersihan pakaian, badan, rumah
dan jalan-jalan. Dan lebih serius lagi, yaitu tentang kebersihan gigi,
tangan dan kepala.
Ini
bukan suatu hal yang mengherankan, karena Islam telah meletakkan suci
(bersih) sebagai kunci bagi peribadatannya yang tertinggi yaitu shalat.
Oleh karena itu tidak akan diterima sembahyangnya seorang muslim sehingga
badannya bersih, pakaiannya bersih dan tempat yang dipakai pun dalam
keadaan bersih. Ini belum termasuk kebersihan yang diwajibkan terhadap
seluruh badan atau pada anggota badan. Kebersihan yang wajib ini dalam
Islam dilakukan dengan mandi dan wudhu'.
Kalau
suasana bangsa Arab itu dikelilingi oleh suasana pedesaan padang pasir di
mana orang-orangnya atau kebanyakan mereka itu telah merekat dengan
meremehkan urusan kebersihan dan berhias, maka Nabi Muhammad s.a.w. waktu
itu memberikan beberapa bimbingan yang cukup dapat membangkitkan, serta
nasehat-nasehat yang jitu, sehingga mereka naik dari sifat-sifat primitif
menjadi bangsa modern dan dari bangsa yang sangat kotor menjadi bangsa yang
cukup necis.
Pernah
ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, rambut dan jenggotnya morat-marit
tidak terurus, kemudian Nabi mengisyaratkan, seolah-olah memerintah supaya
rambutnya itu diperbaiki, maka orang tersebut kemudian memperbaikinya, dan
setelah itu dia kembali lagi menghadap Nabi.
Maka
kata Nabi:
"Bukankah ini lebih baik
daripada dia datang sedang rambut kepalanya morat-marit seperti
syaitan?" (Riwayat Malik)
Dan
pernah juga Nabi melihat seorang laki-laki yang kepalanya kotor sekali.
Maka
sabda Nabi:
"Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dengan itu dia dapat meluruskan rambutnya?"
Pernah
juga Nabi melihat seorang yang pakaiannya kotor sekali, maka apa kata Nabi:
"Apakah orang ini tidak
mendapatkan sesuatu yang dapat dipakai mencuci pakaiannya?" (Riwayat
Abu Daud)
Dan
pernah ada seorang laki-laki datang kepada Nabi, pakaiannya sangat
menjijikkan, maka tanya Nabi kepadanya:
"Apakah kamu mempunyai
uang?" Orang tersebut menjawab: "Ya! saya punya" Nabi
bertanya lagi. "Dari mana uang itu?" Orang itupun kemudian
menjawab: "Dari setiap harta yang Allah berikan kepadaku." Maka
kata Nabi: "Kalau Allah memberimu harta, maka sungguh Dia (lebih
senang) menyaksikan bekas nikmatNya yang diberikan kepadamu dan bekas
kedermawananNya itu." (Riwayat Nasa'i)
Masalah
kebersihan ini lebih ditekankan lagi pada hari-hari berkumpul, misalnya:
Pada hari Jum'at dan Hari raya. Dalam hal ini Nabi pun pernah bersabda:
"Sebaiknyalah salah seorang
di antara kamu --jika ada rezeki-- memakai dua pakaian untuk hari Jum'at,
selain pakaian kerja." (Riwayat Abu Daud)
Emas dan Sutera Asli Haram Untuk
Orang Laki-Laki
Kalau Islam telah memberikan
perkenan bahkan menyerukan kepada umatnya supaya berhias dan menentang
keras kepada siapa yang mengharamkannya, yaitu seperti yang dikatakan Allah
dalam al-Quran:
"Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah
yang telah dikeluarkan untuk hambaNya dan begitu juga rezeki-rezeki yang
baik (halal)?" (al-A'raf: 32)
Maka dibalik itu Islam telah
mengharamkan kepada orang laki-laki dua macam perhiasan, di mana kedua
perhiasan tersebut justru paling manis buat kaum wanita. Dua macam
perhiasan itu ialah:
- Berhias dengan emas.
- Memakai kain sutera asli.
Ali bin Abu Talib r.a. berkata:
"Rasulullah s.a.w. mengambil sutera, ia letakkan di
sebelah kanannya, dan ia mengambil emas kemudian diletakkan di sebelah
kirinya, lantas ia berkata: Kedua ini haram buat orang laki-laki dari
umatku." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah)
Tetapi Ibnu Majah menambah:
"halal buat orang-orang perempuan."
Dan Saiyidina Umar pernah juga
berkata:
"Aku pernah mendengar Rasulullah s.a. w. bersabda:
'Jangan kamu memakai sutera, karena barangsiapa memakai di dunia, nanti di
akhirat tidak lagi memakainya.'" (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Dan tentang masalah pakaian
sutera Nabi pun pernah juga bersabda:
"Sesungguhnya ini adalah pakaian orang yang (nanti
di akhirat) tidak ada sedikitpun bagian baginya." (Riwayat Bukhari dan
Muslim)
Dan tentang masalah emas, Nabi
s.a.w. pernah melihat seorang laki-laki memakai cincin emas di tangannya,
kemudian oleh Nabi dicabutnya cincin itu dan dibuang ke tanah.
Kemudian beliau bersabda:
"Salah seorang diantara kamu ini sengaja mengambil
bara api kemudian ia letakkan di tangannya. Setelah Rasulullah pergi,
kepada si laki-laki tersebut dikatakan: 'Ambillah cincinmu itu dan
manfaatkanlah.' Maka jawabnya: 'Tidak! Demi Allah, saya tidak mengambil
cincin yang telah dibuang oleh Rasulullah.'" (Riwayat Muslim)
Dan seperti cincin, menurut apa
yang kami saksikan di kalangan orang-orang kaya, yaitu mereka memakai pena
emas, jam emas, gelang emas, kaling rokok emas, mulut(?)/gigi emas dan
seterusnya.
Adapun memakai cincin perak,
buat orang laki-laki jelas telah dihalalkan oleh Rasulullah s.a.w.,
sebagaimana tersebut dalam hadis riwayat Bukhari, bahwa Rasulullah sendiri
memakai cicin perak, yang kemudian cincin itu pindah ke tangan Abubakar,
kemudian pindah ke tangan Umar dan terakhir pindah ke tangan Usman sehingga
akhirnya jatuh ke sumur Aris (di Quba').13
Tentang logam-logam yang lain
seperti besi dan sebagainya tidak ada satupun nas yang mengharamkannya,
bahkan yang ada adalah sebaliknya, yaitu Rasulullah s.a.w. pernah menyuruh
kepada seorang laki-laki yang hendak kawin dengan sabdanya:
"Berilah (si perempuan itu) mas kawin, walaupun
dengan satu cincin dari besi." (Riwayat Bukhari)
Dari hadis inilah, maka Imam
Bukhari beristidlal untuk menetapkan halalnya memakai cincin besi.
Memakai pakaian sutera dapat
diberikan keringanan (rukhshah) apabila ada suatu keperluan yang
berhubungan dengan masalah kesehatan, yaitu sebagaimana Rasulullah pernah
mengizinkan Abdur-Rahman bin 'Auf dan az-Zubair bin Awwam untuk memakai
sutera karena ada luka di bagian badannya.14
|
|
Hikmah Diharamkannya Emas dan Sutera Terhadap Laki-Laki
Di haramkannya dua perkara tersebut terhadap
laki-laki, Islam bermaksud kepada suatu tujuan pendidikan moral yang
tinggi; sebab Islam sebagai agama perjuangan dan kekuatan, harus selalu
melindungi sifat keperwiraan laki-laki dari segala macam bentuk kelemahan,
kejatuhan dan kemerosotan. Seorang laki-laki yang oleh Allah telah diberi keistimewaan
susunan anggotanya yang tidak seperti susunan keanggotaan wanita, tidak
layak kalau dia meniru wanita-wanita ayu yang melebihkan pakaiannya sampai
ke tanah dan suka bermegah-megah dengan perhiasan dan pakaian.
Dibalik itu ada suatu tujuan sosial. Yakni,
bahwa diharamkannya emas dan sutera bagi laki-laki adalah salah satu bagian
daripada program Islam dalam rangka memberantas hidup bermewah-mewahan.
Hidup bermewah-mewahan dalam pandangan al-Quran adalah sama dengan suatu
kemerosotan yang akan menghancurkan sesuatu umat. Hidup bermewah-mewahan
adalah merupakan manifestasi kejahatan sosial, dimana segolongan kecil
bermewah-mewahan dengan cincin emas atas biaya golongan banyak yang hidup
miskin lagi papa. Sesudah itu dilanjutkan dengan suatu sikap permusuhan
terhadap setiap ajakan yang baik dan memperbaiki.
Dalam hat ini al-Quran telah menyatakan:
"Dan apabila kami hendak menghancurkan
suatu desa, maka kami perbanyak orang-orang yang bergelimang dalam
kemewahan, kemudian mereka itu berbuat fasik di desa tersebut, maka akan
terbuktilah atas desa tersebut suatu ketetapan, kemudian kami hancurkan
desa tersebut dengan sehancur-hancurnya." (al-Isra': 16)
Dan firman Allah pula:
"Kami tidak mengutus di suatu desa, seorang
pun utusan (Nabi) melainkan akan berkatalah orang-orang yang bergelimang
dalam kemewahan itu. Sesungguhnya kami tidak percaya terhadap kerasulanmu
itu." (Saba': 34)
Untuk menerapkan jiwa al-Quran ini, maka Nabi
Muhammad s.a.w. telah mengharamkan seluruh bentuk kemewahan dengan segala
macam manifestasinya dalam kehidupan seorang muslim.
Sebagaimana diharamkannya emas dan sutera
terhadap laki-laki, maka begitu juga diharamkan untuk semua laki-laki dan
perempuan menggunakan bejana emas dan perak. Sebagaimana akan tersebut
nanti.
Dan di balik itu semua, dapat pula ditinjau dari
segi ekonomi, bahwa emas adalah standard uang internasional. Oleh karena
itu tidak patut kalau bejana atau perhiasan buat orang laki-laki.
Hikmah Dibolehkannya Untuk Wanita
Dikecualikannya kaum wanita dari hukum ini adalah
untuk memenuhi perasaan, sesuai dengan tuntutan sifat kewanitaannya dan
kecenderungan fitrahnya kepada suka berhias; tetapi dengan syarat tidak
boleh berhias yang dapat menarik kaum pria dan membangkitkan syahwat.
Untuk itu, maka dalam hadis Nabi diterangkan:
"Siapa saja perempuan yang memakai
uangi-uangian kemudian melewati suatu kaum supaya mereka itu mencium
baunya, maka perempuan tersebut dianggap berzina, dan tiap-tiap mata ada
zinanya." (Riwayat Nasai, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban)
Dan firman Allah yang mengatakan:
"Janganlah perempuan-perempuan itu
memukul-mukulkan kakinya di tanah, supaya diketahui apa yang mereka
sembunyikan dari perhiasannya." (an-Nur: 31)
Islam mengharamkan perempuan memakai pakaian
yang membentuk dan tipis sehingga nampak kulitnya. Termasuk diantaranya
ialah pakaian yang dapat mempertajam bagian-bagian tubuh, khususnya
tempat-tempat yang membawa fitnah, seperti: buah dada, paha, dan
sebagainya.
Dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Ada dua golongan dari ahli neraka yang
belum pernah saya lihat keduanya itu: (l) Kaum yang membawa cambuk seperti
ekor sapi yang mereka pakai buat memukul orang (penguasa yang kejam); (2)
Perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, yang cenderung kepada
perbuatan maksiat dan mencenderungkan orang lain kepada perbuatan maksiat,
rambutnya sebesar punuk unta. Mereka ini tidak akan bisa masuk sorga, dan
tidak akan mencium bau sorga, padahal bau sorga itu tercium sejauh
perjalanan demikian dan demikian." (Riwayat Muslim, Babul Libas)
Mereka dikatakan berpakaian, karena memang
mereka itu melilitkan pakaian pada tubuhnya, tetapi pada hakikatnya
pakaiannya itu tidak berfungsi menutup aurat, karena itu mereka dikatakan
telanjang, karena pakaiannya terlalu tipis sehingga dapat memperlihatkan
kulit tubuh, seperti kebanyakan pakaian perempuan sekarang ini.
Bukhtun adalah salah satu macam daripada unta
yang mempunyai kelasa (punuk) besar; rambut orang-orang perempuan seperti
punuk unta tersebut karena rambutnya ditarik ke atas.
Dibalik keghaiban ini, seolah-olah Rasulullah
melihat apa yang terjadi di zaman sekarang ini yang kini diwujudkan dalam
bentuk penataan rambut, dengan berbagai macam mode dalam salon-salon
khusus, yang biasa disebut salon kecantikan, dimana banyak sekali laki-laki
yang bekerja pada pekerjaan tersebut dengan upah yang sangat tinggi.
Tidak cukup sampai di situ saja, banyak pula
perempuan yang merasa kurang puas dengan rambut asli pemberian Allah. Untuk
itu mereka belinya rambut palsu yang disambung dengan rambutnya yang asli,
supaya nampak lebih menyenangkan dan lebih cantik, sehingga dengan demikian
dia akan menjadi perempuan yang menarik dan memikat hati.
Satu hal yang sangat mengherankan, justru
persoalan ini sekarang sering dikaitkan dengan masalah penjajahan politik
dan kejatuhan moral, dan ini dapat dibuktikan oleh suatu kenyataan yang
terjadi, dimana para penjajah politik itu dalam usahanya untuk menguasai
rakyat sering menggunakan sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat dan
untuk dapat mengalihkan pandangan manusia, dengan diberinya kesenangan yang
kiranya dengan kesenangannya itu manusia tidak lagi mau memperhatikan
persoalannya yang lebih umum.
Laki-Laki Menyerupai Perempuan
dan Perempuan Menyerupai Laki-Laki
Rasulullah s.a.w. pernah
mengumumkan, bahwa perempuan dilarang memakai pakaian laki-laki dan
laki-laki dilarang memakai pakaian perempuan.15 Disamping itu beliau
melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai
laki-laki.16 Termasuk diantaranya, ialah tentang bicaranya, geraknya, cara
berjalannya, pakaiannya, dan sebagainya.
Sejahat-jahat bencana yang
akan mengancam kehidupan manusia dan masyarakat, ialah karena sikap yang
abnormal dan menentang tabiat. Sedang tabiat ada dua: tabiat laki-laki dan
tabiat perempuan. Masing-masing mempunyai keistimewaan tersendiri. Maka
jika ada laki-laki yang berlagak seperti perempuan dan perempuan bergaya
seperti laki-laki, maka ini berarti suatu sikap yang tidak normal dan
meluncur ke bawah.
Rasulullah s.a.w. pernah
menghitung orang-orang yang dilaknat di dunia ini dan disambutnya juga oleh
Malaikat, diantaranya ialah laki-laki yang memang oleh Allah dijadikan
betul-betul laki-laki, tetapi dia menjadikan dirinya sebagai perempuan dan
menyerupai perempuan; dan yang kedua, yaitu perempuan yang memang dicipta
oleh Allah sebagai perempuan betul-betul, tetapi kemudian dia menjadikan
dirinya sebagai laki-laki dan menyerupai orang laki-laki (Hadis Riwayat
Thabarani). Justru itu pulalah, maka Rasulullah s.a.w. melarang laki-laki
memakai pakaian yang dicelup dengan 'ashfar (zat warna berwarna kuning yang
biasa dipakai untuk mencelup pakaian-pakaian wanita di zaman itu).
Ali r.a. mengatakan:
"Rasulullah s. a. w.
pernah melarang aku memakai cincin emas dan pakaian sutera dan pakaian yang
dicelup dengan 'ashfar" (Hadis Riwayat Thabarani)
Ibnu Umar pun pernah
meriwayatkan:
"Bahwa Rasulullah s.a.w.
pernah melihat aku memakai dua pakaian yang dicelup dengan 'ashfar, maka
sabda Nabi: 'Ini adalah pakaian orang-orang kafir, oleh karena itu jangan
kamu pakai dia.'"
Pakaian Untuk Berfoya-foya dan
Kesombongan
Ketentuan secara umum dalam
hubungannya dengan masalah menikmati hal-hal yang baik, yang berupa
makanan, minuman ataupun pakaian, yaitu tidak boleh berlebih-lebihan dan untuk
kesombongan.
Berlebih-lebihan, yaitu
melewati batas ketentuan dalam menikmati yang halal. Dan yang disebut
kesombongan, yaitu erat sekali hubungannya dengan masalah niat, dan hati
manusia itu berkait dengan masalah yang zahir. Dengan demikian apa yang disebut
kesombongan itu ialah bermaksud untuk bermegah-megah dan menunjuk-nunjukkan
serta menyombongkan diri terhadap orang lain. Padahal Allah samasekali
tidak suka terhadap orang yang sombong.
Seperti firmanNya:
"Allah tidak suka kepada
setiap orang yang angkuh dan sombong." (al-Hadid: 23)
Dan Rasulullah s.a.w. juga
bersabda:
"Barangsiapa melabuhkan
kainnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya nanti di hari
kiamat." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Kemudian agar setiap muslim
dapat menjauhkan diri dari hal-hal yang menyebabkan kesombongan, maka
Rasulullah s.a.w. melarang berpakaian yang berlebih-lebihan, dimana hal
tersebut akan dapat menimbulkan perasaan angkuh, membanggakan diri pada
orang lain dengan bentuk-bentuk lahiriah yang kosong itu.
Di dalam hadisnya, Rasulullah
s.a.w. bersabda sebagai berikut,
"Barangsiapa memakai
pakaian yang berlebih-lebihan, maka Allah akan memberikan pakaian kehinaan
nanti di hari kiamat." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Nasa'i dan Ibnu Majah
dengan sanad yang dipercaya)
Ada seorang laki-laki bertanya
kepada Ibnu Umar tentang pakaian apa yang harus dipakainya? Maka jawab Ibnu
Umar: "yaitu pakaian yang kiranya kamu tidak akan dihina oleh
orang-orang bodoh dan tidak dicela oleh kaum filsuf." (Riwayat
Thabarani)
2.2.8
Berlebih-Lebihan Dalam Berhias dengan Mengubah Ciptaan Allah
Islam menentang sikap
berlebih-lebihan dalam berhias sampai kepada suatu batas yang menjurus
kepada suatu sikap mengubah ciptaan Allah yang oleh al-Quran dinilai, bahwa
mengubah ciptaan Allah itu sebagai salah satu ajakan syaitan kepada
pengikut-pengikutnya, dimana syaitan akan berkata kepada pengikutnya itu
sebagai berikut:
"Sungguh akan kami
pengaruhi mereka itu, sehingga mereka mau mengubah ciptaan Allah."
(an-Nisa': 119)
2.2.9
Tatoo, Kikir Gigi dan Operasi Kecantikan Hukumnya Haram
Mentatoo badan dan mengikir
gigi adalah perbuatan yang dilaknat oleh Rasulullah s.a.w., seperti
tersebut dalam hadisnya:
"Rasulullah s.a.w.
melaknat perempuan yang mentatoo dan minta ditatoo, dan yang mengikir gigi
dan yang minta dikikir giginya." (Riwayat Thabarani)
Tatoo, yaitu memberi tanda
pada muka dan kedua tangan dengan warna biru dalam bentuk ukiran. Sebagian
orang-orang Arab, khususnya kaum perempuan, mentatoo sebagian besar
badannya. Bahkan sementara pengikutpengikut agama membuatnya tatoo dalam
bentuk persembahan dan lambang-lambang agama mereka, misalnya orang-orang
Kristen melukis salib di tangan dan dada mereka.
Perbuatan-perbuatan yang rusak
ini dilakukan dengan menyiksa dan menyakiti badan, yaitu dengan menusuk-nusukkan
jarum pada badan orang yang ditatoo itu.
Semua ini menyebabkan laknat,
baik terhadap yang mentatoo ataupun orang yang minta ditatoo.
Dan yang disebut mengikir
gigi, yaitu merapikan dan memendekkan gigi. Biasanya dilakukan oleh
perempuan. Karena itu Rasulullah melaknat perempuan-perempuan yang
mengerjakan perbuatan ini (tukang kikir) dan minta supaya dikikir.
Kalau ada laki-laki yang
berbuat demikian, maka dia akan lebih berhak mendapat laknat.
Termasuk diharamkan seperti
halnya mengikir gigi, yaitu menjarangkan gigi. Dalam hal ini Rasulullah
pernah melaknatnya, yaitu seperti tersebut dalam hadisnya:
"Dilaknat
perempuan-perempuan yang menjarangkan giginya supaya menjadi cantik, yang
mengubah ciptaan Allah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Yang disebut al-Falaj, yaitu
meletakkan sesuatu di sela-sela gigi, supaya nampak agak sedikit jarang. Di
antara perempuan memang ada yang oleh Allah dicipta demikian, tetapi ada
juga yang tidak begitu. Kemudian dia meletakkan sesuatu di sela-sela gigi
yang berhimpitan itu, supaya giginya menjadi jarang. Perbuatan ini dianggap
mengelabui orang lain dan berlebih-lebihan dalam berhias yang samasekali
bertentangan dengan jiwa Islam yang sebenarnya.
Dari hadis-hadis yang telah
kita sebutkan di atas, maka kita dapat mengetahui tentang hukum operasi
kecantikan seperti yang terkenal sekarang karena perputaran kebudayaan
badan dan syahwat, yakni kebudayaan Barat materialistis, sehingga banyak
sekali perempuan dan laki-laki yang mengorbankan uangnya beratus bahkan
beribu-ribu untuk mengubah bentuk hidung, payudara atau yang lain. Semua
ini termasuk yang dilaknat Allah dan RasulNya, karena di dalamnya
terkandung penyiksaan dan perubahan bentuk ciptaan Allah tanpa ada suatu
sebab yang mengharuskan untuk berbuat demikian, melainkan hanya untuk
pemborosan dalam hal-hal yang bersifat show dan lebih mengutamakan pada
bentuk, bukan inti; lebih mementingkan jasmani daripada rohani.
Adapun kalau ternyata orang
tersebut mempunyai cacat yang kiranya akan dapat menjijikkan pandangan,
misalnya karena ada daging tambah yang dapat menimbulkan sakit secara
perasaan ataupun secara kejiwaan kalau daging lebih itu dibiarkan, maka
waktu itu tidak berdosa orang untuk berobat selama untuk tujuan demi
menghilangkan penyakit yang bersarang dan mengancam hidupnya. Karena Allah
tidak menjadikan agama buat kita ini dengan penuh kesukaran.17
Barangkali yang memperkuat
permasalahan tersebut di atas, yaitu tentang hadis "dilaknat perempuan-perempuan
yang menjarangkan giginya supaya cantik" seperti tersebut di atas.
Dari hadis itu pula dapat difahamkan, bahwa yang tercela itu ialah
perempuan yang mengerjakan hal tersebut semata-mata untuk tujuan keindahan
dan kecantikan yang dusta. Tetapi kalau hal tersebut dilakukan dengan
tujuan untuk menghilangkan penyakit atau bahaya yang mengancam, maka
sedikitpun tidak ada halangan. Wallahu a'lam!
|
Salah
satu cara berhias yang berlebih-lebihan yang diharamkan Islam, yaitu
mencukur rambut alis mata untuk ditinggikan atau disamakan. Dalam hal ini
Rasulullah pernah melaknatnya, seperti tersebut dalam hadis:
"Rasulullah s.a.w.
melaknat perempuan-perempuan yang mencukur alisnya atau minta dicukurkan
alisnya." (Riwayat Abu Daud, dengan sanad yang hasan. Demikian
menurut apa yang tersebut dalam Fathul Baari)
Sedang
dalam Bukhari disebut:
Rasulullah
s.a.w. melaknat perempuan-perempuan yang minta dicukur alisnya.
Lebih
diharamkan lagi, jika mencukur alis itu dikerjakan sebagai simbol bagi
perempuan-perempuan cabul.
Sementara
ulama madzhab Hanbali berpendapat, bahwa perempuan diperkenankan mencukur
rambut dahinya, mengukir, memberikan cat merah (make up) dan meruncingkan
ujung matanya, apabila dengan seizin suami, karena hal tersebut termasuk
berhias.
Tetapi
oleh Imam Nawawi diperketat, bahwa mencukur rambut dahi itu samasekali
tidak boleh. Dan dibantahnya dengan membawakan riwayat yang tersebut
dalam Sunan Abu Daud: Bahwa yang disebut namishah (mencukur alis)
sehingga tipis sekali. Dengan demikian tidak termasuk menghias muka
dengan menghilangkan bulu-bulunya.
Imam
Thabari meriwayatkan dari isterinya Abu Ishak, bahwa satu ketika dia
pernah ke rumah Aisyah, sedang isteri Abu Ishak adalah waktu itu masih
gadis nan jelita. Kemudian dia bertanya: Bagaimana hukumnya perempuan
yang menghias mukanya untuk kepentingan suaminya? Maka jawab Aisyah:
Hilangkanlah kejelekan-kejelekan yang ada pada kamu itu sedapat mungkin.18
Termasuk
perhiasan perempuan yang terlarang ialah menyambung rambut dengan rambut
lain, baik rambut itu asli atau imitasi seperti yang terkenal sekarang
ini dengan nama wig.
Imam
Bukhari meriwayatkan dari jalan Aisyah, Asma', Ibnu Mas'ud, Ibnu Umar dan
Abu Hurairah sebagai berikut:
"Rasulullah s.a.w.
melaknat perempuan yang menyambung rambut atau minta disambungkan
rambutnya."
Bagi
laki-laki lebih diharamkan lagi, baik dia itu bekerja sebagai tukang
menyambung seperti yang dikenal sekarang tukang rias ataupun dia minta
disambungkan rambutnya, jenis perempuan-perempuan wadam (laki-laki banci)
seperti sekarang ini.
Persoalan
ini oleh Rasulullah s.a.w, diperkeras sekali dan digiatkan untuk
memberantasnya. Sampai pun terhadap perempuan yang rambutnya gugur karena
sakit misalnya, atau perempuan yang hendak menjadi pengantin untuk
bermalam pertama dengan suaminya, tetap tidak boleh rambutnya itu
disambung.
Aisyah
meriwayatkan:
"Seorang perempuan Anshar
telah kawin, dan sesungguhnya dia sakit sehingga gugurlah rambutnya,
kemudian keluarganya bermaksud untuk menyambung rambutnya, tetapi
sebelumnya mereka bertanya dulu kepada Nabi, maka jawab Nabi: Allah
melaknat perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambung
rambutnya." (Riwayat Bukhari)
Asma'
juga pernah meriwayatkan:
"Ada seorang perempuan
bertanya kepada Nabi s.a.w.: Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya
terkena suatu penyakit sehingga gugurlah rambutnya, dan saya akan
kawinkan dia apakah boleh saya sambung rambutnya? Jawab Nabi: Allah melaknat
perempuan yang menyambung rambut dan yang minta disambungkan
rambutnya." (Riwayat Bukhari)
Said
bin al-Musayib meriwayatkan:
"Muawiyah datang ke
Madinah dan ini merupakan kedatangannya yang paling akhir di Madinah,
kemudian ia bercakap-cakap dengan kami. Lantas Muawiyah mengeluarkan satu
ikat rambut dan ia berkata: Saya tidak pernah melihat seorangpun yang
mengerjakan seperti ini kecuali orang-orang Yahudi, dimana Rasulullah
s.a.w. sendiri menamakan ini suatu dosa yakni perempuan yang menyambung rambut
(adalah dosa)."
Dalam
satu riwayat dikatakan, bahwa Muawiyah berkata kepada penduduk Madinah:
"Di mana ulama-ulamamu?
Saya pernah mendengar sendiri Rasulullah s.a.w. bersabda: Sungguh Bani
Israel rusak karena perempuan-perempuannya memakai ini (cemara)."
(Riwayat Bukhari)
Rasulullah
menamakan perbuatan ini zuur (dosa) berarti memberikan suatu isyarat akan
hikmah diharamkannya hal tersebut. Sebab hal ini tak ubahnya dengan suatu
penipuan, memalsu dan mengelabui. Sedang Islam benci sekali terhadap
perbuatan menipu; dan samasekali antipati terhadap orang yang menipu
dalam seluruh lapangan muamalah, baik yang menyangkut masalah material
ataupun moral. Kata Rasulullah s.a.w.:
"Barangsiapa menipu kami,
bukanlah dari golongan kami." (Riwayat Jamaah sahabat)
Al-Khaththabi
berkata: Adanya ancaman yang begitu keras dalam persoalan-persoalan ini,
karena di dalamnya terkandung suatu penipuan. Oleh karena itu seandainya
berhias seperti itu dibolehkan, niscaya cukup sebagai jembatan untuk
bolehnya berbuat bermacam-macam penipuan. Di samping itu memang ada unsur
perombakan terhadap ciptaan Allah. Ini sesuai dengan isyarat hadis Nabi
yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud yang mengatakan "...
perempuan-perempuan yang merombak ciptaan Allah."19
Yang
dimaksud oleh hadis-hadis tersebut di atas, yaitu menyambung rambut
dengan rambut, baik rambut yang dimaksud itu rambut asli ataupun imitasi.
Dan ini pulalah yang dimaksud dengan memalsu dan mengelabui. Adapun kalau
dia sambung dengan kain atau benang dan sabagainya, tidak masuk dalam
larangan ini. Dan dalam hal inf Said bin Jabir pernah mengatakan:
"Tidak mengapa kamu
memakai benang."20
Yang
dimaksud [tulisan Arab] di sini ialah benang sutera atau wool yang biasa
dipakai untuk menganyam rambut (jw. kelabang), dimana perempuan selalu
memakainya untuk menyambung rambut. Tentang kebolehan memakai benang ini
telah dikatakan juga oleh Imam Ahmad.21
Termasuk
dalam masalah perhiasan, yaitu menyemir rambut kepala atau jenggot yang
sudah beruban.
Sehubungan
dengan masalah ini ada satu riwayat yang menerangkan, bahwa orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak memperkenankan menyemir rambut dan merombaknya,
dengan suatu anggapan bahwa berhias dan mempercantik diri itu dapat
menghilangkan arti beribadah dan beragama, seperti yang dikerjakan oleh
para rahib dan ahli-ahli Zuhud yang berlebih-lebihan itu. Namun
Rasulullah s.a.w. melarang taqlid pada suatu kaum dan mengikuti jejak
mereka, agar selamanya kepribadian umat Islam itu berbeda, lahir dan
batin. Untuk itulah maka dalam hadisnya yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah, Rasulullah s.a.w. mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang
Yahudi tidak mau menyemir rambut, karena itu berbedalah kamu dengan
mereka." (Riwayat Bukhari)
Perintah
di sini mengandung arti sunnat, sebagaimana biasa dikerjakan oleh para
sahabat, misalnya Abubakar dan Umar. Sedang yang lain tidak melakukannya,
seperti Ali, Ubai bin Kaab dan Anas.
Tetapi
warna apakah semir yang dibolehkan itu? Dengan warna hitam dan yang
lainkah atau harus menjauhi warna hitam? Namun yang jelas, bagi orang
yang sudah tua, ubannya sudah merata baik di kepalanya ataupun
jenggotnya, tidak layak menyemir dengan warna hitam. Oleh karena itu
tatkala Abubakar membawa ayahnya Abu Kuhafah ke hadapan Nabi pada hari
penaklukan Makkah, sedang Nabi melihat rambutnya bagaikan pohon tsaghamah
yang serba putih buahnya maupun bunganya.
Untuk
itu, maka bersabdalah Nabi:
"Ubahlah ini (uban)
tetapi jauhilah warna hitam." (Riwayat Muslim)
Adapun
orang yang tidak seumur dengan Abu Kuhafah (yakni belum begitu tua),
tidaklah berdosa apabila menyemir rambutnya itu dengan warna hitam. Dalam
hal ini az-Zuhri pernah berkata: "Kami menyemir rambut dengan warna
hitam apabila wajah masih nampak muda, tetapi kalau wajah sudah mengerut
dan gigi pun telah goyah, kami tinggalkan warna hitam tersebut."22
Termasuk
yang membolehkan menyemir dengan warna hitam ini ialah segolongan dari
ulama salaf termasuk para sahabat, seperti: Saad bin Abu Waqqash, Uqbah
bin Amir, Hasan, Husen, Jarir dan lain-lain.
Sedang
dari kalangan para ulama ada yang berpendapat tidak boleh warna hitam
kecuali dalam keadaan perang supaya dapat menakutkan musuh, kalau mereka
melihat tentara-tentara Islam semuanya masih nampak muda.23
Dan
hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dzar mengatakan:
"Sebaik-baik bahan yang
dipakai untuk menyemir uban ialah pohon inai dan katam." (Riwayat
Tarmizi dan Ashabussunan)
Inai
berwarna merah, sedang katam sebuah pohon yang tumbuh di zaman Rasulullah
s.a.w. yang mengeluarkan zat berwarna hitam kemerah-merahan.
Anas
bin Malik meriwayatkan, bahwa Abubakar menyemir rambutnya dengan inai dan
katam, sedang Umar hanya dengan inai saja.
Termasuk yang urgen dalam
permasalahan kita ini, ialah tentang memelihara jenggot. Untuk ini Ibnu
Umar telah meriwayatkan dari Nabi s.a.w. yang mengatakan sebagai berikut:
"Berbedalah kamu dengan orang-orang musyrik,
peliharalah jenggot dan cukurlah kumis." (Riwayat Bukhari)
Perkataan i'fa (pelihara)
dalam riwayat lain diartikan tarkuha wa ibqaauha (tinggalkanlah dan
tetapkanlah).
Hadis ini menerangkan alasan
diperintahkannya untuk memelihara jenggot dan mencukur kumis, yaitu
supaya berbeda dengan orang-orang musyrik. Sedang yang dimaksud
orang-orang musyrik di sini ialah orang-orang Majusi penyembah api,
dimana mereka itu biasa menggunting jenggotnya, bahkan ada yang
mencukurnya.
Perintah Rasulullah ini
mengandung pendidikan untuk umat Islam supaya mereka mempunyai kepribadian
tersendiri serta berbeda dengan orang kafir lahir dan batin, yang
tersembunyi maupun yang tampak. Lebih-lebih dalam hal mencukur jenggot
ini ada unsur-unsur menentang fitrah dan menyerupai orang perempuan.
Sebab jenggot adalah lambang kesempurnaan laki-laki dan tanda-tanda yang
membedakan dengan jenis lain.
Namun demikian, bukan berarti
samasekali tidak boleh memotong jenggot dimana kadang-kadang jenggot itu
kalau dibiarkan bisa panjang yang menjijikkan yang dapat mengganggu
pemiliknya. Untuk itulah maka jenggot yang demikian boleh
diambil/digunting kebawah maupun kesamping, sebagaimana tersebut dalam
hadis rlwayat Tarmizi. Hal ini pernah juga dikerjakan oleh sementara
ulama salaf, seperti kata Iyadh: "Mencukur, menggunting dan mencabut
jenggot dimakruhkan. Tetapi kalau diambil dari panjangnya atau ke
sampingnya apabila ternyata jenggot itu besar (tebal), maka itu satu hal
yang baik."
Dan Abu Syamah juga berkata:
"Terdapat suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya. Berita yang
terkenal, bahwa yang berbuat demikian itu ialah orang-orang Majusi, bahwa
mereka itu biasa mencukur jenggotnya."24
Kami berpendapat: Bahwa
kebanyakan orang-orang Islam yang mencukur jenggotnya itu lantaran mereka
meniru musuh-musuh mereka dan kaum penjajah negeri mereka dan orang-orang
Yahudi dan Kristen. Sebagaimana kelazimannya, bahwa orang-orang yang
kalah senantiasa meniru orang yang menang. Mereka melakukan hal itu jelas
telah lupa kepada perintah Rasulullah yang menyuruh supaya mereka berbeda
dengan orang-orang kafir. Di samping itu mereka telah lupa pula terhadap
larangan Nabi tentang menyerupai orang kafir, seperti yang tersebut dalam
hadisnya yang mengatakan:
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka dia itu
termasuk golongan mereka." (Riwayat Abu Dawud)
Kebanyakan ahli-ahli fiqih
yang berpendapat tentang haramnya mencukur jenggot itu berdalil perintah
Rasul di atas. Sedang tiap-tiap perintah asalnya menunjukkan pada wajib,
lebih-lebih Rasulullah sendiri telah memberikan alasan perintahnya itu
supaya kita berbeda dengan orang-orang kafir. Dan berbeda dengan orang
kafir itu sendiri hukumnya wajib pula.
Tidak seorang pun ulama salaf
yang meninggalkan kewajiban ini. Tetapi sementara ulama-ulama sekarang
ada yang membolehkan mencukur jenggot karena terpengaruh oleh keadaan dan
memang karena bencana yang telah meluas. Mereka ini berpendapat, bahwa
memelihara jenggot itu termasuk perbuatan Rasulullah yang bersifat
duniawiah, bukan termasuk persoalan syara' yang harus ditaati. Tetapi
yang benar, bahwa memelihara jenggot itu bukan sekedar fi'liyah Nabi,
bahkan ditegaskan pula dengan perintah dan disertai alasan supaya berbeda
dengan orang kafir,
Ibnu Taimiyah menegaskan,
bahwa berbeda dengan orang kafir adalah suatu hal yang oleh syara'
ditekankan. Dan menyerupai orang kafir dalam lahiriahnya dapat
menimbulkan perasaan kasih dalam hatinya, sebagaimana perasaan kasih
dalam batin dapat menimbulkan perasaan dalam lahir. Ini sudah dibuktikan
sendiri oleh suatu kenyataan dan diperoleh berdasarkan suatu percobaan.
Selanjutnya ia berkata:
Al-Quran, Hadis dan Ijma' sudah menegaskan terhadap perintah supaya
berbeda dengan orang kafir dan dilarang menyerupai mereka secara
keseluruhannya. Apa saja yang kiranya menimbulkan kerusakan walaupun agak
tersembunyi, maka sudah dapat dikaitkan dengan suatu hukum dan dapat
dinyatakan haram. Maka dalam hal menyerupai orang kafir pada lahiriahnya
sudah merupakan sebab untuk menyerupai akhlak dan perbuatannya yang
tercela, bahkan akan bisa berpengaruh pada kepercayaan. Pengaruhnya ini
memang tidak dapat dikonkritkan, dan kejelekan yang ditimbulkan akibat
dari sikap menyerupai itu sendiri kadang-kadang tidak begitu jelas,
bahkan kadang-kadang sukar dibuktikan. Tetapi setiap hal yang menjadi
sebab timbulnya suatu kerusakan, syara' menganggapnya suatu hal yang
haram.25
Dari keterangan-keterangan di
atas dapat kita simpulkan, bahwa masalah mencukur jenggot ini ada tiga
pendapat:
- Pendapat pertama:
Hukumnya haram. Yang berpendapat demikian, ialah Ibnu Taimiyah dan
lain-lain.
- Pendapat kedua: Makruh.
Yang berpendapat demikian ialah Iyadh, sebagaimana tersebut dalam
Fathul Bari. Sedang ulama lain tidak ada yang berpendapat demikian.
- Pendapat ketiga: Mubah.
Yang berpendapat demikian sementara ulama sekarang.
Tetapi barangkali yang agak
moderat dan bersikap tengah-tengah yaitu pendapat yang menyatakan makruh.
Sebab tiap-tiap perintah tidak selamanya menunjukkan pada wajib,
sekalipun dalam hal ini Nabi telah memberikan alasannya supaya berbeda
dengan orang kafir. Perbandingan yang lebih mendekati kepada persoalan
ini ialah tentang perintah menyemir rambut supaya berbeda dengan orang
Yahudi dan Kristen. Tetapi sebagian sahabat ada yang tidak
mengerjakannya. Oleh karena itu perintah tersebut sekedar menunjukkan
sunnat.
Betul tidak ada seorang pun
ulama salaf yang mencukur jenggot, tetapi barangkali saja karena mereka
tidak begitu memerlukan, karena memelihara jenggot waktu itu sudah
menjadi kebiasaan mereka.
|
|
SEJAK dahulukala
umat manusia berbeda-beda dalam menilai masalah makanan dan minuman mereka,
ada yang boleh dan ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih dalam masalah
makanan yang berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa
tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri tidak
mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat
dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda
tersebut sudah mencapai kadar memabukkan.
Begitu juga Islam mengharamkan semua benda yang dapat
menghilangkan kesadaran dan melemahkan urat serta yang membahayakan tubuh,
sebagaimana akan kami sebutkan di bawah.
Adapun soal makanan berupa binatang inilah yang terus
diperselisihkan dengan hebat oleh agama-agama dan golongan.
Menyembelih
dan Makan Binatang Dalam Pandangan Agama Hindu
Ada sementara golongan, misalnya Golongan Brahmana (Hindu)
dan Filsuf yang mengharamkan dirinya menyembelih dan memakan binatang. Mereka
cukup hidup dengan makanan-makanan dari tumbuh-tumbuhan. Golongan ini
berpendapat, bahwa menyembelih binatang termasuk suatu keganasan manusia
terhadap binatang hidup. Manusia tidak berhak untuk menghalang-halangi
hidupnya binatang.
Tetapi kita juga tahu dari hasil pengamatan kita terhadap alam
ini, bahwa diciptanya binatang-binatang itu tidak mempunyai suatu tujuan.
Sebab binatang tidak mempunyai akal dan kehendak. Bahkan secara nalurinya
binatang-binatang itu dicipta guna memenuhi (khidmat) kebutuhan manusia. Oleh
karena itu tidak aneh kalau manusia dapat memanfaatkan dagingnya dengan cara
menyembelih, sebagaimana halnya dia juga dapat memanfaatkan tenaganya dengan
cara yang lazim.
Kita pun mengetahui dari sunnatullah (ketentuan Allah)
terhadap makhluknya ini, yaitu: golongan rendah biasa berkorban untuk
golongan atas. Misalnya daun-daunan yang masih hijau boleh dipotong/dipetik
buat makanan binatang, dan binatang disembelih untuk makanan manusia dan,
bahkan, seseorang berperang dan terbunuh untuk kepentingan orang banyak.
Begitulah seterusnya.
Haruslah diingat, bahwa dilarangnya manusia untuk
menyembelih binatang tidak juga dapat melindungi binatang tersebut dari
bahaya maut dan binasa. Kalau tidak berbaku hantam satu sama lain, dia juga
akan mati dengan sendirinya; dan kadang-kadang mati dalam keadaan demikian
itu lebih sakit daripada ketajaman pisau.
Binatang
yang Diharamkan Dalam Pandangan Yahudi dan Nasrani
Dalam pandangan agama Yahudi dan Nasrani (kitabi), Allah
mengharamkan kepada orang-orang Yahudi beberapa binatang laut dan darat. Penjelasannya
dapat dilihat dalam Taurat (Perjanjian Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya
Bab: Imamat Orang Lewi.
Dan oleh al-Ouran disebutkan sebagian binatang yang
diharamkan buat orang-orang Yahudi itu serta alasan diharamkannya, yaitu
seperti yang kami sebutkan di atas, bahwa diharamkannya binatang tersebut
adalah sebagai hukuman berhubung kezaliman dan kesalahan yang mereka lakukan.
Firman Allah:
"Dan kepada orang-orang Yahudi kami haramkan semua
binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing kami haramkan
lemak-lemaknya, kecuali (lemak) yang terdapat di punggungnya, atau yang
terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang demikian itu
kami (sengaja) hukum mereka. Dan sesungguhnya Kami adalah (di pihak) yang
benar." (al-An'am: 146)
Demikianlah keadaan orang-orang Yahudi. Sedangkan
orang-orang Nasrani sesuai dengan ketentuannya harus mengikuti orang-orang
Yahudi. Karena itu Injil menegaskan, bahwa Isa a.s. datang tidak untuk
mengubah hukum Taurat (Namus) tetapi untuk menggenapinya.
Tetapi suatu kenyataan, bahwa mereka telah mengubah hukum
Taurat itu. Apa yang diharamkan dalam Taurat telah dihapus oleh orang-orang
Nasrani --tanpa dihapus oleh Injilnya-- mereka mau mengikuti Paulus yang
dipandang suci itu dalam masalah halalnya semua makanan dan minuman, kecuali
yang memang disembelih untuk berhala kalau dengan tegas itu dikatakan kepada
orang Kristen: "Bahwa binatang tersebut disembelih untuk berhala.
Paulus memberikan alasan, bahwa semua yang suci halal
untuk orang yang suci, dan semua yang masuk dalam mulut tidak dapat
menajiskan mulut, yang dapat menajiskan mulut ialah apa yang keluar dari
mulut.
Mereka juga telah menghalalkan babi, sekalipun dengan
tegas babi itu diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.
Menurut
Pandangan Orang Arab Jahiliah
Orang-orang Arab jahiliah mengharamkan sebagian binatang
karena kotor, dan sebagiannya diharamkan karena ada hubungannya dengan
masalah peribadatan (ta'abbud), karena untuk bertaqarrub kepada berhala dan
karena mengikuti anggapan-anggapan yang salah (waham). Seperti: Bahirah,
saaibah, washilah dan ham. Yang menjelaskannya telah kami sebutkan di atas.
Tetapi di balik itu, mereka banyak juga menghalalkan
beberapa binatang yang kotor (khabaits), seperti: Bangkai dan darah yang
mengalir.
Islam
Menghalalkan Yang Baik
Islam datang, sedang manusia masih dalam keadaan demikian
dalam memandang masalah makanan berupa binatang. Islam berada di antara suatu
faham kebebasan soal makanan dan extrimis dalam soal larangan. Oleh karena
itu Islam kemudian mengumandangkan kepada segenap umat manusia dengan
mengatakan:
"Hai manusia! Makanlah dari apa-apa yang ada di bumi
ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti jejak syaitan karena
sesungguhnya syaitan itu musuh yang terang-terangan bagi kamu."
(al-Baqarah: 168)
Di sini Islam memanggil manusia supaya suka makan hidangan
besar yang baik, yang telah disediakan oleh Allah kepada mereka, yaitu bumi
lengkap dengan isinya, dan kiranya manusia tidak mengikuti kerajaan dan jejak
syaitan yang selalu menggoda manusia supaya mau mengharamkan sesuatu yang
telah dihalalkan Allah, dan mengharamkan kebaikan-kebaikan yang dihalalkan
Allah; dan syaitan juga menghendaki manusia supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.
Selanjutnya mengumandangkan seruannya kepada orang-orang
mu'min secara khusus.
Firman Allah:
"Hai orang-orang yang beriman! Makanlah yang
baik-baik dari apa-apa yang telah Kami berikan kepadamu, serta bersyukurlah
kepada Allah kalau betul-betul kamu berbakti kepadaNya. Allah hanya
mengharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang
disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa dengan
tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidaklah berdosa baginya, karena
sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-Baqarah:
172-173)
Dalam seruannya secara khusus kepada orang-orang mu'min
ini, Allah s.w.t. memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya
mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang
memberi nikmat. Selanjutnya Allah menjelaskan pula, bahwa Ia tidak
mengharamkan atas mereka kecuali empat macam seperti tersebut di atas. Dan
yang seperti ini disebutkan juga dalam ayat lain yang agaknya lebih tegas
lagi dalam membatas yang diharamkan itu pada empat macam. Yaitu sebagaimana
difirmankan Allah:
"Katakanlah! Aku tidak menemukan tentang sesuatu yang
telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang diharamkan untuk dimakan,
melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau daging babi; karena
sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang disembelih bukan karena
Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa dengan tidak sengaja dan
tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun dan Maha
Belas-kasih." (al-An'am: 145)
Dan dalam surah al-Maidah ayat 3 al-Quran menyebutkan
binatang-binatang yang diharamkan itu dengan terperinci dan lebih banyak.
Firman Allah:
"Telah diharamkan atas kamu bangkai, darah, daging
babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah, yang (mati) karena
dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena jatuh dari atas, yang
(mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh binatang buas kecuali
yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk berhala." (al-Maidah:
3)
Antara ayat ini yang menetapkan 10 macam binatang yang
haram, dengan ayat sebelumnya yang menetapkan 4 macam itu, samasekali tidak
bertentangan. Ayat yang baru saja kita baca ini hanya merupakan perincian
dari ayat terdahulu.
Binatang yang dicekik, dipukul, jatuh dari atas, ditanduk
dan karena dimakan binatang buas, semuanya adalah termasuk dalam pengertian
bangkai. Jadi semua itu sekedar perincian dari kata bangkai. Begitu juga
binatang yang disembelih untuk berhala, adalah semakna dengan yang disembelih
bukan karena Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai pengertian yang sama.
Ringkasnya: Secara global (ijmal) binatang yang diharamkan
itu ada empat macam, dan kalau diperinci menjadi sepuluh.
Diharamkan
Bangkai dan Hikmahnya
1) Pertama kali haramnya makanan yang disebut oleh ayat
al-Quran ialah bangkai, yaitu binatang yang mati dengan sendirinya tanpa ada
suatu usaha manusia yang memang sengaja disembelih atau dengan berburu.
Hati orang-orang sekarang ini kadang-kadang bertanya-tanya
tentang hikmah diharamkannya bangkai itu kepada manusia, dan dibuang begitu
saja tidak boleh dimakan. Untuk persoalan ini kami menjawab, bahwa
diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat besar sekali:
a) Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan
bangkai dan dia pun akan menganggapnya kotor. Para cerdik pandai di kalangan
mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu adalah suatu perbuatan
yang rendah yang dapat menurunkan harga diri manusia. Oleh karena itu seluruh
agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak
boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya.
b) Supaya setiap muslim suka membiasakan bertujuan dan
berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslim pun yang
memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkonkritkan
niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti
menyembelih --yang dapat mengeluarkan binatang dari kedudukannya sebagai
bangkai-- tidak lain adalah bertujuan untuk merenggut jiwa binatang karena
hendak memakannya.
Jadi seolah-olah Allah tidak rela kepada seseorang untuk
makan sesuatu yang dicapai tanpa tujuan dan berfikir sebelumnya, sebagaimana
halnya makan bangkai ini. Berbeda dengan binatang yang disembelih dan yang
diburu, bahwa keduanya itu tidak akan dapat dicapai melainkan dengan tujuan,
usaha dan perbuatan.
c) Binatang yang mati dengan sendirinya, pada umumnya mati
karena sesuatu sebab; mungkin karena penyakit yang mengancam, atau karena
sesuatu sebab mendatang, atau karena makan tumbuh-tumbuhan yang beracun dan
sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan,
Contohnya seperti binatang yang mati karena sangat lemah dan kerena
keadaannya yang tidak normal.
d) Allah mengharamkan bangkai kepada kita umat manusia,
berarti dengan begitu Ia telah memberi kesempatan kepada hewan atau burung
untuk memakannya sebagai tanda kasih-sayang Allah kepada binatang atau
burungburung tersebut. Karena binatang-binatang itu adalah makhluk seperti
kita juga, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran.
e) Supaya manusia selalu memperhatikan binatang-binatang
yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja binatangnya itu diserang oleh
sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera
memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.
Haramnya
Darah Yang Mengalir
2) Makanan kedua yang diharamkan ialah darah yang
mengalir. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal), maka jawab
beliau: Makanlah! Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah. Maka jawab
Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang mengalir.
Rahasia diharamkannya darah yang mengalir di sini adalah
justru karena kotor, yang tidak mungkin jiwa manusia yang bersih suka
kepadanya. Dan inipun dapat diduga akan berbahaya, sebagaimana halnya
bangkai.
Orang-orang jahiliah dahulu kalau lapar, diambilnya
sesuatu yang tajam dari tulang ataupun lainnya, lantas ditusukkannya kepada
unta atau binatang dan darahnya yang mengalir itu dikumpulkan kemudian
diminum. Begitulah seperti yang dikatakan oleh al-A'syaa dalam syairnya:
Janganlah kamu mendekati bangkai
Jangan pula kamu mengambil tulang
yang tajam
Kemudian kamu tusukkan dia untuk mengeluarkan darah.
Oleh karena mengeluarkan darah dengan cara seperti itu
termasuk menyakiti dan melemahkan binatang, maka akhirnya diharamkanlah darah
tersebut oleh Allah s.w.t.
|
No comments:
Post a Comment