BAB III
KEDUDUKAN DAN FUNGSI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH, SEBAGAI HAMBA,
& SEBAGAI PEMBANGUN
A.HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
Manusia diciptakan ALLAH SWT berasal dari saripati tanah, lalu
menjadi nuftah, alaqah dan mudqah sehingga menjadi makhluk yang paling sempurna
yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu, menusia wajib bersyukur atas
karunia yang telah diberikan ALLAH SWT. Al-Quran menerangkan bahwa
manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan bermacam-macam unsur kimiawi
yang terdapat dari tanah. Ayat-ayat yang menyebutkan bahwa manusia diciptakan
dari tanah umumnya dipahami secara lahiriah. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa
manusia benar-benar dari tanah, dengan asumsi karena Tuhan berkuasa, maka
segala sesuatu dapat terjadi.
B .KARAKTERISTIK MANUSIA
Diantara karakteristik
manusia:
1. Aspek
kreasi
2. Aspek
ilmu
3. Aspek
kehendak
4.
Pengarahan akhlak
C.FUNGSI DAN PERANAN
MANUSIA
Berpedoman kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang
dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran allah dan sekaligus pelopor dalam
membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi
pelopor pembudayaan ajaran Allah, seseorang dituntut memulai dari diridan
keluarganya, baru setelah itu kepada orang lain.
Peran yang hendaknya dilakukan seorang khalifah
sebagaimana yang telah ditetapkan Allah, diantaranya adalah :
1. Belajar
(surat An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54)
2. Mengajarkan
ilmu (al Baqoroh : 31-39)
3. Membudayakan
ilmu (al Mukmin : 35 )
D.TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA
1. sebagai khalifah
2. beribadah
Tujuan ibadah ada dua
(baik itu ibadah mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
a. untuk mencapai
kesenangan hidup di dunia.
b. untuk mencapai
ketenangan hidup di akhirat. Atau secara sederhananya yaitu untuk mencapai
kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat.
Ibadah itu pada
hakikatnya dalam rangka tiga hal:
Pertama, membina diri dengan
baik.
Kedua, dalam rangka
mensucikan diri kita.
Ketiga, mengisi diri dengan
sifat yang terpuji, mengisi diri dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan
perbuatan yang berpahala.
·
Golongan Manusia Sebagai Hamba ALLAH dan Khalifah-Nya
Pembagian manusia
sebagai hamba Tuhan sekaligus khalifah-Nya adalah seperti berikut:
1. Golongan yang tidak
tahu atau tidak sadar yang mereka itu hamba Tuhan dan khalifah-Nya.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
2. Golongan yang tahu
bahwa mereka adalah hamba dan khalifah Allah di bumi tetapi rasa kehambaan dan
kekhalifahannya tidak ada atau tidak wujud. Golongan ini tahu dan sadar bahawa
mereka adalah hamba Allah dan khalifah-Nya di bumi tetapi karena jahil, lemah
melawan hawa nafsu, cinta dunianya begitu kuat, kepentingan peribadinya terlalu
banyak, maka yang demikian rasa kehambaannya kepada Allah begitu lemah.
3. Golongan yang merasa
kehambaan dan kekhalifahan kepada Allah di bumi. Rasa kehambaan dan rasa
kekhalifahannya kepada Allah itu kuat. Oleh itu mereka dapat melahirkan
sifat-sifat kehambaan serta memperhambakan diri kepada Allah dengan membaiki
yang fardhu dan sunat Itulah golongan orang yang soleh. Mereka boleh
dibahagikan kepada beberapa bahagian pula iaitu:
a. Golongan yang
sederhana (golongan ashabul yamin)
b. Golongan muqarrobin
c. Golongan as siddiqin
4. Golongan yang sifat
kehambaannya dan memperhambakan diri kepada Allah lebih menonjol daripada
kekhalifahannya kepada Allah. Maksudnya mereka yang dari golongan orang soleh
tadi, ada di kalangan mereka, penumpuannya kepada beribadah kepada Allah lebih
terlihat dan menonjol dengan menghabiskan masa beribadah, membanyakkan fadhoilul
‘amal, berzikir.
5. Golongan yang sifat
kekhalifahannya kepada Allah lebih menonjol daripada sifat kehambaannya Mereka
ini yang biasanya diberi tanggungjawab kepimpinan dan mengurus kemasyarakatan
oleh orang karena karisma dan sifat-sifat kepimpinan mereka yang menonjol.
6. Golongan yang rasa
kehambaannya dan kekhalifahannya sama-sama menonjol. Golongan ini adalah mereka
yang menjadi pemimpin baik itu pemimpin-pemimpin negeri, negara atau empayar
yang menjalankan hukum-hukum Allah di dalam kepimpinannya. Mereka ini
sibuk sungguh dan menghabiskan waktu untuk memimpin dan beribadah. Sibuk dengan
masyarakat, sibuk juga dengan Allah.
1. Manusia sebagai Hamba
Q.S
Adz-Dzariyat (51) ayat 56
“dan Aku (Allah) tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku (Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd atau ‘ābid yang secara
umum dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan diri. Dengan kata
lain, hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan diri terhadap
sesuatu. Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri yang dilakukan
disebut sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut dilakukan
kepada Allah SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat mutlak,
namun semua ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan manusia.
Apabila kita
perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah semuanya berada dalam
batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
semacam rukhshah atau keringanan
dalam melaksanakannya jika terdapat keadaan atau situasi yang tidak pada
sewajarnya. Misalnya, wudlu dapat
digantikan dengan tayammum apabila
sama sekali tidak menemukan air, atau ada air namun teramat sangat terbatas.
Atau jika tidak dapat melaksanakan shalat dengan berdiri, maka boleh dengan
duduk, jika tak mampu duduk maka dengan berbaring, jika berbaringpun masih
sulit maka dengan isyarat. Hal itu dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir
dari penetapannya melainkan sebagai tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya
adalah untuk menyucikan jiwa dan mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya
malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan yang maksimal untuk
melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah tidak menafikan
adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat dianugerahi
oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya, kemampuan
berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan
berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti juga
terdapat dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6
(Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai berikut:
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.
Manusia selain
diciptakan dengan bekal seperti akal dan
pemahaman serta naluri untuk taat seperti malaikat, yang membedakannya
dengan malaikat adalah adanya kebebasannya untuk memilih yang hal tersebut sama
sekali tidak ada pada malaikat. Hal ini terdapat dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11
yang sangat populer sebagai dalil tentang kebebasan manusia memilih jalannya,
sebagai berikut:
“.....sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga kecenderungan pada
keburukan dalam diri manusia seperti terdapat dalam Q. S Asy-Syams, 91: 8
sebagai berikut:
“Maka
Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.
Kedua ayat
tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan buruk
dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh pemilihan jalan yang dilakukannya.
Jika ia menuruti kecenderungan baik maka konsekuensi logisnya adalah kebaikan
yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia mengikuti bisikan keburukan, maka ia
akan memperoleh keburukan. Meski demikian, pada dasarnya manusia diciptakan
oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut dapat diartikan sebagai kecenderungan
manusia pada kebaikan dan menyukai segala hal yang baik.
Adanya kebebasan manusia untuk memilih
jalannya membuat ia memiliki nilai lebih terutama dalam ketaatannya kepada
Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang ketaatannya adalah mutlak karena
Allah telah menciptakan malaikat dengan disain taat dan patuh sepenuhnya tanpa
ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah memang mereka dicipatakan hanya
untuk taat semata, bukan karena mereka bisa memilih untuk taat atau tidak
seperti halnya manusia.
Dalam ushul fiqh terdapat kaidah umum bahwa
dalam hal kebaikan ketika berniat maka Allah mencatat sebagai satu pahala dan
jika ia melaksanakan niat baiknya maka dicatat sebagai dua pahala. Namun
berbeda dengan keburukan. Dalam keburukan, nilai keburukan akan dicatat sebagai
keburukan jika benar-benar telah dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja
maka ia tidak dicatat sebagai keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar
dilakukan maka hanya dicatat sebagai satu keburukan. Adanya kaidah tersebut
dapat dimaknai sebagai motivasi yang besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan
baru dapat dinialai sebagai keburukan manakala ia benar-benar telah dilakukan
(ada unsur kesengajaan dan kesadaran penuh).
Dalam Q. S
Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah menciptakan jin dan
manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah. Meski begitu, relasi
yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para hamba-Nya bukanlah
seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang saling membutuhkan
satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk dan perintah untuk
beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan untuk kepentingan
Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat atau tidaknya hamba,
tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua itu. Bahkan bukti
ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang di langit maupun
di bumi beserta isinya.
2. Manusia sebagai Khalifah
Q.S
Al-Baqarah (2) ayat 30
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Apakah Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang
diterjemahkan sebagai yang datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut
Quraish Shihab, kata khalifah pada mulanya berarti yang
menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi siapa saja yang kekuasaan
mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas (Sya’roni, Badruddin, Tang,
2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir berpendapat bahwa yang
dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari
Q. S Al-Baqarah adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan
perintah-perintah-Nya kepada manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian
pengertian tentang khalifah maka
dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah
siapa saja yang diberi wewenang untuk mengelola wilayah baik secara luas maupun
terbatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang
tersebut.
Sebagai khalifah manusia telah diberi bekal
kemampuan yang sangat penting dan berguna bagi tugasnya tersebut. Ketika
manusia dapat menggunakan segala bekal kemampuan tersebut maka tugasnya dapat
dilaksanakan dengan optimal. Bekal tersebut diantaranya adalah pengetahuan
tentang semua nama, karakteristik, dan fungsi benda-benda (Shihab, 2000: 143).
Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran, penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q. S As-Sajdah,
32: 9 sebagai berikut:
“Kemudian
Dia (Allah) menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur”.
Pendengaran,
penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai dengan perintah Allah
terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas memakmurkan bumi
tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya dapat melahirkan
kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya diselaraskan dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab menulis bahwa
kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap
makna dan tugas ke-khalifah-an (2000:
140). Lebih lanjut, ia juga mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah
telah merencanakan agar manusia memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan
Al-Qur’an, 1996: 282).
Dalam bukunya
yang berjudul Membumikan Al-Qur’an
(Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat), Quraish Shihab
berpendapat bahwa setiap aktivitas istikhlaf
(pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama ketika aktivitas
tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut
(2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab) mengemukakan beberapa hal
untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1.
Kebutuhan dasar
setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya pemerkosaan
2.
Manusia
terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan tenaganya
3.
Manusia bebas
untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4.
Ada kemungkinan
untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5.
Partisipasi
dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak semata-mata menjadi
obyek penentuan orang lain
Selain sebagai khalifah, manusia juga diciptakan oleh
Allah sebagai hamba-Nya. Hubungan keduanya sangat erat bahkan saling
mempengaruhi. Jika manusia sebagai hamba benar-benar melaksanakan kehambaannya
sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka ketika ia menjadi pemimpin ia
akan pula berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya. Begitu pula ketika ia menjadi
khalifah seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah hamba dari yang Maha Kuasa
yang memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41
sebagai berikut:
“(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan”.
Hubungan antara
manusia sebagai hamba dan khalifah
melahirkan posisi saling terkait. Sebagai khalifah
ia memiliki hak prerogatif dan wewenang dalam kerputusannya untuk mengatur dan
mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan sebagai hamba, hak dan wewenang
tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang telah diberikan Allah. jadi,
ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus ingat bahwa tujuan penciptaannya
adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint
Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia
dalam Perspektif Al-Qur’an menyebutkan bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat
malaikat dan bukan pula hakikat iblis” (1999: 19). Ini menyiratkan bahwa
manusia –seperti telah disinggung dalam manusia sebagai hamba- memiliki potensi
untuk menjadi baik dan taat seperti malaikat namun ia juga memiliki dorongan
untuk membangkang seperti iblis. Jika hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai
khalifah, ketika ia dalam menjadi pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan
maka ia akan lebih jahat daripada iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan
keburukan dan lebih mengutamakan kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya
dibandingkan malaikat.
“Seseorang yang
diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban
untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik,
kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan budayanya terpelihara”
(Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima sifat terpuji yang
selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama, memberikan petunjuk dan
arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong dalam hal kebajikan; yang
ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang keempat, menetapi kebenaran dan
keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik terhadap nikmat maupun cobaan
dalam ia sebagai hamba meupun dalam kepemimpinannya (2004: 165). Dalam
kepemimpinan ada dua hal yang harus ada, yaitu pemimpin dan yang dipimpin.
Adanya kedua hal pokok tersebut mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik
antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan
sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan
kehidupannya.
3. Manusia sebagai Pembangun
Secara umum, tugas kekhalifahan
manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan dalam hidup dan
kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas pengabdian atau ibadah dalam arti luas
(adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan tugas tersebut, Allah
SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj al-hayat “
sistem kehidupan “ dan wasilah al-hayat “ sarana kehidupan .
Manhaj al-hayat adalah
seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan
sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan
sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah,
mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan tersebut
dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya, baik yang
menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga), keselamatan
akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan. Hal-hal
tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer.
Pelaksanaan Islam sebagai way
of life secara konsisten dalam semua kegiatan kehidupan, akan melahirkan
sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan yang disebut sebagai hayatan
thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya, menolak aturan itu
atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya dalam kehidupan,
akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan sekarang, ma’isyatan dhanka
atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti (Thaahaa : 124 –
126).
Aturan-aturan itu juga
diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana dan
prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup manusia
secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara, air,
tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam
kehidupan.
Sebagaimana dalam Surah
Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
“Dialah Allah yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui segala sesuatu .
No comments:
Post a Comment