MAKALAH IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM
BAB VI
IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM
A. PENGERTIAN IJTIHAD
ijtihad dapat dipahami menurut bahasa (lughah,
etimologis) dan menurut istilah
(terminologis). Menurut bahasa, ijtihad
berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh derivasinya menunjukkan
pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasanya, sulit
dilaksanakan, di luar jangkauan
kemampuan atau yang tidak disenangi. Kata ini pun
berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan
(al-thaqah), dan berat al-masyaqqah)
(Ahmad bin Ahmad bin ‘Ali al-Muqri
al-Fayuin, t.th: 112, dan Elias A. Elias dan Ed. E.
Elias, 1982: 126).
Para ulama
mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad
secara bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali
al-Muqri al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan
bahwa ijtihad secara bahasa adalah:
pengerahan kesanggupan dan kekuatan yang
luar biasa dari seorang mujtahid dalam
melakukan pencarian suatu supaya sampai
kepada ujung yang ditujunya (Atang Abdul
Hakim, dkk, 2000: 96). Sedangkan menurut
al-Syaukani (t.th: 250), secara
etimologis, ijtihad memiliki arti pembicaraan mengenai
pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa
saja.
Jika pengertian
ijtihad secara bahasa dilacak dalam Alquran, maka dapat
ditemukan bahwa kata “ jahada” terdapat
di dalam Alquran surat al-Nahl [16] ayat
38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat
Fathir [35] ayat 42. Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan
(badzl al-wns’i wa al-thaqah), atau
juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat
fi al-yamin).
Sedangkan dalam al-Sunnah, kata ijtihad
terdapat dalam sabda Nabi yang artinya
“pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah
dalam berdoa (fajtahidu fi al-du’a)”.
Dan hadis lain yang artinya “Rasul Allah
Saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadan
(Atang Abdul Hakim, 2000 : 96).
Berdasarkan
penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad menurut bahasa
adalah percurahan segenap kesanggupan
untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai
urusan atau perbuatan. Kata ijtihad
berasal dari kata jahada yang artinya berusaha
keras atau berusaha sekuat tenaga; kata
ijtihad yang secara harfiah mengandung
arti yang sama, Secara teknis, ijtihad
ditetapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan
kemampuan akalnya berusaha keras untuk
menentukan pendapat di lapangan hukum
mengenai hal yang pelik dan meragukan.
Menurut Mahmud Syaltout (dalam Abuy
Sodikin, 2000 : 65), ijtihad artinya
sama dengan Ar-ra’yu, yang
perinciannya meliputi :
a. Pemikiran arti yang dikandung oleh
Alquran dan Sunnah;
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang
tidak ditunjukan oleh nash dengan
sesuatu masalah.
Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amalitentang
masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya oleh suatu nash secara
langsung.Ada sebagian ulama
ada yang menyamakan ijtihad dengan qiyas; Akan tetapi,pendapat ini
ditolak oleh Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa ijtihad itu lebihumum
daripada qiyas (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 481).Para ulama bersepakat tentang
pengertian ijthad secara bahasa, tetapiberbeda pandangan mengenai pengertiannya
secara istilah (terminologi). Pengertianijtihad secara istilah muncul
belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat.
Perbedaan
ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Alquran, ijtihad
dengan al-Sunnah, dan
ijtihad dengan dalalah nash (Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33).
Menurut Abu Zahrah (t.th:
379), secara istilah, arti ijtihad dipahami sebagai
upaya seorang ahli fikih
dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
‘amaliah yang diambil dari
dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan menurut al-Amidi
yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480),
ijtihad ialah pengerahan
segala kemampuan untuk menentukan hukum-hukum syara
secara dzanny .
dianalisa, definisi ijtihad sebagaimana
dijelaskan di atas, secara tersirat
menunjukkan bahwa ijtihad
hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang
berkenaan dengan amal; bukan
bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama
fikih, ijtihad tidak
terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping itu, ijtihad
berkenaan dengan dalil zhanni,
sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qaath’i.
Hal ini senada dengan
pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1989:
33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah
bidang fikih. Selanjutnya,
Hosen mengatakan, pendapat yang menyatakan bahwa
ijtihad secara istilah juga
berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa
dibenarkan.
Berbeda
dengan Hosen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad
hanya dalam lapangan fikih,
adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas,
menurutnya, ijtihad juga
berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
Senada dengan Harun
Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan
ijtihad sebagai pengerahan
dan upaya untuk suatu maksud tertentu.
Sebenarnya, tidak hanya Harun
Nasution dan al-Dzarwi, Fakhruddin al-Razy,
Ibnu Taimiyah dan Muhammad
al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang
fikih saja. Menurut menurt
Fakhruddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk
memikirkan apa saja yang
tidak mendatangkan celaan (Jalaluddin Rakhmat; 1989:
33).
Dari
definisi ijtihad seperti digambarkan di atas terlihat beberapa persamaan
dan perbedaan. Adapun
perbedaannya adalah sebagai berikut :
Pertama, terletak pada penggunaan bahasa; sebagian menggunakan kata
istifrag dan sebagian lagi menggunakan kata badzl.
Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian ada yang dinisbatkan kepada
mujtahid yang berkonotasi
bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fikih,
tetapi juga menyangkut
berbagai persoalan.
Ketiga, terletak pada metode ijtihad. Ada yang menggunakan
metode manquli
(dari Alquran dan
al-Sunnah), yaitu metode yang mengikuti (ittiba’) metode Rasul
Allah Saw, yang selalu
menunggu wahyu dalam menyelesaikan setiap persoalan (Q.S.
al-Najm [53]: 3-4). Sebagian
lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’y
dan akal), yaitu metode ini
berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah Saw diperbolehkan
melakukan ijtihad (Q.S.
al-Hasyr [59]: 2).
Adapun
persamaan-persamaannya adalah sebagai berikut :
Pertama, hukum yang dihasilkan bersifat zhanni; dan
Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi, yaitu hukum
yang
berkenaan dengan amaliah
ibadah (Muhaimin, dkk: 1994; 188-189).
Dalam lapangan hukum Islam
terdapat dua jenis hukum: Hukum yang qath’i
dan hukum yang zhanni. Para
ulama sepakat bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan
pada jenis hukum yang kedua,
pada hukumhukum yang bersifat zhanni. Di sinilah
terdapat ruang gerak
ijtihad. Mengingat pentingnya penjelasan tentang kedua jenis
hukum berikut uraian
pendapat Muhammad al-Madani yang dikuip Jalaluddin Rahmat
(1992:197-198) :
Pertama, adalah hukum-hukum qath’i yang ditetapkan oleh dalil dalil
kekukuhannya. Tidak berubah
karena perubahan waktu dan tempat, tidak ada ikhtilaf
padanya, jenis ini meliputi:
1. Akidah yang qath’i, yang
wajib diimani karena tegaknya dalil yang meyakinkan,
baik dari segi tsubutnya
maupun dilalahnya. Inilah garis pemisah antara muslim
dan non muslim. Siapa yang
menolak satupun darinya, ia menjadi keluar dari
ikatan Islam. Misalnya
tauhid, diutusnya para rasul, diturunkan kitab-kitab,
ditutupnya kenabian dengan
Muhammad Saw, kebangkitan sesudah mati, balasan
amal dari hari akhirat,
bahwa Allah bersifat Maha Sempurna, terpelihara dari
segala kekurangan, dan bahwa
Rasul tidak mungkin berdusta, menyembunyikan
atau hianat dan
lain-lainnya. Di sini orang tidak diperkenankan ijtihad, untuk
memberikan penafsiran yang
lain, yang mengubah atau membatalkannya.
2. Hukum-hukum amaliah yang
didatangkan syariat secara jelas dan gamblang,
berupa tuntutan, larangan
atau pilihan. Misalnya, wajibnya shalat, zakat, shaum
ramadhan, haji bagi yang
mampu, shalat lima waktu sehari semalam, bilangan
rakaat tertentu, haramnya
membunuh tanpa hak, memakan harta yang bathil,
menuduh yang tidak bersalah,
zina, menimbulkan kerusakan di bumi dan
sebagainya.
3. Kaidah-kaidah umum, yang
diambil dari syariat dengan nash yang jelas, atau
ditarik (di-istinbath)
sesudah penelitian yang seksama, dan diketahui bahwa
syariat menjadikannya
sebagai dasar-dasr hukumnya. Misalnya tidak
memudaratkan dan tidak dimudaratkan,
Allah tidak menjadikan kesulitan bagimu
dalam agama, Allah tidak
disembah kecuali dengan apa yang disyariatkan, semua
muamalah bebas kecuali yang
dilarang dan sebagainya.
Kedua, adalah jenis hukum-hukum atau penalaran yang tidak ditetapkan
secara
jelas dan qath’i, baik
periwayatannya maupun artinya. Hukum-hukum ini dipahami
karena adanya isyarat yang
menunjuk ke arah situ, sehingga timbul perbedaan paham,
perbedaan perspektif, baik
karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupun
penunjukan. Inilah yang
dijadikan syariat tempat ijtihad para mujtahidin. Inilah
tempat penalaran, pemikiran,
pertimbangan, pertarjihan, penelaahan, perkiraan
kemaslahatan, kebaikan serta
perubahan keadaan. Sebagai contoh :
1. Di bidang ilmu kalam.
Perbedaan pandangan mengenai qadha dan qadhar, ta’wil
tentang wajah, tangan dan
mata tuhan, kemungkinan kaum mukminin melihat
Allah dan sebagainya.
2. Di bidang hukum fikih.
Perbedaan pendapat fuqaha tentang ukuran susuan yang
diharamkan untuk melakukan
ikatan pernikahan, hukum qishash bagi yang
membunuh terpaksa,
pernikahan tanpa izin wali, dan sebagainya.
3. Di bidang kaidah ushul
dan fikih yang mengklasifikasikan hukum: Ikhtilaf tentang
nasikh mansukh dalam
Alquran, menggunakan qiyas, beramal berdasarkan akal,
mendahulukan hadits ahad
dari pada qiyas dan sebagainya.
Pendapat
al-Madani di atas cukup jelas membedakan antara hukum-hukum
yang qath’i (yang bukan
menjadi lapangan ijtihad) dan yang zhanni (yang menjadi
ruang gerak ijtihad). Namun
kelihatannya pendapat tesebut baru pada tataran
permukaan. Pada hukum-hukum
yang menurut al-Madani qath’i ternyata baru
gerbangnya saja, belum masuk
ke wilayah yang lebih luas. Misalnya, tentang
“Pengakuan/keyakinan adanya
kebangkitan sesudah mati” dan “balasan amal di
akhirat” disebut sebagai
qath’i. Pada tataran bahwa dua hal itu akan terjadi, betul
qath’i. Tapi jika masuk
lebih dalam dari dua masalah itu akan terdapat hal yang
zhanni. Misalnya, tentang
kebangkitan sesudah mati, apakah yang bangkit itu
jasmaninya, rohaninya atau
jasmani dan rohaninya. Dalam hal balasan di akhirat,
apakah berupa pisik atau non
pisik?. Dalam sejarah kalam, falsafat dan tasawuf
ternyata terjadi ikhtilaf
setelah para ahli melakukan ijtihad masing-masing.
Begitu pula dalam masalah
hukum-hukum amaliah atau fikih, betul tidak ada
bahasan dan pertentangan
tentang zakat, puasa, shaum, haji hukumnya wajib.
Tapi jika masuk lebih dalam
akan nampak terdapat hal-hal yang bersifat zhanni dalam
bidang yang oleh al-Madani
dianggap qath’i. Misalnya, zakat yang wajib itu di
dalamnya masih memerlukan
ijtihad, mustahik zakat yang sembilan itu masih bisa
dipahami berbeda, begitu
juga haji wajib bagi yang mampu, tapi bagaimana
pelaksanaannya di tanah
suci, banyak terjadi perbedaan. Tidak syak lagi bahwa
lapangan ijtihad masih terus
terbuka sekalipun dalam bidang akidah.
Sesungguhnya
al-Madani pun dalam bidang-bidang tertentu mewaspadainya,
sebagaimana pernyataannya,
bahwa ia sering menemukan orang-orang yang mengqath’i-kan yang zhanni
atau men-zhani-kan yang qath’i. Perbedaan pengambiln
sahabat yang meriwayatkan
hadits serta penafsiran konsep imamah atau wilayah
telah dianggap sebagai
perbedaan pada qath’iyat antara Ahlussunah dan Syiah.
Khawarij yang mengafirkan
orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau
sebagian kaum Wahabi yang
memusyrikan tabarruk dan tawassul, telah menganggap
qath’i pada yang zhanni.
Sementara itu, orang-orang yang menganggap boleh menolak
ahlussunah sama sekali,
menghalalkan minuman keras, berijtihad yang melawan nash
adalah orang-orang yang
men-zhanni-kan yang qath’i. Pada pemahaman tentang
perbedaan yang zhanni dan
qath’i inilah terletak kendala ijtihad, Sehingga diperlukan
kriteria bagi mujtahid.
Metodologi Studi Islam
B. LANDASAN BERIJTIHAD
Dalam Alquran, banyak
ditemukan dalil yang menjadi dasar hukum ijtihad Di
antara ayat Alquran yang
menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab
kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu
mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan
janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. al-
Nisa [4]: 105)
... sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir. (Q.S. al-Rum [30]: 21)
Selanjurnya, lihat pula
surat al-Zumar [39] ayat 42 dan surat al-Jatsiyah [45]
ayat 13.
“Allah memegang jiwa (orang)
ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang
telah Dia tetapkan kematiannya
dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditetapkan.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda
kekuasaan Allah bagi kaum
yang berfikir.” (Al-Zumar:42).
“Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di
langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai
rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir.” (Al-Jatsiyah:13).
Adapun Sunnah yang menjadi
dasar ijtihad di antaranya adalah hadis ‘Amr bin
al-’Ash yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad
bersabda:
“Apabila seorang hakim
menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian
dia benar maka ia
mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu
salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (Muslim,
II, t.th: 62)
Metodologi Studi Islam
Hadis lain yang dijadikan
dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika ia
diutus oleh Nabi ke Yaman
sebagai hakim:
“Dengan apa kamu memutuskan perkara
Mu’adz?” Mu’adz menjawab:
“Dengan sesuatu yang
terdapat di dalam kitab Allah.” Nabi bersabda: “Kalau
kamu tidak mendapatkannya
dari kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan
memutuskannya dengan sesuatu
yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.”
Nabi berkata: “Kalau kamu
tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan
oleh Rasul Allah?” Mu’adz
menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran
saya.” Nabi bersabda:
“Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan dari
rasul-Nya.” (‘Ali Hasab Allah, 1971:
82).
Berijtihad berarti
menggunakan segenap potensi nalar (akal) dalam menentukan
suatu hukum. Islam merupakan
agama yang sangat menghargai akal. Banyak ayatayat
Alquran yang menyatakan
suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana
dapat dilihat dari arti
ayat-ayat di bawah ini, yaitu:
“Sesungguhnya pada
penciptaan langit dan bumi: dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (Q.S. 3
:190).
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang
seburuk-buruknya di sisl Allah ialah
orang yang pekak dan tuli
yang mengerti apapun” (Q.S. 8:22).
Dalam beberapa keterangan
dijelaskan, bahwa ijtihad juga dilakukan para
sahabat ketika Abu Bakar
menjadi khalifah. Pada waktu itu terdapat sekelompok
umat Islam yang tidak membayar
zakat fitrah, Abu Bakar melakukan tindakan dengan
memerangi mereka, tindakan
Abu Bakar tersebut pada mulanya tidak disetujui oleh
Umar bin Khattab. Umar bin
Khattab beralasan dengan menggunakan sabda Nabi,
yang artinya :
“Saya diperintahkan untuk
memerangi orang banyak (yang mengganggu Islam)
sehingga mereka mau
mengucapkan kalimah syahadat. Kalau mereka telah
mengucapkannya, terjagalah
darah dan harta mereka, kecuali dengan cara
yang benar”.
Menurut suatu riwayat, dalam
peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan
sabda Nabi, Lilahi
Haqqika. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana
mengerjakan shalat, termasuk
haq.
Menurut Ahmad Salabi dalam
Muhtar Adam (1992:142) Pada suatu waktu setelah
Abu Bakar dibaiat jadi
khalifah, keesokan harinya orang melihat Abu Bakar membawa
perniagaan ke pasar,
beberapa orang sahabat yang menyaksikan antara lain Abu
Ubaidah mendekati khalifah
dan berkata “kekhalifahan itu tidak dapat dicampur
dengan berniaga”, Abu Bakar
menjawab, “ Lalu dengan apakah aku dapat hidup dan
membiayai rumah tanggaku”?
Keadaan ini mendapat perhatian sahabat, kemudian
ditentukanlah tunjangan
secukupnya untuk Abu Bakar dan keluarganya.
Metodologi Studi Islam
Ada
lagi suatu ijtihad yang dilakukan Abu Bakar di akhir kekhalifahannya di
bidang politik, yaitu dengan
menunjuk seseorang yang akan menjadi khalifah
sepeninggalnya Abu Bakar
kelak. Ijtihadnya ini dilakukan setelah melakukan
musyawarah terlebih dahulu
dengan tokoh-tokoh Anshar dan muhajirin.
Pada masa Abu Bakar pula,
Umar bin Khattab mengusulkan agar Alquran
dikumpulkan dalam bentuk
mushaf, mengingat telah banyak para sahabat yang
huffadz Alquran meninggal dalam peperangan. Pada mulanya Abu Bakar
menolak,
mengingat hal itu tidak
pemah dikerjakan oleh Rasulullah. Dalam hal itu Umar
berpendirian bahwa merupakan
suatu kebaikan bagi kepentingan umat Islam dan
umat mukminin.
Adapun
Umar bin Khattab sesuai dengan masa pemerintahannya yang panjang,
dan perkembangan masyarakat
Islam yang luas, maka Umarlah yang paling berani
merealisasikan jiwa Alquran.
Beliau banyak berpegang kepada ruh hukum Islam,
dari pada berpegang kepada
bunyi tekstualnya. Khalifah Umar yang pertama kali
membentuk pasukan tentara
yang digaji tetap setiap bulan, menyusun dewandewan,
jawatan-jawatan dan
mengangkat pegawai, membagi pemerintahan dengan
sistem derah. Suatu bukti
yang amat jelas bahwa Umar lebih berpegang kepada ruh
Islam dari pada tekstualnya.
Misalnya ketika Umar melarang para sahabat besar
meninggalkan kota Madinah
dan melarang memiliki tanah di daerah. Dalam ajaran
Islam tidak ada larangan
seperti ini sedikitpun. Akan tetapi Umar berpendapat bahwa
jika para sahabat besar
dibiarkan pergi ke daerah-daerah dan bertempat tinggal di
daerah itu, maka nantinya
rakyat akan berkumpul di sekeliling mereka dan akan
terpesona, kagum dengan apa
yang mereka dengar dari para sahabat itu tentang
pergaulan mereka dengan
Nabi, dan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka sewaktu
menolong dan mendukung Nabi.
Selanjutnya keadaan ini akan memberikan suatu
kedudukan istimewa bagi
mereka. Dikhawatirkan para sahabat itu akan mendirikan
negara dalam negara sehingga
tidak ada lagi kesatuan kepemimpinan. Karena itulah
Umar melarang meninggalkan
Madinah, kecuali dengan izinnya untuk sementara saja.
Dalam hal ini Umar berpegang
kepada ruh Alquran dan semangat ajaran Islam. Hal
yang dikhawatirkan Umar itu
benar-benar terjadi pada masa Utsman bin Affan jadi
Khalifah, para Sahbat
dibiarkan bepergian kemana saja, akhirnya, para sahabat
kemudian mendirikan semacam
aristokrasi keagamaan buat mereka sendiri. Masingmasingmembangga-bangakan
pengalaman mereka sebagai orang-orang yang pertamakali masuk Islam dan pernah
bergaul bersama Rasulullah. Sehingga kemudian masingmasingdari para sahabat itu
mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya. Kemudiandi waktu para utusan daerah
datang ke Madinah untuk memakzulkan Utsman, masingmasingutusan itu menghendaki
agar sahabat yang berada di daerahnyalah yangdiangkat menjadi khalifah.
Penduduk Bashrah misalnya, menghendaki Zubair.Penduduk Kufah menginginkan Thalhah,
sehingga akhirnya kurang terjalin kesatuan.Pada masa Umar bin Khattab menjadi
khalifah, beliau pemah berijtihad dengantidak melakukan potong tangan pada
suatu kasus pencurian tersebut telah sampaipada ketentuan di mana si pencuri
harus dipotong tangan.
C. KUALIFIKASI MUJTAHID
Para ulama berbeda pendapat
dalam menentukan syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seorang
mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad
melalui cara istinbath (mengeluarkan
hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq
(penerapan hukum). Sebelum
dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai
syarat-syarat mujtahid, ada
baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad menurut
Nadiyah Syafari al-Umari
(t.th: 199-200) sebagai berikut :
1. Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi, yang
tidak
diterangkan oleh nash.
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempuyai kemampuan untuk
berijtihad dengan
syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4. Dalil syara untuk
menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Atang Abdul
Hakim, dkk, 2000 : 100).
Menurut Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali (t.th: 350), syaratsyarat
bagi mujtahid ada dua, yaitu
:
Pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga
dapat
mendahulukan yang seharusnya
didahulukandan mengakhirkan sesuatu yang
seharusnya diakhirkan (tertib).
Kedua, keadaannya
adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak
keadilannya. Orang yang tidak adil tidak
dapat diterima fatwa dan pendapatnya.
Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali
itu masih bersifat umum sehingga memerlukan
rincian, terutama syarat yang pertama.
Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang
dimaksud adil pada syarat kedua . (Atang
Abdul Hakim, dkk, 2000 : 100).
Menurut Fakhruddin Muhammad bin Umar bin
al-Husain al-Razi (1988:496-7),
syarat-syarat mujtahid adalah sebagai
berikut:
1. Mukalaf,
karena hanya mukallafah yang mungkin dapat melakukan penetapan
hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan
rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhathab yang
merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz; apakah
memiliki qarinah atau tidak.
Sedangkan menurut Abu Ishaq bin Musa
al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat- syarat
mujtahid ada tiga, yaitu :
Pertama, memahami
tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu
adlaruriyyat yang
mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa
(hifzh al-nafs), pemeliharaan
akal (hifzh al-’aql), pemeliharaan keturunan (hifzh alnasl),
dan pemeliharaan
harta (hifzh al-mal); hajiyyat, dan tahsiniy-yat.
Kedua, mampu
melakukan penetapan hukum.
Ketiga, memahami
bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu,
Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
al-Syaukani (t.th; 250-252) menyodorkan
syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:
1. Mengetahui Alquran dan al-Sunnah yang
bertalian dengan masalah-masalah
hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam
Alquran sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijmak sehingga tidak
berfatwa atau berpendapat yang menyalahi
ijmak ulama. Studi Islam
3. Mengetahui bahasa Arab
karena Alquran dan al-Sunnah disusun dalam bahasa
Arab.
4. Mengetahui ilmu ushul
fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid
karena membahas dasar-dasar
serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh
sehingga tidak berfatwa atau berpendapat
berdasarkan dalil yang sudah
mansukh.
Adapun syarat-syarat
mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
(t.th: 250-2) adalah sebagai
berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab,
karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Al-
Sunnah, sebagai penjelas
Alquran, juga ditulis dalam bahasa Arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh
dalam Alquran.
3. Mengetahui sunnah, baik
perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4. Mengetahui ijmak dan
ikhtilaf.
5. Mengetahui qiyas.
6. Mengetahui maqashid
al-syari’ah.
7. Memiliki pemahaman yang
tepat (shihhat al-fahm) yang karenanya mujtahid
dapat memahami ilmu manthiq.
8. Memiliki niat yang baik
dan keyakinan (aqidah) yang selamat.
Hampir
sama dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah al-
Zuhaili (1977: 487-492)
mengajukan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui makna
ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Alquran, baik secara
bahasa maupun secara
tstilah. Mujtahid tidak mesti hafal, tetapi cukup
mengetahui tempat-tempatnya
sehingga memudahkan baginya dalam
menggunakan ayat-ayat hukum
tersebut.
2. Mengetahui makna
hadis-hadis hukum secara bahasa dan istilah. Mujtahid tidak
hams hafal, tetapi cukup
mengetahui tempat hadis-hadis tersebut dalam kitabkitab
induk hadis, seperti Shahih
al-Bukhari, Shahih al-Muslim, Sunan Abi Dawud,
Sunan al-Tirmidzi, Sunan
al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh,
baik dari Alquran maupun Sunnah.
4. Mengetahui ijmak sehingga
tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi
ijmak terdahulu.
5. Mengetahui qiyas dan
syarat-syaratnya yang disepakati, karena qiyas merupakan
salah satu metode ijtihad;
rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa
Arab, seperi nahwu, sharaf, ma’ani, dan bayan, karena
Alquran dan Sunnah disusun
dalam bahasa Arab.
7. Mengetahui ilmu ushulfiqh
karena di dalamnya dibahas dasar-dasar dan hukun
ijtihad.
8. Mengetahui maqashid
al-syari’at dalam penetapan hukum, karena mujtahid wajib
mengetahui rahasia-rahasia
hukum di samping dilalat al-alfazh (penunjukan
makna-makna lafadz).
Berdasarkan syarat-syarat
(kualifikasi) mujtahid yang dikemukakan oleh
beberapa orang ulama di
atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang mujtahid itu
tidak mudah. Syarat-syarat
yang harus dimiliki oleh seorang mujahid itu cukup
banyak. Maka menurut
Muhaimin dkk. (1994: 198-199), sesuai dengan syarat-syarat
yang dimilikinya, mujtahid
itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatantingkatanitu ialah mujtahid muthlaq
dan mujtahid madzhab.Metodologi
Studi Islam
Mujtahid muthlaq ialah
mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama
dari sumbernya. Di samping
itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai
landasan ijti-hadnya.
Mujtahid muthlaq terbagi menjadi dua tingkatan.
Pertama, mujtahid muthlaq
mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya
menggunakan metode dan
dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada
mujtahid lainnya, dan bahkan
metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab
tersendiri. Yang termasuk
mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fikih
terkenal seperti Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Kedua, mujtahid muthlaq
muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai
derajat
muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri. Mujtahid kelompok
ini tidak taklid kepada
imamnya tanpa dalil dan keterangan; ia menggunakan
keterangan imamnya untuk
meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya.
Contohnya, al-Muzani dari
mazhab Syafi’i dan al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.
Mujtahid fi al-madzhab ialah
mujtahid yang mampu mengeluarkan hukumhukum
agama yang tidak dan atau
belum dikeluarkan oleh mazhab nya dengan cara
menggunakan metode yang
telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far
al-Thahtawi dalam mazhab
Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua: (1) mujtahid
takhrij; dan (2) mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid
fatwa (Atang
Abdul hakim, dkk, 2000 :
102-103)
Karena begitu banyak dan
beragamnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid, tampaknya
untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh
karena itu, ijtihad tidak
hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad fardiah),
tetapi juga dapat dilakukan
secara kelompok (ijtihad jamai’). Artinya, sekelompok
ulama dengan disiplin ilmu
yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad
untuk menentukan sebuah
hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Alquran dan Sunnah.
D. HUKUM MELAKUKAN IJTIHAD
Bagaimana seseorang
melakukan ijtihad? Ulama berpendapat, jika seorang
Muslim dihadapkan kepada
suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum syara’,
maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib
‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid
yang dimintai
fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa
kepas-tian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa
yang tidak jelas hukumnya
dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta
fatwa hukum atas suatu
peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa
itu lenyap dan selain dia
masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi
wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas
kasus tersebut, maka
semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka
melakukan ijtihad, maka
gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas
persoalan-persoalan
yang tidak atau belum
terjadi
Keempat, hukum. ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa
yang sudah jelas hukumnya
secara qathi’, baik dalam Alquran maupun al-Sunnah;
atau ijtihad atas peristiwa
yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah
al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)
E. IJTIHAD YANG DILAKUKAN
PADA ZAMAN RASULULLAH SAW
Jika dianalisa secara
mendalam, wacana dan pembahasan mengenai ijtihad
Rasulullah di kalangan para
ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara
umum, mereka menyepakati
ijtihad Rasul Saw dalam urusan-urusan kemaslahatan
yang bersifat keduniawian (al-mashalih
al-dunyaiuiyah), pengaturan taktik dan
strategi peperangan (tadabir
al-hurub), dan keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan persengketaan (al-aqdhiyah
wa al-khushumah). Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai ijtihad
Rasul Saw dalam urusan hukum-hukum agama (al-ahkam
al-syari’ah). (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 499; al-Syaukani, t.th: 234)
Selanjutnya, dalam
menanggapi boleh-tidaknya Rasul berijtihad dalam urusan
hukum-hukum agama, ulama
berbeda pendapat. Atang Abdul hakim, dkk, 2000 :
106) mengemukakan :
Pertama, kebanyakan para ahli ushul fiqh membolehkan. Menurut
mereka, ini pernah
dilakukan oleh Rasul Saw.
Kedua, para pengikut Abu Hanifah (Hanafiah) berpendapat bahwa Rasulullah
Saw
diperintahkan untuk
berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan
suatu peristiwa yang
terjadi, dan beliau mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu
saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut Asya’riah, ahli kalam, dan kebanyakan pengikut
Muktazilah tidak menyetujui
ijtihad Rasulullah dalam urusan hukum-hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang
dikemukakan kelompok pertama.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati”. (Q.S. Ali Imran [3]: 13)
“Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi
pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (Q.S. al-Hasyr [59]: 2)
....
“Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu
terdapat pengajaran bagi orangorang
yang mempunyai akal....” (Q.S. Yusuf [12]: 111)
Kalimat “ ulu al-abshar,
ulu al-albab, dan ‘ibrah” pada ayat-ayat terdahulu
tidak hanya berlaku bagi khithab
ketika ayat itu diturun-kan, tetapi berlaku juga
bagi Rasul Saw karena
beliaulah sesungguhnya
yang lebih tepat disebut ulul-abshar
dan ulul-albab. Kata-kata
tersebut menggambarkan suatu perintah untuk
memprediksi masa depan
dengan cara perbandingan, atau dalam istilah ushul adalah
qiyas, sedangkan qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.Kemudian dalam
ayat
lain, surat Ali Imran [3]:
159, Allah Swt berfirman :
“Maka disebabkan rahtnat dari Allah-lah kamu
berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi
mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian
apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali-Imran : 159)
Menurut kelompok ini, lafadz
wa syawirhum fi al-amr dalam ayat di atas
mengisyaratkan adanya
ijtihad, karena musyawarah hanya berlaku untuk
menyelesaikan urusan-urusan
yang hukum-nya tidak ditunjuk secara jelas oleh nas.
Ulama yang menolak adanya
ijtihad Rasul Saw, juga menjadikan Alquran sebagai
dalil:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut
kemauan hawa nafsunya.
Ucapkanlah itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
(Q.S. al-Najm ]53]: 3-4)
“Katakanlah, “Tiada patut
bagiku menggantikannya dari pihak diriku sendiri.
Aku tidak mengikuti kecuali
apa yang diwahyukan kepadaku.” (Q.S. Yunus
[10]: 15)
Pada fase berikutnya,
ijtihad banyak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
para Tabi’in. Pada umumnya
mereka sangat hati-hati dan menentukan syarat yang
cukup banyak jika ingin
melakuklan ijtihad. Hal ini karena sikap mereka sangat
berhati-hati, tetapi
tuntutan perkembangan zaman dengan segala persoalan
yangmuncul, harus senantiasa
mendapatkan jawaban dalam Islam.
1 comment:
Bikin artikel niat dong ini gk rapi ratakan kiri kanannya
Post a Comment