BAB
I
MENGENAL
MAKHLUK CIPTAAN ALLAH SWT
1. MALAIKAT
- Para Malaikat di ciptakan dari Nur (Cahaya),
- Malikat Roqib, Atid, 8 Hamlatul Arsy, Muharobin di ciptakan dari Jasad Malaikat Israfil
- Malaikat Karobiyyun di ciptakan dari Air mata Malikat Mikail
- Malaikat Ruhaniyyun di ciptakan dari Air yang menetes dari Sayap Malikat Jibril
2. BIDADARI
- Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “ALLAH SWT menciptakan wajah bidadari dari empat warna, yaitu putih, hijau, kuning, dan merah. ALLAH menciptakan tubuhnya dari minyak Za’faran, misik, anbar, dan kafur. Rambutnya dari sutra yang halus. Mulai dari jari-jari kakinya sampai ke lututnya dari Za’faran dan wewangian. Dari lutut sampai payudara dari misik. Dari payudara sampai lehernya dari Anbar, Dan dari leher sampai kepalanya terbuat dari Kafur. Seandainya bidadari itu meludah sekali di dunia, maka jadilah semua air di dunia Kasturi. Di dadanya tertulis nama suaminya dan nama-nama ALLAH SWT. Pada setiap tangan dari kedua tangannya terdapat sepuluh gelang dari emas, sedangkan pada jari-jarinya terdapat sepuluh cincin, dan pada kedua kakinya terdapat sepuluh binggal(gelang kaki) dari Jauhar dan permata.
- riwayat lain menjelaskan bahwa Bidadari diciptakan dari tetesan hujan dari awan di bawah Arsy dan Bidadari diciptakan langsung jadi gadis perawan dan terus gadis perawan.
3. IBLIS
Iblis diciptakan dari api seperti semua jenis jin. Dikatakan ia diciptakan dari “nyala api yang berkobar” yaitu dari sisi nyala api yang paling bersih dan paling baik.
4. JIN
- Jin diCiptakan dari Lidah Nyala Api yaitu nyala api yang warnanya Kuning dan keHijauan yang membumbung ke atas ketika Api dinyalakan (HR. Abu Abdullah Al-Faryan)
- Jin itu diciptakan dari Api Matahari (HR. Ibnu Abu Hatim)
- Para Malaikat di ciptakan dari Nur (Cahaya),
- Malikat Roqib, Atid, 8 Hamlatul Arsy, Muharobin di ciptakan dari Jasad Malaikat Israfil
- Malaikat Karobiyyun di ciptakan dari Air mata Malikat Mikail
- Malaikat Ruhaniyyun di ciptakan dari Air yang menetes dari Sayap Malikat Jibril
2. BIDADARI
- Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “ALLAH SWT menciptakan wajah bidadari dari empat warna, yaitu putih, hijau, kuning, dan merah. ALLAH menciptakan tubuhnya dari minyak Za’faran, misik, anbar, dan kafur. Rambutnya dari sutra yang halus. Mulai dari jari-jari kakinya sampai ke lututnya dari Za’faran dan wewangian. Dari lutut sampai payudara dari misik. Dari payudara sampai lehernya dari Anbar, Dan dari leher sampai kepalanya terbuat dari Kafur. Seandainya bidadari itu meludah sekali di dunia, maka jadilah semua air di dunia Kasturi. Di dadanya tertulis nama suaminya dan nama-nama ALLAH SWT. Pada setiap tangan dari kedua tangannya terdapat sepuluh gelang dari emas, sedangkan pada jari-jarinya terdapat sepuluh cincin, dan pada kedua kakinya terdapat sepuluh binggal(gelang kaki) dari Jauhar dan permata.
- riwayat lain menjelaskan bahwa Bidadari diciptakan dari tetesan hujan dari awan di bawah Arsy dan Bidadari diciptakan langsung jadi gadis perawan dan terus gadis perawan.
3. IBLIS
Iblis diciptakan dari api seperti semua jenis jin. Dikatakan ia diciptakan dari “nyala api yang berkobar” yaitu dari sisi nyala api yang paling bersih dan paling baik.
4. JIN
- Jin diCiptakan dari Lidah Nyala Api yaitu nyala api yang warnanya Kuning dan keHijauan yang membumbung ke atas ketika Api dinyalakan (HR. Abu Abdullah Al-Faryan)
- Jin itu diciptakan dari Api Matahari (HR. Ibnu Abu Hatim)
” Sesungguhnya jin dan para pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.” (Al Quran, surat Al A’raf : 27)
Makhluk ciptaan Allah dapat
dibedakan antara yang bernyawa dan tak bernyawa. Di antara yang bernyawa adalah
jin. Kata jin menurut bahasa (Arab) berasal dari kata ijtinan yang berarti
istitar (tersembunyi). Jadi jin menurut bahasa berarti sesuatu yang tersembunyi
dan halus, sedangkan setan ialah setiap yang durhaka dari golongan jin, manusia
atau hewan. Iblis adalah gembongnya setan.
Apakah Jin itu?
Jin dinamakan jin karena wujudnya
yang tersembunyi dari pandangan mata manusia. Firman Allah, “Sesungguhnya ia
(jin) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak
bisa melihat mereka.”(QS. Al A’raf 27).
Kalau pun ada manusia yang dapat
melihat jin, jin yang dilihatnya itu adalah yang sedang menjelma dalam wujud
makhkuk yang dapat dilihat mata manusia biasa. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW
bersabda, “Setan memperlihatkan wujud (diri)nya ketika aku shalat, namun atas
pertolongan Allah, aku dapat mencekiknya hingga kurasakan dingin air liurnya di
tanganku. Kalau bukan karena adanya doa saudaraku Nabi Sulaiman, pasti kubunuh
dia.”(HR Al Bukhari).
Asal kejadian Jin
Kalau manusia pertama diciptakan
dari tanah, maka jin diciptakan dari api yang sangat panas. Allah berfirman, “Dan
Kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas.” (QS. Al
Hijr: 27). “Dan Kami telah menciptakan jin dari nyala api.” (QS. Ar Rahman :
15)
Rasulullah bersabda, “Malaikat
diciptakan dari cahaya, jin diciptakan dari nyala api dan Adam diciptakan dari
apa yang disifatkan (diceritakan) kepada kamu [yaitu dari air sperma dan ovum].”
(HR Muslim dari Aisyah di dalam kitab Az- Zuhd dan Ahmad di dalam Al Musnad).
Bagaimana wujud api yang merupakan
asal kejadian jin, Al Quran tidak menjelaskan secara rinci, dan Allah pun tidak
mewajibkan kita untuk meneliti-nya secara detail. Ibnu Abbas, Ikrimah, Mujahid
dan Adhdhak berpendapat bahwa yang dimaksud “api yang sangat panas” (nar
al-samum) atau “nyala api” (nar) dalam firman Allah di atas ialah “api murni”.
Ibnu Abbas pernah pula mengartikannya “bara api”, seperti dikutip dalam Tafsir
Ibnu Katsir.
Mengubah bentuk
Setiap makhluk diberi Allah
kekhususan atau keistimewaan tersendiri. Salah satu kekhususan jin ialah dapat
mengubah bentuk. Misalnya jin kafir (setan) pernah menampakkan diri dalam wujud
orang tua kepada kaum Quraisy sebanyak dua kali. Pertama, ketika kaum Quraisy
berkonspirasi untuk membunuh Nabi SAW di Makkah. Kedua, dalam Perang Badr pada
tahun kedua Hijriah, seperti diungkapkan Allah di dalam surat Al Anfal: 48.
Apakah jin juga mati?
Jin beranakpinakdan berkembang biak.
Allah memperingatkan manusia agar tidak terkecoh menjadikan iblis (yang berasal
dari golongan jin) dan keturunan-keturunannya sebagai pemimpin sebab mereka
telah mendurhakai perintah Allah (QS. Al Kahfi: 50).
Banyak orang menganggap bahwa jin
bisa hidup terus dan tidak pernah mati, namun sebenarnya ada hadis yang
diriwayatkan Bukhari dan Muslim, di mana Nabi SAW berdoa: “Anta al-hayyu
alladzi la yamutu, wa al-jinnu wa al-insu yamutuna – Ya Allah, Engkau hidup
tidak mati, sedangkan jin dan manusia mati.” (Bukhari: 7383, Muslim : 717)
Tempat-tempat Jin
Banyak perbedaan antara manusia
dengan jin, namun persamaannya juga ada, di antaranya sama-sama menghuni bumi.
Bahkan jin telah mendiami bumi sebelum adanya manusia dan kemudian jin juga
bisa tinggal bersama manusia di rumah manusia, tidur di ranjang dan makan
bersama manusia. Tempat yang paling disenangi jin adalah WC, tempat manusia
membuka aurat. Agar aurat kita terhalang dari pandangan jin ketika kita masuk
ke dalam WC, hendaknya kita berdoa yang artinya, “Ya Allah, aku berlindung
kepadaMu dari (gangguan) setan laki-laki dan setan perempuan.” (HR
At-Turmudzi).
Setan suka berdiam di kubur dan di
tempat sampah. Apa sebabnya, Quran sengaja tak menjelaskan secara rinci.
Mungkin karena kuburan sering dijadikan sebagai tempat bermeditasi oleh tukang
sihir (paranormal). Nabi SAW melarang kita tidur menyerupai setan. Setan tidur
di atas perutnya (tengkurap) dan bertelanjang. Manusia yang tidur dalam keadaan
bertelanjang menarik perhatian setan untuk mempermainkan auratnya.
Setan selalu mendampingi manusia
Sudah menjadi komitmen setan akan
senantiasa menggoda manusia agar durhaka kepada Allah. Oleh karena itu setan
terus menerus mengincar manusia, setiap saat menyertai manusia sehingga setan
itu disebut pula sebagai qarin bagi manusia, artinya “yang menyertai” manusia.
Setiap manusia disertai setan yang selalu memperdayakannya, bahkan manusia dan
qarin-nya akan bersama-sama pada hari berhisab nanti. Allah berfirman, artinya:
“Yang menyertai dia (qarin-nya) berkata (pula): “Ya Tuhan kami, aku tidak
menyesatkannya tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh.” (QS. Qaf:
27).
Ada 5 Jenis Jin Yang Ada Di Dunia
Berapa Jenis Jin Yang Ada Di
Dunia Jin sama seperti dengan manusia yang merupakan mahluk ciptan tuhan Allah
SWT namun jin tidak seperti manusia Jin merupakan mahluk gaib yang tidak bisa dilihat
dengan mata telanjang manusia. Dalam sebuah kitab dijelaskan ada beberapa macam
jenis Jin yang ada di dunia ini, Nah Mesammesem mania mau tahu jenis Jin apa
aja yang ada di dunia ini? Kita simak aja 5 Jenis Jin yang Ada di Dunia berikut
ini :
Al-Jan Jenis yang
pertama ini adalah pengertian jin secara umum, yaitu jenis jin yang berpotensi
seperti layaknya manusia. Jin ada yang berkelamin jantan adapula yang betina,
ada jin yang muslim adapula yang non muslim, jin juga membutuhkan makan,minum,
tidur, dan sebagainya. Walhasil jin pada kategori JAN tidak bedanya dengan
manusia pada kategori al-insan.
Al-A’Mir Acapkali disuatu tempat, dikamar mandi, dirumah atau dimanapun ada suara atau bunyian yang menirukan perbuatan manusia. Seperti halnya ada suara orang wudhu atau orang mandi, padahal dikamar mandi tersebut tidak ada siapa-siapa.
Hal ini boleh jadi adalah perbuatan jin pada kategori AL-A’MIR. Maka tidak jarang orang menyebutnya sebagai setan tek-tek. Karena memang jenis jin ini suka meniru-nirukan perbuatan atau kebiasaan manusia, dengan maksud menakut-nakuti.
Al-A’mir juga terkadang mengikuti orang yang sedang membaca , bernyanyi dan sebagainya atau mengikuti orang yang sedang shalat dibelakangnya. Meskipun demikian kita tidaklah usah takut, karena boleh jadi dia tidaklah jahat, hanya karena ingin menjadi mak’mum atau ingin belajar membaca atau menyanyi.
Al-Ifrit Ifrit adalah jenis jin yang berpotensi sebagai pembantu ataupun khodam bagi manusia. Dalam hal ini ada ifrit yang muslim dan baik, yang tentunya bisa menjadi khodam pada manusia-manusia yang muslim dan baik pula.
Adapula ifrit yang berprilaku jahat dan kafir yang dimanfaatkan oleh para tukang sihir dan dukun, seperti ifrit-ifrit yang bekerjasama dengan ‘pesihir’ atau pesulap terkemuka luar negeri pada segitiga Bermuda “ David Caverfil”.
Al-Arwah Jenis jin yang keempat inilah yang sering dan biasa menggoda manusia, terkadang al-arwah menjelma dirinya sebagai orang tua kita yang telah meninggal atau sebagai dedemit dan sebagainya.
Sehingga dapat mengelabuhi sebagaian masyarakat kita dan menakut-nakuti mereka yang memang mempercayainya. Sebenarnya jenis jin al-arwah ini termasuk golongan jin yang sangat kuat dan sangat nakal.
Disebutkan paling kuat karena mereka dapat menjelma dirinya menjadi apa saja dengan mengerahkan kekuatan ilmu yang dimilikinya dan disebut nakal karena sering menggoda dan menakut-nakuti manusia.
Jika diibaratkan manusia, maka jenis jin dari golongan Al-arwah semacam preman yang sukausil terhadap masyarakat setempat dan terutama kepada perempuan-perempuan yang lewat dijalanan yang sepi.
As-Syaiton Berbeda dengan al-arwah, as-syaiton adalah jenis jin yang selalu menggoda manusia dari segi keimanan, kerohanian dan kejiwaan. As-syaiton sangat berbahaya dibanding jenis jin lainya, karena as-syaiton dalam merasuk kedalam hati manusia untuk membisikan kekafiran, keingkaran dan kejahatan.
Dalam surat an-naas dijelaskan bahwasanya bukan hanya jin jahat dan ingkar yang termasuk dalam golongan as-syaiton, manusia yang yang berprilaku dzolim dan lacutpu termasuk dalam kategori ini.
Mengenai hal ini ada sebagaian ulama yang berpendapat bahwa setan adalah sebuah sifat jahat daripada manusia dan jin. Jadi kesimpulanya adalah setan bukanlah merupakan wujud atau benda, melainkan sebuah sifat atau perbuatan.
Baik itu terdapat pada jin ataupun manusia. Tapi kebanyakan orang lebih takut terhadap Al-Arwah daripada As-Syaiton, padahal As-Syaiton adalah jenis yang paling berbahaya bagi kehidupan manusia.
5. MANUSIA (Adam)
diciptakannya Adam oleh Allah dari segumpal tanah liat yang kering dan lumpur hitam yang dibentuk sedemikian rupa. Setelah disempurnakan bentuknya, maka ditiupkanlah roh ke dalamnya sehingga ia dapat bergerak dan menjadi manusia yang sempurna.
6. MANUSIA WANITA (Hawa)
“Berbuat baiklah kepada wanita, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.Maka sikapilah para wanita dengan baik.” (HR al-Bukhari Kitab an-Nikah no 5186)
7. MANUSIA (Keturunan Adam & Hawa)
Di ciptakan dari pembuahan Ovarium dari Ibu yang bercampur Sperma Ayah, sehingga membentuk nutfah, segumpal daging dan membentuk tulang dan jadilah janin cikal bakal Bayi manusia.
8. BINATANG
Di ciptakan dari tanah, maka jadilah Hewan darat, Hewan penghuni Air, Hewan Penjelajah Udara dan Hewan dalam Tanah
9. TUMBUHAN
Di ciptakan dari tanah, maka jadilah pohon buah, bunga-bunga, Pohon berkayu, Karang dan rumput laut.
10. BINATANG GHAIB (Binatang Jin)
- Dzu’ath-Thifyatayn = golongan Jin yang Berbentuk Ular yang herwarna Hitam dan memiliki dua Garis Putih di Punggungnya
- Al-Abtaral = golongan Jin yang Berbentuk Ular buntung tidak berekor atau ekornya pendek
- An-Nazhir = golongan Jin yang berbentuk Kalajengking dan serangga tanah
- Al-Hinu =golongan Jin yang berbentuk Anjing hitam yang memiliki dua tanda putih di dahinya
11. TUMBUHAN GHAIB
- Tumbuhan yang di ciptakan Allah di dunia Jin dan Iblis, baik berupa Bunga-bunga, sayuran, pohon buah, pohon berkayu Dll...
12. BINATANG SURGA
- Ruhnya Anak Orang Muslim berada pada Tembolok Burung-burung sejoli di dalam Surga
- Buraq adalah sesosok makhluk tunggangan ajaib, yang membawa Nabi Muhamad SAW dari Masjid al-Aqsa menuju Mi'raj ketika peristiwa Isra Mi'raj. Makhluk ini diciptakan Allah tebuat dari cahaya.
13. BINATANG NERAKA
- Harisy diIahirkan oleh Kalajengking, Kepalanya berada diLangit ke7, Ekornya berada diBumi yang paling bawah , ia dapat mengumpulkan Orang-Orang ahli Neraka kedalam Perut dan Mulutnya kemudian diLemparkan keNeraka
- Ular sebesar leher unta yang memiliki 70.000 kepala
- Kalajengking sebesar keledai yang memiliki 70.000 ekor, dan setiap ekor memiliki 70.000 bisa.
- Serigala neraka yang memakan daging ahli neraka sampai tulang-tulangnya
14. BINATANG LANGIT
- Kuda Maimun Diciptakan setelah Nabi Adam as diciptakan, yang diperuntukan baginya Tubuh terbuat dari Misik Putih yang berbau Harum menyengat , Ke dua Sayapnya terbuat dari Intan & Marjan
- Allah swt, menciptakan seekor Ayam Jantan di Langit kesatu, Sayap yg Pertama menjangkau ujung Langit paling barat, Sayap yg kedua menjangkau ujung Langit paling Barat, Bulu bagian luar berwarna Putih bersih, Bulu bagian tengahnya berwarna Hijau ,Bulu sebagian paling dalam lebih Hijau lagi, Setiap Malam ia mengepak-epakkan kedua Sayapnya seraya menyerukan kalimat Tasbih
15. BINATANG ALAM BARZAH
- 70 Ekor Ular Naga di dalam kubur, mereka Menyiksa ahli neraka dengan mencabik-cabik Daging dan meremukkan Tulang-Tulang Orang-Orang yang di azab di kuburnya tersebut, Jika seandainya salah satu dari mereka di keluarkan dari Alam Barzah serta mengenduskan nafasnya kearah Bumi maka semua Pohon dan Tumbuhan akan hancur
- Ular Syaja, yaitu ular yang Menyiksa ahli neraka di kubur. Ular itu akan terus menggigit jemarinya Orang yang diAzab diKuburnya tersebut meskipun dosanya akan di Ampuni.
- Ular tinnin, Yaitu sembilan puluh sembilan ular. Sedangkan setiap ular itu memiliki tujuh kepala yang setiap kepala itu mencakar, menggigit, menyembur hingga tubuh si mayit menjadi bengkak. Azab itu berlangsung sampai hari kiamat.
16. TUMBUHAN SURGA
Pohon Thuba, Pohon Kurma yang Berbuah Mutiara, Pohon Khuldi, Pohon Delima yang Buahnya seperti Ember, Pohon Pisang yang Buahnya bersusun-susun, Pohon Bidara DLL
17. TUMBUHAN NERAKA
Pohon Zaqqum Buahnya seperti kepala-kepala Setan, Ranting-rantingnya seperti Ular , Batang pohonnya penuh dengan Duri yang membara seperti Api , Dari pohonnya mengeluarkan aroma bau yang sangat busuk, Pohonnya tumbuh dari dasar Neraka JAHIM , Batang pohon & buahnya digunakan sebagai salah satu makanan penghuni Neraka yang apabila mereka memakannya maka mendidihlah Perut & Otaknya
18. TUMBUHAN LANGIT
- Pohon Sidratul muntaha yang terdapat di langit ke tujuh yang menjulang tinggi sampai ke Arsy Allah SWT
- Pohon Al-Maut yang terdapat di langit ke tujuh yang memiliki daun-daun sebanyak jumblah mahkluk, masing-masing daun di jaga malaikat yang membawa buku catatan Ajal,
BAB
II
KEBUTUHAN
MANUSIA TERHADAP AGAMA
A. Latar Belakang
Kehadiran agama Islam yang dibawa
Nabi Muhammad Saw, diyakini dapat menjamin dapat terwujudnya kehidupan manusia
yang sejahtera lahir dan batin. Di dalamnya terdapat berbagai petunjuk tentang
bagaimana seharusnya manusia itu menyikapi hidup dan kehidupan ini secara lebih
bermakna dalam arti yang seluas-luasnya.
Manusia sebagai makhluk paling
sempurna di antara makhluk-makhluk lain mampu mewujudkan segala keinginan dan
kebutuhannya dengan kekuatan akal yang dimilikinya. Namun di samping itu
manusia juga mempunyai kecenderungan untuk mencari sesuatu yang mampu menjawab
segala pertanyaan yang ada dalam benaknya. Segala keingintahuan itu akan
menjadikan manusia gelisah dan kemudian mencari pelampiasan dengan timbulnya
tindakan irrasionalitas. Munculnya pemujaan terhadap benda-benda merupakan
bukti adanya keingintahuan manusia yang diliputi oleh rasa takut terhadap
sesuatu yang tidak diketahuinya.
Kemudian sebagian para ahli
mengatakan bahwa rasa ingin tahu dan rasa takut mendorong tumbuh suburnya rasa
keagamaan dalam diri manusia. Ia merasa berhak untuk mengetahui dari mana ia
berasal, untuk apa dia berada di dunia, apa yang mesti ia lakuakan demi
kebahagiaan dunia dan alam akhirat nanti, yang merupakan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah agama. Oleh
karean itu dalam makalah yang sederhana ini akan di ulas bagaimana agama
B. Pengertian Manusia
Manusia adalah makhluk hidup yang
berbadan tegak, yang kulitnya tampak (tidak tertutup bulu), tampak kulitnya,
mempunyai akal, pemikiran, akhlak yang utama emosi yang selalu berubah-ubah,
perasaan yang benar, daya nalar yang sehat, serta perkataan yang fasih dan
jelas.
Allah memulai penciptaan manusia
dari tanah, kemudian menciptakan keturunannya dari sari pati air yang hina (air
mani). Dia menciptakan Adam, manusia pertama dari tanah dengan tangan-Nya dan
meniupkan roh (ciptaan)-Nya, lalu darinya Dia ciptakan Istrinya, Hawa. Dia
ajarkan kepadanya nama-nama, lalu menyuruh malaikat agar bersujud kepadanya,
maka mereka semua bersujud kecuali Iblis yang menolak. Dia melarangnya untuk
makan dari satu pohon, lalu dia lupa dan memakannya, maka, dia telah berbuat
maksiat dan durhaka karenanya. Lalu dia menerima beberapa kalimat dari Allah
dan mengucapkannya, maka Allah menerima taubatnya, kemudian menurunkannya ke
bumi sebagai khalifah setelah sebelumnya Dia mempersiapkan bumi itu baginya,
dan menyediakan segala apa yang ada di bumi untuk memenuhi kebutuhannya.
Itulah manusia dalam keyakinan kita.
Dan keyakinan kita tentang manusia ini bersumber dari wahyu langit, yang tidak
ada jalan untuk membandingkan, meneliti atau mencari dalil tentangnya, karena
hal seperti itu tidak bisa diketahui tanpa wahyu.Allah berfirman tentang
penciptaan Adam,
Artinya: Dan Sesungguhnya Kami telah
menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. (Al-Hijr:26)
Allah juga berfiman tentang
penciptaan manusia,
Artinya: “Dan Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian
Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah
itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. kemudian Kami
jadikan Dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta
yang paling baik”. (Al-Mukmin:12-14)
C. Pengertian Agama
Pengertian agama dari segi bahasa
antara lain uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat
Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din ( ﻴن د) dari bahasa
Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata
Sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu
tersusun dari dua kata, a = tidak dan gam = pergi, jadi agama artinya tidak
pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. Hal demikian menunjukkan
pada salah satu sifat agama, yaitu diwarisi secara turun temurun dari generasi
ke generasi lainnya. Selanjutnya ada lagi pendapat yang mengatakan bahwa agama
berarti teks atau kitab suci, dan agama-agama memang
mempunyai kitab-kitab suci.
Selanjutnya dikatakan lagi bahwa agama berarti tuntunan. Pengertian ini tampak
menggambarkan salah satu fungsi agama sebagai tuntunan bagi kehidupan manusia.
Pada umumnya, kata “agama”
diartikan tidak kacau, yang secara analitis diuraikan dengan cara memisahkan
kata demi kata, yaitu “a” berarti “tidak” dan “gama” berarti
“kacau”. Maksudnya orang yang memeluk agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya
dengan sungguh, hidupnya tidak akan mengalami kekacauan
Adapun kata religi
berasal dari bahasa latin. Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata
religi adalah relegere yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca.
Pengertian itu sejalan dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara
mengabdi kepada Tuhan yang terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi
menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religare yang berarti
mengikat. Ajaran-ajaran agama memang mempunyai sifat mengikat bagi manusia.
Dari beberapa definisi tersebut,
Harun Nasution menyimpulkan bahwa intisari yang terkandung dalam
istilah-istilah di atas ialah ikatan. Agama memang mengandung arti ikatan yang
harus dipegang dan dipatuhi manusia. Ikatan ini mempunyai pengaruh besar sekali
terhadap kehidupan sehari-hari manusia. Satu kekuatan gaib yang tak dapat di
tangkap oleh pancaindera.
Adapun pengertian agama dari segi
istilah dapat dikemukakan sebagai berikut. Elizabet K. Nottinghamdalam bukunya Agama
dan Masyarakat berpendapat bahwa agama adalah gejala yang begitu sering
terdapat di mana-mana sehingga sedikit membantu usaha-usaha kita untuk membuat
abstraksi ilmiah.
Selanjutnya karena demikian
banyaknya definisi tentang agama yang dikemukakan para ahli, Harun Nasution
mengatakan bahwa dapat diberi definisi sebagai berikut: 1) Pengakuan terhadap
adanya hubungan manusia dengan kekuatan ghaib yang harus di patuhi; 2)
Pengakuan terhadap adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang menguasai
manusia; 3) Mengikatkan diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan
pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia yang mempengaruhi
perbuatan-perbuatan manusia; 4) Kepercayaan pada suatu kekuatan gaib yang
menimbulakan cara hidup tertentu; 5) Suatu sistem tingkah laku (code of
conduct) yang berasal dari kekuatan gaib; 6) Pengakuan terhadap adanya
kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber pada suatu kekuatan gaib; 7)
Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan
takut terhadap kekuatan misterius yang terdapat dalam alam sekitar manusia; 8)
Ajaran yang diwariskan Tuhan kepada manusia melalui seorang rasul
Pada semua definisi tersebut di
atas, ada satu hal yang menjadi kesepakatan semua, yaitu kepercayaan akan
adanya sesuatu yang agung di luar alam. Namun, lepas dari semua definisi yang
ada di atas maupun definisi lain yang dikemukakan oleh para pemikir dunia
lainnya, kita meyakini bahwa agama adalah kepercayaan akan adanya Tuhan yang
menurunkan wahyu kepada para nabi-Nya untuk umat manusia demi kebahagiaannya di
dunia dan akhirat.
Dari sini, kita bisa menyatakan
bahwa agama memiliki tiga bagian yang tidak terpisah, yaitu akidah
(kepercayaan hati), syari’at (perintah-perintah dan larangan Tuhan) dan akhlak
(konsep untuk meningkatkan sisi rohani manusia untuk dekat kepada-Nya).
Meskipun demikian, tidak bisa kita pungkiri bahwa asas terpenting dari sebuah
agama adalah keyakinan akan adanya Tuhan yang harus disembah.
D.
Kebutuhan Manusia Terhadap Agama
Secara naluri, manusia mengakui
kekuatan dalam kehidupan ini di luar dirinya. Ini dapat dilihat ketika manusia
mengalami kesulitan hidup, musibah, dan berbagai bencana. Ia mengeluh dan
meminta pertolongan kepada sesuatu yang serba maha, yang dapat membebaskannya
dari keadaan itu. Naluriah ini membuktikan bahwa manusia perlu beragama dan
membutuhkan Sang Khaliknya.
Dari sini dapat dinyatakan
bahwa setiap umat yang ada di atas permukaan bumi, yaitu sejak manusia itu
hidup tidak bisa lepas dari akidah dan agama. Demikianlah sebagaimana yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya.
Artinya: “Sesungguhnya Kami mengutus
kamu dengan membawa kebenaran[1255] sebagai pembawa berita gembira dan sebagai
pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang
pemberi peringatan”. (Fathir: 24)
[1255] Yang dimaksud dengan
kebenaran di sini ialah agama tauhid dan hukum-hukumnya.
Yang dimaksud dengan pemberi
peringatan adalah seorang nabi, rasul, atau seorang yang alim yang mewarisi
ilmu-ilmu para nabi. Ia memberi peringatan kepada semua umat tentang akibat
kekufurannya kepada Allah, kepada kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
syariat-syariat-Nya, dan mengancam mereka dari bahaya syirik kepada Tuhan,
berbuat maksiat kepada-Nya, kepada rasul-rasul-Nya, dan apa yang menyertainya,
yaitu penyimpangan perilaku berupa kezhaliman, kejahatan dan kerusakan.
E. Latar Belakang Perlunya
Manusia Terhadap Agama
Sekurang-kurangnya ada tiga alasan
yang melatarbelakangi perlunya manusia terhadap agama. Ketiga alasan tersebut
secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut.
- Fitrah Manusia
Kenyataan bahwa manusia memiliki
fitrah keagamaan tersebut buat pertama kali dijelaskan dalam ajaran Islam,
yakni bahwa agama adalah kebutuhan fitrah manusia. Sebelumnya, manusia belum
mengenal kenyataan ini. Baru di masa akhir-akhir ini, muncul beberapa orang
yang menyerukan dan mempopulerkannya. Fitrah keagamaan yang ada dalam diri
manusia inilah yang melatarbelakangi perlunya manusia pada agama Oleh karenanya, ketika datang wahyu Tuhan yang menyeru
manusia agar beragama, maka seruan tersebut memang sejalan dengan fitrahnya
itu. Firman Allah Swt dalam QS.Ar-Rum:30,
Artinya: Maka hadapkanlah
wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang
telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui[1168],
[1168] Fitrah Allah: Maksudnya
ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama
tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar.
mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
- Kelemahan dan Kekurangan Manusia
Faktor lainnya yang melatarbelakangi
manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai
kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Dengan kekurangan dan kelemahan yang ada
di dalam dirinya sehingga manusia dengan fitrahnya merasakan kelemahan
dirinya dan kebutuhan kepada Tuhan agar menolongnya, menjaga dan memeliharanya
dan memberinya taufik
Allah menciptakan manusia dan
berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-Nya dengan batas-batas tertentu
dan dalam keadaan lemah. Firman ALLAH SWT, dalam QS.Al-Qomar:49,
Artinya: “Sesungguhnya tiap-tiap
sesuatu telah kami ciptakan dengan ukuran batas tertentu”.
Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan
dirinya itu dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain
kecuali dengan jalan wahyu akan agama.
- Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia
memerlukan agama adalah karena manusia dalam kehidupannya senantiasa menghadapi
berbagai tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Tantangan
dari dalam dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan.
Sedangakan tantangan dari luar dapat
berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja
berupaya ingin memalingkan manusia dari Tuhan.
Sebagaimana firman Allah Swt Dalam
surat Al-Anfal ayat 36 yang berbunyi:
¨
Artinya:”Sesungguhnya orang-orang
yang kafir menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah.
mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan
mereka akan dikalahkan. dan ke dalam Jahannamlah orang-orang yang kafir itu
dikumpulkan”.
Mereka dengan rela mengeluarkan
biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk
kebudayaan yanag di dalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir dengan sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk
mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya. Berbagai bentuk budaya,
hiburan, obat-obat terlarang dan lain sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk
itu, upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan mengajar mereka agar
taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup yang demikian saat ini
semakin meningkat, sehingga upaya mengagamakan masyarakat menjadi penting.
F. Urgensi Agama bagi Manusia
Manusia sejak ada di atas bumi ini
dengan diturunkannya Adam, bapak manusia yang petama, dan Hawa, Ibu manusia,
dari surga negeri keselamatan, dia sangat membutuhkan hukum-hukum yang pasti
yang bisa menyeimbangkan keimanannya, mengatur perilakunya, membatasi
kecenderungannya dan mengantarkan kepada kesempurnaan yang diciptakan dan
disediakan untuknya pada kedua kehidupannya. Yang pertama adalah kehidupan yang
dilalui manusia di atas bumi ini, sedangkan yang kedua adalah kehidupan yang
terjadi pada alam yang lain dari bumi yang rendah ini, yaitu alam kesucian dan
kebersihan pada kerajaan tertinggi, sebagaimana diberitakan oleh Allah memalui
kitab-kitab-Nya yang Dia turunkan kepada nabi-nabi-Nya yang diutus.
Agama menjadi sangat penting bagi
manusia, dengan aturannya yang khusus dia makan dan minum, mengatasi panas dan
dingin, dia wajib bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya sendiri, maka dengan
sunnah-sunnah yang telah ditetapkan oleh Tuhannya, dia mengusahakan makanan dan
minuman, pakaian, dan obat-obatan serta tempat tinggal dan kendaraannya.
Kondisi seperti ini menuntut adanya saling menolong dari setiap individu
manusia untuk memebuhi kebutuhan hidupnya, dan mempertahankan keberlangsungan
sampai ajalnya tiba.
Manusia dengan fitrahnya merasakan
kelemahan dirinya dan kebutuhannya kapada Tuhan agar menolongnya, menjaga,
memeliharanya, dan memberinya taufik. Karena itu dia berusaha mengenal Tuhannya
dengan amalan-amalan yang wajib, yaitu dengan cara mendekatkan diri kepada-Nya
dan menunaikan macam-macam ketaatan dan ibadah.
Manusia dengan kemampuan, pikiran,
perasaan dan inderanya, selalu berusaha
untuk mencapai derajat tertinggi
dalam hal itu. Sehingga dia tidak ingin berhenti pada satu batas tertentu. Maka
dalam tiga keadaannya yang kita sebutkan, dia membutuhkan syariat agama dari
Tuhan, yang sesuai dengan fitrahnya dan mengatur hubungannya dengan sesamanya,
karena dia akan selalu butuh untuk
saling tololng menolong dalam
memenuhi kebutuhan hiudpnya dan menjaga keberadaannya di alam ini, seperti
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, dan kendaraan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di
atas, maka kebutuhan manusia akan agama Tuhan yang benar itu lebih besar
daripada kebutuhannya akan unsur-unsur pertama untuk menjaga hidupnya seperti
air, makanan dan udara. Dan tidak ada yang mengingkari atau memperdebatkan
kebenaran ini kecuali pembangkang yang sombong, tidak berguna kesombongannya
dan tidak perlu didengar alasan-alasannya.
Jika manusia yang berakal dan
mendapat petunjuk dalam mencari satu agama Tuhan yang benar dan murni, maka dia
pasti mendapatkannya dalam Islam, agama semua manusia, yang terkandung dalam
kitab-Nya, Al-Qur’an yang mulia, yang tidak berkurang satu huruf pun darinya
sejak diturunkannya dan tidak pula ada tambahan satu huruf pun padanya. Dan
tidak diganti satu kata pun dari tempatnya dalam Al-Qur’an. Dan tidak ada
ungkapan yang keluar dari apa yang ditunjukkannya, walaupun telah berlalu
seribu empat ratus lebih. Manusia beragama karena mereka memerlukan sesuatu
dari agama itu, yaitu manusia memerlukan petunjuk-petunjuk untuk kebahagiaanya
di dunia dan akhirat
BAB
III
KEDUDUKAN
DAN FUNGSI MANUSIA SEBAGAI KHALIFAH, SEBAGAI HAMBA, & SEBAGAI PEMBANGUN
A.HAKEKAT MANUSIA MENURUT ISLAM
Manusia diciptakan ALLAH SWT berasal
dari saripati tanah, lalu menjadi nuftah, alaqah dan mudqah sehingga menjadi
makhluk yang paling sempurna yang memiliki berbagai kemampuan. Oleh karena itu,
menusia wajib bersyukur atas karunia yang telah diberikan ALLAH SWT. Al-Quran
menerangkan bahwa manusia berasal dari tanah dengan mempergunakan
bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Ayat-ayat yang
menyebutkan bahwa manusia diciptakan dari tanah umumnya dipahami secara
lahiriah. Hal ini menimbulkan pendapat bahwa manusia benar-benar dari tanah,
dengan asumsi karena Tuhan berkuasa, maka segala sesuatu dapat terjadi.
B .KARAKTERISTIK MANUSIA
Diantara karakteristik manusia:
1.
Aspek kreasi
2.
Aspek ilmu
3.
Aspek kehendak
4.
Pengarahan akhlak
C.FUNGSI DAN
PERANAN MANUSIA
Berpedoman
kepada QS Al Baqoroh 30-36, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku
ajaran allah dan sekaligus pelopor dalam membudayakan ajaran Allah.
Untuk menjadi
pelaku ajaran Allah, apalagi menjadi pelopor pembudayaan ajaran Allah,
seseorang dituntut memulai dari diridan keluarganya, baru setelah itu kepada
orang lain.
Peran yang
hendaknya dilakukan seorang khalifah sebagaimana yang telah ditetapkan Allah,
diantaranya adalah :
1. Belajar (surat
An naml : 15-16 dan Al Mukmin :54)
2. Mengajarkan
ilmu (al Baqoroh : 31-39)
3. Membudayakan
ilmu (al Mukmin : 35 )
D.TUJUAN PENCIPTAAN MANUSIA
1. sebagai khalifah
2. beribadah
Tujuan ibadah ada dua (baik itu ibadah
mahdhah, maupun ibadah ghairu mahdhah).
a. untuk mencapai kesenangan hidup di dunia.
b. untuk mencapai ketenangan hidup di akhirat. Atau secara
sederhananya yaitu untuk mencapai kesenangan dan ketenangan dunia dan akhirat.
Ibadah itu pada hakikatnya dalam
rangka tiga hal:
Pertama, membina diri dengan baik.
Kedua, dalam rangka mensucikan diri kita.
Ketiga, mengisi diri dengan sifat yang terpuji, mengisi diri
dengan perbuatan baik, dan mengisi diri dengan perbuatan yang berpahala.
·
Golongan Manusia Sebagai Hamba ALLAH dan Khalifah-Nya
Pembagian manusia sebagai hamba
Tuhan sekaligus khalifah-Nya adalah seperti berikut:
1. Golongan yang tidak tahu atau
tidak sadar yang mereka itu hamba Tuhan dan khalifah-Nya.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
Mereka ini adalah golongan yang tidak tahu, tidak sadar atau tidak mengambil tahu apakah dirinya hamba dan khalifah Allah atau tidak karena mereka tidak beriman dengan Al Quran dan As Sunnah. Mereka itulah golongan orang-orang kafir.
2. Golongan yang tahu bahwa mereka
adalah hamba dan khalifah Allah di bumi tetapi rasa kehambaan dan
kekhalifahannya tidak ada atau tidak wujud. Golongan ini tahu dan sadar bahawa
mereka adalah hamba Allah dan khalifah-Nya di bumi tetapi karena jahil, lemah
melawan hawa nafsu, cinta dunianya begitu kuat, kepentingan peribadinya terlalu
banyak, maka yang demikian rasa kehambaannya kepada Allah begitu lemah.
3. Golongan yang merasa kehambaan
dan kekhalifahan kepada Allah di bumi. Rasa kehambaan dan rasa kekhalifahannya
kepada Allah itu kuat. Oleh itu mereka dapat melahirkan sifat-sifat kehambaan
serta memperhambakan diri kepada Allah dengan membaiki yang fardhu dan sunat
Itulah golongan orang yang soleh. Mereka boleh dibahagikan kepada beberapa
bahagian pula iaitu:
a. Golongan yang sederhana (golongan
ashabul yamin)
b. Golongan muqarrobin
c. Golongan as siddiqin
4. Golongan yang sifat kehambaannya
dan memperhambakan diri kepada Allah lebih menonjol daripada
kekhalifahannya kepada Allah. Maksudnya mereka yang dari golongan orang soleh
tadi, ada di kalangan mereka, penumpuannya kepada beribadah kepada Allah lebih
terlihat dan menonjol dengan menghabiskan masa beribadah, membanyakkan fadhoilul
‘amal, berzikir.
5. Golongan yang sifat
kekhalifahannya kepada Allah lebih menonjol daripada sifat kehambaannya Mereka
ini yang biasanya diberi tanggungjawab kepimpinan dan mengurus kemasyarakatan
oleh orang karena karisma dan sifat-sifat kepimpinan mereka yang menonjol.
6. Golongan yang rasa kehambaannya
dan kekhalifahannya sama-sama menonjol. Golongan ini adalah mereka yang menjadi
pemimpin baik itu pemimpin-pemimpin negeri, negara atau empayar yang
menjalankan hukum-hukum Allah di dalam kepimpinannya. Mereka ini sibuk
sungguh dan menghabiskan waktu untuk memimpin dan beribadah. Sibuk dengan
masyarakat, sibuk juga dengan Allah.
1.
Manusia sebagai Hamba
Q.S Adz-Dzariyat (51) ayat 56
“dan Aku (Allah) tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku
(Allah)”.
Hamba, dalam bahasa Arab adalah ‘abd
atau ‘ābid yang secara umum dapat diartikan sebagai tunduk, patuh, dan menghambakan
diri. Dengan kata lain, hamba adalah orang yang tunduk, patuh dan menghambakan
diri terhadap sesuatu. Sedangkan ketundukan, kepatuhan, dan penghambaaan diri
yang dilakukan disebut sebagai ibadah. Dalam Islam, ibadah tersebut hanya patut
dilakukan kepada Allah SWT dan sifatnya absolut atau mutlak. Meskipun bersifat
mutlak, namun semua ibadah yang diperintahkan Allah adalah untuk kepentingan
manusia.
Apabila kita
perhatikan kewajiban ibadah yang disyari’atkan Allah semuanya berada dalam
batas-batas kemampuan kita (1995: 56). Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya
semacam rukhshah atau keringanan dalam melaksanakannya jika terdapat
keadaan atau situasi yang tidak pada sewajarnya. Misalnya, wudlu dapat
digantikan dengan tayammum apabila sama sekali tidak menemukan air, atau
ada air namun teramat sangat terbatas. Atau jika tidak dapat melaksanakan
shalat dengan berdiri, maka boleh dengan duduk, jika tak mampu duduk maka
dengan berbaring, jika berbaringpun masih sulit maka dengan isyarat. Hal itu
dikarenakan ibadah bukanlah tujuan akhir dari penetapannya melainkan sebagai
tujuan antara saja, karena tujuan akhirnya adalah untuk menyucikan jiwa dan
mendekatkan diri kepada Allah (1995: 57).
Seperti halnya
malaikat, sebagai hamba manusia dibekali kemampuan yang maksimal untuk
melaksanakan semua ketentuan Allah SWT. Meski begitu, Allah tidak menafikan
adanya keterbatasan yang juga terdapat dalam diri manusia. Malaikat dianugerahi
oleh Allah akal dan pemahaman, naluri untuk taat sepenuhnya, kemampuan
berbentuk dengan berbagai bentuk yang indah, dan kemampuan untuk mengerjakan
berbagai pekerjaan berat (Shihab, 2000: 140). Ciri-ciri ini seperti juga terdapat
dalam Q. S At-Tahrim, 66: 6 (Al-Maraghi 1, 1992: 132) sebagai berikut:
Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.
Manusia selain
diciptakan dengan bekal seperti akal dan pemahaman serta naluri untuk
taat seperti malaikat, yang membedakannya dengan malaikat adalah adanya
kebebasannya untuk memilih yang hal tersebut sama sekali tidak ada pada
malaikat. Hal ini terdapat dalam Q. S Ar-Ra’d,13 ayat 11 yang sangat populer sebagai
dalil tentang kebebasan manusia memilih jalannya, sebagai berikut:
“.....sesungguhnya
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
yang ada pada diri mereka sendiri.....”
Terdapat juga
kecenderungan pada keburukan dalam diri manusia seperti terdapat dalam Q. S
Asy-Syams, 91: 8 sebagai berikut:
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya”.
Kedua ayat
tersebut dapat dimaknai bahwa manusia memiliki kecenderungan baik dan buruk
dalam dirinya dan nasibnya dipengaruhi oleh pemilihan jalan yang dilakukannya.
Jika ia menuruti kecenderungan baik maka konsekuensi logisnya adalah kebaikan
yang diperoleh. Sebaliknya, bilamana ia mengikuti bisikan keburukan, maka ia
akan memperoleh keburukan. Meski demikian, pada dasarnya manusia diciptakan
oleh Allah dengan fitrah. Fitrah tersebut dapat diartikan sebagai kecenderungan
manusia pada kebaikan dan menyukai segala hal yang baik.
Adanya
kebebasan manusia untuk memilih jalannya membuat ia memiliki nilai lebih
terutama dalam ketaatannya kepada Allah. Berbeda dengan malaikat yang memang
ketaatannya adalah mutlak karena Allah telah menciptakan malaikat dengan disain
taat dan patuh sepenuhnya tanpa ada naluri lain. Jadi, ketaatan malaikat adalah
memang mereka dicipatakan hanya untuk taat semata, bukan karena mereka bisa
memilih untuk taat atau tidak seperti halnya manusia.
Dalam ushul
fiqh terdapat kaidah umum bahwa dalam hal kebaikan ketika berniat maka
Allah mencatat sebagai satu pahala dan jika ia melaksanakan niat baiknya maka
dicatat sebagai dua pahala. Namun berbeda dengan keburukan. Dalam keburukan,
nilai keburukan akan dicatat sebagai keburukan jika benar-benar telah
dilakukan. Jika hanya berhenti pada niat saja maka ia tidak dicatat sebagai
keburukan. Dan niat buruk yang benar-benar dilakukan maka hanya dicatat sebagai
satu keburukan. Adanya kaidah tersebut dapat dimaknai sebagai motivasi yang
besar untuk kebaikan. Sedangkan keburukan baru dapat dinialai sebagai keburukan
manakala ia benar-benar telah dilakukan (ada unsur kesengajaan dan kesadaran
penuh).
Dalam Q. S
Adz-Dzariyat, 51 ayat 56 tersebut di atas bahwa Allah menciptakan jin dan
manusia untuk menyembah dan beribadah hanya kepada Allah. Meski begitu, relasi
yang dibangun oleh Allah terhadap para makhluk dan para hamba-Nya bukanlah
seperti hubungan antara para tuan dengan para budaknya yang saling membutuhkan
satu sama lain (Al-Maraghi 27, 1992: 25). Penciptaan makhluk dan perintah untuk
beribadah adalah hanya untuk kepentingan hamba semata, bukan untuk kepentingan
Allah. Ke-Maha Agungan Allah tidaklah ditentukan oleh taat atau tidaknya hamba,
tetapi memang Allah sendiri telah Maha Agung tanpa semua itu. Bahkan bukti
ke-Maha Agung-Nya adalah adanya semua ciptaan Allah baik yang di langit maupun
di bumi beserta isinya.
2.
Manusia sebagai Khalifah
Q.S Al-Baqarah (2) ayat 30
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu
berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan
seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Apakah Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
Khalifah berasal dari bahasa Arab yang diterjemahkan sebagai yang
datang kemudian atau yang menggantikan. Menurut Quraish Shihab, kata khalifah pada
mulanya berarti yang menggantikan atau yang datang sesudah siapa yang datang sebelumnya (2000: 140). Kata khalifah dalam Al-Qur’an digunakan bagi
siapa saja yang kekuasaan mengelola wilayah baik secara luas maupun terbatas
(Sya’roni, Badruddin, Tang, 2000: 111). Sedangkan sebagian besar para mufasir
berpendapat bahwa yang dimaksud khalifah dalam ayat 30 dari Q. S
Al-Baqarah adalah sebagai pengganti Allah dalam melaksanakan
perintah-perintah-Nya kepada manusia (Al-Maraghi I, 1992: 135). Dari sekian
pengertian tentang khalifah maka dapat disimpulkan bahwa khalifah adalah
siapa saja yang diberi wewenang untuk mengelola wilayah baik secara luas maupun
terbatas sesuai dengan ketentuan-ketentuan Allah sebagai pemberi wewenang
tersebut.
Sebagai khalifah
manusia telah diberi bekal kemampuan yang sangat penting dan berguna bagi
tugasnya tersebut. Ketika manusia dapat menggunakan segala bekal kemampuan
tersebut maka tugasnya dapat dilaksanakan dengan optimal. Bekal tersebut
diantaranya adalah pengetahuan tentang semua nama, karakteristik, dan fungsi
benda-benda (Shihab, 2000: 143). Selain itu, Allah juga memberikan pendengaran,
penglihatan, dan hati (al-af’idah) sebagaimana Q. S As-Sajdah, 32: 9
sebagai berikut:
“Kemudian
Dia (Allah) menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya
dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu
sedikit sekali bersyukur”.
Pendengaran,
penglihatan, dan hati dalam penggunaannya harus sesuai dengan perintah Allah
terlebih manusia sebagai wakil Allah di bumi dengan tugas memakmurkan bumi
tersebut untuk kesejahteraan manusia. Penggunaan ketiganya dapat melahirkan
kebijaksaan dalam diri manusia apalagi jika ketiganya diselaraskan dengan
petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Karenanya, Quraish Shihab menulis bahwa
kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap
makna dan tugas ke-khalifah-an (2000: 140). Lebih lanjut, ia juga
mengatakan bahwa “sebelum kejadian Adam, Allah telah merencanakan agar manusia
memikul tanggungjawab ke-khalifah-an di bumi” (Wawasan Al-Qur’an, 1996:
282).
Dalam bukunya
yang berjudul Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat), Quraish Shihab berpendapat bahwa setiap aktivitas istikhlaf
(pembangunan) baru dapat dinilai sesuai dengan etika agama ketika aktivitas
tersebut mengantar manusia menjadi lebih bebas dari penderitaan dan rasa takut
(2004: 161). Prof. Mubyarto (dalam Quraish Shihab) mengemukakan beberapa hal
untuk mencapai rasa aman tersebut, yaitu:
1.
Kebutuhan dasar setiap masyarakat harus terpenuhi dan harus bebas dari bahaya
pemerkosaan
2.
Manusia terjamin dalam mencari nafkah, tanpa harus keterlaluan menghabiskan
tenaganya
3.
Manusia bebas untuk memilih bagaimana mewujudkan hidupnya sesuai cita-citanya
4.
Ada kemungkinan untuk mengembangkan bakat-bakat dan kemampuannya
5.
Partisipasi dalam kehidupan sosial politik, sehingga seseorang tidak
semata-mata menjadi obyek penentuan orang lain
Selain sebagai khalifah,
manusia juga diciptakan oleh Allah sebagai hamba-Nya. Hubungan keduanya
sangat erat bahkan saling mempengaruhi. Jika manusia sebagai hamba benar-benar
melaksanakan kehambaannya sesuai dengan petunjuk Allah dan Rasul-Nya, maka
ketika ia menjadi pemimpin ia akan pula berlaku sesuai dengan petunjuk-Nya.
Begitu pula ketika ia menjadi khalifah seyogyanya ia tidak lupa bahwa ia adalah
hamba dari yang Maha Kuasa yang memberikannya wewenang. Seperti yang tertuang
dalam Q. S. Al-Hajj, 22: 41 sebagai berikut:
“(yaitu)
orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya
mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma'ruf dan
mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala
urusan”.
Hubungan antara
manusia sebagai hamba dan khalifah melahirkan posisi saling terkait.
Sebagai khalifah ia memiliki hak prerogatif dan wewenang dalam
kerputusannya untuk mengatur dan mengelola bumi beserta isinya. Sedangkan
sebagai hamba, hak dan wewenang tersebut harus disesuaikan dengan aturan yang
telah diberikan Allah. jadi, ketika manusia menjadi khalifah, maka ia harus
ingat bahwa tujuan penciptaannya adalah hanya untuk mengabdi kepada Allah.
Aisyah bint
Syati dalam bukunya yang berjudul Manusia dalam Perspektif Al-Qur’an menyebutkan
bahwa “hakikat Adam bukanlah hakikat malaikat dan bukan pula hakikat iblis”
(1999: 19). Ini menyiratkan bahwa manusia –seperti telah disinggung dalam
manusia sebagai hamba- memiliki potensi untuk menjadi baik dan taat seperti
malaikat namun ia juga memiliki dorongan untuk membangkang seperti iblis. Jika
hal ini dikaitkan dengan manusia sebagai khalifah, ketika ia dalam menjadi
pemimpin lebih menuruti bisikan keburukan maka ia akan lebih jahat daripada
iblis. Sedangkan jika ia meredam dorongan keburukan dan lebih mengutamakan
kebaikan maka ia akan lebih mulia derajatnya dibandingkan
malaikat.
“Seseorang yang
diberi kedudukan oleh Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban
untuk menciptakan suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik,
kehidupan masyarakatnya harmonis, dan agama, akal, dan budayanya terpelihara”
(Shihab, 2004: 166). Ia juga menulis bahwa ada lima sifat terpuji yang
selayaknya dimiliki oleh pemimpin, yaitu yang pertama, memberikan petunjuk dan
arahan terhadap sesuatu; yang kedua adalah mendorong dalam hal kebajikan; yang
ketiga, beriman dan bertaqwa kepada Allah; yang keempat, menetapi kebenaran dan
keadilan; dan yang kelima adalah sabar, baik terhadap nikmat maupun cobaan
dalam ia sebagai hamba meupun dalam kepemimpinannya (2004: 165). Dalam
kepemimpinan ada dua hal yang harus ada, yaitu pemimpin dan yang dipimpin.
Adanya kedua hal pokok tersebut mengisyaratkan adanya hubungan timbal balik
antara yang memimpin dengan yang dipimpin. Hal itu karena manusia diciptakan
sebagai makhluk sosial yang akan selalu membutuhkan yang lain dalam hidup dan
kehidupannya.
3.
Manusia sebagai Pembangun
Secara
umum, tugas kekhalifahan manusia adalah tugas mewujudkan kemakmuran dan
kesejahteraan dalam hidup dan kehidupan (Al-An’aam : 165) serta tugas
pengabdian atau ibadah dalam arti luas (adz-Dzaariyaat : 56). Untuk menunaikan
tugas tersebut, Allah SWT memberi manusia dua anugerah nikmat utama, yaitu manhaj
al-hayat “ sistem kehidupan “ dan wasilah al-hayat “ sarana
kehidupan .
Manhaj
al-hayat adalah
seluruh aturan kehidupan manusia yang bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah
Rasul. Aturan tersebut berbentuk keharusan melakukan atau sebaiknya melakukan
sesuatu, juga dalam bentuk larangan melakukan atau sebaliknya meninggalkan
sesuatu. Aturan tersebut dikenal sebagai hukum lima, yakni wajib, sunnah,
mubah, makruh, atau haram.
Aturan-aturan
tersebut dimaksudkan untuk menjamin keselamatan manusia sepanjang hidupnya,
baik yang menyangkut keselamatan agama, keselamatan diri (jiwa dan raga),
keselamatan akal, keselamatan harta benda, maupun keselamatan nasab keturunan.
Hal-hal tersebut merupakan kebutuhan pokok atau primer.
Pelaksanaan
Islam sebagai way of life secara konsisten dalam semua kegiatan
kehidupan, akan melahirkan sebuah tatanan kehidupan yang baik, sebuah tatanan
yang disebut sebagai hayatan thayyibah (An-Nahl : 97).
Sebaliknya,
menolak aturan itu atau sama sekali tidak memiliki keinginan mengaplikasikannya
dalam kehidupan, akan melahirkan kekacauan dalam kehdupan sekarang, ma’isyatan
dhanka atau kehidupan yang sempit, serta kecelakaan diakhirat nanti
(Thaahaa : 124 – 126).
Aturan-aturan
itu juga diperlukan untuk mengelola wasilah al-hayah atau segala sarana
dan prasarana kehidupan yang diciptakan Allah SWT untuk kepentingan hidup
manusia secara keseluruhan. Wasilah al-hayah ini dalam bentuk udara,
air, tumbuh-tumbuhan, hewan ternak, dan harta benda lainnya yang berguna dalam
kehidupan.
Sebagaimana
dalam Surah Al-Baqarah ayat 29 yang artinya :
“Dialah
Allah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan, dia Maha Mengetahui
segala sesuatu .
BAB
V
SUMBER
– SUMBER AJARAN ISLAM
A. Al-quran
Al-Qur’an adalah kitab suci umat
Islam. Bagi Muslim, Al-Quran merupakan firman Allah yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui malaikat Jibril dengan lafaldan maknanya. Al-Qur’an
merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW yang sangat berharga bagi umat Islam
hingga saat ini. Di dalamnya terkandung petunjuk dan pedoman bagi umat manusia
dalam mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun akhirat.
Jumlah surat yang terdapat dalam Al
Qur’an ada 114; nama-namanya dan batas-batas tiap-tiap surat, susunan
ayat-ayatnya adalah menurut ketentuan yang ditetapkan dan diajarkan oleh Rasulullah
sendiri (tauqifi).
Agama Islam, agama yang kita anut
dan dianut oleh ratusan juta kaum Muslim di seluruh dunia, merupakan way of
life yang menjamin kebahagiaan hidup pemeluknya di dunia dan di akhirat kelak.
Ia mempunyai satu sendi utama yang esensial: berfungsi memberi petunjuk ke
jalan yang sebaik-baiknya. Allah berfirman, Sesungguhnya Al-Quran ini
memberi petunjuk menuju jalan yang sebaik-baiknya (QS, 17:9).
Al-Quran memberikan petunjuk dalam
persoalan-persoalan akidah, syariah, dan akhlak, dengan jalan meletakkan
dasar-dasar prinsip mengenai persoalan-persoalan tersebut; dan Allah SWT
menugaskan Rasul saw., untuk memberikan keterangan yang lengkap mengenai
dasar-dasar itu: Kami telah turunkan kepadamu Al-Dzikr (Al-Quran) untuk
kamu terangkan kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka agar mereka
berpikir(QS 16:44).
Disamping keterangan yang diberikan
oleh Rasulullah saw., Allah memerintahkan pula kepada umat manusia seluruhnya
agar memperhatikan dan mempelajari Al-Quran: Tidaklah mereka memperhatikan
isi Al-Quran, bahkan ataukah hati mereka tertutup (QS 47:24).
Mempelajari Al-Quran adalah
kewajiban. Berikut ini beberapa prinsip dasar untuk memahaminya, khusus dari
segi hubungan Al-Quran dengan ilmu pengetahuan. Atau, dengan kata lain,
mengenai “memahami Al-Quran dalam Hubungannya dengan Ilmu Pengetahuan.”(
Persoalan ini sangat penting, terutama pada masa-masa sekarang ini, dimana
perkembangan ilmu pengetahuan demikian pesat dan meliputi seluruh aspek
kehidupan.
Kekaburan mengenai hal ini dapat
menimbulkan ekses-ekses yang mempengaruhi perkembangan pemikiran kita dewasa
ini dan generasi-generasi yang akan datang. Dalam bukunya, Science and the
Modern World, A.N. Whitehead menulis: “Bila kita menyadari betapa pentingnya
agama bagi manusia dan betapa pentingnya ilmu pengetahuan, maka tidaklah
berlebihan bila dikatakan bahwa sejarah kita yang akan datang bergantung pada
putusan generasi sekarang mengenai hubungan antara keduanya.
Tulisan Whithead ini berdasarkan apa
yang terjadi di Eropa pada abad ke-18, yang ketika itu, gereja/pendeta di satu
pihak dan para ilmuwan di pihak lain, tidak dapat mencapai kata sepakat tentang
hubungan antara Kitab Suci dan ilmu pengetahuan; tetapi agama yang
dimaksudkannya dapat mencakup segenap keyakinan yang dianut manusia.
Demikian pula halnya bagi umat
Islam, pengertian kita terhadap hubungan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan
akan memberi pengaruh yang tidak kecil terhadap perkembangan agama dan sejarah
perkembangan manusia pada generasi-generasi yang akan datang.
1. Bagian-bagian
Al-Qur’an
2.
Al-Qur’an mempunyai 114 surat,
dengan surat terpanjang terdiri atas 286 ayat, yaitu Al Baqarah, dan terpendek
terdiri dari 3 ayat, yaitu Al-’Ashr, Al-Kautsar, dan An-Nashr. Sebagian ulama
menyatakan jumlah ayat di Al-Qur’an adalah 6.236, sebagian lagi menyatakan
6.666. Perbedaan jumlah ayat ini disebabkan karena perbedaan pandangan tentang
kalimat Basmalah pada setiap awal surat (kecuali At-Taubah), kemudian tentang
kata-kata pembuka surat yang terdiri dari susunan huruf-huruf seperti Yaa Siin,
Alif Lam Miim, Ha Mim dll. Ada yang memasukkannya sebagai ayat, ada yang tidak
mengikutsertakannya sebagai ayat.
Untuk memudahkan pembacaan dan
penghafalan, para ulama membagi Al-Qur’an dalam 30 juz yang sama panjang, dan
dalam 60 hizb (biasanya ditulis di bagian pinggir Al-Qur’an). Masing-masing
hizb dibagi lagi menjadi empat dengan tanda-tanda ar-rub’ (seperempat), an-nisf
(seperdua), dan as-salasah (tiga perempat).
Selanjutnya Al-Qur’an dibagi pula
dalam 554 ruku’, yaitu bagian yang terdiri atas beberapa ayat. Setiap
satu ruku’ ditandai dengan huruf ‘ain di sebelah pinggirnya. Surat yang panjang
berisi beberapa ruku’, sedang surat yang pendek hanya berisi satu ruku’.
Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.
Nisf Al-Qur’an (tanda pertengahan Al-Qur’an), terdapat pada surat Al-Kahfi ayat 19 pada lafal walyatalattaf yang artinya: “hendaklah ia berlaku lemah lembut”.
3. Masa
Turunnya Al-Quran
Ayat-ayat Al-quran yang diterima
Nabi Muhammad SAW. diterima secara berangsur-angsur selama kurang lebih 22
tahun, atau tepatnya 22 tahun, 2 bulan, 22hari, yakni sejak ia berusia 40 tahun
sampai belau wafat
Al-Quran Al-Karim yang terdiri dari
114 surah dan susunannya ditentukan oleh Allah SWT. dengan cara tawqifi, tidak
menggunakan metode sebagaimana metode-metode penyusunan buku-buku ilmiah.
Buku-buku ilmiah yang membahas satu masalah, selalu menggunakan satu metode
tertentu dan dibagi dalam bab-bab dan pasal-pasal. Metode ini tidak terdapat di
dalam Al-Quran Al-Karim, yang di dalamnya banyak persoalan induk silih-berganti
diterangkan.
Persoalan akidah terkadang
bergandengan dengan persoalan hukum dan kritik; sejarah umat-umat yang lalu
disatukan dengan nasihat, ultimatum, dorongan atau tanda-tanda kebesaran Allah
yang ada di alam semesta. Terkadang pula, ada suatu persoalan atau hukum yang
sedang diterangkan tiba-tiba timbul persoalan lain yang pada pandangan pertama
tidak ada hubungan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, apa yang terdapat
dalam surah Al-Baqarah ayat 216-221, yang mengatur hukum perang dalam asyhur
al-hurum berurutan dengan hukum minuman keras, perjudian, persoalan anak yatim,
dan perkawinan dengan orang-orang musyrik.
Yang demikian itu dimaksudkan agar
memberikan kesan bahwa ajaran-ajaran Al-Quran dan hukum-hukum yang tercakup
didalamnya merupakan satu kesatuan yang harus ditaati oleh penganut-penganutnya
secara keseluruhan tanpa ada pemisahan antara satu dengan yang lainnya. Dalam
menerangkan masalah-masalah filsafat dan metafisika, Al-Quran tidak menggunakan
istilah filsafat dan logika. Juga dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan
kebudayaan. Yang demikian ini membuktikan bahwa Al-Quran tidak dapat
dipersamakan dengan kitab-kitab yang dikenal manusia.
Tujuan Al-Quran juga berbeda dengan
tujuan kitab-kitab ilmiah. Untuk memahaminya, terlebih dahulu harus diketahui
periode turunnya Al-Quran. Dengan mengetahui periode-periode tersebut,
tujuan-tujuan Al-Quran akan lebih jelas.
Setiap kali mendapat wahyu, Nabi SAW
lalu menghafalkannya. Beliau dapat mengulangi wahyu yang diterima tepat seperti
apa yang telah disampaikan Jibril kepadanya. Hafalan Nabi SAW ini selalu
dikontrol oleh Malaikat Jibril.
Adapun masa/ periode turunnya
Al-Qur’an dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut :
- Periode Mekah, yaitu saat Nabi SAW bermukim di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari (610-622 M) sampai Nabi SAW melakukan hijrah. Ayat-ayat yang diturunkan pada masa itu disebut ayat-ayat Makkiyah, yang berjumlah 4.726 ayat, meliputi 89 surat.
- Periode Madinah, yaitu masa setelah Nabi SAW hijrah ke Madinah selama 9 tahun 9 bulan 9 hari (622-632 M). Ayat-ayat yang turun dalam periode ini dinamakan ayat-ayat Madaniyyah, meliputi 1.510 ayat dan mencakup 25 surat.
Ayat-ayat Makiyah maupun Madaniyah
yang terdapat dalam Al Qur’an memiliki beberapa perbedaan yang menjadi ciri
khas. Berikut ini adalah ciri-ciri yang terdapat pada kedua kategori ayat
tersebut.
Ciri-Ciri Ayat-Ayat Makkiyah dan
Madaniyyah
Makkiyah
•Ayat-ayatnya pendek.
•Ayat-ayatnya pendek.
• Ayatnya dimulai dengan lafdz
: Ya ayuhannas artinya, wahai manusia.
• Kebanyakan mengandung masalah
tauhid, iman kepada Allah Swt., masalah surga dan neraka, dan masalah-masalah
yang menyangkut kehidupan akhirat (ukhrawi).
Madaniyah
Madaniyah
• Ayat-ayatnya panjang.
• Ayatnya dimulai dengan lafadz
: ya ayyuhalladzina amanu artinya, wahai orang-orang
yang beriman.
• Kebanyakan tentang hukum-hukum
agama (syariat), orang-orang yang berhijrah (muhajirin) dan kaum penolong
(anshar), kaum munafik, serta ahli kitab.
Wahyu yang pertama turun adalah 5
ayat pertama surah Al-‘alaq (surah ke-96) di Gowa Hira (terletak di Jabal Nur,
beberapa kilometer di sebelah Utara Mekkah) pada malam Qadar, 17 Ramadhan 610 M
(13 S.M.).
Diketahui bahwa Muhammad saw., pada
awal turunnya wahyu pertama (Al-’alaq), belum dilantik menjadi Rasul. Dengan
wahyu pertama itu, beliau baru merupakan seorang nabi yang tidak ditugaskan
untuk menyampaikan apa yang diterima. Baru setelah turun wahyu kedualah beliau
ditugaskan untuk menyampaikan wahyu-wahyu yang diterimanya, dengan adanya
firman Allah: “Wahai yang berselimut, bangkit dan berilah peringatan” (QS
74:1-2).
Masa turunnya wahyu dinyatakan
berakhir setelah Nabi menerima wahyu terakhir yaitu surat Al-Maidah ayat 3 yang
diturunkan saat Nabi berada di padang Arafah guna melaksanakan haji
wada’ (haji perpisahan) pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 H.
(633 M).
Seperti berikut : …… Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu
agamamu dan telah Ku cukupkan nikmatKu, serta Ku ridho’i
Islam sebagai agamamu….” (QS. Al-Maidah :3)
Surat Al-Maidah,
ayat ketiga ini secara jelas menunjukkan jaminan Allah bahwa
Islam telah di nyatakan sempurna, isinya
merangkum semua persolan hidup manusia, sehingga orang yang berpegang
kepada Islam, akan memperoleh nikmat yang sempurna pula
dan Allah juga telah meridho’i Islam sebagai
agama umat manusia.
3. Urutan
Turunnya Wahyu Al-Quran
Urutan
Turun
|
No.
Surat
|
Nama
|
Surat
|
Jumlah
Ayat
|
Tempat
Turun
|
1
|
96
|
Al-’Alaq
|
19
|
Makkiyah
|
|
2
|
68
|
Al-Qalam
|
52
|
Makkiyah
|
|
3
|
73
|
Al-Muzzammil
|
20
|
Makkiyah
|
|
4
|
74
|
Al-Muddatstsir
|
56
|
Makkiyah
|
|
5
|
1
|
Al-Faatihah
|
7
|
Makkiyah
|
|
6
|
111
|
Al-lahab
|
5
|
Makkiyah
|
|
7
|
81
|
At-Takwiir
|
29
|
Makkiyah
|
|
8
|
87
|
Al-A’laa
|
19
|
Makkiyah
|
|
9
|
92
|
Al-Lail
|
21
|
Makkiyah
|
|
10
|
89
|
Al-Fajr
|
30
|
Makkiyah
|
|
11
|
93
|
Adh-Duhaa
|
11
|
Makkiyah
|
|
12
|
94
|
Al-insyirah
|
8
|
Makkiyah
|
|
13
|
103
|
Al-’Ashr
|
3
|
Makkiyah
|
|
14
|
100
|
Al-’Aadiyaat
|
11
|
Makkiyah
|
|
15
|
108
|
Al-Kautsar
|
3
|
Makkiyah
|
|
16
|
102
|
At-Takaatsur
|
8
|
Makkiyah
|
|
17
|
107
|
Al-Maa’uun
|
7
|
Makkiyah
|
|
18
|
109
|
Al-Kaafiruun
|
6
|
Makkiyah
|
|
19
|
105
|
Al-Fiil
|
5
|
Makkiyah
|
|
20
|
113
|
Al-Falaq
|
5
|
Makkiyah
|
|
21
|
114
|
An-Naas
|
6
|
Makkiyah
|
|
22
|
112
|
Al-Ikhlas
|
4
|
Makkiyah
|
|
23
|
53
|
An-Najm
|
62
|
Makkiyah
|
|
24
|
80
|
Abasa
|
42
|
Makkiyah
|
|
25
|
97
|
Al-Qadr
|
5
|
Makkiyah
|
|
26
|
91
|
Asy-Syams
|
15
|
Makkiyah
|
|
27
|
85
|
Al-Buruuj
|
22
|
Makkiyah
|
|
28
|
95
|
At-Tiin
|
8
|
Makkiyah
|
|
29
|
106
|
Quraisy
|
4
|
Makkiyah
|
|
30
|
101
|
Al-Qaari’ah
|
11
|
Makkiyah
|
|
31
|
75
|
Al-Qiyaamah
|
40
|
Makkiyah
|
|
32
|
104
|
Al-Humazah
|
9
|
Makkiyah
|
|
33
|
77
|
Al-Mursalaat
|
50
|
Makkiyah
|
|
34
|
50
|
Qaaf
|
45
|
Makkiyah
|
|
35
|
90
|
Al-Balad
|
20
|
Makkiyah
|
|
36
|
86
|
Ath-Thaariq
|
17
|
Makkiyah
|
|
37
|
54
|
Al-Qamar
|
55
|
Makkiyah
|
|
38
|
38
|
Shaad
|
88
|
Makkiyah
|
|
39
|
7
|
Al-A’raaf
|
206
|
Makkiyah
|
|
40
|
72
|
Al-Jin
|
28
|
Makkiyah
|
|
41
|
36
|
Yaasiin
|
83
|
Makkiyah
|
|
42
|
25
|
Al-Furqaan
|
77
|
Makkiyah
|
|
43
|
35
|
Faathir
|
45
|
Makkiyah
|
|
44
|
19
|
Maryam
|
98
|
Makkiyah
|
|
45
|
20
|
Thaahaa
|
135
|
Makkiyah
|
|
46
|
56
|
Al-Waaqi’ah
|
96
|
Makkiyah
|
|
47
|
26
|
Asy-Syu’araa’
|
227
|
Makkiyah
|
|
48
|
27
|
An-Naml
|
93
|
Makkiyah
|
|
49
|
28
|
Al-Qashash
|
88
|
Makkiyah
|
|
50
|
17
|
Al-Israa’
|
111
|
Makkiyah
|
|
51
|
10
|
Yunus
|
109
|
Makkiyah
|
|
52
|
11
|
Huud
|
123
|
Makkiyah
|
|
53
|
12
|
Yusuf
|
111
|
Makkiyah
|
|
54
|
15
|
Al-Hijr
|
99
|
Makkiyah
|
|
55
|
6
|
Al-An’am
|
165
|
Makkiyah
|
|
56
|
37
|
Ash-Shaaffat
|
182
|
Makkiyah
|
|
57
|
31
|
Luqman
|
34
|
Makkiyah
|
|
58
|
34
|
Saba
‘
|
54
|
Makkiyah
|
|
59
|
39
|
Az-Zumar
|
75
|
Makkiyah
|
|
60
|
40
|
Al-Mu’min
|
85
|
Makkiyah
|
|
61
|
41
|
Fushshilat
|
54
|
Makkiyah
|
|
62
|
42
|
Asy-Syuura
|
53
|
Makkiyah
|
|
63
|
43
|
Az-Zukhruf
|
89
|
Makkiyah
|
|
64
|
44
|
Ad-Dukhaan
|
59
|
Makkiyah
|
|
65
|
45
|
Al-Jatsiyaah
|
37
|
Makkiyah
|
|
66
|
46
|
Al-Ahqaaf
|
35
|
Makkiyah
|
|
67
|
51
|
Adz-Dzariyaat
|
60
|
Makkiyah
|
|
68
|
88
|
Al-Ghaasyiyah
|
26
|
Makkiyah
|
|
69
|
18
|
Al-Kahfi
|
110
|
Makkiyah
|
|
70
|
16
|
An-Nahl
|
128
|
Makkiyah
|
|
71
|
71
|
Nuh
|
28
|
Makkiyah
|
|
72
|
14
|
Ibrahim
|
52
|
Makkiyah
|
|
73
|
21
|
Al-Anbiyaa’
|
112
|
Makkiyah
|
|
74
|
23
|
Al-Mu’minuun
|
118
|
Makkiyah
|
|
75
|
32
|
As-Sajdah
|
30
|
Makkiyah
|
|
76
|
52
|
At-Thuur
|
49
|
Makkiyah
|
|
77
|
67
|
Al-Mulk
|
30
|
Makkiyah
|
|
78
|
69
|
Al-Haaqqah
|
52
|
Makkiyah
|
|
79
|
70
|
Al-Ma’aarij
|
44
|
Makkiyah
|
|
80
|
78
|
An-Naba’
|
40
|
Makkiyah
|
|
81
|
79
|
An-Nazi’at
|
46
|
Makkiyah
|
|
82
|
82
|
Al-Infithaar
|
19
|
Makkiyah
|
|
83
|
84
|
Al-Insyiqaaq
|
25
|
Makkiyah
|
|
84
|
30
|
Ar-Ruum
|
60
|
Makkiyah
|
|
85
|
29
|
Al-’Ankabuut
|
69
|
Makkiyah
|
|
86
|
83
|
Al-Muthaffifiin
|
36
|
Makkiyah
|
|
87
|
2
|
Al-Baqarah
|
286
|
Madaniyah
|
|
88
|
8
|
Al-Anfaal
|
75
|
Madaniyah
|
|
89
|
3
|
Ali
‘Imran
|
200
|
Madaniyah
|
|
90
|
33
|
Al-Ahzab
|
73
|
Madaniyah
|
|
91
|
60
|
Al-Mumtahanah
|
13
|
Madaniyah
|
|
92
|
4
|
An-Nisaa’
|
176
|
Madaniyah
|
|
93
|
99
|
Al-Zalzalah
|
8
|
Madaniyah
|
|
94
|
57
|
Al-Hadiid
|
29
|
Madaniyah
|
|
95
|
47
|
Muhammad
|
38
|
Madaniyah
|
|
96
|
13
|
Ar-Ra’du
|
43
|
Makkiyah
|
|
97
|
55
|
Ar-Rahmaan
|
78
|
Makkiyah
|
|
98
|
76
|
Al-Insaan
|
31
|
Madaniyah
|
|
99
|
65
|
Ath-Thalaaq
|
12
|
Madaniyah
|
|
100
|
98
|
Al-Bayyinah
|
8
|
Madaniyah
|
|
101
|
59
|
Al-Hasyr
|
24
|
Madaniyah
|
|
102
|
24
|
An-Nuur
|
64
|
Madaniyah
|
|
103
|
22
|
Al-Hajj
|
78
|
Madaniyah
|
|
104
|
63
|
Al-Munaafiquun
|
11
|
Madaniyah
|
|
105
|
58
|
Al-Mujaadilah
|
22
|
Madaniyah
|
|
106
|
49
|
Al-Hujuraat
|
18
|
Madaniyah
|
|
107
|
66
|
At-Tahriim
|
12
|
Madaniyah
|
|
108
|
64
|
At-Taghaabun
|
18
|
Madaniyah
|
|
109
|
61
|
Ash-Shaff
|
14
|
Madaniyah
|
|
110
|
62
|
Al-Jumu’ah
|
11
|
Madaniyah
|
|
111
|
48
|
Al-Fath
|
29
|
Madaniyah
|
|
112
|
5
|
Al-Maa-idah
|
120
|
Madaniyah
|
|
113
|
9
|
At-Taubah
|
129
|
Madaniyah
|
|
114
|
110
|
An-Nashr
|
3
|
Madaniyah
|
4. Hikmah
Diturunkannya Al-Quran Secara Berangsur-Angsur
Al Qur’an diturunkan secara
beransur-ansur dalam masa 22 tahun 2 bulan 22 hari. Kurang lebih 13 tahun di Mekkah
dan kurang lebih 10 tahun di Madinah. mulai dari malam 17 Ramadhan
tahun 41 dari kelahiran Nabi SAW hingga 9 Dzulhijjah tahun
ke-10 Hijriyah (633 M).Hikmah Al Qur’an diturunkan secara beransur-ansur
itu ialah:
1. Agar lebih mudah difahami dan
dilaksanakan. Orang tidak akan melaksanakan suruhan, dan larangan sekiranya
suruhan dan larangan itu diturunkan sekaligus banyak. Hal ini disebutkan oleh
Bukhari dan riwayat ‘Aisyah r.a.
2. Di antara ayat-ayat itu ada yang
nasikh dan ada yang mansukh, sesuai dengan permasalahan pada waktu itu. Ini
tidak dapat dilakukan sekiranya Al Qur’an diturunkan sekaligus. (ini menurut
pendapat yang mengatakan adanya nasikh dan mansukh).
3. Turunnya sesuatu ayat sesuai
dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi akan lebih mengesankan dan lebih
berpengaruh di hati.
4. Memudahkan penghafalan.
Orang-orang musyrik yang telah menayakan mengapa Al Qur’an tidak diturunkan
sekaligus. sebagaimana tersebut dalam Al Qur’an ayat (25) Al Furqaan ayat 32,
yaitu: mengapakah Al Qur’an tidak diturunkan kepadanya sekaligus ?. Kemudian
dijawab di dalam ayat itu sendiri: demikianlah, dengan (cara) begitu Kami
hendak menetapkan hatimu
5. Di antara ayat-ayat ada yang
merupakan jawaban daripada pertanyaan atau penolakan suatu pendapat atau
perbuatan, sebagai dikatakan oleh lbnu ‘Abbas r.a. Hal ini tidak dapat
terlaksana kalau Al Qur’an diturunkan sekaligus.
B. HADITS
Kedudukan Hadist sebagai sumber
ajaran Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Alquran dan Hadist juga
didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat
sepakat untuk menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa
Rasulullah masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Hadist artinya jalan
hidup yang dibiasakan terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang
buruk. Pengertian Hadist seperti ini
sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya : ”Barang siapa yang membuat
sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala bagi yang membuat sunnah itu dan
pahala bagi orang yang mengerjakanny; dan barang siapa yang membuat sunnah yang
buruk, maka dosa bagi yang membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang
yang mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul
Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis mengartikan Al-Hadis,
Al-Sunnah, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu segala sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan
maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul mengartikan bahwa Al-Sunnah
adalah sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan
dan persetujuan beliau yang berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber
ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Hadist memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan
alquran. Keberadaan Al-Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat
Alquran :
- Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
- Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
- Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan; dan ada pula
- Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak) yang
- menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada hadis nabi.
Seluruh umat Islam telah sepakat
bahwa Hadis Rasul merupakan sumber dan dasar hukum Islam al-Quran,dan umat
Islam diwajibkan mengikuti hadis sebagaimana diwajibkan mengikuti al-Quran.
Karena tanpakeduanya orang islam tidak mungkin dapat memahami islam secara
mendalam. Seorang mujahid danseorang alim tidak diperbolehkan hanya mengambil
dari salah satu dari keduanya.Banyak ayat al Quran dan Hadis yang memberikan pengertian
bahwa hadis itu merupakan sumber hukumIslam selain al Quran yang wajib diikuti,
baik dalam bentuk perintah maupun larangannya.
Di bawah inimerupakan paparan
tentang kedudukan hadis sebagai sumber hukum Islam dengan melihat beberapa
dalil, baik naqli maupun aqli.
- Dalil al-QuranBanyak ayat al-Quran
yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala
yangdisampaikan oleh Rasul kepada ummatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Ayat
yang dimaksud adalah:Firman Allah SWT:
Allah sekali-kali tidak akan
membiarkan orang-orang yang beriman dalam keadaan kamu sekarang ini,sehingga
Dia menyisihkan yang buruk (munafiq) dari yang baik (mukmin). Dan Allah
sekali-kali tidak akanmemperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi
Allah memilih siapa yang dikehendakiNyadiantara Rasul-rasul-Nya. Karena itu
berimanlah kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya, dan jika kamu barimandan bertaqwa,
maka bagimu pahala yang besar. (QS. Ali’Imran 3:179
Dalam ayat tersebut Allah memisahkan
antara orang-orang mukmin dengan orang-orang munafiq, dan akanmemperbaiki
keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu orang
mukmindituntut agar tetap beriman kepada Allah dan Rasul-nya. Selain Allah
memerintahkan umat Islam agar percaya kepada Rasul SAW, juga
menyerukan agar menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan
yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan. Tuntutan taat dan patuh
kepada RasulSAW. Ini sama halnya tuntutan taat dan patuh kepada Allah SWT. Ayat
yang berkenaan dengan masalah iniialah:Firman Allah SWT:
“Katakanlah! Taatlah kalian Allah
dan Rasu-nya, jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang kafir”. (QS. Ali ‘Imran 3:32)
- Dalil al-HadisDalam salah satu
pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan keharusan menjadikan hadis sebagai
pedomanhidup, disamping al-Quran sebagai pedoman utamanya, beliau bersabda:)
)“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, yang kalian tidak akan tersesat
selagi kamu berpeganganteguh pada keduanya, yaituberupa kitab Allah dan Sunnah
Rasul-Nya:. (HR. Malik)- Kesepakatan Ulama (ijma’)Umat islam telah sepakat
menjadikan hadis sebagai salah satu dasar hukum beramal, karena sesuai
denganyang dikehendaki oleh Allah. Penerimaan mereka terhadap hadis sama
seperti penerimaan al-Quran, karenakeduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber
hukum Islam.Kesepakatan umat Muslimin dalam mempercayai, menerima dan
mengamalkan segala ketentuan yangterkandung di dalam hadis ternyata sejak
Rasullah masih hidup. Sepeninggaln beliau, semenjak masakhulafa Al- Rasydin
hingga masa-masa selanjutnya, tidak ada yang mengingkarinya. Banyak
diantaramereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandungan-Nya,
akan tetapi bahkan merekamenghafal, memelihara, dan menyebarluaskan kepada
generasi-generasi selanjutnya.
Fungsi Hadis Terhadap Al-Quran
Al-Quran sebagai sumber ajaran
pertama memuat ajaran-ajaran yang bersifat umum, yang perlu dijelaskanlebih
lanjut dan terperinci. Disinila hadis menduduki dan menempati fungsinya sebagai
sumber ajaran yangkedua, ia menjadi penjelas (mubayyin) isi Al-Quran hal ini
sesuai dengan firman Allah SWT. keterangan-keterangan (mukjizat) dan
kitab-kitab. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamumenerangkan kepada
umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya
merekamemikirkan,(Q.S. An-Nahl : 44)
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an,
maka Al-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada
ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi Al-Sunnah dalam hubungan
dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti
hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum,
yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni
manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat
Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu Al-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan
Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru
liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena
melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan
Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik
harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat
Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan
orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya
dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu
ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan
perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan
hadits tersebut.
Fungsi Al – Sunnah
Sebagai sumber ajaran Islam kedua,
setelah Alquran, Al-Sunnah memiliki fungsi yang diantaranya adalah :
- Untuk memperkuat Al-qur’an
- Menjelaskan isi Al-qur’an (bayan
tafsir)
Dalam kaitan ini, hadist berfungsi
memerinci petunjuk dan isyarat Al-qur’an yang bersifat global, sebagai
pengecuali terhadap isyarat Al-qur’an yang bersifat umum, sebagai pembatas
terhadap ayat Alquran yang bersifat mutlak dan sebagai pemberi informasi
terhadap suatu kasus yang tidak di jumpai dalam Al-qur’an.
Macam – macam Al – Sunnah
a. Ucapan
a. Ucapan
Al Hadist Qauliyah adalah perkataan
Nabi Muhammad SAW dalam berbagai bidang seperti, hukum, akhlak, dan lain-lain.
Contohnya : “Bahwasanya amal-amal
perbuatan itu dengan niat, dan hanya bagi setiap orang itu memperoleh apa yang
ia niatkan dan seterusnya” HR. Bukhari dan Muslim
b. Perbuatan
Al Hadist Fi’liyah adalah perbutan
Nabi Muhammad SAW yang mrupakan penjelasan dari peraturan syari’ah yang belum
jelas pelaksanaannya. Cara bersembahyang dan cara menghadap kiblat dalam
sembahyang sunat.
c. Penetapan dan PembiaranArti
Taqriri ialah menetapkan, mendiamkan, yakni tidak mengadakan sanggahan atau
menyetujui apa yang telah dilakukan atau dikatakan oleh para sahabat dihadapan
Nabi Muhammad. Contoh Taqrir Nabi Muhammad SAW tentang perbuatan sahabat yang
dilakukan dihadapannya dalam salah satu jamuan makan dirumah Khalid Bin Walid
yang menyajikan daging biawak. Nabi Muhammad menyaksikan dan tidak
menyanggahnya tetapi beliau enggan memakannya karena jijik.
d. Sifat, keadaan, dan Himmah
Rasulullah
- Sifat dan Keadaan beliau yang termasuk unsur Al – Sunnah “Rasulullah SAW itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek” HR. Bukhari dan Muslim
- Sifat dan Keadaan beliau yang termasuk unsur Al – Sunnah “Rasulullah SAW itu adalah sebaik-baik manusia mengenai paras mukanya dan bentuk tubuhnya. Beliau bukan orang tinggi dan bukan pula orang pendek” HR. Bukhari dan Muslim
- Silsilah, Nama dan tahun Kelahiran
Nabi Muhammad SAW telah ditetapkan oleh para sahabat dan ahli tarikh
- Himmah (hasrat/cita-cita) beliau
yang belum sempat direalisasikan. Misalnya hasrat beliau untuk berpuasa pada
tanggal 9 Asyura.
Hubungan antara Al-Quran dan
Al-Sunnah
• Al-Sunnah menguatkan hukum yang
ditetapkan Al-Quran.
Al-Sunnah memperkokoh hukum yang
dinyatakan oleh Al-Quran, misalnya Al-Quran menetapkan hukum puasa dalam
firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah ayat 183) Ayat al-quran tersebut
dikuatkan oleh As Sunnah yakni :
“ Islam didirikan atas 5 perkara :
Persaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah,
mendirikan shalat, membayar zakat, puasa pada bulan ramadhan dan naik haji ke
Baitullah” HR Bukhari Muslim
• Al-Sunnah memberikan rincian
terhadap pernyataaan Al-Quran yang bersifat Misalnya Al-Quran menyatakan
perintah shalat dalam firman-Nya :
“Dan dirikanlah oleh kamu shalat dan
bayarkanlah zakat …” (QS. Al-Baqarah ayat 110). Shalat dalam ayat diatas masih
bersifat umum. As-Sunnah merincinya secara operasional misalnya shalat mana
saja yang hukumnya wajib dan yang mana yang sunnat.
• Al-Sunnah memberikan pengecualian
terhadap pernyataan Al-Quran yang bersifat umum.
Misalnya Al-Quran mengharamkan
memakan bangkai dan darah dalam firman-Nya :
“Diharamkan bagimu (memakan)
bangkai, darah, daging babi, daging yang disembelih atas nama selain Allah,
yang dicekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, yang dimakan binatang
buas kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan yang disembelih untuk
berhala. Dan diharamkan pula bagimu mengundi nasib dengan anak panah, karena
itu sebagian kefasikan.” (QS. Al-Maidah ayat 3).
• Al-Sunnah menetapkan hukum yang
tidak ditetapkan oleh Al-Quran.
Al-Quran yang bersifat global,
banyak hal yang tidak ditetapkan hukumnya secara pasti oleh Al-Quran. Dalam hal
iniAs-Sunnah berperan menetapkan hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Quran,
seperti sabda Nabi SAW :
“Rasulullah SAW melarang semua
mempunyai taring dari binatang dan semua burung yang bercakar. (HR. Muslim)
Perbedaan Al-Qur’an dan
Al-Sunnah
Sekalipun al-Qur’an dan al-Sunnah
sama-sama sebagai sumber hukum Islam, namun diantara keduanya terdapat perbedaan-perbedaan
yang cukup prinsipil, antara lain sebagai berikut :
1. a. Al-Qur’an bersifat Qath’i (
mutlak ) kebenarannya.
b. Al-Sunnah bersifat Dzhanni (
relatif ), kecuali Hadits Mutawatir.
2. a. Seluruh ayat al-Qur’an mesti
dijadikan sebagai pedoman hidup.
b. Tidak seluruh Hadits dapat
dijadikan pedoman hidup karena disamping ada Hadits Shahih, ada pula Hadits
yang Dhaif
3. a. Al-Qur’an sudah pasti autentik
lafadz dan maknanya.
b. Al-Sunnah belum tentu autentik
lafadz dan maknanya.
4. a. Apabila al-Qur’an berbicara
tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim
wajib mengimaninya.
b. Apabila al-Sunnah berbicara
tentang masalah-masalah aqidah atau hal-hal yang ghaib, maka setiap muslim
tidak diharuskan mengimaninya seperti halnya mengimani al-Qur’an.
5. Berdasarkan perbedaan tersebut,
maka :
a. Penerimaan seorang muslim
terhadap al-Qur’an hendaknya didasarkan pada keyakinan yang kuat, sedangkan;
b. Penerimaan seorang muslim
terhadap as-Sunnah harus didasarkan atas keragu-raguan ( dugaan-dugaan ) yang
kuat. Hal ini bukan berarti ragu kepada Nabi, tetapi ragu apakah Hadits itu
benar-benar berasal dari Nabi atau tidak karena adanya proses sejarah
kodifikasi hadits yang tidak cukup memberikan jaminan keyakinan sebagaimana
jaminan keyakinan terhadap al-Qur’an.
BAB
VII
METODE
MEMPELAJARI ISLAM
A. Definisi
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.[1]
Menurut bahasa (etimologi), metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu meta (sepanjang), hodos (jalan). Jadi, metode adalah suatu ilmu tentang cara atau lanhkah-langkah yang di tempuh dalam suatu disiplin tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Metode berarti ilmu cara menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Metode juga disebut pengajaran atau penelitian.
Menurut istilah (terminologi), metode adalah ajaran yang memberi uraian, penjelasan, dan penentuan nilai. Metode biasa digunakan dalam penyelidikan keilmuan. Hugo F. Reading mengatakan bahwa metode adalah kelogisan penelitan ilmiah, sistem tentang prosedur dan teknik riset.
Ketika metode digabungkan dengan kata logos maknanya berubah. Logos berarti “studi tentang” atau “teori tentang”. Oleh karena itu, metodologi tidak lagi sekedar kumpulan cara yang sudah diterima(well received) tetapi berupa berupa kajian tentang metode. Dalam metodologi dibicarakan kajian tentang cara kerja ilmu pengetahuan. Pendek kata, bila dalam metode tidak ada perbedaan, refleksi dan kajian atas cara kerja ilmu pengetahuan, sebaliknya dalam metodologi terbuka luas untuk mengkaji, mendebat, dan merefleksi cara kerja suatu ilmu. Maka dari itu, metodologi menjadi menjadi bagian dari sistematika filsafat, sedangkan metode tidak.
Metodologi adalah ilmu cara- cara dan langkah- langkah yang tepat (untuk menganalisa sesuatu) penjelasan serta menerapkan cara.
Istilah metodologi studi islam digunakan ketika seorang ingin membahas kajian- kajian seputar ragam metode yang biasa digunakan dalam studi islam. Sebut saja misalnya kajian atas metode normative, historis, filosofis, komparatif dan lain sebagainya. Metodologi studi islam mengenal metode- metode itu sebatas teoritis. Seseorang yang mempelajarinya juga belum menggunakannya dalam praktik. Ia masih dalam tahap mempelajari secara teoritis bukan praktis.[1]
B. Tujuan dan Fungsi Metodologi Studi Islam (MSI)
1. Memahami ajaran islam dengan cara yang lebih sistematis
2. Melihat ajaran islam secara interdisipiner
3. Memahami ajaran islam secara integral, utuh, dan komprehensif
4. Mengembangkan ilmu pengetahuan yang dimiliki
5. Mempelajari agama islam secara mendalam, komprehensif, terintegral, dengan segala seluk beluk yang berhubungan dengan islam
6. Mempelajari secara mendalam apa sebenarnya islam itu, dan bagaimana posisi serta hubungannya dengan agama-agama lain dalam kehidupan budaya manusia
7. Mempelajari pokok-pokok isi ajaran islam yang asli, dan bagaimana penjabaran dan operasionalnya dalam peradaban islam sepanjang sejarahnya
8. Mendalami sumber dasar ajaran islam yang tetap abadi dan dinamis, serta bagaimana aktualisasinya
9. Mendalami prinsip-prinsip dan nilai-nilai dasar ajaran agama islam[2]
C. Objek Kajian Metodologi Studi Islam
1. Islam dan Agama-agama
2. Islam dan Budaya
3. Doktrin Agama dan Ritual Islam
4. Aliran Islam dan Islam Kawasan[3]
D. Sejarah Kajian Studi Islam Dalam Dunia Islam
1. Masa Rasulullah
• Lahir sejak abad ke-6 M masehi, dibawa oleh Nabi Muhammad (penutup nabi dan rasul), diawali dengan penerimaan wahyu pada tahun 611 M
• Menyebarkan islam di Mekah selama 13 tahun (610-622 M) dan di Yatsrib/Madinah selama 10 tahun (622-632 M)
• Kajian Islam langsung dibimbing oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, dilaksanakan di mesjid, dan rumah (bait al-arqam)
• Materi kajian Islam mencakup masalah Aqidah, Syariah, Muamalah
2. Masa Abu Bakar (632-634 M)
• Melancarkan perang riddah untuk menghancurkan suku-suku arab yang murtad dan tidak mau membayar zakat
• Menumpas nabi-nabi palsu (Tulaiha, Musailamah, dll.)
• Merintis pengumpulan dan pembukuan surat-surat Alquran
• Kemunculan islam sebagai kekuatan baru dianggap berbahaya bagi kekaisaran Byzantium
3. Masa Umar ibn Khatab (634-644 M)
• Menertibkan administrasi pemerintahan, membuat UU dan Institusi Negara seperti Bait Al-Maal, serta penetapan kalender hijriyah
• Melanjutkan ekspansi : Khalid ibn Walid menaklukkan Persia (636 M), mengusir Byzantium dari Syria, Palestina, dan Yordania (640 M)
4. Masa Utsman ibn Affan (644-656 M)
• Pembukuan dan penyebaran mushaf dibantu sekretaris nabi, Zaid ibn Tsabit
• Melanjutkan ekspansi ke Afrika Utara
5. Masa Ali ibn Ali Thalib (656-661 M)
• Terjadi perag saudara (perang jamal, 656 M), perang shiffin (657 M)
• Khawarij berhasil membunuh Ali saat salat subuh (661 M)
• Kelahiran berbagai aliran pemikiran dalam islam, seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, dll.
6. Periode Madinah
• Tahun ke-4 H, studi masih berjalan di mesjid dan rumah dengan metode hafalan dan sedikit logika
• Tahun ke-5 H, khalifah Abasiyah membangun sekolah di kota-kota, dan mulai menempati gedung-gedung besar. Studi kajian berkembang di bidang spiritual, intelektual, sains, dan sosial
• Berdirinya sistem madrasah menjadi titik kejayaan, kemudian madrasah menjadi alat penguat kekuasaan, lembaga doktrinitas, terutama pada masa kerajaan Fatimiyah (Cairo, Egypt)
• Tahun 1085-1111 M, Terjadi dikotomi/pemisahan ilmu umum dan agama oleh Al-Ghazali
E. Sejarah Kajian Studi Islam Dalam Dunia Barat
1. Renaissance
• Masa Renaisance (abad pertengahan : 1250-1800 M) adalah masa dimana peradaban barat menuai kebangkitannya, sementara peradaban Islam mengalami stagnasi.
• Renaisance membawa perubahan baru bagi dunia Barat dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Ekonomi. Dan perkembangan tersebut banyak dipengaruhi oleh peradaban Islam.
• Masa pemerintahan Bani Abbasiyah merupakan salah satu tempat yang mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan, politik, sosial, dan ekonomi. Terbukti dengan adanya beberapa universitas Islam yang didirikan. Seperti Universitas Cordova, Seville, Malaga, Granada, dan Salamanca.
• Pada waktu itu beberapa tokoh-tokoh Barat datang mengunjungi universitas-universitas tersebut untuk memperdalam ilmu mereka. Selama mereka belajar, mereka melakukan penerjemahan ilmu-ilmu karya tokoh-tokoh muslim kedalam bahasa Latin. Hal ini didukung oleh King Frederick H (mantan Kaisar Holy Roman Empire : 1215-1250) yang dipimpin oleh Petrus Venerabilis dengan cara membayar orang Spanyol sebagai penerjemah. Kegiatan ini berpusat di Toledo dan Palemo.
• Ketika mereka kembali ke negaranya masing-masing, mereka ditantang oleh Paus di Vatikan untuk mendirikan universitas-universitas serupa. Kemudian berdirilah perguruan tinggi-perguruan tinggi disemenanjung Italia, Padua, Florence, Milano, Venezia, disusul oleh Oxford dan Cambridge di Inggris, Sorbone di Francis, dan Tubingen Di Jerman. Setelah berdirinya universitas-universitas diatas, membukakan jalan bagi Barat untuk mengembangkan dunia ilmu pengetahuannya.
• Berkembanganya Studi Islam di Dunia Barat adalah disebabkan para pelajar barat yang datang ke dunia timur untuk mengkaji ilmu. Disamping itu juga mereka telah berhasil menterjemahkan karya-karya ilmuan muslim kedalam bahasa latin. Gerakan ini pada akhirnya menimbulkan massa pencerahan dan revolusi industri, yang menyebabkan Eropa maju. Dengan demikian Andalusia merupakan sumber-sumber cahaya bagi Eropa, memberikan kepada benua itu manfaat dari ilmu dan budaya islam selama hampir tiga abad.
2. Pendekatan
• Di Negeri Barat, pendekatan dalam mempelajari Islam, berorientasi pada Islam sebagai realitas, atau fenomena sosial, yakni Isam yang telah menyejarah, meruang dan mewaktu, Isilam dipelajari hanya sebagai ilmu pengetahuan
• Di Timur, pendekatanya berorientasi pada penguasaan substansi Materi, dan penguasaan terhadap khazanah keislaman kelasik[4]
F. Signifikasi Metodologi Studi Islam
Agama dan kehidupan beragama tak dapat dipisahkan dari kehidupan seseorang. Setidaknya ada lebih dari 5 agama besar yang penganutnya menyebar di seantero jagat raya. Mempelajari agama bukanlah hanya hak pemeluk agama itu sendiri tetapi juga diperbolehkan bagi orang yang agamanya berbeda. Bagi pemeluk agama sendiri mempelajari agama tujuannya adalah untuk memperdalam pengetahuannya tentang agamanya dan meningkatkan kepercayaan terhadap agamanya tersebut. Sementara bagi "orang luar" mempelajari agama adalah semata-mata untuk ilmu pengetahuan dan pemuasan intelektualisme.
Studi Islam adalah suatu usaha untuk mempelajari seluk beluk agama Islam secara menyeluruh dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya termasuk ajaran-ajarannya, doktrin-doktrinnya, kebudayaannya, sejarahnya dan lain sebagainya. Ada 2 cara pandang dalam studi Islam. Yang pertama meliputi aspek normativitas, yaitu ajaran wahyu yang dibahas melalui pendekatan doktrinal teologis. Sementara cara pandang yang lain adalah yang meliputi aspek historis, yaitu studi kebudayaan Muslim yang dibahas melalui pendekatan keilmuan sosial-keagamaan yang bersifat multi dan interdisipliner.
Studi Islam normatif sudah dimulai oleh orang Islam sejak berdirinya Islam itu sendiri.
Mereka mempelajari ajaran-ajaran,
wahyu, ibadah ritual dan doktrin yang mutlak benar dan tak dapat dilakukan
penelitian atasnya sehingga terkesan statis dan apologetic. Sementara Islam
historis mulanya dipelajari oleh orientalist dan semakin populer di abad 20
hingga sekarang. Orientalist adalah orang yang belajar tentang ketimuran atau
budaya timur yang secara salah kemudian diartikan sebagai orang non-muslim yang
mempelajari tentang Islam. Tujuan mereka sebenarnya adalah untuk mencari
kelemahan Islam. Yang biasanya mereka tonjolkan adalah kontradiksi dalil-dalil
dalam Quran dan Sunnah, tentang rendahnya posisi wanita dalam ajaran Islam
serta kelemahan-kelemahan pribadi Nabi.
GoldZiher, seorang orientalis yang selalu mencari kontradiksi antar dalil-dalil hadis mencoba membuktikan bahwa apa yang dibawa oleh nabi Muhammad bukanlah hal baru melainkan kutipan-kutipan dari agama lain karena hubungannya dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani. Motivasi penulis-penulis dari orientalis adalah kebencian terhadap Islam yang berakar dari perang salib.S Parvez Manzoor, dalam bukunya Method Against Truth, mengatakan bahwa kajian orientalis atas Quran lahir daripada kebencian yang dipupuk dalam kekecewaan dan disuburi dengan kesumat. Roger Du Pasquier dalam bukunya Unveiling Islam juga mengatakan bahwa kajian orientalis Barat tidak bersandarkan semangat keadilan kesarjanaan yang tulen dan seringkali berniat untuk meremehkan Islam.
Namun begitu, ada juga kaum orientalis yang benar-benar jujur dengan keintelektualannya dan tidak berdasarkan kebencian seperti Prof T. W Arnold, Stanley Lane Poole, Dr Aloys Sprenger, Edward William Lane, A.J Weinsink, G.B Strenge. Menurut Syeikh Abul Hasan Ali An-Nadawi, karya-karya mereka dianggap mempunyai kualitas ilmu yang baik dan amat sedikit kelihatan sentimen dengki dan benci terhadap Islam. Bahkan sebagian orientalis ada yang justru menemukan kebenaran dan akhirnya masuk Islam, seperti Leopold Weis yang merubah namanya menjadi Muhamad Asad, Margaret Marcus yang kemudian bernama Maryam Jameela, dan Irene Handoyo dari Indonesia.
Dari sini kita bisa mengambil hikmah bahwa Studi Islam jadi hal penting untuk dipelajari, baik studi Islam historis, bahkan yang dikembangkan oleh orientalis sekalipun, untuk mengenal serangan-serangan mereka dan tentu akhirnya mengetahui cara mengcounter serangan tersebut. Sedangkan studi
Islam normatif sudah barang tentu juga penting untuk mendalami ajaran Islam itu sendiri dan pada akhirnya bisa diterapkan dalam kehidupan. Bayangkan, Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia ternyata juga meraih posisi teratas dalam korupsi dan kejahatan. Apa ada yang salah dengan Islam? tentu tidak. Yang salah adalah kenapa orang Islam enggan belajar dan medalami agamanya dan menerapkan ajaran agamanya dalam kehidupannya.[5]
BAB
VIII
PAKAIAN
DAN MAKANAN MENURUT ISLAM
SEJAK dahulukala umat
manusia berbeda-beda dalam menilai masalah makanan dan minuman mereka, ada
yang boleh dan ada juga yang tidak boleh. Lebih-lebih dalam masalah makanan
yang berupa binatang. Adapun masalah makanan dan minuman yang berupa
tumbuh-tumbuhan, tidak banyak diperselisihkan. Dan Islam sendiri tidak
mengharamkan hal tersebut, kecuali setelah menjadi arak, baik yang terbuat
dari anggur, korma, gandum ataupun bahan-bahan lainnya, selama benda-benda
tersebut sudah mencapai kadar memabukkan.
Begitu juga Islam mengharamkan
semua benda yang dapat menghilangkan kesadaran dan melemahkan urat serta yang
membahayakan tubuh, sebagaimana akan kami sebutkan di bawah.
Adapun soal makanan berupa
binatang inilah yang terus diperselisihkan dengan hebat oleh agama-agama dan
golongan.
Ada sementara golongan, misalnya
Golongan Brahmana (Hindu) dan Filsuf yang mengharamkan dirinya menyembelih
dan memakan binatang. Mereka cukup hidup dengan makanan-makanan dari
tumbuh-tumbuhan. Golongan ini berpendapat, bahwa menyembelih binatang
termasuk suatu keganasan manusia terhadap binatang hidup. Manusia tidak
berhak untuk menghalang-halangi hidupnya binatang.
Tetapi kita juga tahu dari hasil
pengamatan kita terhadap alam ini, bahwa diciptanya binatang-binatang itu
tidak mempunyai suatu tujuan. Sebab binatang tidak mempunyai akal dan
kehendak. Bahkan secara nalurinya binatang-binatang itu dicipta guna memenuhi
(khidmat) kebutuhan manusia. Oleh karena itu tidak aneh kalau manusia dapat
memanfaatkan dagingnya dengan cara menyembelih, sebagaimana halnya dia juga
dapat memanfaatkan tenaganya dengan cara yang lazim.
Kita pun mengetahui dari
sunnatullah (ketentuan Allah) terhadap makhluknya ini, yaitu: golongan rendah
biasa berkorban untuk golongan atas. Misalnya daun-daunan yang masih hijau
boleh dipotong/dipetik buat makanan binatang, dan binatang disembelih untuk
makanan manusia dan, bahkan, seseorang berperang dan terbunuh untuk
kepentingan orang banyak. Begitulah seterusnya.
Haruslah diingat, bahwa
dilarangnya manusia untuk menyembelih binatang tidak juga dapat melindungi
binatang tersebut dari bahaya maut dan binasa. Kalau tidak berbaku hantam
satu sama lain, dia juga akan mati dengan sendirinya; dan kadang-kadang mati
dalam keadaan demikian itu lebih sakit daripada ketajaman pisau.
Dalam pandangan agama Yahudi dan
Nasrani (kitabi), Allah mengharamkan kepada orang-orang Yahudi beberapa
binatang laut dan darat. Penjelasannya dapat dilihat dalam Taurat (Perjanjian
Lama) fasal 11 ayat 1 dan seterusnya Bab: Imamat Orang Lewi.
Dan oleh al-Ouran disebutkan
sebagian binatang yang diharamkan buat orang-orang Yahudi itu serta alasan
diharamkannya, yaitu seperti yang kami sebutkan di atas, bahwa diharamkannya
binatang tersebut adalah sebagai hukuman berhubung kezaliman dan kesalahan
yang mereka lakukan.
Firman Allah:
"Dan kepada orang-orang
Yahudi kami haramkan semua binatang yang berkuku, dan dari sapi dan kambing
kami haramkan lemak-lemaknya, kecuali (lemak) yang terdapat di punggungnya,
atau yang terdapat dalam perut, atau yang tercampur dengan tulang. Yang
demikian itu kami (sengaja) hukum mereka. Dan sesungguhnya Kami adalah (di
pihak) yang benar." (al-An'am: 146)
Demikianlah keadaan orang-orang
Yahudi. Sedangkan orang-orang Nasrani sesuai dengan ketentuannya harus
mengikuti orang-orang Yahudi. Karena itu Injil menegaskan, bahwa Isa a.s.
datang tidak untuk mengubah hukum Taurat (Namus) tetapi untuk menggenapinya.
Tetapi suatu kenyataan, bahwa
mereka telah mengubah hukum Taurat itu. Apa yang diharamkan dalam Taurat
telah dihapus oleh orang-orang Nasrani --tanpa dihapus oleh Injilnya-- mereka
mau mengikuti Paulus yang dipandang suci itu dalam masalah halalnya semua
makanan dan minuman, kecuali yang memang disembelih untuk berhala kalau
dengan tegas itu dikatakan kepada orang Kristen: "Bahwa binatang
tersebut disembelih untuk berhala.
Paulus memberikan alasan, bahwa
semua yang suci halal untuk orang yang suci, dan semua yang masuk dalam mulut
tidak dapat menajiskan mulut, yang dapat menajiskan mulut ialah apa yang
keluar dari mulut.
Mereka juga telah menghalalkan
babi, sekalipun dengan tegas babi itu diharamkan oleh Taurat sampai hari ini.
Orang-orang Arab jahiliah mengharamkan
sebagian binatang karena kotor, dan sebagiannya diharamkan karena ada
hubungannya dengan masalah peribadatan (ta'abbud), karena untuk bertaqarrub
kepada berhala dan karena mengikuti anggapan-anggapan yang salah (waham).
Seperti: Bahirah, saaibah, washilah dan ham. Yang menjelaskannya telah kami
sebutkan di atas.
Tetapi di balik itu, mereka banyak
juga menghalalkan beberapa binatang yang kotor (khabaits), seperti: Bangkai
dan darah yang mengalir.
Islam datang, sedang manusia masih
dalam keadaan demikian dalam memandang masalah makanan berupa binatang. Islam
berada di antara suatu faham kebebasan soal makanan dan extrimis dalam soal
larangan. Oleh karena itu Islam kemudian mengumandangkan kepada segenap umat
manusia dengan mengatakan:
"Hai manusia! Makanlah dari
apa-apa yang ada di bumi ini yang halal dan baik, dan jangan kamu mengikuti
jejak syaitan karena sesungguhnya syaitan itu musuh yang terang-terangan bagi
kamu." (al-Baqarah: 168)
Di sini Islam memanggil manusia
supaya suka makan hidangan besar yang baik, yang telah disediakan oleh Allah
kepada mereka, yaitu bumi lengkap dengan isinya, dan kiranya manusia tidak
mengikuti kerajaan dan jejak syaitan yang selalu menggoda manusia supaya mau
mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan Allah, dan mengharamkan
kebaikan-kebaikan yang dihalalkan Allah; dan syaitan juga menghendaki manusia
supaya terjerumus dalam lembah kesesatan.
Selanjutnya mengumandangkan
seruannya kepada orang-orang mu'min secara khusus.
Firman Allah:
"Hai orang-orang yang
beriman! Makanlah yang baik-baik dari apa-apa yang telah Kami berikan
kepadamu, serta bersyukurlah kepada Allah kalau betul-betul kamu berbakti
kepadaNya. Allah hanya mengharamkan kepadamu bangkai, darah, daging babi dan
binatang yang disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa dalam keadaan
terpaksa dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka tidaklah berdosa
baginya, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas-kasih."
(al-Baqarah: 172-173)
Dalam seruannya secara khusus
kepada orang-orang mu'min ini, Allah s.w.t. memerintahkan mereka supaya suka
makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu
dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat. Selanjutnya Allah
menjelaskan pula, bahwa Ia tidak mengharamkan atas mereka kecuali empat macam
seperti tersebut di atas. Dan yang seperti ini disebutkan juga dalam ayat
lain yang agaknya lebih tegas lagi dalam membatas yang diharamkan itu pada
empat macam. Yaitu sebagaimana difirmankan Allah:
"Katakanlah! Aku tidak
menemukan tentang sesuatu yang telah diwahyukan kepadaku soal makanan yang
diharamkan untuk dimakan, melainkan bangkai, atau darah yang mengalir, atau
daging babi; karena sesungguhnya dia itu kotor (rijs), atau binatang yang
disembelih bukan karena Allah. Maka barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa
dengan tidak sengaja dan tidak melewati batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha
Pengampun dan Maha Belas-kasih." (al-An'am: 145)
Dan dalam surah al-Maidah ayat 3
al-Quran menyebutkan binatang-binatang yang diharamkan itu dengan terperinci
dan lebih banyak.
Firman Allah:
"Telah diharamkan atas kamu
bangkai, darah, daging babi, binatang yang disembelih bukan karena Allah,
yang (mati) karena dicekik, yang (mati) karena dipukul, yang (mati) karena
jatuh dari atas, yang (mati) karena ditanduk, yang (mati) karena dimakan oleh
binatang buas kecuali yang dapat kamu sembelih dan yang disembelih untuk
berhala." (al-Maidah: 3)
Antara ayat ini yang menetapkan 10
macam binatang yang haram, dengan ayat sebelumnya yang menetapkan 4 macam
itu, samasekali tidak bertentangan. Ayat yang baru saja kita baca ini hanya
merupakan perincian dari ayat terdahulu.
Binatang yang dicekik, dipukul,
jatuh dari atas, ditanduk dan karena dimakan binatang buas, semuanya adalah
termasuk dalam pengertian bangkai. Jadi semua itu sekedar perincian dari kata
bangkai. Begitu juga binatang yang disembelih untuk berhala, adalah semakna
dengan yang disembelih bukan karena Allah. Jadi kedua-duanya mempunyai
pengertian yang sama.
Ringkasnya: Secara global (ijmal)
binatang yang diharamkan itu ada empat macam, dan kalau diperinci menjadi
sepuluh.
1) Pertama kali haramnya makanan
yang disebut oleh ayat al-Quran ialah bangkai, yaitu binatang yang mati
dengan sendirinya tanpa ada suatu usaha manusia yang memang sengaja
disembelih atau dengan berburu.
Hati orang-orang sekarang ini
kadang-kadang bertanya-tanya tentang hikmah diharamkannya bangkai itu kepada
manusia, dan dibuang begitu saja tidak boleh dimakan. Untuk persoalan ini
kami menjawab, bahwa diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat
besar sekali:
a) Naluri manusia yang sehat pasti
tidak akan makan bangkai dan dia pun akan menganggapnya kotor. Para cerdik
pandai di kalangan mereka pasti akan beranggapan, bahwa makan bangkai itu
adalah suatu perbuatan yang rendah yang dapat menurunkan harga diri manusia.
Oleh karena itu seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan
yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun
berbeda cara menyembelihnya.
b) Supaya setiap muslim suka
membiasakan bertujuan dan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada
seorang muslim pun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan
setelah dia mengkonkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang
dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih --yang dapat mengeluarkan binatang
dari kedudukannya sebagai bangkai-- tidak lain adalah bertujuan untuk
merenggut jiwa binatang karena hendak memakannya.
Jadi seolah-olah Allah tidak rela
kepada seseorang untuk makan sesuatu yang dicapai tanpa tujuan dan berfikir
sebelumnya, sebagaimana halnya makan bangkai ini. Berbeda dengan binatang
yang disembelih dan yang diburu, bahwa keduanya itu tidak akan dapat dicapai
melainkan dengan tujuan, usaha dan perbuatan.
c) Binatang yang mati dengan sendirinya,
pada umumnya mati karena sesuatu sebab; mungkin karena penyakit yang
mengancam, atau karena sesuatu sebab mendatang, atau karena makan
tumbuh-tumbuhan yang beracun dan sebagainya. Kesemuanya ini tidak dapat
dijamin untuk tidak membahayakan, Contohnya seperti binatang yang mati karena
sangat lemah dan kerena keadaannya yang tidak normal.
d) Allah mengharamkan bangkai
kepada kita umat manusia, berarti dengan begitu Ia telah memberi kesempatan
kepada hewan atau burung untuk memakannya sebagai tanda kasih-sayang Allah
kepada binatang atau burungburung tersebut. Karena binatang-binatang itu
adalah makhluk seperti kita juga, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran.
e) Supaya manusia selalu
memperhatikan binatang-binatang yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu
saja binatangnya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan
hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.
2) Makanan kedua yang diharamkan
ialah darah yang mengalir. Ibnu Abbas pernah ditanya tentang limpa (thihal),
maka jawab beliau: Makanlah! Orang-orang kemudian berkata: Itu kan darah.
Maka jawab Ibnu Abbas: Darah yang diharamkan atas kamu hanyalah darah yang
mengalir.
Rahasia diharamkannya darah yang
mengalir di sini adalah justru karena kotor, yang tidak mungkin jiwa manusia
yang bersih suka kepadanya. Dan inipun dapat diduga akan berbahaya, sebagaimana
halnya bangkai.
Orang-orang jahiliah dahulu kalau
lapar, diambilnya sesuatu yang tajam dari tulang ataupun lainnya, lantas
ditusukkannya kepada unta atau binatang dan darahnya yang mengalir itu
dikumpulkan kemudian diminum. Begitulah seperti yang dikatakan oleh al-A'syaa
dalam syairnya:
Janganlah kamu mendekati bangkai
Jangan pula kamu mengambil tulang
yang tajam
Kemudian kamu tusukkan dia untuk
mengeluarkan darah.
Oleh karena mengeluarkan darah
dengan cara seperti itu termasuk menyakiti dan melemahkan binatang, maka
akhirnya diharamkanlah darah tersebut oleh Allah s.w.t.
|
||||||||
3) Yang ketiga ialah daging babi.
Naluri manusia yang baik sudah barang tentu tidak akan menyukainya, karena
makanan-makanan babi itu yang kotor-kotor dan najis. Ilmu kedokteran sekarang
ini mengakui, bahwa makan daging babi itu sangat berbahaya untuk seluruh
daerah, lebih-lebih di daerah panas. Ini diperoleh berdasarkan penyelidikan
ilmiah, bahwa makan daging babi itu salah satu sebab timbulnya cacing pita
yang sangat berbahaya. Dan barangkali pengetahuan modern berikutnya akan
lebih banyak dapat menyingkap rahasia haramnya babi ini daripada hari kini.
Maka tepatlah apa yang ditegaskan Allah:
"Dan Allah mengharamkan atas
mereka yang kotor-kotor." (al-A'raf: 156)
Sementara ahli penyelidik
berpendapat, bahwa membiasakan makan daging babi dapat melemahkan perasaan
cemburu terhadap hal-hal yang terlarang.
4) Yang keempat ialah binatang
yang disembelih bukan karena Allah, yaitu binatang yang disembelih dengan
menyebut nama selain Allah, misalnya nama berhala Kaum penyembah berhala
(watsaniyyin) dahulu apabila hendak menyembelih binatang, mereka sebut
nama-nama berhala mereka seperti Laata dan Uzza. Ini berarti suatu taqarrub
kepada selain Allah dan menyembah kepada selain asma' Allah yang Maha Besar.
Jadi sebab (illah) diharamkannya
binatang yang disembelih bukan karena Allah di sini ialah semata-mata illah
agama, dengan tujuan untuk melindungi aqidah tauhid, kemurnian aqidah dan
memberantas kemusyrikan dengan segala macam manifestasi berhalanya dalam
seluruh lapangan.
Allah yang menjadikan manusia,
yang menyerahkan semua di bumi ini kepada manusia dan yang menjinakkan
binatang untuk manusia, telah memberikan perkenan kepada manusia untuk mengalirkan
darah binatang tersebut guna memenuhi kepentingan manusia dengan menyebut
asma'Nya ketika menyembelih. Dengan demikian, menyebut asma' Allah ketika itu
berarti suatu pengakuan, bahwa Dialah yang menjadikan binatang yang hidup
ini, dan kini telah memberi perkenan untuk menyembelihnya.
Oleh karena itu, menyebut selain
nama Allah ketika menyembelih berarti meniadakan perkenan ini dan dia berhak
menerima larangan memakan binatang yang disembelih itu.
Empat macam binatang yang
disebutkan di atas adalah masih terlalu global (mujmal), dan kemudian
diperinci dalam surah al-Maidah menjadi 10 macam, seperti yang telah kami
sebutkan di atas dalam pembicaraan tentang bangkai, yang perinciannya adalah
sebagai berikut:
5. Al-Munkhaniqah, yaitu binatang
yang mati karena dicekik, baik dengan cara menghimpit leher binatang tersebut
ataupun meletakkan kepala binatang pada tempat yang sempit dan sebagainya
sehingga binatang tersebut mati.
6. Al-Mauqudzah, yaitu binatang
yang mati karena dipukul dengan tongkat dan sebagainya.
7. Al-Mutaraddiyah, yaitu binatang
yang jatuh dari tempat yang tinggi sehingga mati. Yang seperti ini ialah
binatang yang jatuh dalam sumur.
8. An-Nathihah, yaitu binatang
yang baku hantam antara satu dengan lain, sehingga mati.
9. Maa akalas sabu, yaitu binatang
yang disergap oleh binatang buas dengan dimakan sebagian dagingnya sehingga
mati.
Sesudah menyebutkan lima macam
binatang (No. 5 sampai dengan 9) ini kemudian Allah menyatakan "Kecuali
binatang yang kamu sembelih," yakni apabila binatang-binatang tersebut
kamu dapati masih hidup, maka sembelihlah. Jadi binatang-binatang tersebut
menjadi halal kalau kamu sembelih dan sebagainya sebagaimana yang akan kita
bicarakan di bab berikutnya.
Untuk mengetahui kebenaran apa
yang telah disebutkan di atas tentang halalnya binatang tersebut kalau masih
ada sisa umur, yaitu cukup dengan memperhatikan apa yang dikatakan oleh Ali
r,a. Kata Ali: "Kalau kamu masih sempat menyembelih binatang-binatang
yang jatuh dari atas, yang dipukul dan yang berbaku hantam itu..., karena
masih bergerak (kaki muka) atau kakinya, maka makanlah." Dan kata
Dhahhak: "Orang-orang jahiliah dahulu pernah makan binatang-binatang
tersebut, kemudian Allah mengharamkannya kecuali kalau sempat disembelih.
Jika dijumpai binatang-binatang tersebut masih bergerak kakinya, ekornya atau
kerlingan matanya dan kemudian sempat disembelih, maka halallah dia."1
Hikmah diharamkannya macam-macam
bangkai binatang seperti tertera di atas agak kurang begitu tampak di sini.
Tetapi hikmah yang lebih kuat, ialah: bahwa Allah s.w.t. mengetahui akan
perlunya manusia kepada binatang, kasihsayangnya dan pemeliharaannya. Oleh
karena itu tidak pantas kalau manusia dibiarkan begitu saja dengan sesukanya
untuk mencekik dan menyiksa binatang dengan memukul hingga mati seperti yang
biasa dilakukan oleh penggembala-penggembala yang keras hati, khususnya bagi
mereka yang diupah, dan mereka yang suka mengadu binatang, misalnya mengadu
antara dua kerbau, dua kambing sehingga matilah binatang-binatang tersebut
atau hampir-hampir mati.
Dari ini, maka para ulama ahli
fiqih menetapkan haramnya binatang yang mati karena beradu, sekalipun terluka
karena tanduk dan darahnya mengalir dari tempat penyembelihannya. Sebab
maksud diharamkannya di sini, menurut apa yang saya ketahui, yaitu sebagai
hukuman bagi orang yang membiarkan binatang-binatang tersebut beradu sehingga
satu sama lain bunuh-membunuh. Maka diharamkannya binatang tersebut adalah
merupakan suatu hukuman yang paling tepat. Adapun binatang yang disergap
(dimakan) oleh binatang buas, didalamnya --dan yang terpokok-- terdapat unsur
penghargaan bagi manusia dan kebersihan dari sisa makanan binatang buas. Dimana
hal ini biasa dilakukan orang-orang jahiliah, yaitu mereka makan sisa-sisa
daging yang dimakan binatang buas, seperti kambing, unta, sapi dan
sebagainya, kemudian hal tersebut diharamkan Allah buat orang-orang mu'min.
10) Perincian yang ke10 dari
macam-macam binatang yang haram, yaitu: Yang disembelih untuk berhala (maa
dzubiha alan nusub). Nushub sama dengan Manshub artinya: yang ditegakkan.
Maksudnya yaitu berhala atau batu yang ditegakkan sebagai tanda suatu
penyembahan selain Allah. Tanda-tanda ini berada di sekitar Ka'bah.
Orang-orang jahiliah biasa
menyembelih binatang untuk dihadiahkan kepada berhala-berhala tersebut dengan
maksud bertaqarrub kepada Tuhannya.
Binatang-binatang yang disembelih
untuk maksud di atas termasuk salah satu macam yang disembelih bukan karena
Allah.
Baik yang disembelih bukan karena
Allah ataupun yang disembelih untuk berhala, kedua-duanya adalah suatu pengagungan
terhadap berhala (thaghut). Bedanya ialah: bahwa binatang yang disembelih
bukan karena Allah itu, kadang-kadang disembelih untuk sesuatu patung, tetapi
binatang itu sendiri jauh dari patung tersebut dan jauh dari berhala
(nushub), tetapi di situ disebutnya nama thaghut (berhala). Adapun binatang
yang disembelih untuk berhala, yaitu mesti binatang tersebut disembelih di
dekat patung tersebut dan tidak mesti dengan menyebut nama selain Allah.
Karena berhala-berhala dan
patung-patung itu berada di sekitar Ka'bah, sedang sementara orang
beranggapan, bahwa menyembelih untuk dihadiahkan kepada berhala-berhala
tersebut berarti suatu penghormatan kepada Baitullah, maka anggapan seperti
itu oleh al-Quran dihilangkannya dan ditetapkanlah haramnya binatang tersebut
dengan nas yang tegas dan jelas, sekalipun itu difahami dari kalimat maa
uhilla lighairillah (apa-apa yang disembelih bukan karena Allah).
Ada dua binatang yang dikecualikan
oleh syariat Islam dari kategori bangkai, yaitu belalang, ikan dan sebagainya
dari macam binatang yang hidup di dalam air.
Rasulullah s.a.w. ketika ditanya
tentang masalah air laut, beliau menjawab:
"Laut itu airnya suci dan
bangkainya halal." (Riwayat Ahmad dan ahli sunnah)
Dan firman Allah yang mengatakan:
"Dihalalkan bagi kamu
binatang buruan laut dan makanannya." (al-Maidah. 96)
Umar berkata: Yang dimaksud
shaiduhu, yaitu semua binatang yang diburu; sedang yang dimaksud tha'amuhu
(makanannya), yaitu barang yang dicarinya.
Dan kata Ibnu Abbas pula, bahwa
yang dimaksud thaamuhu, yaitu bangkainya.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdullah diceriterakan, bahwa Rasulullah
s.a.w. pernah mengirimkan suatu angkatan, kemudian mereka itu mendapatkan
seekor ikan besar yang sudah menjadi bangkai. lkan itu kemudian dimakannya
selama 20 hari lebih. Setelah mereka tiba di Madinah, diceriterakanlah hal
tersebut kepada Nabi, maka jawab Nabi:
"Makanlah rezeki yang telah
Allah keluarkan untuk kamu itu, berilah aku kalau kamu ada sisa. Lantas salah
seorang diantara mereka ada yang memberinya sedikit. Kemudian Nabi
memakannya." (Riwayat Bukhari)
Yang termasuk dalam kategori ikan yaitu
belalang. Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. memberikan suatu perkenan untuk
dimakannya walaupun sudah menjadi bangkai, karena satu hal yang tidak mungkin
untuk menyembelihnya.
Ibnu Abi Aufa mengatakan:
"Kami pernah berperang
bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan belalang bersama beliau."
(Riwayat Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
Yang dimaksud haramnya bangkai, hanyalah
soal memakannya. Adapun memanfaatkan kulitnya, tanduknya, tulangnya atau
rambutnya tidaklah terlarang. Bahkan satu hal yang terpuji, karena
barang-barang tersebut masih mungkin digunakan. Oleh karena itu tidak boleh
disia-siakan.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan,
bahwa salah seorang hamba Maimunah yang telah dimerdekakan (maulah) pernah
diberi hadiah seekor kambing, kemudian kambing itu mati dan secara kebetulan
Rasulullah berjalan melihat bangkai kambing tersebut, maka bersabdalah
beliau:
"Mengapa tidak kamu ambil
kulitnya, kemudian kamu samak dan memanfaatkan?" Para sahabat menjawab:
"Itu kan bangkai!" Maka jawab Rasulullah: "Yang diharamkan itu
hanyalah memakannya." (Riwayat Jama'ah, kecuali Ibnu Majah)
Rasulullah s.a.w. menerangkan cara
untuk membersihkannya, yaitu dengan jalan disamak.
Sabda beliau:
"Menyamak kulit binatang itu
berarti penyembelihannya." (Riwayat Abu Daud dan Nasal)
Yakni, bahwa menyamak kulit itu
sama dengan menyembelih untuk menjadikan kambing tersebut menjadi halal.
Dalam salah satu riwayat
disebutkan:
"Menyamak kulit bangkai itu
dapat menghilangkan kotorannya." (Riwayat al-Hakim)
Dan diriwayatkan pula, bahwa Rasulullah
s.a.w. bersabda:
"Kulit apa saja kalau sudah
disamak, maka sungguh menjadi suci/bersih." (Riwayat Muslim dan
lain-lain)
Kulit yang disebut dalam
hadis-hadis ini adalah umum, meliputi kulit anjing dan kulit babi. Yang
berpendapat demikian ialah madzhab Dhahiri, Abu Yusuf dan diperkuat oleh Imam
Syaukani.
Kata Saudah Umul Mu'minin:
"Kami mempunyai kambing, kemudian kambing itu mati, lantas kami samak
kulitnya dan kami pakai untuk menyimpan korma supaya menjadi manis, dan
akhirnya kami jadikan suatu girbah (suatu tempat yang terbuat dari kulit
binatang yang biasa dipakai oleh orang Arab zaman dahulu untuk mengambil air
dan sebagainya)." (Riwayat Bukhari)
|
BAB
IX
Latar Belakang berdirinya
Muhammadiyah
1.
Faktor subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA. Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KHA. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 :
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung ".
Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.
Faktor Subyektif yang sangat kuat, bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman KHA. Dahlan terhadap Al Qur'an dalam menelaah, membahas dan meneliti dan mengkaji kandungan isinya. Sikap KHA. Dahlan seperti ini sesungguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat. Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA. Dahlan ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 :
"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung ".
Memahami seruan diatas, KHA. Dahlan tergerak hatinya untuk membangan sebuah perkumpulan, organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada melaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita.
2. Faktor Obyektif
Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Faktor obyektif yang bersifat internal
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku ”Khalifah Allah di atas bumi”
Faktor obyektif yang bersifat eksternal
a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
b. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia
c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.
A.
Riwayat Hidup K.H. Ahmad Dahlan
Ahmad Dahlan lahir di Kauman Yogyakarta
pada tahun 1868 dan meninggal pada tanggal 1923 M. Sewaktu kecil ia diberi nama
Muhammad Darwis. Ia berasal dari keluarga yang terkenal ‘alim dalam ilmu agama.
Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang imam dan khatib masjid besar Kraton
Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah putri K.H. Ibrahim yang pernah
menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.[3]
Sejak
kecil Ahmad Dahlan dididik oleh ayahnya K.H. Abu Bakar seorang imam dan khatib
masjid besar Kraton Yogyakarta. Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar pendidikan
dasarnya dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan
kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh
(ilmu Fiqh), K.H. Muhsin (ilmu Nahwu), KH. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfuz
dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat
al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Selanjutnya
Ramayulis dan Samsul Nizar mengungkapkan, setelah beberapa tahun belajar dengan
gurunya beliau berangkat ke tanah suci pada tahun 1890 dan bermukim di sana
selama setahun. Merasa tidak puas dengan kunjungannya itu, pada tahun 1903 ia
berangkat kembali dan menetap di sana selama dua tahun. Selama berada di Mekkah
ini ia banyak bertemu dan bermuzakarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang
bermukim disana, di antaranya Syekh Muhammad Khatib Al-Minangakabawi, Kiyai
Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah dan Kiyai Fakih Kembang. Pada saat itu
pula ia mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui
penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh refomer Islam seperti Ibn
Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan lain
sebagainya. Melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh ulama reformer
tersebut telah membuka wawasan Dahlan tentang universalitas Islam. Ide-ide
reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur an dan Sunnah.
Ide
pembaharuan yang berhembus di Timur Tengah sangat menggelitik hatinya, apalagi
bila melihat kondisi umat Islam di Indonesia yang sngat stagnan. Untuk itu,
atas saran beberapa orang murid dan anggota Budi Utomo, maka Dahlan merasa
perlu merealisasikan ide-ide pembaharuannya. Untuk itu, pada tanggal 18
November 1912 beliau mendirikan organisasi Muhammadiyah di Yogyakarta. Di
samping Muhammadiyah, K.H. Ahmad Dahlan juga mendirikan organisasi wanita yaitu
’Aisyiyah pada tahun 1917. Organisasi ini merupakan wadah untuk kegiatan
perempuan dalam memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran Islam secara murni
dan konsekwen. Berdirinya organisasi ini diawali dengan sejumlah pengajaran
yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan mengenai perintah agama. Kursus tersebut diadakan
dalam perkumpulan ”Sopo Tresno” pada tahun 1914. Perkumpulan inilah nanti yang
berganti nama dengan ’Aisyiyah.
Secara
garis besar ada dua faktor yang mempengaruhi kelahiran Muhammadiyah, faktor
subjektif yaitu ingin melaksanakan hasil pemahaman K.H.Ahmad Dahlan terhadap
frrman Allah surat An-Nisa’ ayat 82 dan surat Muhammad ayat 24 serta surat Ali
Imran ayat 104. Faktor objektif yang bersifat internal dan eksternal. Faktor
objektif internal yaitu kondisi kehidupan masyarakat Indonesia antara lain; ketidakmurnian
pengamalan Islam akibat tidak dijadikan Al-Qur an dan as-Sunnah sebagai
satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia. Kemudian,
lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi
yang siap mengemban misi selaku Khalifah Allah di atas bumi. . Karena itu,
Muhammadiyah menitik beratkan gerakannya kepada sosial keagamaan dan
pendidikan.
Adapun
faktor objektif yang bersifat eksternal antara lain, semakin meningkatnya
Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia, dan penetrasi
bangsa-bangsa Eropah, terutama bangsa Belanda ke Indonesia.
Di
samping itu, politik kolonialis Belanda mempunyai kepentingan terhadap
penyebaran agama Kristen di Indonesia. Dengan program ini akan didapat nilai
ganda yaitu di samping bernilai keagamaan dalam arti telah dapat menyelamatkan
domba-domba yang hilang, juga bernilai politis, karena betapa eratnya hubungan
agama (Kristen) dengan pemerintahan (Hindia Belanda) setelah penduduk bumi
putra masuk Kristen akan menjadi warga-warga yang loyal lahir dan batin bagi
pemerintah.
K.H.
Sahlan Rosidi secara rinci menyebutkan faktor-faktor yang mendorong K.H.Ahmad
Dahlan mendirikan organisasi Muhammadiyah, ialah: taklid yang begitu membudaya
dalam masyarakat Islam, khurafat dan syirik telah bercampur dengan akidah,
sehingga kemurnian akidah sudah tidak tampak lagi, bid’ah yang terdapat pada
pengamalan ibadah, kejumudan berfikir dan kebodohan umat, sistem pendidikan
yang sudah tidak relevan, timbulnya kelas elit intelek yang bersikap sinis
terhadap Islam dan orang Islam, rasa rendah diri di kalangan umat Islam, tidak
ada program perjuangan umat Islam yang teratur dan terencana khususnya dalam
pelaksanaan dakwah Islam, tidak ada persatuan umat Islam, kemiskinan umat bila
dibiarkan akan membahayakan karena mudah dirongrong oleh golongan kafir yang
kuat ekonominya, politik kolonialisme Belanda yang menekan dan menghambat hidup
dan kehidupan umat Islam di Indonesia, politik kolonialisme Belanda menunjang
kristenisasi di Indonesia. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, dan dorongan
orang-orang Budi Utomo dan Syekh Ahmad Syurkati K.H.Ahmad Dahlan dengan dibantu
oleh murid-muridnya, mendirikan organisasi yang diberi nama Muhammadiyah.
Menurut catatan Alfian, ada sembilan orang tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu;
K.H. Ahmad Dahlan, H. Abdullah Siradj, Raden Ketib Cendana Haji Ahmad, Haji
Abdurrahman, R. H. Sarkawi, H. Muhammad, R. H. Djaelani, H. Anis, dan H.
Muhammad Fakih.
Organisasi
Muhammadiyah sampai tahun 1917 belum membuat pembagian kerja yang jelas. Hal
ini disebabkan wilayah kerjanya hanya Yogyakarta saja. Dalam kurun ini K.H.
Ahmad Dahlan sendiri aktif berdakwah, mengajar di sekolah Muhammadiyah dan
memberikan bimbingan kepada masyarakat seperti shalat dan bantuan kepada fakir
miskin
Kemudian,
pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada
tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang
berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu,
Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar
sekitar tahun 1929.
Dalam
melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia
dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H.
Tamim, H. Syarkawi, dan H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras
mendukung segera mendirikan sekolah agama yang bersifat moderen adalah Mas
Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah organisasi Muhammadiyah
didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan sosial
sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.
3. Sejarah
Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada
tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad
Darwis, kemudian dikenal dengan K.H.AAhmad Dahlan .
Beliau
adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku
dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya
untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan
Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau memberikan pengertian keagamaan
dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula
ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat
mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar
kampung Kauman bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk
mengorganisir kegiatan tersebut maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan
kini Muhammadiyah telah ada diseluruh pelosok tanah air.
Disamping
memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi
pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut
"Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak
laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH
A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat
itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke
11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
4. Profil Muhammadiyah dan Data Persyarikatan
Nama
Organisasi
|
:
|
Muhammadiyah
|
Berdiri
|
:
|
18
Nopember 1912 M
8
Dzulhijah 1330 H
|
Pendiri
|
:
|
K.H.
Ahmad Dahlan
|
Ketua
Umum (2010-2015)
|
:
|
Prof.
Dr. H.M. Sirajuddin Syamsuddin, MA
|
Lokasi Awal
Berdiri
|
:
|
Kampung
Kauman, Yogyakarta
|
Alamat
Kantor Pimpinan Pusat Muhammdiyah
|
:
|
Yogyakarta:
Kantor
Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Jl.
Cik Ditiro No. 23 Yogyakarta 55262 Telp. +62 274 553132 Fax.(+62 274 553137
Website: www.muhammadiyah.or.id
E-mail
: pp_muhammadiyah@yahoo.com
Jakarta:
Gedung
Dakwah Muhammadiyah,
Jl.
Menteng Raya No.62 Jakarta 10340 Telp. +62 21 3903021 Fax. +62 21 3903024
Website: www.muhammadiyah.or.id
Email
: pp_muhammadiyah@yahoo.com
|
Jaringan
Muhammadiyah
1. Pimmpinan Wilayah (PWM)
2. Pimpinan Daerah (PDM)
3. Pimpinan Cabang (PCM)
4. Pimpinan Ranting (PRM)
|
:
:
:
:
|
33
Wilayah (Propinsi)
417
Daerah (Kabupaten/Kota)
3.221
Cabang (Kecamatan)
8.107
Ranting (Desa/Kelurahan)
|
Majelis-Majelis
|
:
|
1. Majelis Tarjih
dan Tadjid
2. Majelis
Tabligh
3. Majelis
Pendidikan Tinggi (MPT)
4. Majelis
Pembina Kesehatan Umum (MPKU)
5. Majelis
Pendidikan Kader (MPK)
6. Majelis
Pustaka dan Informasi (MPI)
7. Majelis
Ekonomi dan Kewirausahaan (MEK)
8. Majelis
Lingkungan Hidup (MLH)
9. Majelis
Pemberdayaan Masyarakat (MPM)
10. Majelis Pelayanan Sosial (MPS)
11. Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia
(MH-HAM)
12. Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
(Dikdasmen)
13. Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
(MWK)
|
Lembaga-Lembaga
|
:
|
1. Lembaga
Amal Zakat Infaq dan Shodaqqoh (LAZIS)
2. Lembaga
Hubungan dan Kerjasama International
3. Lembaga
Pengawas Pengelolaan Keuangan
4. Lembaga
Pengembangan Cabang dan Ranting
5. Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik
6. Lembaga
Penanganan Bencana
7. Lembaga
Seni Budaya dan Olahraga
|
Organisasi
Otonom
|
:
|
1. Aisyiyah
2. Pemud
Muhammadiyah
3. Nasyiyatul
Aisyiyah
4. Ikatan
Mahasiswa Muhamamdiyah
5. Ikatan
Pelajar Muhammadiyah
6. Hizbul
Wathan
7. Tapak
Suci
|
Muktamar
Muhammadiyah (1912 – 2010)
|
:
|
|
Jumlah
Ketua Umum (1912 – 2010)
|
:
|
5.
Data Amal Usaha Muhammadiyah
No
|
Jenis
Amal Usaha
|
Jumlah
|
1
|
Sekolah
Dasar (SD)
|
1.176
|
2
|
Madrasah
Ibtidaiyah/Diniyah (MI/MD)
|
1.428
|
3
|
Sekolah
Menengah Pertama (SMP)
|
1.188
|
4
|
Madrasah
Tsanawiyah (MTs)
|
534
|
5
|
Sekolah
Menengah Atas (SMA)
|
515
|
6
|
Sekolah
Menengah Kejuruan (SMK)
|
278
|
7
|
Madrasah
Aliyah (MA)
|
172
|
8
|
Pondok
Pesantren
|
67
|
9
|
Akademi
|
19
|
10
|
Politeknik
|
4
|
11
|
Sekolah
Tinggi
|
88
|
12
|
Universitas
|
40
|
Jumlah
total Perguruan tinggi Muhammadiyah
|
151
|
|
13
|
Perguruan
Tinggi Aisyiyah
|
11
|
14
|
Rumah
Sakit, Rumah Bersalin, BKIA, BP, dll
|
457
|
15
|
Panti
Asuhan, Santunan, Asuhan Keluarga, dll.
|
318
|
16
|
Panti
jompo *
|
54
|
17
|
Rehabilitasi
Cacat *
|
82
|
18
|
TK
Aisyiyah Bustanul Athfal *
|
2.289
|
19
|
Sekolah
Luar Biasa (SLB) *
|
71
|
20
|
Masjid
*
|
6.118
|
21
|
Musholla
*
|
5.080
|
22
|
Tanah
*
|
20.945.504 M²
|
6. Ciri Khas
Nama Organisasi
|
:
|
Muhammadiyah
|
Lambang Organisasi
|
:
|
Bentuk Lambang
Lambang persyarikatan berbentuk matahari yang
memancarkan duabelas sinar yang mengarah ke segala penjuru dengan
sinarnya yang putih bersih bercahaya. Di tengah-tengah matahari terdapat
tulisan dengan huruf Arab : Muhammadiyah. Pada lingkaran yang mengelilingi
tulisan huruf Arab berwujud kalimat syahadat tauhid : asyhadu anal
ila,ha illa Allah (saya bersaksi bahwasannya tidak ada Tuhan kecuali
Allah); di lingkaran sebelah atas dan pada lingkaran bagian bawah tertulis
kalimat syahadat Rasul : wa asyhadu anna Muhammaddar Rasulullah (dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Seluruh Gambar matahari dengan
atributnya berwarna putih dan terletak di atas warna dasar hijau daun.
Arti Lambang
Matahari merupakan titik pusat dalam tata surya dan merupakan
sumber kekuatan semua makhluk hidup yang ada di bumi. Jika matahari menjadi
kekuatan cikal bakal biologis, Muhammadiyah diharapkan dapat menjadi sumber
kekuatan spiritual dengan nilai-nilai Islam yang berintikan dua kalimat
syahadat.
Duabelas sinar matahari yang memancar ke seluruh penjuru
diibaratkan sebagai tekad dan semagat warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan
Islam, semangat yang pantang mundur dan pantang menyerah seperti kaum Hawari
(sahabat nabi Isa yang berjumlah 12)
Warna Putih pada seluruh gambar matahari melambangkan kesucian
dan keikhlasan
Warna Hijau yang menjadi warna dasar melambangkan kedamaian
dan dan kesejahteraan.
|
Warna Organisasi
|
:
|
Hijau Daun
|
Lagu
|
:
|
Mars Sang Surya
|
7. Ciri Perjuangan Muhammadiyah
Dengan melihat sejarah pertumbuhan
dan perkembangan persyarikatan Muhammadiyah sejak kelahirannya, memperhatikan
faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya, aspirasi, motif, dan
cita-citanya serta amal usaha dan gerakannya, nyata sekali bahwa didalammya
terdapat ciri-ciri khusus yang menjadi identitas dari hakikat atau jati diri
Persyarikatan Muhammadiyah. Secara jelas dapat diamati dengan mudah oleh
siapapun yang secara sepintas mau memperhatikan ciri-ciri perjuangan
Muhammdiyah itu adalah sebagai berikut:
1.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam
2.
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar
3.
Muhammadiyah adalah gerakan tajdid
A.
Muhammdiyah sebagai Gerakan Islam
Telah diuraikan dalam bab terdahulu
bahwa Persyarikatan Muhammadiyah dibangun oleh KH Ahmad Dahlan sebagi hasil
kongkrit dari telaah dan pendalaman (tadabbur) terhadap Alquranul Karim. Faktor
inilah yang sebenarnya paling utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah,
sedang faktor-faktor lainnya dapat dikatakan sebagai faktor penunjang atau
faktor perangsang semata. Dengan ketelitiannya yang sangat memadai pada setiap
mengkaji ayat-ayat Alquran, khususnya ketika menelaah surat Ali Imran,
ayat:104, maka akhirnya dilahirkan amalan kongkret, yaitu lahirnya
Persyarikatan Muhammadiyah. Kajian serupa ini telah dikembangkan sehingga dari
hasil kajian ayat-ayat tersebut oleh KHR Hadjid dinamakan “Ajaran KH Ahmad
Dahlan dengan kelompok 17, kelompok ayat-ayat Alquran”, yang didalammya
tergambar secara jelas asal-usul ruh, jiwa, nafas, semangat Muhammadiyah dalam
pengabdiyannya kepada Allah SWT.
Dari
latar belakang berdirinya Muhammadiyah seperti di atas jelaslah bahwa
sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi,
dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al-Qur’an karena itupula seluruh gerakannya
tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip
ajaran Islam. Segala yang dilakukan Muhammadiyah, baik dalam bidang pendidikan
dan pengajaran, kemasyarakatan, kerumahtanggaan, perekonomian, dan sebagainya
tidak dapat dilepaskan dari usaha untuk mewujudkan dan melaksankan ajaran
Islam. Tegasnya gerakan Muhammadiyah hendak berusaha untuk menampilkan wajah
Islam dalam wujud yang riil, kongkret, dan nyata, yang dapat dihayati,
dirasakan, dan dinikmati oleh umat sebagai rahmatan lil’alamin.
B.
Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah Islam
Ciri
kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan dakwah Islamiyah. Ciri
yang kedua ini muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tidak
terpisahkan dalam jati diri Muahammadiyah. Sebagaimana telah diuraikan dalam
bab terdahulu bahwa faktor utama yang mendorong berdirinya Persyarikatan
Muhammadiyah berasal dari pendalaman KHA Dahlan terdapat ayat-ayat Alquran
Alkarim, terutama sekali surat Ali Imran, Ayat:104. Berdasarkan Surat Ali
Imran, ayat : 104 inilah Muhammadiyah meletakkan khittah atau strategi dasar
perjuangannya, yaitu dakwah (menyeru, mengajak) Islam, amar ma’ruf nahi munkar
dengan masyarakat sebagai medan juangnya. Gerakan Muhammadiyah berkiprah di
tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dengan membangun berbagai ragam amal
usaha yang benar-benar dapat menyentuh hajat orang banyak seperti berbagai
ragam lembaga pendidikan sejak taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi,
membangun sekian banyak rumah sakit, panti-panti asuhan dan sebagainya. Semua
amal usaha Muhammadiyah seperti itu tidak lain merupakan suatu manifestasi
dakwah islamiyah. Semua amal usaha diadakan dengan niat dan tujuan tunggal,
yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana dakwah Islamiyah.
C.
Muhammadiyah sebagi Gerakan Tajdid
Ciri ke tiga yang melekat pada
Persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai Gerakan Tajdid atau Gerakan
Reformasi. Muhammadiyah sejak semula menempatkan diri sebagai salah satu
organisasi yang berkhidmat menyebarluaskan ajaran Agama Islam sebagaimana yang
tercantum dalam Alquran dan Assunah, sekaligus memebersihkan berbagai amalan
umat yang terang-trangan menyimpang dari ajaran Islam, baik berupa khurafat,
syirik, maupun bid’ah lewat gerakan dakwah. Muhammadiyah sebagai salah satu
mata rantai dari gerakan tajdid yang diawali oleh ulama besar Ibnu Taimiyah
sudah barang tentu ada kesamaaan nafas, yaitu memerangi secara total berbagai
penyimpangan ajaran Islam seperti syirik, khurafat, bid’ah dan tajdid, sbab
semua itu merupakan benalu yang dapat merusak akidah dan ibadah seseorang.
Sifat Tajdid yang dikenakan pada
gerakan Muhammadiyah sebenarnya tidak hanya sebatas pengertian upaya memurnikan
ajaran Islam dari berbagai kotoran yang menempel pada tubuhnya, melainkan juga
termasuk upaya Muhammadiyah melakukan berbagai pembaharuan cara-cara
pelaksanaan Islam dalam kehidupan bermasyarakat, semacam memperbaharui cara
penyelenggaraan pendidikan, cara penyantunan terhadap fakir miskin dan anak
yatim, cara pengelolaan zakat fitrah dan zakat harta benda, cara pengelolaan
rumah sakit, pelaksanaan sholat Id dan pelaksanaan kurba dan sebagainya.
Untuk membedakan antara keduanya
maka tajdid dalam pengertian pemurnian dapat disebut purifikasi (purification)
dan tajdid dalam pembaharuan dapat disebut reformasi (reformation). Dalam
hubungan dengan salah satu ciri Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, maka
Muhammadiyah dapat dinyatakan sebagai Gerakan Purifikasi dan Gerakan Reformasi.
D. ORGANISASI MUHAMMADIYAH
§ Pimpinan Pusat
§ Pimpinaan Wilayah
§ Pimpinaan Daerah
§ Pimpinan Cabang
§ Pimpinan Ranting
§ Jama'ah Muhammadiyah
§ Majelis
§ Majelis Tarjih dan Tajdid
§ Majelis Tabligh
§ Majelis Pendidikan Tinggi
§ Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah
§ Majelis Pendidikan Kader
§ Majelis Pelayanan Sosial
§ Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan
§ Majelis Pemberdayaan Masyarakat
§ Majelis Pembina Kesehatan Umum
§ Majelis Pustaka dan Informasi
§ Majelis Lingkungan Hidup
§ Majelis Hukum Dan Hak Asasi Manusia
§ Majelis Wakaf dan Kehartabendaan
§ Lembaga
§ Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting
§ Lembaga Pembina dan Pengawasan Keuangan
§ Lembaga Penelitian dan Pengembangan
§ Lembaga Penanganan Bencana
§ Lembaga Zakat Infaq dan Shodaqqoh
§ Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
§ Lembaga Seni Budaya dan Olahraga
§ Lembaga Hubungan dan Kerjasama International
§ Aisyiyah
§ Pemuda Muhammadiyah
§ Nasyiyatul Aisyiyah
§ Ikatan Pelajar Muhammadiyah
§ Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
§ Hizbul Wathan
§ Tapak Suci
E. Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah
1. Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan
Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an
dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil,
makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia
sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
2. Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam
adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sejak Nabi Adam, Nuh,
Ibrahim, Musa, Isa dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad SAW,
sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan
menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi.
3. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam
berdasarkan:
a. Al-Qur'an: Kitab Allah yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW;
b. Sunnah Rasul: Penjelasan dan
palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW
dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.
4. Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang:
a. 'Aqidah
5. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan
khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam.
a. Akhlak
6. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaran-ajaran Al-Qur'an dan
Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia
a. Ibadah
7. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya
ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari
manusia.
a. Mu’amalah Duniawiyah
8. Muhammadiyah bekerja untuk
terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat)
dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini
sebagai ibadah kepada Allah SWT.
9. Muhammadiyah mengajak segenap lapisan
bangsa Indonesia yang telah mendapat karunia Allah berupa tanah air yang
mempunyai sumber-sumber kekayaan, kemerdekaan bangsa dan Negara Republik
Indonesia yang berdasar pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, untuk
berusaha bersama-sama menjadikan suatu negara yang adil dan makmur dan diridhoi
Allah SWT:
F. K.H.
Ahmad Dahlan sebagai tokoh Pendiri Muhammadiyah; Pemikiran serta ita-cita
Perjuangan dan Ajarannya
Ahmad Dahlan adalah seorang yang sangat hati-hati dalam
kehidupan sehari-harinya. Ada sebuah nasehat yang ditulisnya dalam bahasa Arab
untuk dirinya sendiri:
“Wahai
Dahlan, sungguh di depanmu ada bahaya besar dan peristiwa-peristiwa yang akan
mengejutkan engkau, yang pasti harus engkau lewati. Mungkin engkau mampu
melewatinya dengan selamat, tetapi mungkin juga engkau akan binasa karenanya.
Wahai Dahlan, coba engkau bayangkan seolah-olah engkau berada seorang diri
bersama Allah, sedangkan engkau menghadapi kematian, pengadilan, hisab, surga,
dan neraka. Dan dari sekalian yang engkau hadapi itu, renungkanlah yang
terdekat kepadamu, dan tinggalkanlah lainnya (diterjemahkan oleh Djarnawi
Hadikusumo).
Dari pesan itu tersirat sebuah
semangat dan keyakinan yang besar tentang kehidupan akhirat. Dan untuk mencapai
kehidupan akhirat yang baik, maka Dahlan berpikir bahwa setiap orang harus
mencari bekal untuk kehidupan akhirat itu dengan memperbanyak ibadah, amal
saleh, menyiarkan dan membela agama Allah, serta memimpin ummat ke jalan yang
benar dan membimbing mereka pada amal dan perjuangan menegakkan kalimah Allah.
Dengan demikian, untuk mencari bekal mencapai kehidupan akhirat yang baik harus
mempunyai kesadaran kolektif, artinya bahwa upaya-upaya tersebut harus
diserukan (dakwah) kepada seluruh ummat manusia melalui upaya-upaya yang
sistematis dan kolektif.
Kesadaran
seperti itulah yang menyebabkan Dahlan sangat merasakan kemunduran ummat Islam
di tanah air. Hal ini merisaukan hatinya. Ia merasa bertanggung jawab untuk
membangunkan, menggerakkan dan memajukan mereka. Dahlan sadar bahwa kewajiban
itu tidak mungkin dilaksanakan seorang diri, tetapi harus dilaksanakan oleh
beberapa orang yang diatur secara seksama. Kerjasama antara beberapa orang itu
tidak mungkin tanpa organisasi.
Untuk
membangun upaya dakwah (seruan kepada ummat manusia) tersebut, Dahlan gigih
membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah
tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun
dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan
ketertinggalan ummat Islam di Indonesia.
Strategi
yang dipilihnya untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah ialah dengan mendidik para calon pamongpraja (calon
pejabat) yang belajar di OSVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di
Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri diizinkan oleh pemerintah
kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut.
Dengan
mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera
memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai
pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon
guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang
gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak.
Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal
dengan Madrasah Mu’allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu’allimat
(Kweekschool Putri Muhammadiyah). Dahlan mengajarkan agama Islam dan tidak lupa
menyebarkan cita-cita pembaharuannya.
Di
samping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah,
ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada
keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang
cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi
entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai
seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan
cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan
masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi
Jam’iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam, dan Comite Pembela Kanjeng Nabi
Muhammad Saw.
Gagasan
pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik
dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan
hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru
yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kiai palsu, karena sudah
meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan
ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut
dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan
perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan
tersebut.
Pada
tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah
Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan
pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus
1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya
boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul
kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya
dibatasi.
Walaupun
Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari,
Imogiri dan lain-lain tempat telah berdiri Cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas
bertentangan dengan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya,
maka K.H. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar Cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain, misalnya Nurul Islam di
Pekalongan, Al-Munir di Makassar, dan di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan
di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat
pimpinan dari Cabang Muhammadiyah.
Di
dalam kota Yogyakarta sendiri, Ahmad Dahlan menganjurkan adanya jama’ah dan
perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam.
Perkumpulan-perkumpulan dan Jamaah-jamaah ini mendapat bimbingan dari
Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya
Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub,
Thaharatul-Aba, Ta’awanu alal birri, Ta’ruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri,
Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah
disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, di
samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini
ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di
Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk
menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin
berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei
1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk
mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini
dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Dalam
bulan Oktober 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres
Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna
mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres
tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan
maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam
dengan kaum Islam ortodoks dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan
menyerang aliran yang telah mapan (tradisionalis-konservatif) dan dianggap
membangun mazhab baru di luar mazhab empat yang telah ada dan mapan.
Muhammadiyah
juga dituduh hendak mengadakan tafsir Qur’an baru, yang menurut kaum
ortodoks-tradisional merupakan perbuatan terlarang. Menanggapi serangan
tersebut, Ahmad Dahlan menjawabnya dengan argumentasi: “Muhammadiyah berusaha
bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan terbekelakang. Banyak penganut
Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur’an dan Hadis. Umat
Islam harus kembali kepada Qur’an dan Hadis. Harus mempelajari langsung dari
sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir”.
Sebagai
seorang demokrat dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah,
Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan
pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah
Muhammadiyah, telah diselenggarakan duabelas kali pertemuan anggota (sekali
dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering
(persidangan umum).
Atas
jasa-jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui
pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia
menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan surat Keputusan Presiden no. 657
tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu ialah sebagai berikut :
1. K.H.
Ahmad Dahlan telah memelopori kebangkitan ummat Islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
2. Dengan
organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam
yang murni kepada bangsanya. Ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan
beramal bagi masyarakat dan ummat, dengan dasar iman dan Islam.
3. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan
yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran
Islam.
4. Dengan
organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori
kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial,
setingkat dengan kaum pria.
No comments:
Post a Comment