Bab 2 – Tradisi Sejarah dalam masyarakat pra aksara dan masaaksara
Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara
- Dalam setiap masyarakat terdapat tradisi yang merupakan kebudayaan
yang telah dimiliki oleh masyarakat tersebut. Tradisi yang dimiliki oleh
suatu masyarakat mengalami perkembangan. Salah satu tradisi yang
dimiliki oleh masyarakat adalah tradisi sejarah. Tradisi ini mengandung
arti bagaimana masyarakat menjelaskan masa lalunya berdasarkan
perkembangan kebudayaan yang dimilikinya. Perkembangan tradisi dapat
dilihat dari perkembangan masa praaksara dan masa aksara.
Masyarakat
Indonesia sebelum mengenal aksara sudah memiliki tradisi sejarah. Maksud
tradisi sejarah adalah bagaimana suatu masyarakat memiliki kesadaran
terhadap masa lalunya. Kesadaran tersebut kemudian dia rekam dan
diwariskan kepada generasi berikutnya. Perekaman dan pewarisan tersebut
kemudian menjadi suatu tradisi yang hidup tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Masyarakat dalam memahami masa lalunya akan ditentukan oleh
alam pikiran masyarakat pada masa itu atau “jiwa zaman”.
Alam pikiran
masyarakat yang belum mengenal tulisan sudah tentu berbeda dengan
masyarakat yang sudah mengenal tulisan. Tulisan pada dasarnya merupakan
salah satu hasil dari alam pikiran manusia. Kehidupan manusia
memperlihatkan adanya suatu kesinambungan waktu. Kesinambungan ini
terlihat dalam tahap-tahap kehidupan manusia, misalnya mulai dia
dilahirkan, masa kanak-kanak, masa dewasa, dan sampai orang tua. Dalam
kesinambungan waktu itulah nampak terjadi perubahan-perubahan dari satu
tahap ke tahap lainnya.
Perubahan-perubahan
yang terjadi dalam diri masyarakat dapat menjadi pengalaman hidup masa
lalunya. Pemahaman terhadap masa lalunya selalu berkaitan dengan
bagaimana masyarakat tersebut melihat perubahan yang terjadi pada diri
dan lingkungan di sekitarnya.
Secara garis
besar, perubahan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yaitu perubahan
yang bersifat alami dan perubahan yang bersifat insani. Perubahan alami
adalah perubahan yang terjadi pada alam itu sendiri seperti gempa bumi,
gunung meletus, banjir, dan lain-lain. Adapun perubahan insani adalah
perubahan-perubahan yang terjadi pada diri manusia, baik bersifat
individu maupun kelompok, misalnya kelahiran, peperangan, dan
kejadian-kejadian lainnya.
Masyarakat
yang belum mengenal tulisan melihat alam sebagai bagian yang terpenting
dalam menentukan perubahan diri dan lingkungannya. Alam adalah pusat
segala perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi, baik yang ada pada
dirinya maupun lingkungannya, lebih banyak menempatkan alam sebagai
penyebab utama perubahan tersebut. Sebab, alam merupakan pusat utama
perubahan, maka manusia pada masa sebelum mengenal tulisan memperlakukan
alam sebagai kekuatan yang harus dihormati bahkan dikultuskan. Alam
memiliki kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu hukum keteraturan,
yaitu hukum alam. Hukum alam inilah yang banyak mengatur perubahan pada diri manusia.
Dalam
pemahaman sebagaimana diuraikan di atas, manusia pada masa belum
mengenal tulisan melihat perubahan yang terjadi pada manusia yang
bersumber dari kekuatan di luar diri manusia. Bahkan kekuatan itu bukan
hanya bersumber dari alam akan tetapi bersumber pula dari
kekuatan-kekuatan lain selain manusia. Kekuatan tersebut seperti dewa
atau figur-figur tertentu yang memiliki kesaktian. Pemahaman seperti ini
disebut dengan pemahaman yang bersifat religius magis.
Dalam
pemikiran yang bersifat magis religius, pemikiran manusia dalam melihat
asal usul kejadian tidaklah bersifat rasional atau masuk akal, tetapi
bersifat irrasional. Manusia merupakan bagian dari sebuah kekuatan besar
yang berada di luar dirinya. Pemikiran yang seperti ini tidak
menempatkan manusia sebagai kekuatan yang otonom, artinya mandiri.
Manusia adalah objek perubahan, bukan subjek perubahan. Dalam sebuah
perubahan, manusia mempunyai kedudukan yang bersifat subordinatif.
Pemikiran
yang bersifat religio magis banyak bertebaran di Indonesia, misalnya
dalam cerita asal usul mengenai suatu daerah diawali dengan datangnya
seorang tokoh yang memiliki kesaktian. Tokoh tersebut dapat berupa dewa
atau setengah dewa setengah manusia. Tokoh tersebut ditempatkan sebagai
figur yang sentral. Kedatangannya ke daerah tersebut diutus oleh dewa
tertinggi yang menguasai alam. Dalam cerita asal usul daerah itu, agar
menjadi lebih manusiawi (ada peran manusia), biasanya diceritakan tokoh
tersebut menikah dengan manusia. Pernikahan ini akan melahirkan
keturunan dan keturunannya ini kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya
daerah tersebut.
Begitu pula
halnya dalam menjelaskan peristiwa alam. Perubahan yang terjadi pada
alam dianggap sebagai suatu kehendak di luar kehendak manusia. Manusia
hanya bersikap pasrah terhadap perubahan yang terjadi pada alam
tersebut. Kehendak yang dimaksud dapat berupa kehendak dewa. Seperti
terjadinya banjir atau bencana alam, lebih dipahami sebagai bentuk dari
kehendak dewa. Kalau dikaitkan dengan perilaku manusia, kejadian alam
itu dapat dipahami sebagai bentuk kutukan atau kemarahan dewa kepada
manusia.
Kesadaran
sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan sudah terbentuk.
Mereka berupaya agar tradisi sejarah yang mereka miliki dapat diwariskan
kepada generasinya. Tujuan utama pewarisan tersebut yaitu pertama agar
generasi penerusnya memiliki pengetahuan masa lalunya, dan tujuan yang
lebih penting ialah pengetahuan itu harus menjadi suatu keyakinan.
Keyakinan tersebut memiliki nilai-nilai yang mereka anggap berguna bagi
kehidupan. Bahkan nilai-nilai tersebut menjadi pegangan hidup dalam
membimbing jalan kehidupannya.
Cara
pewarisan yang dilakukan ialah dengan bertutur dari mulut ke mulut. Hal
ini dilakukan karena pada masyarakat yang belum mengenal tulisan, tidak
meninggalkan bukti sejarah dalam bentuk peninggalan tertulis. Penuturan
melalui bercerita merupakan cara yang efektif untuk mewariskan kepada
generasi berikutnya. Cara penceritaan tersebut kemudian dikenal dengan
istilah tradisi lisan.
Fungsi utama dalam tradisi lisan adalah pewarisan dan perekaman terhadap apa yang terjadi pada masa lalu menurut pandangan suatu kelompok masyarakat. Bagi masyarakat yang belum mengenal tulisan, tradisi lisan yang lebih dipentingkan ialah meyakini apa yang diceritakannya. Pengetahuan terhadap apa yang diceritakan dalam tradisi lisan bukanlah tujuan penting. Tradisi lisan merupakan bagian dari budaya bagi masyarakat yang memegangnya.
Sebagai
suatu aspek budaya, maka kepentingan untuk menjelaskan atau memahami
lingkungan sekitar itu sekaligus sebagai usaha memberi pegangan kepada
masyarakat terutama generasi berikutnya dalam menghadapi berbagai
kemungkinan dari lingkungan itu. Di sini tradisi lisan berfungsi sebagai
alat “mnemonik”, yaitu usaha untuk merekam, menyusun, dan
menyimpan pengetahuan demi pengajaran dan pewarisannya dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Keyakinan
masyarakat pendukung tradisi lisan disebabkan oleh adanya nilai-nilai
yang terkandung dalam cerita tersebut. Mereka tidak terlalu
memperhatikan apakah faktanya mengandung kebenaran, apakah faktanya
secara nyata ada. Nilai-nilai tersebut misalnya keteladanan, keberanian,
kejujuran, kekeluargaan, penghormatan terhadap leluhur, kecintaan,
kasih sayang, dan lain-lain. Nilai-nilai yang ada dalam tradisi itu
disebut juga dengan kearifan lokal. Disebut demikian karena nilai-nilai
yang terkandung banyak mengandung sikap-sikap yang arif, bahkan dalam
konteks sekarang nilai-nilai itu sangat berguna untuk diterapkan.
Dalam
tradisi lisan, terdapat pesan-pesan yang banyak mengandung unsur
kearifan. Pesan-pesan itu disampaikan secara verbal, sebab pada masa itu
belum mengenal tulisan. Ada dua ciri penting tradisi lisan. Pertama,
menyangkut pesan-pesan yang berupa pernyataan-pernyataan lisan yang
diucapkan, dinyanyikan, atau disampaikan lewat musik. Berbeda halnya
dengan masyarakat yang sudah mengenal tulisan, pesan-pesan itu
disampaikan dalam bentuk teks (tertulis).
Tradisi lisan berasal dari generasi sebelum generasi sekarang, paling sedikit satu generasi sebelumnya. Berbeda halnya dengan sejarah lisan
(oral history), disusun bukan dari generasi sebelumnya tapi disusun
oleh generasi sezaman. Asal tradisi lisan dari generasi sebelumnya
karena memiliki fungsi pewarisan, sedangkan di dalam sejarah lisan tidak
ada upaya untuk pewarisan.
Tradisi lisan biasa dibedakan menjadi beberapa jenis.
1. Berupa “petuah-petuah”
yang sebenarnya merupakan rumusan kalimat yang dianggap punya arti
khusus bagi kelompok, yang biasanya dinyatakan berulang-ulang untuk
menegaskan satu pandangan kelompok yang diharapkan dapat menjadi
pegangan bagi generasi-generasi berikutnya. Rumusan kalimat atau
kata-kata itu biasanya diusahakan untuk tidak diubah-ubah, meskipun
dalam kenyataan perubahan itu biasa saja terjadi terutama sesudah
melewati beberapa generasi, apalagi penerusannya bersifat lisan,
sehingga sukar dicek dengan rumusan aslinya. Namun, karena kedudukannya
yang sangat istimewa dalam kehidupan kelompok, maka tetap diyakini bahwa
rumusan itu tidak berubah.
2. Bentuk yang kedua dari tradisi lisan adalah “kisah”
tentang kejadian-kejadian di sekitar kehidupan kelompok, baik sebagai
kisah perorangan (personal tradition) atau sebagai kelompok (group
account). Sesuai dengan alam pikiran masyarakat yang magis religius,
kisah-kisah ini yang sebenarnya berintikan suatu fakta tertentu,
biasanya diselimuti dengan unsur-unsur kepercayaan, atau terjadi
pencampuradukan antara fakta dengan kepercayaan itu.
Cara
penyampaian fakta memang seperti menyampaikan gosip (penuh dengan
tambahan-tambahan menurut selera penuturnya), maka disebut pula dengan
istilah “historical gossip” (gosip yang bernilai sejarah). Untuk
kisah-kisah perseorangan atau keluarga ini diulang-ulang atau
diingat-ingat dalam beberapa generasi, sehingga riwayat keluarga ini
kemudian biasa menjadi milik kelompok yang sering dikeramatkan bagi
generasi-generasi berikutnya, yang biasanya diperbaharui (ditambahkan)
secara berkesinambungan.
3. Bentuk ketiga dari tradisi lisan yaitu “cerita kepahlawanan”.
Cerita ini berisi bermacam-macam gambaran tentang tindakan-tindakan
kepahlawanan yang mengagumkan bagi kelompok pemiliknya yang biasanya
berpusat pada tokoh-tokoh tertentu (biasanya tokoh-tokoh pemimpin
masyarakat). Beberapa cerita kepahlawanan ini memang ada yang punya
dimensi historis
yang patut diperhatikan karena unsur fakta sejarahnya yang masih bisa
ditelusuri, tetapi pada umumnya sudah terselimuti dengan unsur-unsur
kepercayaan, sehingga kadang-kadang dianggap lebih bersifat hasil
sastra.
4. Bentuk keempat, yaitu bentuk cerita “dongeng”
yang umumnya bersifat fiksi belaka. Tentu saja unsur faktanya boleh
dikatakan tidak ada, dan memang biasanya terutama berfungsi untuk
menyenangkan (menghibur) pendengarnya meskipun sering di dalamnya
terkandung unsur-unsur petuah.
Demikianlah Materi Penjelasan Tradisi Sejarah Masyarakat Masa Praaksara, selamat belajar.
No comments:
Post a Comment