- Teori masuknya hindu budha di Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan
letaknya sangat strategis, yaitu terletak diantara dua benua (Asia dan
Australia) dan dua samudra (Indonesia dan Pasifik) yang merupakan daerah
persimpangan lalu lintas perdagangan dunia.
Akibat hubungan dagang tersebut, maka terjadilah kontak/hubungan antara Indonesia dengan India,
dan Indonesia dengan Cina. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab
masuknya budaya India ataupun budaya Cina ke Indonesia. Mengenai siapa
yang membawa atau menyebarkan agama Hindu-Budha ke Indonesia, tidak dapat diketahui secara pasti. Beberapa teori yaitu antara lain:
- Teori Brahmana, diutarakan oleh J.C.van Leur berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum Brahmana karena hanyalah kaum Brahmana yang berhak mempelajari dan mengerti isi kitab suci Weda. Kedatangan kaum Brahmana tersebut diduga karena undangan penguasa/kepala suku di Indonesia atau sengaja datang untuk menyebarkan agama Hindu ke Indonesia.
- Teori Ksatria, diutarakan oleh Prof. Dr. Ir. J.L. Moens berpendapat bahwa yang membawa agama Hindu ke Indonesia adalah kaum ksatria atau golongan prajurit, karena adanya kekacauan politik/peperangan di India abad 4-5 M, maka prajurit yang kalah perang terdesak dan menyingkir ke Indonesia, bahkan diduga mendirikan kerajaan di Indonesia.
- Teori Waisya, diutarakan oleh Dr. N.J. Krom, berpendapat bahwa agama Hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh kaum pedagang yang datang untuk berdagang ke Indonesia, bahkan diduga ada yang menetap karena menikah dengan orang Indonesia.
- Teori Sudra diutarakan oleh agama hindu masuk ke Indonesia dibawa oleh golongan sudra. Teori ini dikemukakan oleh Bosch. Bertujuan mengubah kehidupan karena di India hanya menjadi pekerja kasar.
- Teori Arus Balik dikemukakan oleh FDK. Bosch. Hipotesis ini menekankan peranan bangsa Indonesia dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu dan Budha di Indonesia.
- Teori gabungan merupakan gabungan dari semua teori yang bertujuan menyebarkan agama Hindu-Buddha ke Indonesia tanpa meninggalkan tugas masing-masing.
- Perkembangan Kerajaan-kerajaan Hindu Budha di Indonesia
- Kerajaan Budha
- Kerajaan Sriwijaya
- Kerajaan Budha
Sriwijaya adalah kerajaan Melayu kuno di
Pulau Sumatra yang banyak berpengaruh di kepulauan Melayu. Bukti awal
mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7. Seorang pendeta
Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671
selama enam bulan. Prasasti pertama yaitu Prasasti Kedukan Bukit di Palembang,
Sumatra, pada tahun 683. Kerajaan ini mulai jatuh pada tahun 1200 dan
1300 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit. Dalam
bahasa Sansekerta, Sri berarti “bercahaya” dan Wijaya berarti
“kemenangan”. Sekitar tahun 1992 hingga 1993, Pierre-Yves Manguin
membuktikan bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan).
Beberapa sumber sejarah yang berkaitan dengan Sriwijaya:
Sumber berita Tiongkok
- Kronik dari Dinasti Tang
- Kronik Dinasti Sung
- Kronik Dinasti Ming
- Kronik Perjalanan I Tsing
- Kronik Chu-fan-chi oleh Chau Ju-kua
- Kronik Tao Chih Lio oleh Wang Ta Yan
- Kronik Ling-wai Tai-ta oleh Chou Ku Fei
- Kronik Ying-yai Sheng-lan oleh Ma Huan Prasasti berbahasa Melayu Kuno
- Prasasti Kedukan Bukit tanggal 16 Juni 682 Masehi di Palembang
- Prasasti Talang Tuo tanggal 23 Maret 684 Masehi di Palembang
- Prasasti Telaga Batu abad ke-7 Masehi di Palembang
- Prasasti Karang Brahi abad ke-7 Masehi di Jambi
- Prasasti Kota Kapur tanggal 28 Februari 686 Masehi di P. Bangka
- Prasasti Ligor di Thailand
- Prasasti Nalanda di India
Kerajaan ini adalah pusat perdagangan dan
merupakan negara maritim. Kerajaan ini terdiri atas tiga zona
utama-daerah ibukota muara yang berpusatkan Palembang, lembah Sungai
Musi yang berfungsi sebagai daerah pendukung dan daerah-daerah muara
saingan yang mampu menjadi pusat kekuasan saingan. Wilayah hulu sungai
Musi kaya akan berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Tiongkok.
Ibukota diperintah secara langsung oleh penguasa, sementara daerah
pendukung tetap diperintah oleh masyarakat lokal.
Sumber dalam negeri berasal dari
prasasti-prasasti yang dibuat oleh raja-raja dari Kerajaan Sriwijaya.
Prasasti tersebut antara lain :
- Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini merupakan yang paling tua,
bertarikh 682 M, menceritakan tentang kisah perjalanan suci Dapunta
Hyang dari Minana dengan perahu, bersama dua laksa (20.000) tentara dan
200 peti perbekalan, serta 1.213 tentara yang berjalan kaki.
- Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti berangka tahun 683 M itu
menyebutkan bahwa raja Sriwijaya bernama Dapunta Hyang yang membawa
tentara sebanyak 20.000 orang berhasil menundukkan Minangatamwan.
Dengan kemenangan itu, Kerajaan Sriwijaya menjadi makmur. Daerah yang
dimaksud Minangatamwan itu kemungkinan adalah daerah Binaga yang
terletak di Jambi. Daerah itu sangat strategis untuk perdagangan.
- Prasasti Talangtuo
Prasasti berangka tahun 684 M itu menyebutkan tentang pembuatan Taman Srikesetra atas perintah Raja Dapunta Hyang.
- Prasasti Karang Berahi
Prasasti berangka tahun 686 M itu ditemukan di daerah pedalaman Jambi, yang menunjukkan penguasaan Sriwijaya atas daerah itu.
- Prasasti Ligor
Prasasti berangka tahun 775 M itu
menyebutkan tentang ibu kota Ligor dengan tujuan untuk mengawasi
pelayaran perdagangan di Selat Malaka.
- Prasasti Nalanda
Prasasti itu menyebutkan Raja Balaputra
Dewa sebagai Raja terakhir dari Dinasti Syailendra yang terusir dari
Jawa Tengah akibat kekalahannya melawan Kerajaan Mataram dari Dinasti
Sanjaya. Dalam prasasti itu, Balaputra Dewa meminta kepada Raja Nalanda
agar mengakui haknya atas Kerajaan Syailendra. Di samping itu, prasasti
ini juga menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa berkenan membebaskan 5
buah desa dari pajak untuk membiayai para mahasiswa Sriwijaya yang
belajar di Nalanda.
- Prasasti Telaga Batu.
Prasasti ini Karena ditemukan di sekitar
Palembang pada tahun 1918 M. Berbentuk batu lempeng mendekati segi lima,
di atasnya ada tujuh kepala ular kobra, dengan sebentuk mangkuk kecil
dengan cerat (mulut kecil tempat keluar air) di bawahnya. Menurut para
arkeolog, prasasti ini digunakan untuk pelaksanaan upacara sumpah
kesetiaan dan kepatuhan para calon pejabat. Dalam prosesi itu, pejabat
yang disumpah meminum air yang dialirkan ke batu dan keluar melalui
cerat tersebut. Sebagai sarana untuk upacara persumpahan, prasasti
seperti itu biasanya ditempatkan di pusat kerajaan., maka diduga kuat
Palembang merupakan pusat Kerajaan Sriwijaya. Prasasti-prasasti dari
Kerajaan Sriwijaya itu sebagian besar menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Melayu Kuno.
Kehidupan Ekonomi, Politik, Sosialdan Budaya
Ekonomi
Menurut catatan asing, Bumi Sriwijaya
menghasilkan bumi beberapa diantaranya, yaitu cengkeh, kapulaga, pala,
lada, pinang, kayu gaharu, kayu cendana, kapur barus, gading, timah,
emas, perak, kayu hitam, kayu sapan, rempah-rempah dan penyu.
Barang-barang tersebut dijual atau dibarter dengan kain katu, sutera dan
porselen melalui relasi dagangnya dengan Cina, India, Arab dan
Madagaskar.
Politik
Untuk memperluas pengaruh kerajaan,
cara yang dilakukan adalah melakukan perkawinan dengan kerajaan
lain. Hal ini dilakukan oleh penguasa Sriwijaya Dapunta Hyang pada
tahun 664 M, dengan menikahkan Sobakancana, putri kedua raja Kerajaan
Tarumanegara. Kekuatan armada terbesar Sriwijaya juga melakukan ekspansi
wilayah hingga ke pulau jawa termasuk sampai ke Brunei atau Borneo.
Hingga pada abad ke-8, Kerajaan Sriwijaya telah mampu menguasai seluruh
jalur perdagangan di Asia Tenggara.
Raja merupakan pemegang kekuasaan
tertinggi dalam sistem pemerintahan Kerajaan Sriwijaya. Ada tiga syarat
utama untuk menjadi raja Sriwijaya, yaitu :
- Samraj, artinya berdaulat atas rakyatnya
- Indratvam, artinya memerintah seperti Dewa Indra yang selalu memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya
- Ekachattra, artinya mampu mengayomi (melindungi) seluruh rakyatnya Sosial dan Budaya Sriwijaya yang merupakan kerajaan besar penganut agama Budha telah berkembang iklim yang kondusif untuk mengembangkan agama Budha. Peninggalan-peninggalan Kerajaan Sriwijaya banyak ditemukan di daerah Palembang, Jambi, Riau, Malaysia, dan Thailand. Ini disebabkan karena Sriwijaya merupakan kerajaan maritim selalu berpindah-pindah, tidak menetap di satu tempat dalam kurun waktu yang lama.
Runtuhnya Kerajaan Sriwijaya
Akibat dari persaingan di bidang
pelayaran dan perdagangan, Raja Rajendra Chola melakukan dua kali
penyerangan ke Kerajaan Sriwijaya. Bahkan pada penyerangganya yang
kedua, Kerajaan Chola berhasil menawan Raja Cri Sanggrama
Wijayatunggawarman serta berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting
Kerajaan Sriwijaya.
Pada abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya
mengalami kemunduran yang luar biasa. Kerajaan besar di sebelah utara,
seperti Siam. Kerajaan Siam yang juga memiliki kepentingan dalam
perdagangan memperluas wilayah kekuasaannya ke wilayah selatan. Kerajaan
Siam berhasil menguasai daerah semanjung Malaka, termasuk Tanah Genting
Kra. Akibat dari perluasan Kerajaan Siam tersebut, kegiatan
pelayaran perdagangan Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang. Sriwijaya
menjadi kerajaan kecil dan lemah yang wilayahnya terbatas di daerah
Palembang, pada abad ke-13 Kerajaan Sriwijaya di hancurkan oleh
Kerajaan Majapahit.
- Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan Mataram Kuno atau disebut dengan
Bhumi Mataram. Pada awalnya terletak di Jawa Tengah. Daerah Mataram
dikelilingi oleh banyak pegunungan dan di tengahnya banyak mengalir
sungai besar diantaranya sungai Progo, Bogowonto, Elo, dan
Bengawan Solo.Keadaan tanahnya subur sehingga pertumbuhan penduduknya
cukup maju.
Sumber-sumber Prasasti
Mengenai bukti yang menjadi sumber
sejarah berlangsungnya kerajaan Mataram dapat diketahui melalui
prasasti-prasasti dan bangunan candi-candi yang dapat Anda ketahui
sampai Prasasti-prasasti yang menjelaskan tentang keberadaan kerajaan
Mataram tersebut yaitu antara lain:
- Prasasti Canggal ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir di desa Canggal berangka tahun 723 M dalam bentuk Candrasagkele. Prasasti Canggal menggunakan huruf pallawa dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan tentang pendirian Lingga (lambang Syiwa) di desa Kunjarakunja oleh Raja Sanjaya dan di samping itu juga diceritakan bahwa yang menjadi raja mula-mula Sanne kemudian digantikan oleh Sanjaya anak Sannaha (saudara perempuan Sanne).
- Prasasti Kalasan ditemukan di desa Kalasan Yogyakarta berangka tahun 778 M, ditulis dalam huruf Pranagari (India Utara) dan bahasa Sansekerta. Isinya menceritakan pendirian bangunan suci untuk dewi Tara dan biara untuk pendeta oleh raja Panangkaran atas permintaan keluarga Syaelendra dan Panangkaran juga menghadiahkan desa Kalasan untuk para Sanggha (umat Budha). Bangunan suci seperti yang tertera dalam prasasti Kalasan tersebut ternyata adalah candi Kalasan yang terletak di sebelah timur Yogyakarta.
- Prasasti Mantyasih ditemukan di Mantyasih Kedu, Jateng berangka tahun 907 M yang menggunakan bahasa Jawa Kuno. Isi dari prasasti tersebut adalah daftar silsilah raja-raja Mataram yang mendahului Bality yaitu Raja Sanjaya, Rakai Panangkaran, Rakai Panunggalan, Rakai Warak, Rakai Garung, Rakai Pikatan, Rakai Kayuwangi, Rakai Watuhumalang, dan Rakai Watukura Dyah Balitung. Untuk itu prasasti Mantyasih/Kedu ini juga disebut dengan prasasti Belitung.
- Prasasti Klurak ditemukan di desa Prambanan berangka tahun 782 M ditulis dalam huruf Pranagari dan bahasa Sansekerta isinya menceritakan pembuatan arca Manjusri oleh Raja Indra yang bergelar Sri Sanggramadananjaya. Menurut para ahli bahwa yang dimaksud dengan arca Manjusri adalah Candi Sewu yang terletak di Komplek Prambanan dan nama raja Indra tersebut juga ditemukan pada Prasasti Ligor dan Prasasti Nalanda peninggalan kerajaan Sriwijaya.
Sumber berupa Candi
Selain prasasti yang menjadi sumber
sejarah adanya kerajaan Mataram juga banyak bangunan-bangunan candi di
Jawa Tengah, yang menjadi bukti peninggalan kerajaan Mataram yaitu
seperti Candi pegunungan Dieng, Candi Gedung Songo, yang terletak di
Jawa Tengah Utara.
Selanjutnya di Jawa Tengah bagian selatan
juga banyak ditemukan candi antara lain Candi Borobudur, Candi Mendut,
Candi Plaosan, Candi Prambanan, Candi Sambi Sari, dan masih banyak
candi-candi yang lain. Kehidupan Politik Kerajaan Mataram diperintah
oleh dua dinasti atau wangsa yaitu wangsa Sanjaya yang beragama Hindu
Syiwa dan wangsa Syaelendra yang beragama Budha. Pada awalnya mungkin
yang berkuasa adalah wangsa Sanjaya, hal ini sesuai dengan prasasti
Canggal. Tetapi setelah perkembangan berikutnya muncul keluarga
Syaelendra. Menurut para ahli, keluarga Sanjaya terdesak oleh Keluarga
Syailendra, tetapi mengenai pergeseran kekuasaan tersebut tidak
diketahui secara pasti, yang jelas kedua-duanya sama-sama berkuasa di
Jawa Tengah dan memiliki hubungan yang erat, hal ini sesuai dengan
prasasti Kalasan. Raja-raja yang berkuasa dari keluarga Syaelendra
seperti yang tertera dalam prasasti Ligor, Nalanda maupun Klurak adalah
Bhanu,Wisnu, Indra, dan Samaratungga atau Samaragrawira. Sedangkan
raja-raja dari dinasti Sanjaya yang tertera dalam prasasti Mantyasih.
Berdasarkan candi-candi peninggalan
kerajaan Mataram yang berasal dari abad 8-9 yang bercorak Hindu yang
terletak di Jateng bagian utara dan yang bercorak Budha terletak di
Jateng Selatan, untuk itu dapatlah disimpulkan bahwa kekuasaan dinasti
Sanjaya di Jateng bagian utara, dan kekuasaan dinasti Syaelendra di
Jateng selatan. Kedua dinasti tersebut akhirnya bersatu dengan adanya
pernikahan Rakai Pikatan dengan Pramudyawardani yang bergelar Sri
Kahulunan. Pramudyawardani tersebut adalah putri dari Samaratungga. Raja
Samaratungga selain mempunyai putri Pramudyawardani, juga mempunyai
putera yaitu Balaputradewa (karena Samaratungga menikah dengan keturunan
raja Sriwijaya). Kegagalan Balaputradewa merebut kekuasaan dari Rakai
Pikatan, maka menyingkir ke Sumatera menjadi raja Sriwijaya. Untuk
selanjutnya pemerintahan kerajaan Mataram dikuasai oleh dinasti
Sanjaya dengan rajanya yang terakhir yaitu Wawa.
Pada masa pemerintahan Wawa sekitar abad
10, Mataram di Jateng mengalami kemunduran dan pusat penerintahan
dipindahkan ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Dengan adanya perpindahan
kekuasaan dari Jateng ke Jatim oleh Mpu Sindok, maka Mpu Sindok
mendirikan dinasti baru yaitu dinasti Isyana dengan kerajaannya adalah
Medang Mataram.
Berdasarkan prasasti Calcuta, maka
silsilah raja-raja yang memerintah di kerajaan Medang Mataram dapat
diketahui. Pada tahun 1017 M kerajaan Medang pada masa Dharmawangsa
mengalami pralaya/kehancuran akibat serangan dari Wurawari dan yang
berhasil meloloskan diri dari serangan tersebut adalah Airlangga. Tahun
1023 Airlangga dinobatkan oleh pendeta Budha dan Brahmana (pendeta
Hindu) menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa.
Pada awal pemerintahannya Airlangga
berusaha menyatukan kembali daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh
Dharmawangsa, dan melakukan pembangunan di dalam negeri dengan
memindahkan ibukota kerajaan Medang dari Wutan Mas ke Kahuripan tahun
1031, serta memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, dan membangun bendungan
Wringin Sapta.
Dengan demikian usaha-usaha yang
dilakukan oleh Airlangga mendatangkan keamanan dan kemakmuran bagi
rakyatnya. Tetapi kemudian tahun 1041, Airlangga mundur dari tahtanya
dan memerintahkan untuk membagi kekuasaan menjadi 2 kerajaan. Kedua
kerajaan tersebut adalah Jenggala dan Panjalu. Pada awalnya pembagian
kerajaan tersebut dalam rangka menghindari perebutan kekuasaan diantara
putera-putera Airlangga. Tetapi ternyata hal ini yang menjadi penyebab
kerajaan Medang mengalami kehancuran.
Kehidupan Ekonomi
Berdasarkan bangunan candi yang ada, baik
yang bercorak Hindu maupun Budha jumlah cukup banyak dan tempat atau
lokasinyapun ada yang berdampingan, maka hal ini membuktikan bahwa
kehidupan sosial masyarakat Mataram sangat religius dan dilandasi oleh
rasa gotong royong yang baik, dan juga mempunyai rasa toleransi antara
pemeluk agama Hindu dan pemeluk agama Budha itu sendiri. Dalam lapangan
ekonomi, kerajaan Mataram mengembangkan perekonomian agraris karena
letaknya di pedalaman dan daerah yang subur tetapi pada perkembangan
berikutnya, Mataram mulai mengembangkan kehidupan pelayaran, hal ini
terjadi pada masa pemerintahan Balitung yang memanfaatkan sungai
Bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangan menuju pantai utara Jawa
Timur. Dengan adanya pengembangan perekonomian, maka timbul dugaan bahwa
dipindahkannya dari Jawa Tengah ke Jawa Timur karena alasan tersebut.
Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya, tentu teknologi
yang dicapai Mataram sudah maju, bahkan masyarakat Mataram berhasil
mengembangkan budaya asing menjadi budaya baru yang bercirikan
Indonesia. Hal ini terlihat adanya penggunaan berbagai huruf dan bahasa
yang beraneka ragam dalam prasasti yang dibuatnya.
Kemajuan teknologi yang dicapai Mataram
dapat anda rasakan/nikmati sampai sekarang contohnya dapat anda lihat
pada candi Borobudur yang merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia.
- Kerajaan Hindu
- Kerajaan Kutai
Kutai adalah kerajaan tertua bercorak
Hindu di Nusantara dan seluruh Asia Tenggara. Kerajaan ini terletak di
Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama
Kutai diambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menggambarkan
kerajaan tersebut. Nama Kutai diberikan oleh para ahli karena tidak ada
prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini. Karena
memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh akibat
kurangnya sumber sejarah.
Yupa
Informasi yang diperoleh dari Yupa/Tugu
dalam upacara pengorbanan yang berasal dari abad ke-4. Ada tujuh buah
yupa yang menjadi sumber utama bagi para ahli dalam menginterpretasikan
sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah satu yupa tersebut diketahui bahwa
raja yang memerintah kerajaan Kutai saat itu adalah Mulawarman. Namanya
dicatat dalam yupa karena kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor
lembu kepada brahmana.
Mulawarman
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan
cucu Kudungga. Kudungga adalah pembesar dari Kerajaan Campa (Kamboja)
yang datang ke Indonesia. Kudungga sendiri diduga belum menganut agama
Budha
Aswawarman
Aswawarman adalah raja pertama Kerajaan
Kutai yang bercorak Hindu. Beliau adalah pendiri Kerajaan Kutai
sehingga diberi gelar Wangsakerta (pembentuk keluarga). Aswawarman
memiliki 3 orang putera, dan salah satunya adalah Mulawarman. Putra
Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hampir seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat
Kutai hidup sejahtera dan makmur. Kerajaan Kutai atau lebih lengkap
disebut kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura (Martapura)
merupakan kerajaan bercorak Islam yang kembali eksis di Kalimantan Timur
setelah dihidupkan lagi pada tahun 2001 oleh Pemerintah Kabupaten Kutai
Kartanegara sebagai upaya untuk melestarikan budaya dan adat Kutai
Keraton.
Dihidupkannya kembali kerajaan Kutai
ditandai dengan dinobatkannya sang pewaris tahta yakni putera mahkota H.
Aji Pangeran Prabu Anum Surya Adiningrat menjadi Sultan Kutai
Kartanegara ing Martadipura dengan gelar H. Adji Mohamad Salehoeddin II
pada tanggal 22 September 2001.
- Kerajaan Tarumanegara
Tarumanegara adalah sebuah kerajaan yang
pernah berkuasa di wilayah daerah aliran Cisadane dan Ciliwung pada abad
ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di
Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan
peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa Kerajaan
Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu.
Sumber Sejarah
Raja yang pernah berkuasa dan sangat
terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 M ia
memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi)
sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu
mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum
brahmana.
Bukti keberadaan Kerajaan Tarumanegara
diketahui melalui sumber-sumber yang berasal dari dalam maupun luar
negeri. Sumber dari dalam negeri berupa 7 buah prasasti batu. Dari
prasasti-prasasti ini diketahui bahwa Kerajaan Tarumanegara dibangun
oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman tahun 358 M dan beliau memerintah
sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar
sungai Gomatri (wilayah Bekasi).
Prasasti yang ditemukan
Prasasti Ciaruteun
Prasasti Ciaruteun ditemukan ditepi
sungai Ciarunteun, dekat muara sungai Cisadane Bogor prasasti tersebut
menggunakan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta yang terdiri dari 4
baris disusun ke dalam bentuk Sloka dengan metrum Anustubh. Di samping
itu terdapat lukisan semacam laba-laba serta sepasang telapak kaki Raja
Purnawarman.
Gambar telapak kaki pada prasasti Ciarunteun mempunyai 2 arti yaitu:
- Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan raja atas daerah tersebut (tempat ditemukannya prasasti tersebut).
- Cap telapak kaki melambangkan kekuasaan dan eksistensi seseorang (biasanya penguasa) sekaligus penghormatan sebagai dewa. Hal ini berarti menegaskan kedudukan Purnawarman yang diibaratkan dewa Wisnu maka dianggap sebagai penguasa sekaligus pelindung rakyat.
Prasasti Jambu
Prasasti Jambu ditemukan di bukit
Koleangkak di perkebunan jambu, sekitar 30 km sebelah barat Bogor,
prasasti ini juga menggunakan bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa serta
terdapat gambar telapak kaki yang isinya memuji pemerintahan raja
Mulawarman.
Prasasti Kebonkopi
Prasasti Kebonkopi ditemukan di kampung
Muara Hilir kecamatan Cibungbulang Bogor. Yang menarik dari prasasti ini
adalah adanya lukisan tapak kaki gajah, yang disamakan dengan tapak
kaki gajah Airawata, yaitu gajah tunggangan dewa Wisnu.
Prasasti Muara Cianten
Prasasti Muara Cianten, ditemukan di
Bogor, tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca. Di samping
tulisan terdapat lukisan telapak kaki.
Prasasti Pasir awi
Prasasti Pasir Awi ditemukan di daerah Leuwiliang, juga tertulis dalam aksara ikal yang belum dapat dibaca.
Prasasti Cidanghiyang
Prasasti Cidanghiyang ditemukan di
kampung lebak di tepi sungai Cidanghiang, kecamatan Munjul kabupaten
Pandeglang Banten. Prasasti ini baru ditemukan tahun 1947 dan berisi 2
baris kalimat berbentuk puisi dengan huruf Pallawa dan bahasa
Sansekerta. Isi prasasti tersebut mengagungkan keberanian raja
Purnawarman.
Prasasti Tugu
Prasasti Tugu di temukan di daerah Tugu,
kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah
batu bulat panjang melingkar dan isinya paling panjang dibanding dengan
prasasti Tarumanegara yang lain, sehingga ada beberapa hal yang dapat
diketahui dari prasasti tersebut. Hal-hal yang dapat diketahui dari
prasasti Tugu adalah:
- Prasasti Tugu menyebutkan nama dua buah sungai yang terkenal di Punjab yaitu sungai Chandrabaga dan Gomati. Dengan adanya keterangan dua buah sungai tersebut menimbulkan tafsiran dari para sarjana salah satunya menurut Poerbatjaraka. Sehingga secara Etimologi (ilmu yang mempelajari tentang istilah) sungai Chandrabaga diartikan sebagai kali Bekasi.
- Prasasti Tugu juga menyebutkan anasir penanggalan walaupun tidak lengkap dengan angka tahunnya yang disebutkan adalah bulan phalguna dan caitra yang diduga sama dengan bulan Pebruari dan April. Prasasti Tugu yang menyebutkan dilaksanakannya upacara selamatan oleh Brahmana disertai dengan seribu ekor sapi yang dihadiahkan raja.
Sumber dari Luar Negeri
Sumber-sumber dari luar negeri yang berasal dari berita Tiongkok antara lain:
- Berita Fa-Hsien, tahun 414 M dalam bukunya yang berjudul Fa-Kao-Chi menceritakan bahwa di Ye-po-ti hanya sedikit dijumpai orang-orang yang beragama Buddha, yang banyak adalah orang-orang yang beragama Hindu dan sebagian masih animisme.
- Berita Dinasti Sui, menceritakan bahwa tahun 528 dan 535 telah datang utusan dari To- lomo yang terletak di sebelah selatan.
- Berita Dinasti Tang, juga menceritakan bahwa tahun 666 dan 669 telah datang utusaan dari To-lo-mo.
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan
berkembang antara tahun 400-600 M. Berdasarkan prasasti-prasasti
tersebut diketahui raja yang memerintah pada waktu itu adalah
Purnawarman. Wilayah kekuasaan Purnawarman menurut prasasti Tugu,
meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta,
Bogor dan Cirebon.
- Kerajaan Kediri
Kerajaan Kediri adalah sebuah kerajaan
yang terdapat di Jawa Timur antara tahun 1042-1222. Kerajaan ini
berpusat di kota Daha, yang terletak di sekitar Kota Kediri sekarang.
Latar Belakang
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum
Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang
berarti kota api. Nama ini terdapat dalam prasasti Pamwatan yang
dikeluarkan Airlangga tahun 1042. Hal ini sesuai dengan berita dalam
Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat
kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.
Pada akhir November 1042, Airlangga
terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing
memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Daha. Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah
menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama
Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai
pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah
ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.
Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu
memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat
dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri.
Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).
Runtuhnya Kerajaan Kediri
Arca Buddha Vajrasattva zaman Kediri,
abad X/XI, koleksi Museum für Indische Kunst, Berlin-Dahlem, Jerman.
Kerajaan Panjalu-Kadiri runtuh pada masa pemerintahan Kertajaya, dan
dikisahkan dalam Pararaton dan Nagarakretagama. Pada tahun 1222
Kertajaya sedang berselisih melawan kaum brahmana yang kemudian
meminta perlindungan Ken Arok akuwu Tumapel. Kebetulan Ken Arok juga
bercita-cita memerdekakan Tumapel yang merupakan daerah bawahan Kadiri.
Perang antara Kadiri dan Tumapel terjadi
dekat desa Ganter. Pasukan Ken Arok berhasil menghancurkan pasukan
Kertajaya. Dengan demikian berakhirlah masa Kerajaan Kadiri, yang sejak
saat itu kemudian menjadi bawahan Tumapel atau Singhasari.
- Kerajaan Singhasari
Kerajaan Singhasari atau sering pula
ditulis Singasari, adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang
didirikan oleh Ken Arok pada tahun 1222. Lokasi kerajaan ini
sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari, Malang.
Awal Berdirinya
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya
sebuah daerah bawahan Kerajaan Kediri. Yang menjabat sebagai akuwu
(setara camat) Tumapel saat itu adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh
secara licik oleh pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang
kemudian menjadi akuwu baru. Tidak hanya itu, Ken Arok bahkan berniat
melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kediri.
Pada tahun 1222 terjadi perseteruan
antara Kertajaya raja Kediri melawan kaum brahmana. Para brahmana lalu
menggabungkan diri dengan Ken Arok yang mengangkat dirinya menjadi raja
pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi.
Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang dimenangkan oleh pihak
Tumapel. Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk
pendirian Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken
Arok. Dalam naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa
Sang Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kediri.
Prasasti Mula Malurung atas nama
Kertanagara tahun 1255, menyebutkan kalau pendiri Kerajaan Tumapel
adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah gelar anumerta dari Ranggah
Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah pendiri kerajaan Tumapel
tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga menyebutkan
bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Puncak Kejayaan
Kertanagara adalah raja terakhir dan raja
terbesar dalam sejarah Singasari (1268-1292). Ia adalah raja pertama
yang mengalihkan wawasannya ke luar Jawa. Pada tahun 1275 ia mengirim
pasukan Ekspedisi Pamalayu untuk menjadikan pulau Sumatra sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi ekspansi bangsa Mongol.
Saat itu penguasa pulau Sumatra adalah
Kerajaan Dharmasraya (kelanjutan dari Kerajaan Malayu). Kerajaan ini
akhirnya tunduk dengan ditemukannya bukti arca Amoghapasa yang dikirim
Kertanagara sebagai tanda persahabatan kedua negara.
Pada tahun 1284, Kertanagara juga
mengadakan ekspedisi menaklukkan Bali. Pada tahun 1289 Kaisar Kubilai
Khan mengirim utusan ke Singasari meminta agar Jawa mengakui kedaulatan
Mongol. Namun permintaan itu ditolak tegas oleh Kertanagara.
Nagarakretagama menyebutkan daerah-daerah bawahan Singhasari di luar
Jawa pada masa Kertanagara antara lain, Melayu, Bali, Pahang, Gurun, dan
Bakulapura.
Peristiwa Keruntuhan
Kerajaan Singasari yang sibuk mengirimkan
angkatan perangnya ke luar Jawa akhirnya mengalami keropos di bagian
dalam. Pada tahun 1292 terjadi pemberontakan Jayakatwang bupati
Gelang-Gelang, yang merupakan sepupu, sekaligus ipar, sekaligus besan
dari Kertanagara sendiri. Dalam serangan itu Kertanagara mati terbunuh.
Setelah runtuhnya Singhasari, Jayakatwang menjadi raja dan membangun ibu
kota baru di Kadiri. Riwayat Kerajaan Tumapel-Singhasari pun berakhir.
- Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit adalah sebuah kerajaan
kuno di Indonesia yang pernah berdiri dari sekitar tahun 1293 hingga
1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak kejayaannya pada masa kekuasaan
Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350 hingga 1389. Majapahit
menguasai kerajaan-kerajaan lainnya di semenanjung Malaya, Borneo,
Sumatra, Bali, dan Filipina.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu
terakhir di semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari
negara terbesar dalam sejarah Indonesia. Kekuasaannya terbentang di
Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo dan Indonesia timur, meskipun
wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik
sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak jelas. Sumber utama yang
digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton (‘Kitab Raja-raja’) dalam
bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno. Pararaton
terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singasari) namun juga
memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit. Sementara
itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada masa
keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa itu,
hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti
dalam bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan
negara-negara lain.
Sejarah Berdirinya Majapahit
Sesudah Singasari mengusir Sriwijaya dari
Jawa secara keseluruhan pada tahun 1290, Singasari menjadi kerajaan
paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini menjadi perhatian Kubilai Khan,
penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia mengirim utusan yang bernama Meng
Chi ke Singasari yang menuntut upeti. Kertanagara, penguasa kerajaan
Singasari yang terakhir, menolak untuk membayar upeti dan mempermalukan
utusan tersebut dengan merusak wajahnya dan memotong telinganya. Kublai
Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa tahun 1293.
Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri,
sudah membunuh Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang
memberikan pengampunan kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang
datang menyerahkan diri. Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia
membuka hutan itu dan membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit,
yang namanya diambil dari buah maja, dan rasa “pahit” dari buah
tersebut. Ketika pasukan Mongolia tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan
Mongolia untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik
menyerang sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang
kembali pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori
asing. Saat itu juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk
menangkap angin muson agar dapat pulang, atau mereka harus terpaksa
menunggu enam bulan lagi di pulau yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai
tanggal kelahiran kerajaan Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya
sebagai raja, yaitu pada tanggal 10 November 1293. Ia dinobatkan dengan
nama resmi Kertarajasa Jayawardhana. Kerajaan ini
menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa, termasuk
Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil. Slamet Muljana menduga bahwa
mahapatih Halayudha lah yang melakukan konspirasi untuk menjatuhkan
semua orang terpercaya raja, agar ia dapat mencapai posisi tertinggi
dalam pemerintahan. Namun setelah kematian pemberontak terakhir (Kuti),
Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu dihukum mati. Wijaya
meninggal dunia pada tahun 1309.
Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara,
adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia digelari Kala Gemet, yang
berarti “penjahat lemah”. Pada tahun 1328, Jayanegara dibunuh oleh
tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari
istana dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya
Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama
kekuasaan Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar
dan terkenal di daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai
kematian ibunya pada tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam
Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara,
memerintah Majapahit dari tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya,
Majapahit mencapai puncak kejayaannya dengan bantuan mahapatihnya, Gajah
Mada. Di bawah perintah Gajah Mada (1313-1364), Majapahit menguasai
lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377, beberapa tahun setelah kematian
Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan laut ke Palembang,
menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya. Jenderal terkenal
Majapahit lainnya adalah Adityawarman, yang terkenal karena
penaklukannya di Minangkabau.
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh
XIII-XV, daerah kekuasaan Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung
Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan
sebagian kepulauan Filipina. Namun demikian, batasan alam dan ekonomi
menunjukkan bahwa daerah-daerah kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah
berada di bawah kekuasaan terpusat Majapahit, tetapi terhubungkan satu
sama lain oleh perdagangan yang mungkin berupa monopoli oleh raja.
Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa, Kamboja, Siam, Birma
bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-dutanya ke
Tiongkok.
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad
ke-14, kekuasaan Majapahit berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi
perang saudara (Perang Paregreg) pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi
melawan Wikramawardhana. Demikian pula telah terjadi pergantian raja
yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan pemberontakan besar yang
dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram
atau candrasengkala yang berbunyi sirna ilang kretaning bumi. Sengkala
ini konon adalah tahun berakhirnya Majapahit dan harus dibaca sebagai
0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478 Masehi. Arti sengkala ini adalah
“sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun demikian, yang sebenarnya
digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah gugurnya Bre Kertabumi,
raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana. Ketika Majapahit
didirikan, pedagang Muslim dan para penyebar agama sudah mulai memasuki
nusantara. Pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15, pengaruh Majapahit
di seluruh nusantara mulai berkurang. Pada saat bersamaan, sebuah
kerajaan perdagangan baru yang berdasarkan agama Islam, yaitu Kesultanan
Malaka, mulai muncul di bagian barat nusantara.
Catatan sejarah dari Tiongkok, Portugis,
dan Italia mengindikasikan bahwa telah terjadi perpindahan kekuasaan
Majapahit dari tangan penguasa Hindu ke tangan Adipati Unus, penguasa
dari Kesultanan Demak, antara tahun 1518 dan 1521 M.
No comments:
Post a Comment