A. PENDAHULUAN
Pada awal sejarahnya ilmu pengetahuan
hanya dipraktekkan oleh ilmuan amatir atas dasar hobi. Namun, dalam
perkembangan berikutnya, ilmu pengetahuan mulai terinstitusionalisasi (institusionalization of science). Dimulai dengan berdirinya beberapa organisasi yang menjadi wadah pertemuan para scientist untuk mengembangkan keilmuannya.[1] Tahap selanjutnya, adalah tahapan academization of science, dimana dalam tahapan ini, ilmu pengetahuan terpusat pada kegiatan akademik universitas.[2]
Terlepas dari pola pengembangannya di
atas, sejarah telah mencatat bahwa ilmu merupakan pendobrak pintu
kebodohan yang mengunci kemajuan dan peradaban manusia. Rangkaian isu
“irrasional” yang melilit kehidupan manusia, sedikit demi sedikit
terkikis bersamaan dengan derasnya arus penemuan-penemuan yang berguna
untuk kemudahan hidup manusia. Pada tataran aksiologis, ilmu merupakan
hasil kreasi manusia yang diciptakan guna memudahkan kehidupan manusia.
Secara epistemologis dapat dikatakan
bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi
pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan penyerapan
teori dari masa ke masa. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori
lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset
ilmiah yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma sebagai referensi
riset saja, sehingga menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa
memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (melahirkan revolusi
sains). Tumbuh-kembangnya teori dan pergeseran paradigma merupakan pola
perkembangan yang biasa dari ilmu yang telah matang. Selain itu,
berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya
ilmu.
Sehingga dengan demikian, perkembangan
ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara
mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya,
untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan
pembagian atau klasifikasi secara periodik. Namun ironisnya, dalam
pemaparan sejarah yang ada, khususnya sejarah ilmu pengetahuan, menurut
berbagai sumber menyimpulkan bahwa terjadi distorsi terhadap fakta
sejarah. Ada semacam upaya penghapusan jejak hasil peradaban dan
kemajuan komunitas tertentu yang pernah menorehkan keilmuan yang begitu
gemilang. Dalam hal ini, sejarah peradaban dan keemasan Islam yang
menjadi “korban”, sehingga pada akhirnya memicu protes dari kalangan
Ilmuan Islam.[3]
Berkaitan dengan di atas, urgensi
pemaparan sejarah ilmu pengetahuan merupakan sebuah kemestian. Sehingga
proses kesinambungan keilmuan dari masa ke masa akan mudah ditelusuri.
Selain itu, akan memperjelas rantai ilmu dalam lingkaran sejarah yang
mengitarinya, mengingat akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang sengaja
melepas tanggung jawab moralnya sebagai akademisi untuk enggan bersikap
objektif dalam pemaparan sejarah. Padahal, idealnya sejarah adalah
rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi, yang
berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada
tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya ia hanya mengungkap
sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya
dari rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik dan
kepentingan.[4]
Dengan demikian, pemaparan perkembangan
ilmu dibawah ini akan memuat sejarah ilmu secara objektif, menyimpulkan
dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kepercayaannya.
Untuk memudahkan penelusuran, akan dibagi berdasarkan periodik,
mengingat dalam setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan
menampilkan ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran secara teoritis
senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan
ilmu dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer,
secara ringkas disusun sebagai berikut:
B. PERKEMBANGAN ILMU DARI MASA KE MASA
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar
membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat
periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans
dan modern, dan pada zaman kontemporer.[5]
Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat diusut sampai pada
permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah
menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan
mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga
dengan masa pra-sejarah.[6]
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai
awal periodisasi ilmu di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu
lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan
ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Dalam hal ini, George J. Mouly
berbicara asal muasal ilmu kaitannya dengan manusia, setidaknya ia
memaparkan hubungan antara ilmu dan manusia seperti ayam dan telur.
Amsal Bakhtiar memilih untuk memulai berbicara riwayat ilmu sejak ilmu
mulai mudah “terindetifikasi”. Dibawah ini akan memaparkan perkembangn
ilmu pengetahuan sejak diputuskannya penamaan ilmu, yaitu sejak zaman
Yunani.
1. Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno
a. Ilmu pada Zaman Yunani
Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya
ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan
ilmu ini dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang
berkembang saat itu. Sebelumnya bangsa Yunani masih diselemuti oleh
pola pikir mitosentris, namun pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah
filsafat yang dikenal dengan the greek miracle. Dengan
paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab
persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan
terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh George J.
Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris
dan ilmu teoritis.[7]
Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam
kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus.
Pada tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai
pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi logosentris.[8]
Seiring dengan berkembangannya waktu,
filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk
menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan
filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat
manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan
sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.[9] Jones dalam A History of Western, mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani.[10]
Para ahli pada zaman itu, mencoba membuat
konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari pemikiranya untuk
membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik (keteranganya
didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya
demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM),
Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM),
Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka pemikiran
filsafat berkembang secara cepat kearah puncaknya. [11]
Thales, yang dikenal dengan filosof
tertua, mengucapakan “semua adalah air”, dengan kata lain, dia
berpendapat bahwa asal alam adalah air. Anaximandros mencoba menjelaskan
bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, ada dengan sendirinya. Dia
mengatakan itu udara, udara merupakan sumber segala kehidupan.
Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya
kosmos tidak pernah berhenti (diam); ia selalu berubah, dan bergerak.
Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pernyataan
sederhana. [12]
Bertolak belakang dengan Heraklitos,
Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang
bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berusaha menemukan
kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial,
dan personalitas bilangan.[13]
Ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus
menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil,
terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam
pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang
dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada
pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof mempunyai pandangan
berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan
selalu berarti negatif, tetapi justru merupakan kekayaan khazanah
keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi
setelahnya.
Ravertz dalam bukunya Filsafat Ilmu menyebutkan, paling tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kemapanannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang menekankan observasi, dan kedua, geometri yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus.[14]
Periode setelah Socrates disebut dengan
zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada zaman ini
kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam
dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato
(429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates.[15]
Plato, yang hiudp di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf
earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia
akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan karya
yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat
garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari
sudut perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima
pada saat itu.[16]
Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani
terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia adalah murid Plato,
walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai soal-soal mendasar.
Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari
kenyataan ilmiah.[17]
Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat
yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan
metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang
disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:
- Semua manusia akan mati (premis mayor).
- Socrates seorang manusia (premis minor).
- Socrates akan mati (konklusi).
b. Ilmu pada Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah ditorehkan
oleh Bangsa Romawi tidak bisa dilepaskan dari bangunan ilmu pengetahuan
yang telah disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam banyak literatur
yang ada, disebutkan bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang pertama
kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa
Yunani, sehingga mata rantai kelimuan yang mulai memudar yang
seolah-olah putus dalam sejarah perkambangan ilmu pengetahuan bangsa
Yunani menjadi tumbuh kembali. Sehingga di dalam lapangan inovasi ilmu
pengetahuan, bangsa Romawi tidak banyak melahirkan para pemikir yang
ulung, konseptor yang handal, dan perumus teori dalam rangka melebarkan
sayap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, bangsa ini tidak menekankan
soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini
tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Memang ada dua ilmuan yang sangat
besar yang hidup selama pemerintahan Marcus Aurelius pada abad kedua
masehi, namun keduanya adalah bangsa Yunani.[18]
Namun yang perlu dicatat bahwa bangsa Romawi membuat pemikiran
spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapakan dengan mudah.
Kendati demikian, bangsa Romawi bukan
berarti tidak memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
Sejarah mencatat bahwa bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan
keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan
pemerintahan.
Sumbangan terbesar bangsa Romawai kepada
peradaban manusia terutama dalam bidang pemikiran sistem hukum dan
lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang
banyak diadopsi para pemikir Barat,[19] antara lain : Ius Civile, Ius Gentium, Ius Naturale. Dari segi pemikiran ilmu politik, Romawi memberikan pemahaman tentang teori imperium, antara lain[20] :
- Kekuasaan dan otoritas negara
- equal rights (Persamaan hak politik)
- Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
- Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan[21]
Para sejarawan berspekulasi tentang
penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan ilmu. Ada yang
mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi industri,
sebagai penyebabnya.[22]
2. Ilmu dalam Peradaban Abad Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa ini
mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancillla theologia atau abdi agama.[23]
Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung
kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena
mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati.[24] Inilah yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age). Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne.[25]
Namun di Timur terutama di wiayah
kekuasaan Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.
Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu
keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan
besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan
di lapangan ilmiah lainnya.[26]
Potret lmu Pengetahuan Periode Islam
Menurut Harun Nasution, keilmuan
berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal
seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu
dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani
yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman
Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia
(Syiria), dan Bactra (Persia).[27]
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria,
dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan
dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat
sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian
dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900
M– ke Baghdad.[28]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan
ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan
kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti : Al-Ḥāwī karya al-Rāzī
(850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan
ilmu kedokteran sampai masanya.[29]
Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul
Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun)
yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi
(Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M,
yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis
perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan
penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu
Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari
karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari
daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger
II dari kerajaan Sicilia.[30]
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān
(Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn
Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun
metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan
bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa
berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri
gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.[31]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas,
sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja
al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M),
al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl
atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M).
Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu
Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari
sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian
diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin
memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa
Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog
ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[32]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat
Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah
berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa
sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada
sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang
keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para
pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di
Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang
Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka
yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya
zaman pencerahan atau renaisans.[33]
Pada zaman itu bangsa Arab juga menjadi
pemimpin di bidang Ilmu Alam. Istilah zenith, nadir, dab azimut
membuktikan hal itu. Angka yang masih dipakai sampai sekarang, yang
berasal dari India telah dimasukkan ke Eropa oleh bangsa Arab. Sumbangan
sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu :[34]
- Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini.
- Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
- Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
3. Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M)
Renaisans merupakan era sejarah yang
penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi
perkembangan ilmu. Orang pertama yang menggunakan istilah renaisans
adalah Michelet. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk
menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa,
dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16.
Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung
atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans
merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu
humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme.[35]
Ravertz menuturkan bahwa kemajuan Islam
pada abad 12 dengan peradaban yang lebih tinggi yang terdapat di Spanyol
dan Palestina dan sebagian lagi disebabkan perkembangan kota berbagai
kota dengan kelas atanya sangat memberikan pengaruh besar munculnya
renaisans ditengah-tengah abad gelap yang melanda Eropa.[36]
Dari pergaulan dengan peradaban Islam ini, muncullah karangan-karangan
spekulatif sederhana tentang filsafat ilmiah. Abad ke-13 menyaksikan
berdirinya universitas dan zaman kebesaran pengetahuan skolastik. Thomas
Aquinas, seorang teolog terkemuka dan Roger Bacon, penganjur metode
eksperimental, termasuk dalam zaman ini.[37]
Ilmu pengetahuan yang berkemang maju pada
masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara
lain : Roger Bacon, Copernicus, Galileo Galilei. Bacon berpendapat
bahwa matematika meruakan syarat mutlak untuk mengolah semua
pengetahuan. Sekalipun ia menganjurkan pengalaman sebagai basis ilmu
pengetahuan, namun ia sendiri tidak meninggalkan tulisan atau karya yang
cukup berarti bagi ilmu pengetahuan.[38]
Pendapat Copernicus berkenaan di bidang
astronomi yaitu bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga
matahari menjadi pusat (heliosentrisisme). Pendapat ini berlawanan
dengan pendapat umum yang berasal dari Hippaarchus dan Ptolomeus yang
menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisisme).[39]
Berkenaan dengan pendapat di atas,
Galileo Galilei menerima pendapat tentang prinsip tata surya yang
heliosentrisisme. Selain itu, ia membuat sebuah teropong bintang yang
terbesar pada masa itu dan mengamati bebeapa peristiwa angkasa secara
langsung. Ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang
astronomi. Ia melihat planet Venus dan Mercurius menunjukkan
perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga menyimpulkan bahwa
planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri.[40]
Langkah-langkah yang dilakukan oleh
Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti :
pengamatan (observation), penyingkiran (elimination), segalaa hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, peristiwa tersebut, pengamalan (prediction), pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.[41]
4. Ilmu pada Zaman Modern (17-19 M)
Perkembangan ilmu
pengetahuan pada zaman modern ini sesunguhnya sudah dirintis pada masa
Ranaissance, yaitu pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’
Aufklaerung di abad ke-18. Di dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.[42] Sehingga dengan demikian, membawa benua Eropa sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan.
a. Abad ke-17 sampai 18 (abad klasik-Aufklaerung)
Pada abad ke-17 terjadi perumusan kembali
yang radikal terhadap objek-objek dan fungsi-fungsi pengetahuan
alamiah. Pada abad ini, wacana epistemologi pada ilmu pengetahuan
mendapat perhatian penting dalam sejarahnya. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistimologis ini, maka dua aliran
filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan.
Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan emperisme.[43]
Menjelang abad k-18, mulailah revolusi
industri yang mentransformasikan Eropa dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Perancis,
aktivitas ilmu mengalami perubahan-perubahan yang sedemikian rupa. Gaya
dominan ilmu di zaman revolusi adalah matematis. Dalam penerapannya,
metode-metode yang digunakan beruapa rasionalisasi
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains
pada zaman modern, khususnya pada abad ke-17-18 M, yaitu : Sir Isaac
Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M),
Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M),
dan J.J. Thompson (1897 M). Newton adalah penemu teori gravitasi,
perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa
Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan astronomi.
J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah
anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam
kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir. [44]
b. Abad ke-19
Selama abad ke-19, bangsa-bangsa industri
maju Eropa membaurkan akibat-akibat revolusi industri dengan revolusi
Perancis. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan serupa dalam
pencapaian sistem yang sistematis dan dalam penciptaan lembaga-lembaga
pengembangan aktivitas ilmiah.
Abad ke-19 merupakan abad emas dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu meluas menjadi bidang-bidang
penelitian dan sangat berhasil. Perluasan itu meliputi penggabungan
matemaika dengan eksperimen fisika, penerapan teori kepada eksperimen
dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi.[45]
Edisi-edisi Encyclopedia Britannica yang
terbit di penghujung abad ini, dengan paparan historisnya yang panjang
mengenai tiap ilmu, adalah monumen bagi abad ini dan merupakan sumber
informasi yang sangat berharga bagi para pelajar.[46]
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti
taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19
lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi,
dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern
memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.
5. Ilmu pada Zaman Kontemporer
Zaman kontemporer adalah era perkembangan
terakhir yang terjadi dari abad 20-an hingga sekarang. Perkembangan
ilmu di zaman ini mengalami kemajuan pesat, sehingga spesialisasi ilmu
semakin meningkat. Hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu
sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan
politik serta ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta
aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi,
dan komunikasi.
Menurut sejumlah pengamat perkembangan
ilmu pengetahuan bahwa zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi,
dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang. Sasaran
rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta,
dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya,[47]
sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat seperti
yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah
dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke
generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan
listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum
diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh
penemuan radio, televisi, dan komputer.[48]
Dari komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan
terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans).[49]
Perkembangan IPTEK pada zaman ini
ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang
listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell,
1870) dalil temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan
tersebut maka banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat
diselesaikan dengan cepat dan tepat.[50]
Di awal zaman kontemporer ini, ilmu
pengetahuan banyak dihasilkan oleh ilmuan Barat. Hal ini mulai mencuat
ketika Barat berhasil menciptakan born atom yang dianggap merupakan
salah satu “produk gemilang” IPTEK, dan menelan korban ratusan ribu jiwa
manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.[51]
Namun seiring dengan waktu berjalan,
peredaran ilmu pengetahuan mulai tidak saja berkiblat ke Barat saja,
tetapi kini ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di berbagai Negara,
khususnya Negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Korea, India, dan
Iran. Bahkan, Jurnal Newscientist memuat hasil penelitian
Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal, Kanada yang melakukan
evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta teknologi
di berbagai negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix
menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali
lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di dunia. Perusahaan itu
mengamati adanya “pergeseran geopolitis dalam bidang ilmu pengetahuan
dan karya” yang dihasilkan negara-negara di dunia. Menurut
Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah yang dimuat di Web of Science
menunjukkan bahwa standar pertumbuhan karya ilmiah di Timur Tengah,
khususnya di Iran dan Turki, nyaris mendekati angka empat kali lebih
cepat dari rata-rata pertumbuhan di dunia.
C. PENUTUP
Berdasarkan paparan singkat perkembangan
sejarah ilmu pengetahuan sejak kelahirannya pada zaman Yunani sampai
sekarang, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran
dan pengaruh awal tonggak ilmu pengetahuan, yaitu Yunani. Perkembangan
ini berkembang sebagai reaksi dari ilmu pengetahuan yang sudah ada,
sehingga mengantarnya pada inovasi yang tiada henti, baik didorong
dengan semangat evolusi ataupun revolusi. Jadi, perkembangan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak,
melainkan secara bertahap, sehingga dapat memudahkan manusia dalam
menjalankan aktivitasnya, walaupun di satu sisi juga menyumbangkan
kemudhratan bagi kehidupan manusia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim(a), Filsafat Ilmu, dikutip dari http://usupress.usu.ac.id/, diakses tanggal 6 Januari 2011
Anonim(b), “Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://syiena.wordpress.com/, diakses tanggal 11 Januari 2011
Anonim(c), “Kontribusi Warisan Inteletual
Peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam terhadap Pemikiran
Politik Barat” dikutip dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/, di akses tanggal 7 Januari 2011
Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers, 2010
Childe, Gordon, What Happened in History, Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”,
dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat
Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri Jakarta: Gramedia, 1991.
Goodman, Lenn E., “Muḥammad ibn Zakariyyā
al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Jasin, Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
Klein-Franke, Felix, “Al-Kindī”, dalam
Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan
Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,cet. II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
Ravertz, Jerome R., Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan keempat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Russel, B., History of Western Philosophy, London : George Allen & Unwin Ltd, 1957
Schumpeter, Joseph A., A History of Economic Analysis, New york : Oxford University Press, 1954
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogykarta : Liberty, 1996
Watt, W. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
William, M, Science and Social Science : An Introduction. London.: Routledge, 2000
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip dari http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7 Januari 2011
Ziman, J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of society.Cambridge: Cambridge University Press, 1986
[1] Ziman, J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of society.( Cambridge: Cambridge University Press, 1986).
[2] William, M, Science and Social Science : An Introduction. (London.: Routledge, 2000)
[3] Josep Schumpeter, misalnya dalam buku magnum opus-nya menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa
kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Muslim,
suatu hal yang berusaha ditutup-tutupi oleb Barat karena pemikiran
ekonom Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para
ekonom Barat. Baca lebih lanjut Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis, (New york : Oxford University Press, 1954), dan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 10-11
[4] Gordon Childe, What Happened in History (Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975), hlm. 13.
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu
(Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 16-17. Periodeisasi ini mengandung
tiga kemungkinan. Pertama, menafikan adanya pengetahuan yang tersistem
sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak adanya data historis tentang
adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai pada kita. Ketiga,
Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Baca lebih lanjut M.
Subhan Zamzami, “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/11/11/sejarah-perkembangan-ilmu-pengetahuan/, diakses tanggal 4 Januari 2011
[6]
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif:
Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S.
Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm.87.
[7] Ibid.
[8]
Sebagai contoh, gempa bumi pada saat itu tidak dianggap fenomena alam
biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun,
ketika filsafat diperkenalkan, fenoomena alam tersebut tidak lagi
dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi
secara kualitas.
[9] Subhan Zamzami, “ Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan”.
[10] Jones, W.T.C, A History of Western Philosophy, The Classical Mind, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, Chicago, 1970, hlm.2. dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip dari http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7 Januari 2011
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm 48-50
[12] Ibid.
[13] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan keempat (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 8
[14] Ibid., hlm 9-10
[15] Anonim, Filsafat Ilmu, dikutip dari http://usupress.usu.ac.id/files/Filsafat%20Ilmu%20dan%20 Metode%20Riset _Normal_bab%201.pdf, diakses tanggal 6 Januari 2011
[16] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 10
[17] Ibid., hlm 12
[18]
Kedua orang itu adalah Galen dari Pergamon, mensintesiskan dan
memajukan studi kedokteran, anatomi dan fisiologi, dan Ptolemeus dari
Alexandria, membawa astronomi matematis yang mendekati kesempurnaan
klasik. Baca lebih lanjut Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 14
[19]
Anonim, “Kontribusi Warisan Inteletual Peradaban Yunani-Romawi,
Judeo-Kristiani, dan Islam terhadap Pemikiran Politik Barat” dikutip
dari
http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2009/10/kontribusi-warisan.ppt, di akses tanggal 7 Januari 2011
http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2009/10/kontribusi-warisan.ppt, di akses tanggal 7 Januari 2011
[20] Ibid.
[21] Ibid.,Hubungan
antara Politik dan Agama, dalam hal ini wewenang pemerintahan dan
wewenang Gereja Katholik, salah satu hubungannya berupa pemberian gelar
kepada Paus sebagai “Supreme Pontiff” (Pontofex Maximus); Kaisar sebagai
pemimpin agama warga negara.
[22] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 15
[23] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007), hlm. 85
[24] Ibid.
[25] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 16
[26] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,cet. II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), hlm. 128
[27] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
[28] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 44-45
[29]
Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū Bakar
Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman,
“Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 243-265.
[30] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 1996), hlm 42.
[31] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 60-61.
[32]
Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung:
Mizan, 2003), hlm. 209-210
[33] Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 567.
[34] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 42-43
[35] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra, hlm. 125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 49-50.
[36] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 16
[37] Ibid.
[38] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 44
[39] Ibid.
[40] Ibid., hlm. 45-46
[41] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,hlm. 133
[42] Ibid., hlm 71, baca lebih mendalam Russel, B., History of Western Philosophy, (London : George Allen & Unwin Ltd, 1957).
[43] Ibid., hlm. 73
[44] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 48-51, dan Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 87-88
[45] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 62
[46] Ibid.
[47]
Pada abad 20-an ini berkembang aliran-aliran filsafat modern, seperti :
neo-thomisme, neo-katianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme,
neo-positivisme dan aliran filsafat baru sama sekali seperti ;
fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang
paling mutakhir adalah aliran postmodernisme.
[48] Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 202
[49] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 79.
[50] [50] Anonim, “Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/ filsafat-ilmu-pengetahuan/, diakses tanggal 11 Januari 2011
[51] Ibid.
No comments:
Post a Comment