18 Oct 2014

DINAMIKA PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN : DARI MITOS KE LOGOS


 


A. PENDAHULUAN

Pada awal sejarahnya ilmu pengetahuan hanya dipraktekkan oleh ilmuan amatir atas dasar hobi. Namun, dalam perkembangan berikutnya, ilmu pengetahuan mulai terinstitusionalisasi (institusionalization of science). Dimulai dengan berdirinya beberapa organisasi yang menjadi wadah pertemuan para scientist untuk mengembangkan keilmuannya.[1] Tahap selanjutnya, adalah tahapan academization of science, dimana dalam tahapan ini, ilmu pengetahuan terpusat pada kegiatan akademik universitas.[2]
Terlepas dari pola pengembangannya di atas, sejarah telah mencatat bahwa ilmu merupakan pendobrak pintu kebodohan yang mengunci kemajuan dan peradaban manusia. Rangkaian isu “irrasional” yang melilit kehidupan manusia, sedikit demi sedikit terkikis bersamaan dengan derasnya arus penemuan-penemuan yang berguna untuk kemudahan hidup manusia. Pada tataran aksiologis, ilmu merupakan hasil kreasi manusia yang diciptakan guna memudahkan kehidupan manusia.
Secara epistemologis dapat dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan penyerapan teori dari masa ke masa. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma sebagai referensi riset saja, sehingga menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya (melahirkan revolusi sains). Tumbuh-kembangnya teori dan pergeseran paradigma merupakan pola perkembangan yang biasa dari ilmu yang telah matang. Selain itu, berkembangnya peralatan analisis juga mendorong semakin berkembangnya ilmu.
Sehingga dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya, untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian atau klasifikasi secara periodik. Namun ironisnya, dalam pemaparan sejarah yang ada, khususnya sejarah ilmu pengetahuan, menurut berbagai sumber menyimpulkan bahwa terjadi distorsi terhadap fakta sejarah. Ada semacam upaya penghapusan jejak hasil peradaban dan kemajuan komunitas tertentu yang pernah menorehkan keilmuan yang begitu gemilang. Dalam hal ini, sejarah peradaban dan keemasan Islam yang menjadi “korban”, sehingga pada akhirnya memicu protes dari kalangan Ilmuan Islam.[3]
Berkaitan dengan di atas, urgensi pemaparan sejarah ilmu pengetahuan merupakan sebuah kemestian. Sehingga proses kesinambungan keilmuan dari masa ke masa akan mudah ditelusuri. Selain itu, akan memperjelas rantai ilmu dalam lingkaran sejarah yang mengitarinya, mengingat akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang sengaja melepas tanggung jawab moralnya sebagai akademisi untuk enggan bersikap objektif dalam pemaparan sejarah. Padahal, idealnya sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan peristiwa yang telah terjadi, yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu sesuai dengan fakta yang ada tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya ia hanya mengungkap sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas sepenuhnya dari rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik dan kepentingan.[4]
Dengan demikian, pemaparan perkembangan ilmu dibawah ini akan memuat sejarah ilmu secara objektif, menyimpulkan dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan kepercayaannya. Untuk memudahkan penelusuran, akan dibagi berdasarkan periodik, mengingat dalam setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu dimulai dari peradaban Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer, secara ringkas disusun sebagai berikut:

B. PERKEMBANGAN ILMU DARI MASA KE MASA
Secara garis besar, Amsal Bakhtiar membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan modern, dan pada zaman kontemporer.[5] Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu dapat diusut sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan masa pra-sejarah.[6]
Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai awal periodisasi ilmu di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Dalam hal ini, George J. Mouly berbicara asal muasal ilmu kaitannya dengan manusia, setidaknya ia memaparkan hubungan antara ilmu dan manusia seperti ayam dan telur. Amsal Bakhtiar memilih untuk memulai berbicara riwayat ilmu sejak ilmu mulai mudah “terindetifikasi”.  Dibawah ini akan memaparkan perkembangn ilmu pengetahuan sejak diputuskannya penamaan ilmu, yaitu sejak zaman Yunani.

1. Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno
a. Ilmu pada Zaman Yunani
Di dalam banyak literatur menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat itu. Sebelumnya bangsa Yunani masih diselemuti oleh pola pikir mitosentris, namun pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat yang dikenal dengan   the greek miracle. Dengan paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh George J. Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu empiris dan ilmu teoritis.[7] Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi logosentris.[8]
Seiring dengan berkembangannya waktu, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-generasi setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan filsafat Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya.[9] Jones dalam A History of Western, mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat seperti sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani.[10]
Para ahli pada zaman itu, mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari pemikiranya untuk membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah puncaknya. [11]
Thales, yang dikenal dengan filosof tertua, mengucapakan “semua adalah air”, dengan kata lain, dia berpendapat bahwa asal alam adalah air. Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa substansi pertama itu bersifat kekal, ada dengan sendirinya. Dia mengatakan itu udara, udara merupakan sumber segala kehidupan. Heraklitos melihat alam semesta selalu dalam keadaan berubah. Baginya kosmos tidak pernah berhenti (diam); ia selalu berubah, dan bergerak. Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah bukanlah pernyataan sederhana. [12]
Bertolak belakang dengan Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berusaha menemukan kunci bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan personalitas bilangan.[13] Ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil, terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof mempunyai pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan selalu berarti negatif, tetapi justru merupakan kekayaan khazanah keilmuan. Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Ravertz dalam bukunya Filsafat Ilmu menyebutkan, paling tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada waktu itu mendekati kemapanannya, pertama, ilmu kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang menekankan observasi, dan kedua, geometri yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara ilmu hitung yang disusun secara khusus.[14]
Periode setelah Socrates disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada zaman ini kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM), yang sekaligus murid Socrates.[15] Plato, yang hiudp di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest (paling tua) yang tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia akademisi hingga saat ini. Karyanya Timaeus merupakan karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.[16]
Masa keemasan kelimuan bangsa Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia adalah murid Plato, walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai soal-soal mendasar. Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari kenyataan ilmiah.[17] Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga premis:
  1. Semua manusia akan mati (premis mayor).
  2. Socrates seorang manusia (premis minor).
  3. Socrates akan mati (konklusi).

b. Ilmu pada Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah ditorehkan oleh Bangsa Romawi tidak bisa dilepaskan dari bangunan ilmu pengetahuan yang telah disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam banyak literatur yang ada, disebutkan bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang pertama kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa Yunani, sehingga mata rantai kelimuan yang mulai memudar yang seolah-olah putus dalam sejarah perkambangan ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi tumbuh kembali. Sehingga di dalam lapangan inovasi ilmu pengetahuan,  bangsa Romawi tidak banyak melahirkan para pemikir yang ulung, konseptor yang handal, dan perumus teori dalam rangka melebarkan sayap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Memang ada dua ilmuan yang sangat besar yang hidup selama pemerintahan Marcus Aurelius pada abad kedua masehi, namun keduanya adalah bangsa Yunani.[18] Namun yang perlu dicatat bahwa bangsa Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani menjadi praktis dan dapat diterapakan dengan mudah.
Kendati demikian, bangsa Romawi bukan berarti tidak memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan.  Sejarah mencatat bahwa bangsa Romawi memiliki kemahiran dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur hukum dan pemerintahan.
Sumbangan terbesar bangsa Romawai kepada peradaban manusia terutama dalam bidang pemikiran sistem hukum dan lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang banyak diadopsi para pemikir Barat,[19] antara lain : Ius Civile, Ius Gentium, Ius Naturale. Dari segi pemikiran ilmu politik, Romawi memberikan pemahaman tentang teori imperium, antara lain[20] :
  1. Kekuasaan dan otoritas negara
  2. equal rights (Persamaan hak politik)
  3. Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
  4. Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan[21]
Para sejarawan berspekulasi tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan ilmu. Ada yang mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi industri, sebagai penyebabnya.[22]

2. Ilmu dalam Peradaban Abad Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa ini mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancillla theologia atau abdi agama.[23] Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati.[24] Inilah yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad gelap (dark age). Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne.[25]
Namun di Timur terutama di wiayah kekuasaan Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat. Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan, maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[26]

Potret lmu Pengetahuan Periode Islam
Menurut Harun Nasution, keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[27] W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad.[28]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti : Al-Ḥāwī karya al-Rāzī (850-923)  merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu kedokteran sampai masanya.[29] Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens, Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70 peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger II dari kerajaan Sicilia.[30]
Dalam bidang kimia ada Jābir ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya. Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat yang mencapai ketepatan tinggi.[31]
Selain disiplin-disiplin ilmu di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī (w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w. 1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke, al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī. Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[32] Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan atau renaisans.[33]
Pada zaman itu bangsa Arab juga menjadi pemimpin di bidang Ilmu Alam. Istilah zenith, nadir, dab azimut membuktikan hal itu. Angka yang masih dipakai sampai sekarang, yang berasal dari India telah dimasukkan ke Eropa oleh bangsa Arab. Sumbangan sarjana Islam dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu :[34]
  1. Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan menyebarluaskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti sekarang ini.
  2. Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu tumbuh-tumbuhan.
  3. Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar aljabar.
3. Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M)
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Orang pertama yang menggunakan istilah renaisans adalah Michelet. Para sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Renaisans adalah periode perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern. Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme, individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme.[35]
Ravertz menuturkan bahwa kemajuan Islam pada abad 12 dengan peradaban yang lebih tinggi yang terdapat di Spanyol dan Palestina dan sebagian lagi disebabkan perkembangan kota berbagai kota dengan kelas atanya sangat memberikan pengaruh besar munculnya renaisans ditengah-tengah abad gelap yang melanda Eropa.[36] Dari pergaulan dengan peradaban Islam ini, muncullah karangan-karangan spekulatif sederhana tentang filsafat ilmiah. Abad ke-13 menyaksikan berdirinya universitas dan zaman kebesaran pengetahuan skolastik. Thomas Aquinas, seorang teolog terkemuka dan Roger Bacon, penganjur metode eksperimental, termasuk dalam zaman ini.[37]
Ilmu pengetahuan yang berkemang maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara lain  : Roger Bacon, Copernicus, Galileo Galilei. Bacon berpendapat bahwa matematika meruakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Sekalipun ia menganjurkan pengalaman sebagai basis ilmu pengetahuan, namun ia sendiri tidak meninggalkan tulisan atau karya yang cukup berarti bagi ilmu pengetahuan.[38]
Pendapat Copernicus berkenaan di bidang astronomi yaitu bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari, sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisisme). Pendapat ini berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hippaarchus dan Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisisme).[39]
Berkenaan dengan pendapat di atas, Galileo Galilei menerima pendapat tentang prinsip tata surya yang heliosentrisisme. Selain itu, ia membuat sebuah teropong bintang yang terbesar pada masa itu dan mengamati bebeapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang astronomi. Ia melihat planet Venus dan Mercurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan, sehingga menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri.[40]
Langkah-langkah yang dilakukan oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti : pengamatan (observation), penyingkiran (elimination), segalaa hal yang tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, peristiwa tersebut, pengamalan (prediction), pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori yang didasarkan pada ramalan matematik.[41]
4. Ilmu pada Zaman Modern (17-19 M)
Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman modern ini sesunguhnya sudah dirintis pada masa Ranaissance, yaitu pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’ Aufklaerung di abad ke-18. Di dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama, semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.[42] Sehingga dengan demikian, membawa benua Eropa sebagai basis perkembangan ilmu pengetahuan.

a. Abad ke-17 sampai 18 (abad klasik-Aufklaerung)
Pada abad ke-17 terjadi perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek dan fungsi-fungsi pengetahuan alamiah. Pada abad ini, wacana epistemologi pada ilmu pengetahuan mendapat perhatian penting dalam sejarahnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistimologis ini, maka dua aliran filsafat yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat tersebut ialah rasionalisme dan emperisme.[43]
Menjelang abad k-18, mulailah revolusi industri yang mentransformasikan Eropa dari masyarakat agraris menjadi masyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Perancis, aktivitas ilmu mengalami perubahan-perubahan yang sedemikian rupa. Gaya dominan ilmu di zaman revolusi adalah matematis. Dalam penerapannya, metode-metode yang digunakan beruapa rasionalisasi
Selanjutnya tokoh penemu di bidang sains pada zaman modern, khususnya pada abad ke-17-18 M, yaitu : Sir Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M), Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J. Thompson (1897 M). Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus, dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang adalah matematika, fisika, dan astronomi. J.J. Thompson menemukan elektron. Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika nuklir. [44]
b. Abad ke-19
Selama abad ke-19, bangsa-bangsa industri maju Eropa membaurkan akibat-akibat revolusi industri dengan revolusi Perancis. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan serupa dalam pencapaian sistem yang sistematis dan dalam penciptaan lembaga-lembaga pengembangan aktivitas ilmiah.
Abad ke-19 merupakan abad emas dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu meluas menjadi bidang-bidang penelitian dan sangat berhasil. Perluasan itu meliputi penggabungan matemaika dengan eksperimen fisika, penerapan teori kepada eksperimen dalam kimia, dan eksperimen yang terkendali dalam biologi.[45]
Edisi-edisi Encyclopedia Britannica yang terbit di penghujung abad ini, dengan paparan historisnya yang panjang mengenai tiap ilmu, adalah monumen bagi abad ini dan merupakan sumber informasi yang sangat berharga bagi para pelajar.[46] Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi, ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi. Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu zaman kontemporer.

5. Ilmu pada Zaman Kontemporer
Zaman kontemporer adalah era perkembangan terakhir yang terjadi dari abad 20-an hingga sekarang. Perkembangan ilmu di zaman ini mengalami kemajuan pesat, sehingga spesialisasi ilmu semakin meningkat.  Hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik serta ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi, dan komunikasi.
Menurut sejumlah pengamat perkembangan ilmu pengetahuan bahwa zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi, dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang. Sasaran rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan filsafat yang ada sudah ada sebelumnya,[47] sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah dari perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi. Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan listrik (elektronika) yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum diketahui kegunaannya. Penemuan bola lampu oleh Edison disusul oleh penemuan radio, televisi, dan komputer.[48] Dari komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan terakhir simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans).[49]
Perkembangan IPTEK pada zaman ini ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870) dalil temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat.[50]
Di awal zaman kontemporer ini, ilmu pengetahuan banyak dihasilkan oleh ilmuan Barat. Hal ini mulai mencuat ketika Barat berhasil menciptakan born atom yang dianggap merupakan salah satu “produk gemilang” IPTEK, dan menelan korban ratusan ribu jiwa manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.[51]
Namun seiring dengan waktu berjalan, peredaran ilmu pengetahuan mulai tidak saja berkiblat ke Barat saja, tetapi kini ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di berbagai Negara, khususnya Negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Korea, India, dan Iran. Bahkan, Jurnal Newscientist memuat hasil penelitian Science-Metrix, sebuah perusahaan di Motreal, Kanada yang melakukan evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu pengetahuan serta teknologi di berbagai negara. Dalam laporan hasil penelitiannya, Science-Metrix menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di dunia. Perusahaan itu mengamati adanya “pergeseran geopolitis dalam bidang ilmu pengetahuan dan karya” yang dihasilkan negara-negara di dunia. Menurut Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah yang dimuat di Web of Science menunjukkan bahwa standar pertumbuhan karya ilmiah di Timur Tengah, khususnya di Iran dan Turki, nyaris mendekati angka empat kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan di dunia.

C. PENUTUP
Berdasarkan paparan singkat perkembangan sejarah ilmu pengetahuan sejak kelahirannya pada zaman Yunani sampai sekarang, maka secara singkat dapat ditegaskan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruh awal tonggak ilmu pengetahuan, yaitu Yunani. Perkembangan ini berkembang sebagai reaksi dari ilmu pengetahuan yang sudah ada, sehingga mengantarnya pada inovasi yang tiada henti, baik didorong dengan semangat evolusi ataupun revolusi. Jadi, perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan secara bertahap, sehingga dapat memudahkan manusia dalam menjalankan aktivitasnya, walaupun di satu sisi juga menyumbangkan kemudhratan bagi kehidupan manusia itu sendiri.







DAFTAR PUSTAKA

Anonim(a), Filsafat Ilmu, dikutip dari http://usupress.usu.ac.id/, diakses tanggal 6 Januari 2011

Anonim(b), “Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://syiena.wordpress.com/, diakses tanggal 11 Januari 2011

Anonim(c), “Kontribusi Warisan Inteletual Peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam terhadap Pemikiran Politik Barat” dikutip dari http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/,  di akses tanggal 7 Januari 2011

Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, Jakarta: Rajawali Pers, 2010

Childe, Gordon, What Happened in History, Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975
George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri Jakarta: Gramedia, 1991.
Goodman, Lenn E., “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Jasin, Maskoeri, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003
Karim, Adiwarman A., Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007
Klein-Franke, Felix, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Bandung: Mizan, 2003
Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,cet. II. Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002
Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1998
Ravertz, Jerome R., Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan keempat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004
Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002
Russel, B., History of  Western Philosophy, London : George Allen & Unwin Ltd, 1957
Schumpeter, Joseph A., A History of Economic Analysis, New york : Oxford University Press, 1954
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogykarta : Liberty, 1996
Watt, W. Montgomery, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997
William, M, Science and Social Science : An Introduction. London.: Routledge, 2000
Zarkasyi, Hamid Fahmy, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip dari http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7 Januari 2011
Ziman, J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of society.Cambridge: Cambridge University Press, 1986



[1] Ziman, J. The Force of Knowledge : the scientific dimension of society.( Cambridge: Cambridge University Press, 1986).
[2] William, M, Science and Social Science : An Introduction. (London.: Routledge, 2000)
[3] Josep Schumpeter, misalnya dalam buku magnum opus-nya menyatakan adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages. Masa kegelapan Barat itu sebenarnya merupakan masa kegemilangan umat Muslim, suatu hal yang berusaha ditutup-tutupi oleb Barat karena pemikiran ekonom Muslim pada masa inilah yang kemudian banyak dicuri oleh para ekonom Barat. Baca lebih lanjut Joseph A. Schumpeter, A History of Economic Analysis, (New york : Oxford University Press, 1954), dan Adiwarman A. Karim, Ekonomi Mikro Islami, Edisi Ketiga. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm 10-11
[4] Gordon Childe, What Happened in History (Harmondswort: Penguin Books Ltd, 1975), hlm. 13.
[5] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 16-17. Periodeisasi ini mengandung tiga kemungkinan. Pertama, menafikan adanya pengetahuan yang tersistem sebelum zaman Yunani kuno. Kedua, tidak adanya data historis tentang adanya ilmu sebelum zaman Yunani kuno yang sampai pada kita. Ketiga, Bakhtiar sengaja tidak mengungkapnya dalam bukunya. Baca lebih lanjut M. Subhan Zamzami, “Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/11/11/sejarah-perkembangan-ilmu-pengetahuan/, diakses tanggal 4 Januari 2011
[6] George J. Mouly, “Perkembangan Ilmu”, dalam Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan Tentang Hakekat Ilmu, ed. Jujun S. Suriasumantri (Jakarta: Gramedia, 1991), hlm.87.
[7] Ibid.
[8] Sebagai contoh, gempa bumi pada saat itu tidak dianggap fenomena alam biasa, tetapi Dewa Bumi yang sedang menggoyangkan kepalanya. Namun, ketika filsafat diperkenalkan, fenoomena alam tersebut tidak lagi dianggap sebagai aktivitas dewa, tetapi aktivitas alam yang terjadi secara kualitas.
[9] Subhan Zamzami, “ Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan”.
[10] Jones, W.T.C, A History of Western Philosophy, The Classical Mind, Harcourt Brace Jovanovich Publisher, Chicago, 1970, hlm.2. dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, “Akar Kebudayaan Barat”, dikutip dari http://donnyreza.net/lib/INSISTS/Akar_Kebudayaan_Barat.pdf, di akses tanggal 7 Januari 2011
[11] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum : Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra. (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2003),  hlm 48-50
[12] Ibid.
[13] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu : Sejarah dan Ruang Lingkup Bahasan, cetakan keempat     (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hlm 8
[14] Ibid., hlm 9-10
[15] Anonim, Filsafat Ilmu, dikutip dari http://usupress.usu.ac.id/files/Filsafat%20Ilmu%20dan%20 Metode%20Riset  _Normal_bab%201.pdf, diakses tanggal 6 Januari 2011
[16] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 10
[17] Ibid., hlm 12
[18] Kedua orang itu adalah Galen dari Pergamon, mensintesiskan dan memajukan studi kedokteran, anatomi dan fisiologi,  dan Ptolemeus dari Alexandria, membawa astronomi matematis yang mendekati kesempurnaan klasik. Baca lebih lanjut   Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 14
[19] Anonim, “Kontribusi Warisan Inteletual Peradaban Yunani-Romawi, Judeo-Kristiani, dan Islam terhadap Pemikiran Politik Barat” dikutip dari
http://ihtiroom.staff.uns.ac.id/files/2009/10/kontribusi-warisan.ppt, di akses tanggal 7 Januari 2011
[20] Ibid.
[21] Ibid.,Hubungan antara Politik dan Agama, dalam hal ini wewenang pemerintahan dan wewenang Gereja Katholik, salah satu hubungannya berupa pemberian gelar kepada Paus sebagai “Supreme Pontiff” (Pontofex Maximus); Kaisar sebagai pemimpin agama warga negara.
[22] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 15
[23] Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2007), hlm. 85
[24] Ibid.
[25] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 16
[26] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,cet. II (Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2002), hlm. 128
[27] Harun Nasution, Islam Rasional (Bandung: Mizan, 1998), hlm.7
[28] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 44-45
[29] Pembahasan lebih detil tentang sosok, karya, dan pengaruh Abū Bakar Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī bisa dibaca dalam: Lenn E. Goodman, “Muḥammad ibn Zakariyyā al-Rāzī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 243-265.
[30] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, (Yogykarta : Liberty, 1996), hlm 42.
[31] W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia: Pengaruh Islam atas Eropa Abad Pertengahan, hlm. 60-61.
[32] Felix Klein-Franke, “Al-Kindī”, dalam Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Vol. 1, ed. Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 209-210
[33] Russell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik dari Zaman Kuno hingga sekarang. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm 567.
[34] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 42-43
[35] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai Chapra, hlm. 125-126 dan Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 49-50.
[36] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 16
[37] Ibid.
[38] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 44
[39] Ibid.
[40] Ibid., hlm. 45-46
[41] Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu,hlm. 133
[42] Ibid., hlm 71, baca lebih mendalam Russel, B., History of  Western Philosophy, (London : George Allen & Unwin Ltd, 1957).
[43] Ibid., hlm. 73
[44] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, hlm. 48-51, dan Surajiyo, Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia, hlm. 87-88
[45] Jerome R. Ravertz, Filsafat Ilmu, hlm. 62
[46] Ibid.
[47] Pada abad 20-an ini berkembang aliran-aliran filsafat modern, seperti : neo-thomisme, neo-katianisme, neo-hegelianisme, neo-marxisme, neo-positivisme dan aliran filsafat baru sama sekali seperti ; fenomenologi, eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme, dan yang paling mutakhir adalah aliran postmodernisme.
[48] Maskoeri Jasin, Ilmu Alamiah Dasar (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 202
[49] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, hlm. 79.
[50] [50] Anonim, “Filsafat Ilmu Pengetahuan”, dikutip dari http://syiena.wordpress.com/2008/03/21/ filsafat-ilmu-pengetahuan/, diakses tanggal 11 Januari 2011
[51] Ibid.

No comments:

Translate