A. Kebebasan Pers Indonesia
Kebebasan pers adalah kebebasan
mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers,
seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya
untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, bukan
untuk merusakkannya. Kebebasan harus disertai tanggung jawab, sebab kekuasaan
yang besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan
dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita
yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif
pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab dari pers. Jadi, pers
diberi kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Selanjutnya, Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang
menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, yang merupakan ukuran
pelaksanaan kegiatan pers, yaitu sebagai berikut :
` 1. Pers
dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara
jujur,mendalam dan cerdas. Ini merupakan tuntutan kepada pers untuk menulis
secara akurat dan tidak berbohong.
2. Pers dituntut
untuk menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik,
yang berarti pers diminta untuk menjadi wadah diskusi di kalangan
masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan pengelola pers itu sendiri.
3. Pers hendaknya menonjolkan
sebuah gambaran yang representative kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Hal ini mengacu pada segelintir kelompok minoritas dalam masyarakat
yang juga memiliki hak yang sama dalam masyarakat untuk didengarkan.
4. Pers hendaknya bertanggung
jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam
masyarakat.
5. Pers hendaknya menyajikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini
berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.
Adapun landasan hukum kebebasan pers Indonesia termaktub dalam :
1. Undang-undang No. 9 Tahun
1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
2. Undang-undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers
3. Undang-undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran.
B. Pers, Masyarakat dan Pemerintah
Hal
terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat dan
pemerintah adalah sebagai berikut :
1. Interaksi harus dikembangkan
sekreatif mungkinuntuk tercapainya tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan
manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Interaksi positif
antara ketiga komponen tidak bisa lain berlangsung dalam perangkat
dan pranataPancasila, norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, sebelum
menjabarkan lebih lanjut, bagaimana interaksi positif antara ketiga
komponen itu bisa dikembangkan secara maksimal, perlu lebih dulu dipahami hakekat
Pancasila bagi kehidupan nasional Indonesia.
2. Negara-negara demokrasi
Liberal Barat mendasarkan kehidupan dan dinamiknya pada individu dan
kompetisi secaraantagonis, sedangkan negara-negara komunis berdasarkan kepada
pertentangan kelasya ng bersifat dialektis materiil.
Adapunnegara Indonesia yangberdasarkan Pancasila, berpaham pada
keseluruhan dan keseimbangan, baik antara individu dan masyarakat
maupun antara berbagai kelompok sosialnya. Dinamika dikembangkan
bukan dari pertarungan menurut paham “singa gede menang kerahe”
(singa besar pasti menang bertarung), melainkan atas paham
hidup menghidupi, simbiosis mutualis. Pola dasar dan sistem nilai
yang demikian itu juga menjadi dasar dan semangat dari
hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat. Hubungan itu tidak
disemangati oleh sikapapriori atau saling curiga, apalagi saling
memusuhi. Hubungan itu adalah hubungan perkerabatan yang fungsional.
3. Antara pemerintah, pers dan
masyarakat, harus dikembangkan hubungan fungsionalsedemikian rupa,
sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan
RepublikIndonesia. Dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam
proses hubungan tersebut. Namun perbedaan pendapat tidak harus ditafsirkan
sebagai konflik melainkan sebagai proses kreatif dan dinamis dalam usaha
mencapai harmoni dan keseimbangan yang setiap kali semakin maju,
kuantitatif dan kualitatif.
4. Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat, sesungguhnya merupakan pengejawa-ntahan dari
nilai-nilai Pancasila. Itulah sebabnya, salah satu pendekatan kultural
terhadap segala persoalan, lebih cocok dengan identitas Indonesia,
lagipula pendekatan kultural ini telah dibuktikan kharisma dan daya
mampunya dalam periodeperjuangan kemerdekaan nasional, sehingga mampu
membangkitkan semangat patriotisme, pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi
total terhadap kepentingan rakyat banyak. Pendekatan kultural juga dapat
memperlancar proses kembar, yaitu kontinuitas dan perubahan yang menjadi
ciri-ciri kehidupan setiap bangsa, apalagi bangsa yang sedang membangun.
Pembangunan berarti perubahan yang terarah seca bertahap tapi
konsisten. Sedangkan perubahan itu agar kokoh, harus berakar dan akar
itu adalah kontinuitas. Kontinuitas dari nilai kebudayaan bangsa
yang paling mulia, termasuk di antaranya warisan nilai-nilai empat
puluh lima.
5. Baik untuk menjamin
tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi Pancasila,
maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah, pers dan masyarakat,
perludikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan
berfungsinyasistem kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka.
Tetapi kontrol sosial itu pun substansi dan caranya tidak terlepas dari
asas keselarasan dan keseimbangan, kekerabatan dan hidup menghidupi.
6. Pembangunan masyarakat bisa
berlangsung dalam pola evolusi, reformasi dan revolusi. Jika kita
menempatkan pembangunan nasional Indonesia ke dalam salah satu dari ketiga
kategori itu, maka yang paling tepat ialah pada pola reformasi.
Pembangunan dalam pola reformasi berarti perobahan terarah yang
fundamental sesuai dengan konsep masyarakat Pancasila, namun dilaksanakan
secara bertahap dan menurut asas prioritas.
7. Seluruh bidang kehidupan
masyarakat hendak dibangun, tetapi pelaksanaannya bertahap dan selektif,
semakin hari semakin maju dan menyeluruh sehingga akhirnya seluruh bidang
kehidupan masyarakat bangsa dan negara dijamahnya, ditransformir menjadimasyarakat
Pancasila. Pendekatan bertahap, berprioritas, berencana merupakan
pendekatan yang tepat, mengingat serta keterbatasan yang ada pada kita,
tetapi seluruh prosesnya perlu dipercepat (diakselarasi), karena sebagai
bangsa dihadapkan dengan faktor waktu yang semakin mengejar. Pemerintah,
pers dan masyarakat harus mampu membangun diririnya sendiri agar menjadi
lembaga yang lebih baik dan lebih ampuh untuk melaksanakan pembangunan.
8. Adanya
kekurangan merupakan gejala umum yang harus kita terima bersama.
Bukan agar kita menyerah dan menjadi dalih dari berbagai kemungkinan
penyalahgunaan, melainkan agar kita mampu melihat segala sesuatunya dengan
proporsi yang tepat dan konstruktif. Agar dalam melakukan koreksi, kita
tidak menimbulkan apatisme dan antipati melainkan justru
menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan itu sendiri. Di
samping menunjukkan kekurangan-kekurangan, pers harus bisa juga
menunjukkkan hal-halpositif. Berlaku kembali di sini asas keselarasan dan
keseimbanganyang merupakan tipe ideal masyarakat kita, sekali pun
merupakan nilai dalam proses pendekatan. Interaksi berarti proses
pengaruh- mempengaruhi sebagai dasar dari konsensus bersama yangmerupakan
hasil komunikasi dua arah timbal balik.
9. Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat merupakan hubungan kekerabatan dan
fungsional yang terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Di
samping mekanisme dialog, juga perlu dikembangkan mekanisme
lain, yaitu diselenggarakan seminar sebagai kegiatan rutin yang
kreatif dalam usaha mengembangkan konsepsi, nilai-nilai dan
mekanisme. Dalam usaha memelihara kontinuitas yang kreatif, juga
dipandang bermanfaat untuk menerbitkan buku-buku dalam bidang
pers, sehingga menjadi bahan bacaan bagi para wartawan, pejabat pemerintah
maupun perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa kini telah diterbitkan tiga
buku hasil panitia Dewan Pers, yaitu “Sejarah Pers
Indonesia, Pornografi dan Pers Indonesia dan Naskah Pengetahuan
Dasar bagi Wartawan Indonesia”.
10. Dalam hubungan antara pemerintah, pers dan
masyarakat,otonomi masing-masing lembaga sesuai dengan asas Demokrasi
Pancasila, dihormati dan perlu dikembangkan. Salah satu karya otonomi
ialah apa yang dengan baik bisa dilakukan sendiri oleh lembagamasyarakat,
tidak perlu pemerintah mencampurinya. Dalam konteks ini, misalnya
perludikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat pers sendiri
untuk mengatur perilaku kehidupannya. Pelaksanaan kode etik dan sanksi
atas pelanggaran, misalnya perlu ditingkatkan. Disarankan agar dipelajari
kemungkinan dibentuknya suatu Dewan Kehormatan, yang terdiri dari
tiga pihak; pers, masyarakat, pemerintah. Dewan kehormatan yang demikian
itu agar dibentuk di pusat maupun di daerah sesuai dengan kebutuhannya.
11. Jadi, bila dibahas lebih spesifik lagi, pers
memang “lahir” di tengah-tengah masyarakat, sehingga pers dan
masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi
yang aktual dengan terus-menerus mengenai peristiwa- peristiwa besar
maupun kecil. Pers sebagai lembaga kemasyarakatan tidak dapat hidup
sendiri, akan tetapi pers dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga
kemasyarakatan yang lain.
12. Menurut Wilbur Schramm, pers
bagi masyarakat adalah “Watcher, forum and teacher” (pengamat, forum dan
guru). Maksud pernyataan di atas adalah, bahwa setiap hari pers memberikan
laporan dan ulasan mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar
negeri, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk
mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan
nilai-nilai kemasyarakatan dari generasi ke generasi.
C. Dampak penyalahgunaan kebebasan media Massa
Kebebasan yang telah dibuka oleh pemerintah bagi insan pers memberi
peluang kepadanya untuk memperoleh informasi seluas-luasnya secara tepat dan
cepat. Tetapi di balik itu ada oknum yang menyalahgunakan kebebasan pers,
antara lain :
1. Digunakan sebagai alat poitik bagi oknum tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu, berarti pers tidak lagi lagi mampu menjadi alat
kontrol yang baik,
2. Melalui opini / pendapat yang bersumber dari SMS, orang
dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas, dimana dapat merugikan pihak-pihak
tertentu,
3. Media
elektronik / TV, sering menayangkan acara yang jauh dari nilai-nilai
pendidikan, bahkan bertabrakan dengan norma-norma masyarakat,
4. Pejabat
atau orang kaya yang diduga melakukan KKN, memperalat media massa untuk tidak
mengekspos / memberitakan dengan imbalan tertentu.
Dampak negatif dari penyalahgunaan kebebasan media massa dapat
dibedakan secara intern dan ekstern, yaitu :
1. Secara intern
a. Pers tidak obyektif, menyampaikan berita
bohong, lambat atau cepat akan ditinggal pembacanya,
b. Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab
akan menimbulkan kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan
pers, akan melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan
tindakan fisik terhadap wartawan yang memberitakan.
2. Secara ekstern
a. Mempercepat kerusakan
akhlak dan moral bangsa,
b. Menimbulkan ketegangan
dalam masyarakat,
c. Menimbulkan sikap
antipati dan kejengkelan terhadap pers,
d. Menimbulkan sikap saling
curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
e. Mempersulit diadakannya islah / merukunkan kembali
kelompok masyarakat yang sedang konflik.
Dalam kaintannya dengan kebebasan Pers, perlu disimak apa yang
dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah Amerika serikat Paul Johnson. Ia
mensinyalir adanya praktik menyimpang dalam kebebasan pers yang disebut “Tujuh
Dosa Yang mematikan “(Seven Deadly Sins), yaitu :
1. Distorsi Informasi
Lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik
yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual yang tidak sesuai dengan sumber
aslinya. Akibatnya makna menjadi berubah.
2. Dramatisasi Fakta Palsu
Dipraktekkan denngan memberikan ilustrasi verbal, auditif atau
visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat
dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian
foto/gambar tertentu dengan tujuan membangun suatu citra negatif dan stereotip.
3. Menganggu “Privacy”
Dilakukan peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite,
terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Cara yang dilakukan antara
lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, memaksa atau menjebak.
4. Pembunuhan Karakter
Praktik ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau
organisasi / perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan.
Biasanya dilakukan dengan mengekspolitasi, menggambarkan dan menonjolkan sisi
“buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
5. Eksploitasi Seks
Praktik eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia
periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara
menempatkan di halaman depan surat kabar, tulisan yang bermuatan
seks.
6. Meracuni Benak /
Pikiran Anak
Praktik ini dilakukan dengan cara menempatklan figur anak-anak.
Akhir-akhir ini, praktik serupa semakin meningkat denngan penonjolan figur
anak-anak sebagai sasaran atau pelaku dalam memasarkan berbagai macam produk.
7. Penyalahgunaan
Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan
pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan
editorial / pemberitaan media massa.
Ketujuh “Dosa jurnalistik itu menurut ahli komunikasi dari
Universitas Indonesia, Sasa Djuarsa Senjaya, terjadi juga
di Indonesia, terutama dilakukan media massa yang baru terbit.
Beliau menyebutnya sebagai “Praktik Jurnalistik yang Menyimpang”, yaitu :
1. Eksploitasi Judul
Judul tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut
bernada agitatif, emosional, dan tidak jarang “seronok”. Tujuannya untuk
menarik perhatian pembaca dan untuk meningkatkan sirkulasi.
2. Sumber Berita “Konon
Kabarnya”
Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya” atau ‘menurut
sumber berita yang tidak mau disebut namanya” dipraktikkan. Padahal salah satu
implikasi dari prinsip obyektifitas adalah adanya kejelasan identitas dari
berbagai sumber berita yang dirujuk.
3. Dominasi Opini Elite
dan Kelompok Mayoritas
Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan
pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elite dan mayoritas saja,
misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selebritis, pejabat pemerintah,
tokoh agama atau pengusaha.Aspirasi masyyarakat bawah atau minorotas kurang
mendapatkan perhatian.
4. Penyajian Informasi
yang Tidak Investigatif
Penyajian informasi kurang bersifat investigatif, hanya menjual
issue, tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang
obyektif, komprehensif, dan mendalam.
Dampak positif kebebasan pers/ beberapa manfaat yang diperoleh
dengan adanya kebebasan pers yaitu:
1. Pers menjadi penyalur
aspirasi rakyat;
2. Pers bebas
mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
3. Pers menjadi kontrol
sosial yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
4. Pers menjadi penyebar
informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat;
5. Pers menjadi wahana
komunikasi massa;
6. Pers menjadi
penghubung antar sesama manusia;
7. Pers menjadi pendidik
karena bebas menyebarkan IPTEK;
8. Pers menjadi pemberi
hiburan kepada masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dampak kebebasan pers
dapat ditinjau dari berbagai kepentingan, antara lain :
1. Bagi Kepentingan
Pribadi
Jasa Pers dapat meningkatkan citra positif seseorang. Sebaliknya
karena pers, reputasi seseorang hancur. Padahal kenyataan dapat sebaliknya.
Jadi, nama baik seseorang dapat dirugikan apabila terjadi penyalahgunaan
kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi.
2. Bagi Kepentingan
masyarakat
Dengan bantuan media massa, fakta dapat dikamuflase dengan tulisan
lain yang berkesan membenarkan. Masyarakat dapat tertipu karena mendapat
informasi yang tidak benar. Misalnya kebijakan seorang tokoh tidak tepat
bila dikaji secara ilmiah. Namun karena informasi yang diberikan berulang-ulang
dan diekspos secara besar-besaran, masyarakat jadi terpengaruh.
3. Bagi kepentingan Negara
Penyalahgunaan kebebasan pers dapat merugikan kepentingan negara,
karena tulisan-tulisan yang kurang mempeertimbangkan kepentingan nasional. Hal
semacam itu akan menimbulkan dampak antara lain :
· Tingkat
kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Masyarakat menjadi apatis terhadap
program pemerintah.
· Kepercayaan
luar negeri menjadi luntur. Akibatnya minat kerjasama, terutama kerjasama
ekonomi, penanaman investasi, pemberian bantuan, pemberian pinjaman akan
menurun.
· Timbulnya
pergesekan hubungan antara pers dengan institusi tertentu, yang menyebabkan
renggangnya hubungan karena pemberitaan yang tidak seimbang. Misalnya,
TNI saat melakukan operasi militer menumpas GAM di Aceh.
A. Kebebasan Pers Indonesia
Kebebasan pers adalah kebebasan
mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers,
seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya
untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, bukan
untuk merusakkannya. Kebebasan harus disertai tanggung jawab, sebab kekuasaan
yang besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan
dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita
yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif
pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab dari pers. Jadi, pers
diberi kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial.
Selanjutnya, Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang
menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, yang merupakan ukuran
pelaksanaan kegiatan pers, yaitu sebagai berikut :
` 1. Pers
dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara
jujur,mendalam dan cerdas. Ini merupakan tuntutan kepada pers untuk menulis
secara akurat dan tidak berbohong.
2. Pers dituntut
untuk menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik,
yang berarti pers diminta untuk menjadi wadah diskusi di kalangan
masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan pengelola pers itu sendiri.
3. Pers hendaknya menonjolkan
sebuah gambaran yang representative kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Hal ini mengacu pada segelintir kelompok minoritas dalam masyarakat
yang juga memiliki hak yang sama dalam masyarakat untuk didengarkan.
4. Pers hendaknya bertanggung
jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam
masyarakat.
5. Pers hendaknya menyajikan
kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini
berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.
Adapun landasan hukum kebebasan pers Indonesia termaktub dalam :
1. Undang-undang No. 9 Tahun
1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
2. Undang-undang No. 40 Tahun
1999 tentang Pers
3. Undang-undang No. 32 Tahun
2002 tentang Penyiaran.
B. Pers, Masyarakat dan Pemerintah
Hal
terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat dan
pemerintah adalah sebagai berikut :
1. Interaksi harus dikembangkan
sekreatif mungkinuntuk tercapainya tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan
manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Interaksi positif
antara ketiga komponen tidak bisa lain berlangsung dalam perangkat
dan pranataPancasila, norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat,
bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, sebelum
menjabarkan lebih lanjut, bagaimana interaksi positif antara ketiga
komponen itu bisa dikembangkan secara maksimal, perlu lebih dulu dipahami hakekat
Pancasila bagi kehidupan nasional Indonesia.
2. Negara-negara demokrasi
Liberal Barat mendasarkan kehidupan dan dinamiknya pada individu dan
kompetisi secaraantagonis, sedangkan negara-negara komunis berdasarkan kepada
pertentangan kelasya ng bersifat dialektis materiil.
Adapunnegara Indonesia yangberdasarkan Pancasila, berpaham pada
keseluruhan dan keseimbangan, baik antara individu dan masyarakat
maupun antara berbagai kelompok sosialnya. Dinamika dikembangkan
bukan dari pertarungan menurut paham “singa gede menang kerahe”
(singa besar pasti menang bertarung), melainkan atas paham
hidup menghidupi, simbiosis mutualis. Pola dasar dan sistem nilai
yang demikian itu juga menjadi dasar dan semangat dari
hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat. Hubungan itu tidak
disemangati oleh sikapapriori atau saling curiga, apalagi saling
memusuhi. Hubungan itu adalah hubungan perkerabatan yang fungsional.
3. Antara pemerintah, pers dan
masyarakat, harus dikembangkan hubungan fungsionalsedemikian rupa,
sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat
adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan
RepublikIndonesia. Dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam
proses hubungan tersebut. Namun perbedaan pendapat tidak harus ditafsirkan
sebagai konflik melainkan sebagai proses kreatif dan dinamis dalam usaha
mencapai harmoni dan keseimbangan yang setiap kali semakin maju,
kuantitatif dan kualitatif.
4. Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat, sesungguhnya merupakan pengejawa-ntahan dari
nilai-nilai Pancasila. Itulah sebabnya, salah satu pendekatan kultural
terhadap segala persoalan, lebih cocok dengan identitas Indonesia,
lagipula pendekatan kultural ini telah dibuktikan kharisma dan daya
mampunya dalam periodeperjuangan kemerdekaan nasional, sehingga mampu
membangkitkan semangat patriotisme, pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi
total terhadap kepentingan rakyat banyak. Pendekatan kultural juga dapat
memperlancar proses kembar, yaitu kontinuitas dan perubahan yang menjadi
ciri-ciri kehidupan setiap bangsa, apalagi bangsa yang sedang membangun.
Pembangunan berarti perubahan yang terarah seca bertahap tapi
konsisten. Sedangkan perubahan itu agar kokoh, harus berakar dan akar
itu adalah kontinuitas. Kontinuitas dari nilai kebudayaan bangsa
yang paling mulia, termasuk di antaranya warisan nilai-nilai empat
puluh lima.
5. Baik untuk menjamin
tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi Pancasila,
maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah, pers dan masyarakat,
perludikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan
berfungsinyasistem kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka.
Tetapi kontrol sosial itu pun substansi dan caranya tidak terlepas dari
asas keselarasan dan keseimbangan, kekerabatan dan hidup menghidupi.
6. Pembangunan masyarakat bisa
berlangsung dalam pola evolusi, reformasi dan revolusi. Jika kita
menempatkan pembangunan nasional Indonesia ke dalam salah satu dari ketiga
kategori itu, maka yang paling tepat ialah pada pola reformasi.
Pembangunan dalam pola reformasi berarti perobahan terarah yang
fundamental sesuai dengan konsep masyarakat Pancasila, namun dilaksanakan
secara bertahap dan menurut asas prioritas.
7. Seluruh bidang kehidupan
masyarakat hendak dibangun, tetapi pelaksanaannya bertahap dan selektif,
semakin hari semakin maju dan menyeluruh sehingga akhirnya seluruh bidang
kehidupan masyarakat bangsa dan negara dijamahnya, ditransformir menjadimasyarakat
Pancasila. Pendekatan bertahap, berprioritas, berencana merupakan
pendekatan yang tepat, mengingat serta keterbatasan yang ada pada kita,
tetapi seluruh prosesnya perlu dipercepat (diakselarasi), karena sebagai
bangsa dihadapkan dengan faktor waktu yang semakin mengejar. Pemerintah,
pers dan masyarakat harus mampu membangun diririnya sendiri agar menjadi
lembaga yang lebih baik dan lebih ampuh untuk melaksanakan pembangunan.
8. Adanya
kekurangan merupakan gejala umum yang harus kita terima bersama.
Bukan agar kita menyerah dan menjadi dalih dari berbagai kemungkinan
penyalahgunaan, melainkan agar kita mampu melihat segala sesuatunya dengan
proporsi yang tepat dan konstruktif. Agar dalam melakukan koreksi, kita
tidak menimbulkan apatisme dan antipati melainkan justru
menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan itu sendiri. Di
samping menunjukkan kekurangan-kekurangan, pers harus bisa juga
menunjukkkan hal-halpositif. Berlaku kembali di sini asas keselarasan dan
keseimbanganyang merupakan tipe ideal masyarakat kita, sekali pun
merupakan nilai dalam proses pendekatan. Interaksi berarti proses
pengaruh- mempengaruhi sebagai dasar dari konsensus bersama yangmerupakan
hasil komunikasi dua arah timbal balik.
9. Hubungan antara pemerintah,
pers dan masyarakat merupakan hubungan kekerabatan dan
fungsional yang terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Di
samping mekanisme dialog, juga perlu dikembangkan mekanisme
lain, yaitu diselenggarakan seminar sebagai kegiatan rutin yang
kreatif dalam usaha mengembangkan konsepsi, nilai-nilai dan
mekanisme. Dalam usaha memelihara kontinuitas yang kreatif, juga
dipandang bermanfaat untuk menerbitkan buku-buku dalam bidang
pers, sehingga menjadi bahan bacaan bagi para wartawan, pejabat pemerintah
maupun perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa kini telah diterbitkan tiga
buku hasil panitia Dewan Pers, yaitu “Sejarah Pers
Indonesia, Pornografi dan Pers Indonesia dan Naskah Pengetahuan
Dasar bagi Wartawan Indonesia”.
10. Dalam hubungan antara pemerintah, pers dan
masyarakat,otonomi masing-masing lembaga sesuai dengan asas Demokrasi
Pancasila, dihormati dan perlu dikembangkan. Salah satu karya otonomi
ialah apa yang dengan baik bisa dilakukan sendiri oleh lembagamasyarakat,
tidak perlu pemerintah mencampurinya. Dalam konteks ini, misalnya
perludikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat pers sendiri
untuk mengatur perilaku kehidupannya. Pelaksanaan kode etik dan sanksi
atas pelanggaran, misalnya perlu ditingkatkan. Disarankan agar dipelajari
kemungkinan dibentuknya suatu Dewan Kehormatan, yang terdiri dari
tiga pihak; pers, masyarakat, pemerintah. Dewan kehormatan yang demikian
itu agar dibentuk di pusat maupun di daerah sesuai dengan kebutuhannya.
11. Jadi, bila dibahas lebih spesifik lagi, pers
memang “lahir” di tengah-tengah masyarakat, sehingga pers dan
masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi
yang aktual dengan terus-menerus mengenai peristiwa- peristiwa besar
maupun kecil. Pers sebagai lembaga kemasyarakatan tidak dapat hidup
sendiri, akan tetapi pers dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga
kemasyarakatan yang lain.
12. Menurut Wilbur Schramm, pers
bagi masyarakat adalah “Watcher, forum and teacher” (pengamat, forum dan
guru). Maksud pernyataan di atas adalah, bahwa setiap hari pers memberikan
laporan dan ulasan mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar
negeri, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk
mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan
nilai-nilai kemasyarakatan dari generasi ke generasi.
C. Dampak penyalahgunaan kebebasan media Massa
Kebebasan yang telah dibuka oleh pemerintah bagi insan pers memberi
peluang kepadanya untuk memperoleh informasi seluas-luasnya secara tepat dan
cepat. Tetapi di balik itu ada oknum yang menyalahgunakan kebebasan pers,
antara lain :
1. Digunakan sebagai alat poitik bagi oknum tertentu untuk
mencapai tujuan tertentu, berarti pers tidak lagi lagi mampu menjadi alat
kontrol yang baik,
2. Melalui opini / pendapat yang bersumber dari SMS, orang
dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas, dimana dapat merugikan pihak-pihak
tertentu,
3. Media
elektronik / TV, sering menayangkan acara yang jauh dari nilai-nilai
pendidikan, bahkan bertabrakan dengan norma-norma masyarakat,
4. Pejabat
atau orang kaya yang diduga melakukan KKN, memperalat media massa untuk tidak
mengekspos / memberitakan dengan imbalan tertentu.
Dampak negatif dari penyalahgunaan kebebasan media massa dapat
dibedakan secara intern dan ekstern, yaitu :
1. Secara intern
a. Pers tidak obyektif, menyampaikan berita
bohong, lambat atau cepat akan ditinggal pembacanya,
b. Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab
akan menimbulkan kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan
pers, akan melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan
tindakan fisik terhadap wartawan yang memberitakan.
2. Secara ekstern
a. Mempercepat kerusakan
akhlak dan moral bangsa,
b. Menimbulkan ketegangan
dalam masyarakat,
c. Menimbulkan sikap
antipati dan kejengkelan terhadap pers,
d. Menimbulkan sikap saling
curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
e. Mempersulit diadakannya islah / merukunkan kembali
kelompok masyarakat yang sedang konflik.
Dalam kaintannya dengan kebebasan Pers, perlu disimak apa yang
dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah Amerika serikat Paul Johnson. Ia
mensinyalir adanya praktik menyimpang dalam kebebasan pers yang disebut “Tujuh
Dosa Yang mematikan “(Seven Deadly Sins), yaitu :
1. Distorsi Informasi
Lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik
yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual yang tidak sesuai dengan sumber
aslinya. Akibatnya makna menjadi berubah.
2. Dramatisasi Fakta Palsu
Dipraktekkan denngan memberikan ilustrasi verbal, auditif atau
visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat
dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian
foto/gambar tertentu dengan tujuan membangun suatu citra negatif dan stereotip.
3. Menganggu “Privacy”
Dilakukan peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite,
terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Cara yang dilakukan antara
lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, memaksa atau menjebak.
4. Pembunuhan Karakter
Praktik ini umumnya dialami secara individu, kelompok atau
organisasi / perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan.
Biasanya dilakukan dengan mengekspolitasi, menggambarkan dan menonjolkan sisi
“buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
5. Eksploitasi Seks
Praktik eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia
periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara
menempatkan di halaman depan surat kabar, tulisan yang bermuatan
seks.
6. Meracuni Benak /
Pikiran Anak
Praktik ini dilakukan dengan cara menempatklan figur anak-anak.
Akhir-akhir ini, praktik serupa semakin meningkat denngan penonjolan figur
anak-anak sebagai sasaran atau pelaku dalam memasarkan berbagai macam produk.
7. Penyalahgunaan
Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan
pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan
editorial / pemberitaan media massa.
Ketujuh “Dosa jurnalistik itu menurut ahli komunikasi dari
Universitas Indonesia, Sasa Djuarsa Senjaya, terjadi juga
di Indonesia, terutama dilakukan media massa yang baru terbit.
Beliau menyebutnya sebagai “Praktik Jurnalistik yang Menyimpang”, yaitu :
1. Eksploitasi Judul
Judul tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut
bernada agitatif, emosional, dan tidak jarang “seronok”. Tujuannya untuk
menarik perhatian pembaca dan untuk meningkatkan sirkulasi.
2. Sumber Berita “Konon
Kabarnya”
Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya” atau ‘menurut
sumber berita yang tidak mau disebut namanya” dipraktikkan. Padahal salah satu
implikasi dari prinsip obyektifitas adalah adanya kejelasan identitas dari
berbagai sumber berita yang dirujuk.
3. Dominasi Opini Elite
dan Kelompok Mayoritas
Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan
pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elite dan mayoritas saja,
misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selebritis, pejabat pemerintah,
tokoh agama atau pengusaha.Aspirasi masyyarakat bawah atau minorotas kurang
mendapatkan perhatian.
4. Penyajian Informasi
yang Tidak Investigatif
Penyajian informasi kurang bersifat investigatif, hanya menjual
issue, tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang
obyektif, komprehensif, dan mendalam.
Dampak positif kebebasan pers/ beberapa manfaat yang diperoleh
dengan adanya kebebasan pers yaitu:
1. Pers menjadi penyalur
aspirasi rakyat;
2. Pers bebas
mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
3. Pers menjadi kontrol
sosial yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
4. Pers menjadi penyebar
informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat;
5. Pers menjadi wahana
komunikasi massa;
6. Pers menjadi
penghubung antar sesama manusia;
7. Pers menjadi pendidik
karena bebas menyebarkan IPTEK;
8. Pers menjadi pemberi
hiburan kepada masyarakat.
Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dampak kebebasan pers
dapat ditinjau dari berbagai kepentingan, antara lain :
1. Bagi Kepentingan
Pribadi
Jasa Pers dapat meningkatkan citra positif seseorang. Sebaliknya
karena pers, reputasi seseorang hancur. Padahal kenyataan dapat sebaliknya.
Jadi, nama baik seseorang dapat dirugikan apabila terjadi penyalahgunaan
kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi.
2. Bagi Kepentingan
masyarakat
Dengan bantuan media massa, fakta dapat dikamuflase dengan tulisan
lain yang berkesan membenarkan. Masyarakat dapat tertipu karena mendapat
informasi yang tidak benar. Misalnya kebijakan seorang tokoh tidak tepat
bila dikaji secara ilmiah. Namun karena informasi yang diberikan berulang-ulang
dan diekspos secara besar-besaran, masyarakat jadi terpengaruh.
3. Bagi kepentingan Negara
Penyalahgunaan kebebasan pers dapat merugikan kepentingan negara,
karena tulisan-tulisan yang kurang mempeertimbangkan kepentingan nasional. Hal
semacam itu akan menimbulkan dampak antara lain :
· Tingkat
kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Masyarakat menjadi apatis terhadap
program pemerintah.
· Kepercayaan
luar negeri menjadi luntur. Akibatnya minat kerjasama, terutama kerjasama
ekonomi, penanaman investasi, pemberian bantuan, pemberian pinjaman akan
menurun.
· Timbulnya
pergesekan hubungan antara pers dengan institusi tertentu, yang menyebabkan
renggangnya hubungan karena pemberitaan yang tidak seimbang. Misalnya,
TNI saat melakukan operasi militer menumpas GAM di Aceh.
No comments:
Post a Comment