15 Sept 2014

MENGEVALUASI KEBEBASAN PERS DAN DAMPAK PENYALAHGUNAAN MEDIA MASSA DALAM MASYARAKAT DEMOKRATIS DI INDONESIA


A.  Kebebasan Pers Indonesia

       Kebebasan pers adalah kebebasan mengemukakan pendapat, baik secara tulisan maupun lisan, melalui media pers, seperti harian, majalah, dan buletin. Kebebasan pers dituntut tanggung jawabnya untuk menegakkan keadilan, ketertiban dan keamanan dalam masyarakat, bukan untuk merusakkannya. Kebebasan harus disertai tanggung jawab, sebab kekuasaan yang besar dan bebas yang dimiliki manusia mudah sekali disalahgunakan dan dibuat semena-mena. Demikian juga pers harus mempertimbangkan apakah berita yang disebarkan dapat menguntungkan masyarakat luas atau memberi dampak positif pada masyarakat dan bangsa. Inilah segi tanggung jawab dari pers. Jadi, pers diberi kebebasan dengan disertai tanggung jawab sosial. 
Selanjutnya, Komisi Kemerdekaan Pers menggariskan lima hal yang menjadi tuntutan masyarakat modern terhadap pers, yang merupakan ukuran pelaksanaan kegiatan pers, yaitu sebagai berikut :

`    1.      Pers dituntut untuk menyajikan laporan tentang kejadian sehari-hari secara jujur,mendalam dan cerdas. Ini merupakan tuntutan kepada pers untuk menulis secara akurat dan tidak berbohong.

2.      Pers dituntut untuk menjadi sebuah forum pertukaran komentar dan kritik, yang berarti pers diminta untuk menjadi wadah diskusi di kalangan masyarakat, walaupun berbeda pendapat dengan pengelola pers itu sendiri.

3.      Pers hendaknya menonjolkan sebuah gambaran yang representative kelompok-kelompok dalam masyarakat. Hal ini mengacu pada segelintir kelompok minoritas dalam masyarakat yang juga memiliki hak yang sama dalam masyarakat untuk didengarkan.

4.      Pers hendaknya bertanggung jawab dalam penyajian dan penguraian tujuan dan nilai-nilai dalam masyarakat.

5.      Pers hendaknya menyajikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh berita sehari-hari. Ini berkaitan dengan kebebasan informasi yang diminta masyarakat.
Adapun landasan hukum kebebasan pers Indonesia termaktub dalam :

1.      Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
2.      Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers
3.      Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

B.   Pers, Masyarakat dan Pemerintah

              Hal terpenting yang harus diperhatikan berkaitan antara pers, masyarakat dan pemerintah adalah sebagai berikut :
1.      Interaksi harus dikembangkan sekreatif mungkinuntuk tercapainya tujuan pembangunan, yaitu kesejahteraan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya. Interaksi positif antara ketiga komponen tidak bisa lain berlangsung dalam perangkat dan pranataPancasila, norma dan etika dasar bagi kehidupan masyarakat, bangsa dan Negara Republik Indonesia. Karena itu, sebelum menjabarkan lebih lanjut, bagaimana interaksi positif antara ketiga komponen itu bisa dikembangkan secara maksimal, perlu lebih dulu dipahami hakekat Pancasila bagi kehidupan nasional Indonesia.
2.      Negara-negara demokrasi Liberal Barat mendasarkan kehidupan dan dinamiknya pada individu dan kompetisi secaraantagonis, sedangkan negara-negara komunis berdasarkan kepada pertentangan kelasya ng bersifat dialektis materiil. Adapunnegara Indonesia yangberdasarkan Pancasila, berpaham pada keseluruhan dan keseimbangan, baik antara individu dan masyarakat maupun antara berbagai kelompok sosialnya. Dinamika dikembangkan bukan dari pertarungan menurut paham “singa gede menang kerahe” (singa besar pasti menang bertarung), melainkan atas paham hidup menghidupi, simbiosis mutualis. Pola dasar dan sistem nilai yang demikian itu juga menjadi dasar dan semangat dari hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat. Hubungan itu tidak disemangati oleh sikapapriori atau saling curiga, apalagi saling memusuhi. Hubungan itu adalah hubungan perkerabatan yang fungsional.
3.      Antara pemerintah, pers dan masyarakat, harus dikembangkan hubungan fungsionalsedemikian rupa, sehingga semakin menunjang tujuan bersama yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Dimungkinkan adanya perbedaan pendapat dalam proses hubungan tersebut. Namun perbedaan pendapat tidak harus ditafsirkan sebagai konflik melainkan sebagai proses kreatif dan dinamis dalam usaha mencapai harmoni dan keseimbangan yang setiap kali semakin maju, kuantitatif dan kualitatif.
4.      Hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat, sesungguhnya merupakan pengejawa-ntahan dari nilai-nilai Pancasila. Itulah sebabnya, salah satu pendekatan kultural terhadap segala persoalan, lebih cocok dengan identitas Indonesia, lagipula pendekatan kultural ini telah dibuktikan kharisma dan daya mampunya dalam periodeperjuangan kemerdekaan nasional, sehingga mampu membangkitkan semangat patriotisme, pengorbanan tanpa pamrih dan dedikasi total terhadap kepentingan rakyat banyak. Pendekatan kultural juga dapat memperlancar proses kembar, yaitu kontinuitas dan perubahan yang menjadi ciri-ciri kehidupan setiap bangsa, apalagi bangsa yang sedang membangun. Pembangunan berarti perubahan yang terarah seca bertahap tapi konsisten. Sedangkan perubahan itu agar kokoh, harus berakar dan akar itu adalah kontinuitas. Kontinuitas dari nilai kebudayaan bangsa yang paling mulia, termasuk di antaranya warisan nilai-nilai empat puluh lima.

5.      Baik untuk menjamin tercapainya sasaran maupun karena sesuai dengan asas demokrasi Pancasila, maka dalam hubungan fungsional antara pemerintah, pers dan masyarakat, perludikembangkan kultur politik dan mekanisme yang memungkinkan berfungsinyasistem kontrol sosial dan kritik secara efektif dan terbuka. Tetapi kontrol sosial itu pun substansi dan caranya tidak terlepas dari asas keselarasan dan keseimbangan, kekerabatan dan hidup menghidupi.

6.      Pembangunan masyarakat bisa berlangsung dalam pola evolusi, reformasi dan revolusi. Jika kita menempatkan pembangunan nasional Indonesia ke dalam salah satu dari ketiga kategori itu, maka yang paling tepat ialah pada pola reformasi. Pembangunan dalam pola reformasi berarti perobahan terarah yang fundamental sesuai dengan konsep masyarakat Pancasila, namun dilaksanakan secara bertahap dan menurut asas prioritas.

7.      Seluruh bidang kehidupan masyarakat hendak dibangun, tetapi pelaksanaannya bertahap dan selektif, semakin hari semakin maju dan menyeluruh sehingga akhirnya seluruh bidang kehidupan masyarakat bangsa dan negara dijamahnya, ditransformir menjadimasyarakat Pancasila. Pendekatan bertahap, berprioritas, berencana merupakan pendekatan yang tepat, mengingat serta keterbatasan yang ada pada kita, tetapi seluruh prosesnya perlu dipercepat (diakselarasi), karena sebagai bangsa dihadapkan dengan faktor waktu yang semakin mengejar. Pemerintah, pers dan masyarakat harus mampu membangun diririnya sendiri agar menjadi lembaga yang lebih baik dan lebih ampuh untuk melaksanakan pembangunan.

8.      Adanya kekurangan merupakan gejala umum yang harus kita terima bersama. Bukan agar kita menyerah dan menjadi dalih dari berbagai kemungkinan penyalahgunaan, melainkan agar kita mampu melihat segala sesuatunya dengan proporsi yang tepat dan konstruktif. Agar dalam melakukan koreksi, kita tidak menimbulkan apatisme dan antipati melainkan justru menggairahkan usaha-usaha perbaikan dan pembangunan itu sendiri. Di samping menunjukkan kekurangan-kekurangan, pers harus bisa juga menunjukkkan hal-halpositif. Berlaku kembali di sini asas keselarasan dan keseimbanganyang merupakan tipe ideal masyarakat kita, sekali pun merupakan nilai dalam proses pendekatan. Interaksi berarti proses pengaruh- mempengaruhi sebagai dasar dari konsensus bersama yangmerupakan hasil komunikasi dua arah timbal balik.

9.      Hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat merupakan hubungan kekerabatan dan fungsional yang terus menerus dikembangkan dalam mekanisme dialog. Di samping mekanisme dialog, juga perlu dikembangkan mekanisme lain, yaitu diselenggarakan seminar sebagai kegiatan rutin yang kreatif dalam usaha mengembangkan konsepsi, nilai-nilai dan mekanisme. Dalam usaha memelihara kontinuitas yang kreatif, juga dipandang bermanfaat untuk menerbitkan buku-buku dalam bidang pers, sehingga menjadi bahan bacaan bagi para wartawan, pejabat pemerintah maupun perguruan tinggi. Perlu diketahui bahwa kini telah diterbitkan tiga buku hasil panitia Dewan Pers, yaitu “Sejarah Pers Indonesia, Pornografi dan Pers Indonesia dan Naskah Pengetahuan Dasar bagi Wartawan Indonesia”.

10.  Dalam hubungan antara pemerintah, pers dan masyarakat,otonomi masing-masing lembaga sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, dihormati dan perlu dikembangkan. Salah satu karya otonomi ialah apa yang dengan baik bisa dilakukan sendiri oleh lembagamasyarakat, tidak perlu pemerintah mencampurinya. Dalam konteks ini, misalnya perludikembangkan adanya mekanisme efektif oleh masyarakat pers sendiri untuk mengatur perilaku kehidupannya. Pelaksanaan kode etik dan sanksi atas pelanggaran, misalnya perlu ditingkatkan. Disarankan agar dipelajari kemungkinan dibentuknya suatu Dewan Kehormatan, yang terdiri dari tiga pihak; pers, masyarakat, pemerintah. Dewan kehormatan yang demikian itu agar dibentuk di pusat maupun di daerah sesuai dengan kebutuhannya.

11.  Jadi, bila dibahas lebih spesifik lagi, pers memang “lahir” di tengah-tengah masyarakat, sehingga pers dan masyarakat merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pers “lahir” untuk memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh informasi yang aktual dengan terus-menerus mengenai peristiwa- peristiwa besar maupun kecil. Pers sebagai lembaga kemasyarakatan tidak dapat hidup sendiri, akan tetapi pers dipengaruhi dan mempengaruhi lembaga kemasyarakatan yang lain.

  12.     Menurut Wilbur Schramm, pers bagi masyarakat adalah “Watcher, forum and teacher” (pengamat, forum dan guru). Maksud pernyataan di atas adalah, bahwa setiap hari pers memberikan laporan dan ulasan mengenai berbagai macam kejadian dalam dan luar negeri, menyediakan tempat (forum) bagi masyarakat untuk mengeluarkan pendapat secara tertulis dan turut mewariskan nilai-nilai kemasyarakatan dari generasi ke generasi.

C. Dampak penyalahgunaan kebebasan media Massa

Kebebasan yang telah dibuka oleh pemerintah bagi insan pers memberi peluang kepadanya untuk memperoleh informasi seluas-luasnya secara tepat dan cepat. Tetapi di balik itu ada oknum yang menyalahgunakan kebebasan pers, antara lain :

1. Digunakan sebagai alat poitik bagi oknum tertentu untuk mencapai tujuan tertentu, berarti pers tidak lagi lagi mampu menjadi alat kontrol yang baik,

2. Melalui opini / pendapat yang bersumber dari SMS, orang dapat menyampaikan pendapatnya secara lugas, dimana dapat merugikan pihak-pihak tertentu,
3.                  Media elektronik / TV, sering menayangkan acara yang jauh dari nilai-nilai pendidikan, bahkan bertabrakan dengan norma-norma masyarakat,
4.                  Pejabat atau orang kaya yang diduga melakukan KKN, memperalat media massa untuk tidak mengekspos / memberitakan dengan imbalan tertentu.
Dampak negatif dari penyalahgunaan kebebasan media massa dapat dibedakan secara intern dan ekstern, yaitu :

1. Secara intern
a.    Pers tidak obyektif, menyampaikan berita bohong, lambat atau cepat akan ditinggal pembacanya,
b.   Ketidaksiapan masyarakat untuk menggunakan hak jawab akan menimbulkan kejengkelan pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, akan melakukakan tindakan yang anarkhis dengan merusak kantor, bahkan tindakan fisik terhadap wartawan yang memberitakan.
2.       Secara ekstern
a.       Mempercepat kerusakan akhlak dan moral bangsa,
b.       Menimbulkan ketegangan dalam masyarakat,
c.       Menimbulkan sikap antipati dan kejengkelan terhadap pers,
d.      Menimbulkan sikap saling curiga dan perpecahan dalam masyarakat,
e.   Mempersulit diadakannya islah / merukunkan kembali kelompok masyarakat yang sedang konflik.

Dalam kaintannya dengan kebebasan Pers, perlu disimak apa yang dikemukakan oleh jurnalis dan ahli sejarah Amerika serikat Paul Johnson. Ia mensinyalir adanya praktik menyimpang dalam kebebasan pers yang disebut “Tujuh Dosa Yang mematikan “(Seven Deadly Sins), yaitu :

1.       Distorsi Informasi
Lazim dilakukan dengan menambah atau mengurangi informasi, baik yang menyangkut opini maupun ilustrasi faktual yang tidak sesuai dengan sumber aslinya. Akibatnya makna menjadi berubah.
2.       Dramatisasi Fakta Palsu
Dipraktekkan denngan memberikan ilustrasi verbal, auditif atau visual yang berlebihan tentang suatu obyek. Dalam media cetak cara ini dapat dilakukan secara naratif (dalam bentuk kata-kata) atau melalui penyajian foto/gambar tertentu dengan tujuan membangun suatu citra negatif dan stereotip.
3.       Menganggu “Privacy”
Dilakukan peliputan kehidupan kalangan selebritis dan kaum elite, terutama yang diduga terlibat dalam suatu skandal. Cara yang dilakukan antara lain melalui penyadapan telepon, penggunaan kamera dengan telelens, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat pribadi, memaksa atau menjebak.
4.       Pembunuhan Karakter
Praktik ini  umumnya dialami secara individu, kelompok atau organisasi / perusahaan, yang diduga terlibat dalam perbuatan kejahatan. Biasanya dilakukan dengan mengekspolitasi, menggambarkan dan menonjolkan sisi “buruk” mereka saja. Padahal sebenarnya mereka memiliki segi baiknya.
5.       Eksploitasi Seks
Praktik eksploitasi seks tidak hanya menjadi monopoli dunia periklanan. Praktek tersebut juga dilakukan dalam pemberitaan dengan cara menempatkan di halaman depan surat kabar, tulisan yang bermuatan seks.
6.       Meracuni Benak / Pikiran Anak
Praktik ini dilakukan dengan cara menempatklan figur anak-anak. Akhir-akhir ini, praktik serupa semakin meningkat denngan penonjolan figur anak-anak sebagai sasaran atau pelaku dalam memasarkan berbagai macam produk.
7.       Penyalahgunaan Kekuasaan
Penyalahgunaan kekuasaan tidak saja dapat terjadi di lingkungan pejabat pemerintahan, tetapi juga di kalangan pemegang kontrol kebijakan editorial / pemberitaan media massa.

Ketujuh “Dosa jurnalistik itu menurut ahli komunikasi  dari Universitas Indonesia, Sasa Djuarsa Senjaya, terjadi juga di Indonesia, terutama dilakukan media massa yang baru terbit. Beliau menyebutnya sebagai “Praktik Jurnalistik yang Menyimpang”, yaitu :
1.       Eksploitasi Judul
Judul tidak sesuai dengan isi beritanya. Biasanya judul tersebut bernada agitatif, emosional, dan tidak jarang “seronok”. Tujuannya untuk  menarik perhatian pembaca dan untuk meningkatkan sirkulasi.
2.       Sumber Berita “Konon Kabarnya”
Tidak jarang pula sumber berita “konon kabarnya” atau ‘menurut sumber berita yang tidak mau disebut namanya” dipraktikkan. Padahal salah satu implikasi dari prinsip obyektifitas adalah adanya kejelasan identitas dari berbagai sumber berita yang dirujuk.
3.       Dominasi Opini Elite dan Kelompok Mayoritas
Pada umumnya media massa di Indonesia masih cenderung mengutamakan pemuatan opini, pendapat atau pernyataan kalangan elite dan mayoritas saja, misalnya para pakar, tokoh politik, kalangan selebritis, pejabat pemerintah, tokoh agama atau pengusaha.Aspirasi masyyarakat bawah atau minorotas kurang mendapatkan perhatian.
4.       Penyajian Informasi yang Tidak Investigatif
Penyajian informasi kurang bersifat investigatif, hanya menjual issue, tetapi kurang melengkapinya dengan pemberian makna dan interpretasi yang obyektif, komprehensif, dan mendalam.

Dampak positif kebebasan pers/ beberapa manfaat yang diperoleh dengan adanya kebebasan pers yaitu:
1.        Pers menjadi penyalur aspirasi rakyat;
2.        Pers bebas mencari/mendapatkan kebenaran, sehingga dapat mewujudkan keadilan;
3.        Pers menjadi kontrol sosial yang bebas memberikan kritik, saran dan pengawasan;
4.        Pers menjadi penyebar informasi yang dapat memenuhi hak masyarakat;
5.        Pers menjadi wahana komunikasi massa;
6.        Pers menjadi penghubung antar sesama manusia;
7.        Pers menjadi pendidik karena bebas menyebarkan IPTEK;
8.        Pers menjadi pemberi hiburan kepada masyarakat.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa dampak kebebasan pers dapat ditinjau dari berbagai kepentingan, antara lain :
1.       Bagi Kepentingan Pribadi
Jasa Pers dapat meningkatkan citra positif seseorang. Sebaliknya karena pers, reputasi seseorang hancur. Padahal kenyataan dapat sebaliknya. Jadi, nama baik seseorang dapat dirugikan apabila terjadi penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan penyampaian informasi.
2.       Bagi Kepentingan masyarakat
Dengan bantuan media massa, fakta dapat dikamuflase dengan tulisan lain yang berkesan membenarkan. Masyarakat dapat tertipu karena mendapat informasi yang tidak benar. Misalnya kebijakan seorang tokoh tidak tepat  bila dikaji secara ilmiah. Namun karena informasi yang diberikan berulang-ulang dan diekspos secara besar-besaran, masyarakat jadi terpengaruh.
3.       Bagi kepentingan Negara
Penyalahgunaan kebebasan pers dapat merugikan kepentingan negara, karena tulisan-tulisan yang kurang mempeertimbangkan kepentingan nasional. Hal semacam itu akan menimbulkan dampak antara lain :
·                     Tingkat kepercayaan masyarakat menjadi berkurang. Masyarakat menjadi apatis terhadap program pemerintah.
·                     Kepercayaan luar negeri menjadi luntur. Akibatnya minat kerjasama, terutama kerjasama ekonomi, penanaman investasi, pemberian bantuan, pemberian pinjaman akan menurun.
·                     Timbulnya pergesekan hubungan antara pers dengan institusi tertentu, yang menyebabkan renggangnya hubungan karena pemberitaan yang tidak seimbang. Misalnya, TNI  saat melakukan operasi militer menumpas GAM di Aceh.


No comments:

Translate