Tuntunan As-Sunnah Tentang
Tata Cara Mandi Janabah
بِسْمِ الله الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
إِنَّ الحَمْدَ لله نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ
أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهِ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَّ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أما بعد:
Permasalahan thoharoh (bersuci) adalah
permasalahan yang sangat penting. Oleh karena itu pengetahuan tentangnya
merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Sebab, pada sah dan tidaknya
thoharoh seseorang, bergantung sah dan tidaknya sholat orang tersebut.
Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- telah bersabda:
لَا تُقْبَلُ صَلَاةٌ بِغَيْرِ طُهُور
“Sholat itu tidaklah akan diterima tanpa bersuci.” (HR. Muslim)
Keadaan suci yang dituntut dari seorang
hamba sebelum mengerjakan sholat mencakup suci dari najis dan suci dari
hadats baik besar maupun kecil.
Pada tulisan ini akan kami paparkan
secara ringkas –insya Alloh- tuntunan syariat Islam yang sempurna dalam
permasalahan bersuci dari hadats besar, mengingat banyaknya orang yang
lalai seputar permasalahan ini.
SEBAB-SEBAB DIWAJIBKANNYA MANDI
- Keluarnya mani baik dari laki-laki ataupun perempuan, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur. Sebagaimana sabda Rosululloh -Shollallohu’alaihi wa sallam-:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنْ الْمَاء
“Sesungguhnya mandi itu (diwajibkan) karena (keluarnya) air (mani).” (HR. Muslim)
Hadits ini dengan jelas menyatakan bahwa
keluarnya mani merupakan sebab wajibnya mandi tanpa membedakan apakah
keluarnya itu dalam keadaan terjaga atau tertidur.
Sebagian ulama mempersyaratkan adanya
syahwat jika mani tersebut keluar dalam keadaan terjaga. Akan tetapi
yang rojih (kuat) tidak adanya syarat tersebut. Kapan saja didapati mani
keluar darinya maka wajib baginya mandi berdasarkan konteks hadits di
atas.[1]
Adapun jika keluarnya mani ketika tidur
maka telah diriwayatkan dari Ummi Salamah –radhiyallohu ‘anha- berkata;
bahwa ummu sulaim bertanya kepada Nabi –Shollallohu’alaihi wa sallam- :
يَا رَسُولَ الله، إِنَّ الله لَا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ، فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ؟
“Sesungguhnya Alloh itu tidak malu dari kebenaran, apakah wajib bagi wanita untuk mandi jika dia ihtilam (mimpi basah)?”
Beliau menjawab:
نَعَمْ، إِذَا رَأَتْ الْمَاء
“Ya, (wajib baginya mandi) jika melihat adanya air mani.” (Muttafaqun alaih)
Dalam hadits ini Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam- menjelaskan bahwa kewajiban mandi jatuh
pada seseorang yang ihtilam (mimpi basah) dan mendapatkan adanya air
mani setelah terjaga. Tidak dipersyaratkan bahwa dia teringat mimpi
tersebut atau tidak. Cukup dengan didapati mani yang seseorang itu yakin
bahwa mani tersebut berasal darinya, diwajibkan baginya mandi janabah.
Jadi keadaan seseorang yang bermimpi atau mendapatkan cairan selepas tidur ada tiga macam:
- Bermimpi dan mendapati mani pada pakaiannya, maka diwajibkan mandi padanya.
- Bermimpi dan ketika bangun tidak mendapati cairan apa-apa, maka tidak wajib mandi baginya.
- Tidak ingat apakah mimpi atau tidak tapi mendapati mani pada pakaiannya, maka wajib baginya mandi.
Kondisi ketiga inilah yang sering
dipertanyakan orang, apakah wajib mandi atau tidak? Kondisi ini sering
terjadi pada seseorang yang tidur kelelahan habis kerja berat atau pada
musim dingin.
Untuk bisa menghukumi apakah wajib mandi atau tidak seseorang harus mengetahui ciri-ciri mani itu sendiri.
Imam Nawawi telah menjelaskan tentang ciri-ciri mani dalam perkataan beliau: “Mani seorang laki-laki dalam keadaan sehat
berwarna putih, kental, keluar dengan memancar, keluar dengan syahwat,
dia merasakan kenikmatan ketika keluarnya. Kemudian jika telah keluar
disusul rasa lemas. Baunya seperti runjung korma yang mirip dengan bau
adonan tepung. Apabila telah kering baunya seperti telur. Inilah
sifat-sifat mani. Terkadang sebagian sifat-sifat tersebut tidak didapati padahal yang keluar itu adalah mani yang mewajibkan mandi.” [Al-Majmu’: 2/ 141]
Adapun mani wanita warnanya kekuningan dan tidak pekat. Keluarnya juga diiringi dengan syahwat dan disusul denga rasa lemas.
Perlu ditegaskan bahwa tidak
dipersyaratkan terkumpulnya semua ciri-ciri di atas sehingga seseorang
bisa menghukumi bahwa yang keluar itu mani, sebagaimana dijelaskan imam
Nawawi pada akhir perkataan beliau.
Sebagai contoh: seorang yang habis kerja
berat dan mendapati setelah tidur cairan pada celananya biasanya tidak
didapati kekentalan ataupun warna putih pada cairan tersebut. Akan
tetapi dia mendapati bau yang khas dan yakin bukan bau kencing, maka
dengan ini dia menghukumi bahwa yang keluar itu mani.
Adapun jika yang keluar bukan mani, dengan melihat ciri-ciri yang ada, baik sifat maupun baunya, maka tidak diwajibkan padanya mandi.
- Jima’ (bersetubuh), walaupun tidak keluar mani ketika terjadi jima’ tersebut. Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- bersabda:
إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الْأَرْبَعِ، وَمَسَّ الْخِتَانُ الْخِتَانَ فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْل
“Jika seorang laki-laki duduk di
antara dua tangan dan kaki wanita (maksudnya: jima’) dan bertemu antara
kelamin laki-laki dan perempuan maka telah wajib baginya untuk mandi.” (HR. Muslim dari Aisyah, datang juga dari Abu Huroiroh muttafaqun alaih dengan lafadz yang hampir sama)
Pertemuan dua alat kelamin yang dimaksud
dalam hadits adalah masuknya kepala dzakar ke dalam kelamin perempuan.[
Lihat Majmu’ Syarhul Muhadzdzab (2/ 133)]
Masuk di dalam permasalahan ini jika si
laki-laki memakai kondom. Tetap diwajibkan padanya mandi karena tercakup
dalam keumuman hadits Abu Huroiroh sebagaimana dirajihkan oleh
Syaikhuna Muhammad Hizam dan merupakan pendapat imam Nawawi.
- Berhentinya haidh maupun nifas.
Berdasarkan hadits Aisyah –radhiyallohu
‘anha-: bahwa Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- berkata kepada
Fatimah bintu Abi Hubaisy:
فَإِذَا أَقْبَلَتْ الْحَيْضَةُ فَدَعِي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي
“Jika haidh mendatangimu maka
tinggalkanlah sholat, dan apabila telah selesai (haidh tersebut) maka
mandilah kemudian sholatlah”( HR Bukhory-Muslim)[2]
TATA CARA MANDI JANABAH
Pada mandi janabah ada dua rukun yang
wajib untuk dilakukan, kapan saja kedua rukun ini tidak terpenuhi maka
mandinya tidak sah. Kedua rukun tersebut adalah:
- Niat mandi janabah.
Berdasarkan hadits:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ
“Seluruh amalan itu berdasar pada niatnya.” (HR Bukhory-Muslim)
Oleh karena itu apabila seseorang junub
kemudian mandi tanpa berniat mandi janabah maka tidak sah mandinya dan
hadats besar yang ada padanya belum terangkat.
- Membasahi seluruh anggota tubuh dengan air. Apabila ada anggota tubuh yang tidak terkena air maka mandinya tidak sah. Berdasarkan sabda Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- kepada seseorang yang tidak ikut sholat bersama Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- karena junub, maka beliau memberikan air kepadanya dan berkata:
اذْهَبْ فَأَفْرِغْهُ عَلَيْك
“Pergilah dan siramkan air ini ke tubuhmu.”(Muttafaq alaih dan lafadh ini di Bukhory)
Dari rukun ini kita pahami bahwa dengan
cara apa saja seseorang mandi, maka mandinya sah jika air mencapai
seluruh anggota tubuhnya, baik itu dengan mengguyurkan air ataupun dengan menceburkan diri ke sungai atau laut.
Jika kedua rukun telah terpenuhi maka
mandi seseorang telah sah. Namun sebagai seorang sunny tentunya
menginginkan tata cara yang lebih sempurna daripada yang telah tersebut
di atas. Hal ini tidak lain dengan mencontoh tata cara mandi Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam-.
Telah datang dalam permasalahan ini dua hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhory dan Muslim:
Pertama: hadits Aisyah, dia berkata:
كَانَ رَسُول الله -صَلَّى الله عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ- إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ يَبْدَأُ فَيَغْسِلُ
يَدَيْهِ –وفي رواية: كَفَّيْهِ ثلاثا-، ثُمَّ يُفْرِغُ بِيَمِينِهِ عَلَى
شِمَالِهِ فَيَغْسِلُ فَرْجَهُ، ثُمَّ يَتَوَضَّأُ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ،
ثُمَّ يَأْخُذُ الْمَاءَ فَيُدْخِلُ أَصَابِعَهُ فِي أُصُولِ الشَّعْرِ،
حَتَّى إِذَا رَأَى أَنْ قَدْ اسْتَبْرَأَ حَفَنَ عَلَى رَأْسِهِ ثَلَاثَ
حَفَنَاتٍ، ثُمَّ أَفَاضَ عَلَى سَائِرِ جَسَدِهِ، ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَيْه
“Rosululloh biasanya jika mandi
janabah, beliau memulai dengan mencuci kedua tangannya –pada riwayat
yang lain: kedua telapak tangan tiga kali-, kemudian menyiramkan air
dengan tangan kanannya ke tangan kiri dan mencuci kemaluan dengannya,
kemudian beliau wudhu sebagaimana wudhunya ketika mau sholat, kemudian
menciduk air dan menyisipkan jari-jari tangannya ke poros rambut,
sehingga ketika telah merasa bahwa air sudah mencapai (kulit kepala),
beliau mengguyurkan air ke kepala tiga kali, kemudian mengguyur seluruh
badannya, kemudian beliau mencuci kedua kakinya.” (HR Bukhory-Muslim)
Kedua: hadits Maimunah.
Hadits kedua ini pada asalnya hampir sama dengan hadits yang pertama,
kecuali pada beberapa kalimat yang berbeda, yaitu: disebutkannya bahwa
Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- setelah mencuci kemaluan
dengan tangan kirinya, beliau mengusapkan tangan kirinya itu ke tanah
dan menggosokkannya. Juga disebutkan pada hadits ini bahwa Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam- menolak handuk yang diberikan Maimunah.
Dari kedua hadits di atas dapat kita perinci tentang tata cara mandi yang sesuai sunnah sebagai berikut:
- Mencuci tangan tiga kali.
- Mencuci kemaluan dengan dengan tangan kiri dan tangan kanan yang mengguyurkan air.
- Berwudhu seperti wudhu untuk sholat.
- Mengambil air dan menyela-nyelai rambut dengannya sampai terasa bahwa air mencapai kulit kepala dan merata.
Apabila dia memiliki jenggot, maka diwajibkan pula untuk menyela-nyelainya sehingga air sampai pada kulit.
- Mengguyur kepala tiga kali.
- Mengguyur seluruh badan.
Para ulama juga menyebutkan bahwa
menggosok badan juga termasuk yang disunnahkan karena hal tersebut
menambah bersih dan sempurnanya mandi seseorang.
- Mencuci kedua kaki. Hal ini bisa dilakukan ketika wudhu sebagaimana hadits Aisyah, atau setelah selesai semua baru mencuci kaki sebagaimana hadits Maimunah. [Lihat: Fathul bari, hadits no. 249]
Adapun menyeka air dengan handuk, maka
ini adalah perkara yang boleh. Sebab penolakan Rosululloh
–Shollallohu’alaihi wa sallam- terhadap kain yang diberikan Maimunah
tidaklah berarti bahwa menyeka air selepas mandi terlarang. Bahkan
Rosululloh sendiri telah melakukannya, walaupun tidak dengan handuk,
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Maimunah.
Inilah secara ringkas tata cara mandi
yang dicontohkan oleh Rosululloh –Shollallohu’alaihi wa sallam- yang
sepantasnya bagi setiap muslim untuk mengamalkannya.
Mungkin seseorang akan bertanya: “Apakah tata cara ini berlaku juga bagi wanita?”
Kita jawab: Bahwa syariat ini pada
dasarnya berlaku bagi laki-laki dan perempuan kecuali bila ada dalil
yang menunjukkan adanya kekhususan pada salah satu dari keduanya.
Pada permasalahan kita ini, telah datang
hadits dari Ummi Salamah bahwa dia bertanya kepada Rosululloh: “ Wahai
Rosululloh, saya seorang wanita yang mengepang rambut kepalaku, apakah
aku urai (kepangan itu) untuk mandi janabah?”
Rosululloh menjawab:
لَا. إِنَّمَا يَكْفِيكِ أَنْ تَحْثِي عَلَى رَأْسِكِ ثَلَاثَ حَثَيَاتٍ ثُمَّ تُفِيضِينَ عَلَيْكِ الْمَاءَ فَتَطْهُرِينَ
”Tidak, akan tetapi cukup bagimu
untuk menyiramkan air di kepalamu tiga kali siraman kemudian
mengguyurkan air ke badanmu, maka (dengan ini) engkau telah suci .” [HR. Muslim: 330]
Hadits di atas menunjukkan bahwa apabila
seseorang memiliki rambut yang dikepang maka tidak wajib baginya untuk
melepasnya ketika mandi janabah. Dengan syarat bahwa kepangan tersebut
tidak mencegah sampainya air ke kulit kepala. Apabila kepangan itu
menghalangi maka wajib untuk diurai sehingga air bisa mencapai kulit
kepala. Inilah yang dipilih oleh jumhur (mayoritas) ulama dan dirajihkan
oleh: Syaikh bin Baz dan Muhamad bin Ibrohim. [Fatawa lajnah: 5/ 320,
Fathul Allam: 1/ 324]
Dari hadits di atas juga dipetik hukum
bahwa rambut wanita yang panjang tidaklah wajib untuk dibasahi ketika
mandi. Sebab Rosululloh tidaklah memerintahkan dalam hadits tersebut
untuk mengurai kepangan, padahal jika keadaannya seperti ini
kebanyakannya air tidak bisa mencapai bagian dalam kepangan tersebut.
Seandainya membasahi seluruh rambut itu wajib bagi wanita maka tentu
Rosululloh akan memerintahkan Ummu Salamah untuk mengurai rambutnya yang
dikepang. [Al-Mugniy: 1/ 301-302, Fathul Bari-Ibnu Rojab: 256]
Wallohu A’lam, inilah yang bisa kami sajikan pada kesempatan ini, semoga bisa bermanfaat dan diamalkan.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.
Ditulis Oleh: Abu Zakaria Irham Al-Jawiy
Darul Hadits, Sabtu 6 Rojab 1433
Semoga Alloh Menjaganya
[1] Ini adalah pendapat ibnu Hazm (Al-Muhalla: 173) dan dirajihkan oleh Syikhuna Muhammad Hizam.
[2]
Para ulama juga menyebutkan sebab- sebab lain yang dengannya seseorang
diwajibkan mandi, yaitu: ketika seseorang masuk islam dan ketika
seseorang ingin menghadiri sholat jum’at. Sengaja Penulis tidak
cantumkan karena diluar pokok pembahasan.
No comments:
Post a Comment