tags: agama,
ahlussunnah, amal,
hadits, ibadah,
islam,
ittiba',
Kekeliruan Dalam Sholat Jum'at, maksiyat,
sunnah,
syari'at
KEKELIRUAN DALAM SHOLAT JUM’AT
Oleh: Ustadz
Achmad Rofi’i, Lc.
بسم
الله الرحمن الرحيم
السلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati
Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini masih merupakan
kelanjutan dari bahasan sebelumnya yaitu mengenai kekeliruan dan kesalahan
orang melaksanakan Shalat Jum’at. Pekan lalu kita sudah membahas 9 kekeliruan
dalam shalat Jum’at termasuk yang terakhir adalah shalat sunnat 2 rakaat
Qabliyatal Jum’at yang tidak ada contoh dan ajarannya dari Rosuulullooh صلى
الله عليه وسلم.
Kita teruskan yang 9 poin kekeliruan
tersebut dengan beberapa kekeliruan lagi termasuk tambahan, yaitu seperti yang
kita bisa temui dalam Kitab Al Amru bil Ittiba’ Wan
Nahyu ‘Anil Ibtida’ yang ditulis oleh Imam As Suyuuthi. Dalam
kitab tersebut diterangkan bahwa beberapa perkara dalam shalat Jum’at, baik
tentang khutbah maupun perkara lainnya.
Kata beliau Imam As Suyuuthi
(beliau adalah tokoh dalam Madzab As Syafi’iy) dalam kitabnya tentang Khutbah
Jum’at, termasuk orang-orang yang mempersiapkan khutbah sering terjerembab
dalam beberapa kekeliruan sebagai berikut:
1) Mengetukkkan
sebanyak tiga kali diatas mimbar Jum’at dengan tongkat ketika khotib menaiki mimbar
sebagai tanda bahwa ia menaiki mimbar, termasuk setiap langkah berhenti, satu
langkah berhenti, satu langkah lagi berhenti. Kemudian khotib banyak berdoa
sebelum menghadap kepada jama’ah dan sebelum mengucapkan salam kepada jama’ah
dan mengangkat kedua tangannya.Yang demikian adalah Bid’ah yang buruk.
2)
Ketika seorang khotib naik ke atas mimbar, ia dengan sengaja menengok
ke kanan dan ke kiri, terutama ketika ia mengatakan: “Saya berpesan
kepada jama’ah sekalian” atau ketika mengucapkan Shalawat Nabi
Muhammad صلى الله عليه وسلم. Yang demikian tidak ada asal ajarannya
sedikitpun dari Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, justru yang
Sunnah adalah hendaknya khotib itu menghadap ke arah jama’ah sejak awal khutbah
sampai dengan akhir khutbah. Sementara di kita katanya ada unsur
siasat, unsur seni dalam beretorika, menebarkan pandangan ke kanan dan ke kiri.
Kalau itu dijadikan kebiasaan atau mungkin menjadi afdhol bagi suatu
khutbah, maka yang demikian tidak boleh, karena tidak ada landasannya dari Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم. Yang demikian juga dinyatakan oleh para ‘ulama yang sezaman
dengan Imam As Suyuuthi. Menurut Imam Syafi’iy, yang diambil dari Kitab Al
‘Umm jilid I oleh Imam As Suyuuthi, bahwa hendaknya seorang
khotib itu menghadapkan wajahnya kepada jama’ah yang ada di depannya, tidak
perlu menolehkan wajahnya ke kanan atau kekiri.
3)
Mereka (para khotib) dengan sengaja mengangkat (mengeraskan) suara
mereka ketika mengucapkan Shalawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم, dimana
yang demikian itu menurut Imam Imam As Suyuuthi adalah bagian dari kejahilan
(kebodohan), karena kata beliau ucapan shalawat atas Nabi صلى الله عليه
وسلم merupakan doa, mendo’akan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
dan doa-doa yang dipanjatkan itu seluruhnya Sunnahnya dengan Sirr
(berbisik), bukan dengan Jahr (dikeraskan). Bahkan seluruh doa adalah
dengan Sirr, tidak perlu dengan suara keras. Kalaupun ada doa yang
harus disuarakan dengan suara keras adalah untuk keperluan maslahat, seperti
doa Qunut shalat Witir, atau Qunut An Nazilah. Bahkan kalau khotib itu
berkhutbah dan selalu berdoa di akhir khutbah kedua, yang merupakan rangkaian
seluruh khutbah, maka yang demikian adalah sesuatu yang keliru. Karena yang
demikian tidak disunnahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
4) Adzan
dilakukan dua orang bersama-sama satu suara. Atau dua orang muadzin
adzan satu-satu bering-iringan. Yang demikian adalah Bid’ah. Bukan
Imam As Suyuuthi saja yang mengatakan demikian tetapi juga dalam Kitab-kitab
yang lain. Yang benar, adzan cukup dilakukan oleh satu orang,
tentunya tidak ada beda antara adzan yang satu dengan yang lain (bila dalam
satu shalat Jum’at dilakukan adzan dua kali). Biasanya di masyarakat kita,
adzan pertama lebih indah, sedangkan adzan kedua dilakukan sekedarnya saja.
Padahal seharusnya sama indahnya/ lantangnya antara adzan pertama dan
kedua. Pilih kasih demikian itu, juga merupakan kekeliruan. Adzan
yang shohiih adalah satu kali saja, yaitu ketika khotib sudah ada diatas
mimbar.
Kalaupun dilakukan adzan dua kali,
maka hendaknya sesuai dengan apa yg Kholiifah ‘Utsman bin Affan رضي الله عنه rintis, yaitu untuk memanggil kaum
muslimin yang pada saat itu masih bekerja di lading, maka praktisnya di
zaman sekarang adalah agar ada waktu antara pemanggilan atau peringatan bagi
kaum muslimin yang masih terlena dengan pekerjaan mereka, maka semestinya adzan
pertama dikumandangkan seharusnya sejam sebelum khotib naik mimbar.
5) Khotib
memakai pakaian hitam, atau yang ada asesoris dari sutera, atau dengan
memegang tongkat yang disepuh dengan emas. Yang demikian itu hukumnya
haroom. Kalau jubah hitamnya tidak ada unsur suteranya atau lainnya, maka
itu tidaklah tercela. Walau demikian, itu termasuk yang tidak disukai. Kata
beliau صلى الله عليه وسلم:
الْبَسُوا
مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبِيضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا
مَوْتَاكُمْ
Artinya:
“Pakailah pakaian yang berwarna
putih (untuk laki-laki, pen.-). Karena yang demikian itu lebih suci dan
lebih baik dan indah. Dan kafani orang-orang mati dari kalian dalam pakaian
putih itu”. (Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 3035)
Demikianlah kekeliruan yang
sering terjadi menurut Imam As Suyuuthi. Namun demikian, juga dikatakan
oleh beliau dalam Kitabnya Al Amri bin Ma’ruf Wannahyi Al
Munkar ditambah lagi perkataan Syeikh Nashiruddin Al Albaany dalam
kitab beliau Al Ajwibah An Nafi’ah disana dijelaskan, ada
tambahan:
- Menganggap sebagai suatu ibadah untuk menangguhkan shafar (bepergian) pada hari Jumat. Misalnya seseorang mempunyai keperluan yang harus dilaksanakan hari Jum’at. Tetapi keperluan itu ditangguhkan karena hari Jum’at. Keyakinan menangguhkan perjalanan pada hari Jum’at itu dianggapnya sebagai bagian dari agama, maka keyakinan yang demikian itu adalah salah. Kalau memang kebetulan ada keperluan pada hari Jum’at (misalnya bepergian), lakukan saja, karena tidak ada ajaran yang mengatakan bahwa Jum’at menghalangi perjalanan atau keperluan lain. Berbeda lagi bila seseorang berkilah supaya tidak usah shalat Jum’at, lalu dengan sengaja mengadakan perjalanan hari Jum’at. Yang demikian itu juga tidak benar.
- Menjadikan hari Jum’at itu libur untuk meniadakan kegiatan apapun yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Yang demikian, juga tidak ada sunnahnya. Yang dimaksud libur adalah libur kaum muslimin untuk mengkhususkan bahwa hari Jum’at adalah hari ‘Ied, yaitu mempersiapkan dirinya untuk bersih-bersih, potong kuku, sunnah fitrah, mandi, pergi ke masjid lebih awal, memperhatikan khutbah Jum’at, dan seterusnya, maka yang demikian adalah boleh. Tetapi kalau lalu tidak mau kerja atau melakukan kegiatan apapun karena hari Jum’at, maka itu adalah keliru.
- Orang-orang jahil justru malam Jum’at berbuat maksiat, mereka tidak menghiraukan bahwa malam itu adalah malam ‘Ied, malam barokah dari Allooh سبحانه وتعالى. Justru mereka berbuat maksiat, bahkan disengaja bahwa malam itu adalah malam yang menyeramkan. Itu tidak dibenarkan. Ada beberapa contoh, beliau mencontohkan : Misalnya, mencukur jenggot, memakai sutera dan emas, atau mengkhususkan ada karpet khusus untuk hari Jum’at sebelum mereka pergi ke masjid untuk shalat Jum’at, dsbnya. Ini juga termasuk yang tidak ada asal ajarannya.
- Termasuk ketika hari Jum’at ada kebolehan untuk khusus orang-orang tua duduk di masjid di shaf terdepan, dan dibolehkan untuk melangkahi jama’ah yang lain; walaupun ia datang belakangan, ia boleh duduk di shaf terdepan karena ia sudah tua. Itu yang tidak benar. Yang benar adalah siapa yang datang paling dulu, maka sunnahnya ia berhak untuk duduk di shaf terdepan walaupun usianya masih muda. Walaupun ia orang tua dan terhormat dalam masyarakat, kalau ia datangnya belakangan maka ia harus duduk di shaf paling belakang. Demikianlah Islam, tidak membeda-bedakan dalam urusan taqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.
- Shalat sunnat Qabliayatal Jum’at, sudah diterangkan terdahulu; bahwa tidak ada shalat sunnat Qabliyatal pada hari Jum’at, karena hal itu termasuk Bid’ah.
- Mimbar ditinggikan lebih dari tiga tangga. Hal ini diterangkan juga oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, sunnahnya bahwa mimbar itu hanya terdiri dari tiga tangga. Mimbar adalah tempat yang lebih tinggi daripada jama’ah untuk maslahat, yaitu agar khotib ketika berdiri bisa disaksikan dan dilihat oleh semua jama’ah. Maka menurut sunnah, yang dihitung hanya tangganya, bukan dari bahan apa atau modelnya mimbar itu dibuat. Dan tidak ada sunnahnya mimbar itu diberi tulisan nama “Muhammad” atau “Allooh” saja. Kalau mau, hendaknya lengkap tulisan: “Asyhaadu an laa illaaha illallooh wa asyhaadu anna Muhammadur Rosuulullooh”. Karena itu adalah kalimat syahadat atau kalimat tahlil.
- Termasuk kekeliruan dalam khutbah adalah memperpanjang khutbah dan mempersingkat shalat dengan bacaan surat-surat pendek. Justru Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم khutbah itu pendek, singkat, shalatnya yang panjang, yaitu dengan bacaan surat-surat yang panjang. Karena di masyarakat kita ini, orang yang berkhutbah seringkali adalah orang-orang yang bukan Ahlul Syar’i ‘Ilmi, melainkan khotibya adalah orang pemikir, atau orang pakar / ahli di bidang tertentu (tetapi sebenarnya dia tidak ahli dalam bidang dien), para doktor, para akademisi, sehingga khutbahnya bukan ilmu syar’i; melainkan analisa, berita, prediksi, dll. Itu termasuk keliru. Hendaknya orang yang melakukan khutbah adalah orang Ahlul’Ilmi, tidak sekedar bisa berkhutbah. Khotib adalah Imaam, ia adalah hafidz Al Qur’an, dan cara-cara berkhutbah pun faham. Sementara di negeri kita ini, banyak khotib yang tema khutbahnya seluruhnya adalah mengikuti keadaan yang sedang trendy yang ada dalam masyarakat. Yang demikian boleh, tetapi tidak selamanya. Karena khutbah itu bisa berupa ta’lim singkat, dalam waktu singkat kaum muslimin bisa mengetahui tentang ajaran Islam.
- Kekeliruan lain adalah khotib selalu memuji penguasa, para pejabat atau pejabat atasannya. Mendoakan dan menyebut kebaikan-kebaikan mereka dan sebagainya. Yang demikian adalah termasuk salah dan keliru. Kalau mendoakan secara umum (bukan secara individual), maka itu boleh.
- Ada sebagian kaum muslimin yang melakukan shalat Dhuhur setelah shalat Jum’at. Itu adalah keliru. Karena sesungguhnya shalat Jum’at adalah sebagai pengganti shalat Dhuhur pada hari biasa. Bila sudah shalat Jum’at, maka tidak perlu shalat Dhuhur. Kalau memang tidak sempat (berhalangan) shalat Jum’at, maka ia boleh shalat Dhuhur biasa. Bagi yang tidak shalat Jum’at, lalu mendengar adzan Jum’at, khotib sudah naik mimbar, berarti itu sudah masuk waktu Dhuhur. Pada saat itu mereka sudah dibolehkan shalat Dhuhur.
Dengan demikian sesungguhnya banyak
sekali kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam shalat
Jum’at.
Ada beberapa perkara yang termasuk kesalahan
dalam shalat Jum’at, yaitu adanya dzikir-dzikir tertentu. Mereka
karena “kreatifnya” mengarang atau melazimkan dzikir-dzikir atau do’a-do’a
khusus berkaitan dengan shalat Jum’at.
Oleh karena itu para ‘ulama seperti Asy
Syaikh Shoolih bin Fauzaan Ali Fauzaan mengatakan : “Shalat
Jum’at itu tidak memiliki dzikir-dzikir khusus. Apa bila orang selesai
melakukan shalat Jum’at, lakukanlah dzikir-dzikir sebagaimana selesai
shalat fardhu biasa”.
Jadi kalau dia katakan tidak ada,
berarti itu karena tidak ada dalilnya. Bagi orang yang karena terburu-buru
ada keperluan yang tidak bisa ditinggal, maka selesai dzikir langsung pergi,
maka itu tidak mengapa. Sebaliknya ketika selesai dzikir lalu berdoa
panjang, karena ada permohonan kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka yang demikian
pun boleh.
Tetapi seandainya, ia
melazimkannya, seolah-olah selesai shalat Jum’at itu harus ada doa tertentu,
seperti banyak dilakukan di masjid-masjid, apabila selesai shalat Jum’at
si imaam langsung menghadap ke ma’mum dan memimpin jama’ahnya untuk
bersama-sama berdoa, bahkan ada do’a yang panjang dan ada do’a yang pendek
secara koor bersama-sama. Ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu
sesungguhnya menjadi Bid’ah. Bukan do’anya yang dilarang, tetapi
CARA BERDO’A selesai sholat Jum’at dengan melazimkan seperti itu lah yang
tergolong Bid’ah, karena tidak ada dalilnya / contohnya dari Rosuul صلى
الله عليه وسلم.
Yang benar, sesuai contoh
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ketika
selesai shalat Jum’at, do’anya masig-masing, tidak dengan dipimpin. Dan
tidak boleh dibuat seragam, karena tidak ada penyeragaman dalam doa
itu. Yang penting, ketika berdoa adalah dengan adab berdoa, misalnya
didahului istighfar, dengan syahadat, memuji kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan
adab berdo’a lainnya.
Yang juga keliru dalam shalat Jum’at
adalah melazimkan bersalaman (jabat tangan) dengan orang yang
disebelah kanan dan kirinya. Hal tersebut tidak ada sunnahnya sama sekali.
Dan itu menyimpang dengan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Ada beberapa Hadits yang diyakini bahwa itu adalah ibadah,
padahal itu tidak ada dan tidak boleh diyakini, misalnya:
Hadits yang mengatakan: “Aku
ajari kamu beberapa kata, yang kalau engkau hafalkan ini Allooh سبحانه
وتعالى akan memberikan manfaat kepadamu dan orang yang diajarinya, yaitu
shalatlah pada malam Jum’at 4 rakaat, raka’at pertama membaca surat Al Fatihah,
lalu membaca surat Yasin. Raka’at kedua membaca surat AlF atihah lalu
membaca surat Ad Dukhaan, raka’at ketiga membaca surat Al Fatihah lalu surat As
Sajdah dan raka’at ke-empat membaca surat Al Fatihah dengan surat Tabarak.”
Yang demikian itu disebutkan oleh Imam
Ibnul Jauzi dalam kitab-kitab Hadits Maudhuu’ dan ia adalah sangat
lemah, tidak bisa dijadikan dalil sebagai hadits yang
shohiih. Maka bila anda mendengar bahwa malam Jum’at ada shalat-shalat
tertentu yang landasannya seperti hadits tersebut, maka yang demikian itu
landasannya tidak ada sama sekali.
Juga misalnya Hadits yang
mengatakan: “Bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bila shalat
Maghrib pada malam Jum’at, raka’at pertama sesudah Al Fatihah membaca surat Al
Kaafirun, dan raka’at kedua setelah Al Fatihah membaca surat Al
Ikhlash. Dan ketika shalat Isya’ beliau selesai membaca surat Al Fatihah
pada raka’at pertama lalu membaca surat Al Jum’ah, dan raka’at kedua membaca
surat Al Munaafiquun.”
Penggunaan pengkhususan surat-surat
tersebut pada malam Jum’at, kata Imaam Al Irooqi haditsnya
tidak shohiih, baik musnat maupun mursal. Jadi
tidak dibenarkan bagi orang-orang untuk meyakini adanya hadits tersebut.
Ada Hadits lain yang
mengatakan: “Barangsiapa yang masuk ke dalam Masjid Jami’ pada hari
Jum’at, ia tidak duduk terlebih dahulu sampai ia shalat empat raka’at, pada
raka’at pertama dibaca surat Al Ikhlash sebanyak duaratus kali, siapa yang
melakukannya maka ia tidak akan mati sampai ia tahu diperlihatkan dulu
kepadanya tempat duduknya di surga.”
Imaam Al Irooqi mengatakan bahwa hadits tersebut Ghoriib Jiddan,
kata Imam Ad Daaruquthny hadits tersebut tidak benar. Itu
adalah termasuk yang aneh-aneh. Mudah-mudahan di masyarakat kita tidak
ada.
Ada lagi hadits yang mengatakan: “Orang
yang masuk ke masjid hendak shalat Jum’at harus melihat Khotib yang sedang
duduk.”
Mengenai masalah tersebut tidak ada
dalilnya yang shohiih.
Juga ada hadits yang sangat lemah,
yang katanya : “Bila seorang melakukan shalat Jum’at dan Imam salam
sebelum bersila, masih dalam keadaan duduk Tahiyat, kemudian orang membaca Al
Qur’an, Al Fatihah, Al Falaq, An Naas masing-masing tujuh kali, lalu si Imam
duduknya berubah atau membalikkan badan”.
Maka hadits tersebut dinyatakan oleh
Syekh Abu As’ad Al Khusyairi bahwa sanadnya sangat lemah (dho’iif). Tidak
perlu dipercayai.
Termasuk membiasakan (melazimkan)
doa minta kaya:
اللهم
اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك
(Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy
no: 3563)
Itu dilakukan dengan adanya
keyakinan bahwa siapa yang membiasakan doa tersebut maka ia akan diberikan
kekayaan dan rezki oleh Allooh سبحانه وتعالى. Yang demikian itu
adalah tidak benar, karena tidak ada dalilnya yang shohiih. Itu hanyalah
prasangka belaka, tidak ada dalilnya. Termasuk diantara adalah do’a yang
diyakini, bila do’a tersebut dibaca 70 kali, maka yang membacanya akan
diberikan kekayaan. Itu semua tidak berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه
وسلم. Tidak ada ajarannya dari beliau صلى
الله عليه وسلم
Juga mungkin anda pernah mendengar
katanya ada Hadits yang berbunyi: “Jum’at itu adalah hajinya orang-orang
miskin”. Itu tidak benar.
Imam As Suyuuthi mengatakan bahwa
hadits tersebut dho’iif, tidak bisa dijadikan landasan. Meskipun
miskin, orang pergi haji harus ke Mekkah, Arafah dan Mina dan
seterusnya. Kalau ia miskin dan tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji,
maka ia tidak wajib menunaikannya. Mungkin Jum’at itu orang beramai-ramai
beribadah di masjid lalu dianggapnya pergi haji. Yang demikian itu tidak benar,
karena haji mempunyai cara dan manasik tersendiri, sedangkan shalat
Jum’at tidak ada persamaan dengan manasik haji. Itupun termasuk hal
yang tidak benar. kan shalat Jum’at itu wajib pada setiap desa / kampung, walaupun
dikampung itu hanya ada empat orang.”
Imam As Suyuuthi mengomentari bahwa
hadits tersebut adalah dho’iif (lemah) dan terputus sanadnya. Dan
itu tidak boleh kita yakini.
Yang benar adalah shalat Jum’at
adalah wajib bagi orang laki-laki, ia mukim, tidak melakukan shafar, ia
tidak berhalangan ataupun tidak sakit dan sebagainya. Kalau ada halangan
tertentu, maka ia tidak diwajibkan shalat Jum’at, termasuk bila bertepatan
dengan hari raya ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha (yang jatuhnya tepat pada hari
Jum’at).
Jadi, bila hari raya ‘Iedul Fithri
atau ‘Iedul Adha jatuh pada hari Jum’at, maka karena ia sudah shalat
‘Ied pada pagi harinya, maka shalat Jum’at-nya hukumnya (secara syar’ie) adalah
menjadi tidak wajib. Boleh tidak shalat Jum’at, tetapi melaksanakan shalat
Dhuhur.
Halangan untuk shalat Jum’at (yang
disebabkan alam) adalah: angin badai, hujan lebat sekali, yang tidak
memungkinkan orang menembus halangan itu.
Demikianlah , berbagai pembahasan
diatas tentang hal-hal yang tidak ada haditsnya, tidak ada kebenarannya dari
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan kalau dibacakan kitabnya yang memuat
hadits-hadits dho’iif misalnya Imam Ibnul Jauzi yang menulis kitab Al
Maudhuu’at Al Qubro, yang isinya menceritakan tentang hadits-hadits
yang palsu. Ada tiga jilid, termasuk diantaranya adalah tentang kekeliruan
dalam shalat Jum’at.
Dengan penjelasan tentang kekeliruan
dan kesalahan dalam melakukan shalat Jum’at diatas, mudah-mudahan kita semua
menjadi tahu dan tidak lagi mengerjakan kekeliruan dan kesalahan itu. Karena
bila masih mengerjakan juga, maka tidak akan termasuk bernilai ibadah, bahkan
bila ia termasuk orang yang ditiru maka ia akan mendapatkan dosanya dari Allooh
سبحانه وتعالى.
Hikmah dari itu semua, hendaknya
kita selalu berpegang-teguh pada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم
terutama dengan ibadah mahdhoh seperti shalat Jum’at.
Ibadah di hari Jum’at, sejak mulai
dari matahari terbenam di Kamis sore sampai dengan terbenamnya matahari esoknya
di hari Jum’at, semuanya itu diberkahi oleh Allooh سبحانه وتعالى. Dan
semuanya itu hendaknya dipakai untuk ibadah, bukan untuk maksiat.
Demikianlah tentang kekeliruan dan
kesalahan kaum muslimin dalam melaksanakan shalat Jum’at. Insya Allooh
pada pertemuan yang akan dating, akan kita bahas tentang: Kekeliruan
dan kesalahan kaum muslimin dalam melaksanakan Shalat Jenazah.
Tanya-Jawab:
Pertanyaan:
Bagaimana dengan seorang Khotib yang
ketika diatas mimbar pada waktu shalat Jum’at berdo’a sambil mengacungkan
telunjuk tangannya keatas, apakah yang demikian dibenarkan ?
Jawaban:
Seorang khotib yang berdo’a,
terutama pada khutbah kedua dengan mengacungkan telunjuk tangannya ke
atas, itu dibenarkan karena memang ada haditsnya. Itu adalah sunnah
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Justru
kalau khotib berdo’a dengan cara mengangkat kedua tangannya, itu justru yang
tidak ada contohnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Pertanyaan:
Apakah ada shalat sunnah Qabliyatal
Jum’at ?
Jawaban:
Shalat sunnat Qabliyatal Juma’t itu
tidak ada. Dipastikan bahwa shalat sunnah Qabliyatal Jum’at tidak ada. Karena
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak pernah mencontohkannya. Maka hendaknya
dipastikan oleh para penyelenggara shalat Jum’at untuk tidak memberi kesempatan
kepada orang untuk melakukan shalat sunnat Qabliayatal Jum’at.
Sedangkan shalat sunnat Ba’diyatal
Jum’at itu ada. Bahkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mencontohkan dengan
dua cara.
Cara pertama, jika orang ingin melaksanakan shalat sunnat Ba’diyatal
Jum’at itu di masjid, setelah dzikir dan berdoa terlebih dahulu, lalu bangkit
untuk melakukan shalat sunnat Ba’diyatal Jum’at sebanyak 4 (empat)
raka’at, yaitu dua raka’at salam dan shalat lagi dua raka’at salam.
Cara kedua, bagi orang yang tidak melakukan shalat Ba’diyatal Jum’at
di masjid, maka ia boleh melakukannya di rumah (segera setelah masuk rumahnya)
dengan shalat dua raka’at.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan masjid yang ada
mimbarnya yang tinggi-tinggi dan megah itu?
Jawaban:
Sunnahnya, mimbar di masjid tidak
perlu tinggi. Sekedar beberapa sentimeter lebih tinggi dari jama’ah
(sekitar 10 cm) maka itu boleh. Dan tidak perlu masjid membelanjakan
dana untuk pembuatan mimbar yang megah, itu tidak benar. Yang benar
mimbar itu sederhana saja, maslahatnya adalah agar sekedar yang berkhutbah bisa
terlihat oleh jama’ah hingga yang di shaf belakang.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan Rosuulullooh صلى
الله عليه وسلم yang melakukan shalat berjama’ah di tempat yang lebih tinggi
daripada jama’ah?
Jawaban:
Itu hanya dalam keadaan tertentu
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lakukan, yaitu ketika beliau صلى الله عليه وسلم
memberikan suatu contoh shalat kepada jama’ah ketika itu.
Tetapi dalam hal yang biasa, beliau
tidak melakukan shalat diatas tempat yang lebih tinggi dari jama’ah.
Dan mimbar pada zaman Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم adalah terbuka bagian depannya. Bahkan berbentuk tangga,
sehingga jama’ah bisa melihat keseluruhan yang berkhutbah. Tidak seperti
mimbar di kita yang tertutup di depannya sehingga khotib hanya terlihat sebatas
dadanya keatas. Seperti kita lihat di masjid Nabawy, mimbarnya hanya berbentuk
tangga dan yang berkhutbah terlihat keseluruhan tubuhnya oleh jama’ah.
Pertanyaan:
Shalat sunnat apakah yang boleh
dilakukan selain shalat Tahiyatul masjid sebelum khatib naik Mimbar?
Jawaban:
Tidak ada. Selain shalat sunnat
Tahiyatul Masjid tidak ada lain lagi. Yang boleh, silakan anda sambil menunggu
khatib naik mimbar itu maka anda berdzikir, berdo’a atau membaca Al Qur’an.
Mungkin ketika itu diedarkan buletin boleh dibaca, tetapi buletin itu tidak
boleh dibaca ketika khatib sudah naik ke mimbar.
Bahkan ada hadits, Rosuulullooh صلى
الله عليه وسلم bersabda:
وَمَنْ
مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya:
“Bila khotib sudah naik ke mimbar,
maka siapa yang memegang kerikil saja ia sudah termasuk orang yang laghwun
(dilarang)” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no:
1052)
Bagaimana dengan menggeser kotak
amal yang sering diedarkan ketika shalat Jum’at? Dalam hal ini, perlu ada
kebijaksanaan dari pengurus masjid, ketika jama’ah masjid sudah masuk masjid dan
akan mengedarkan kotak infaq, maka hendaknya itu dilakukan beberapa menit
sebelum khotib naik mimbar, sebelum dimulai khutbah. Misalnya diberikan
alternatif setiap shaf satu kotak. Sehingga cepat selesai beredar dan
tidak ada lagi kotak berjalan ketika jama’ah mendengarkan khutbah.
Demikian itu, sesuai dengan hadits tersebut diatas, agar supaya tidak
mengganggu kekhusyu’an orang yang shalat Jum’at.
Pertanyaan:
Bagaimana dengan shalat sunnat Intidzoor?
Jawaban:
Shalat sunnat Intidzar adalah
sholat sunnat menunggu. Dari maknanya, shalat Intidzar bukanlah dimaksudkan
untuk menunggu khotib naik mimbar ketika shalat Jum’at. Intidzar adalah nama
shalat sunnat yang disabdakan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Antara
dua adzan ada shalat”.
(Maksudnya antara adzan dan iqamat
ada shalat). Orang boleh melakukan shalat sunnat antara waktu itu, yaitu
yang disebut shalat Intidzar.
Pertanyaan:
Bagaimana kalau khotib melakukan
ke-bid’ahan setelah selesai shalat?
Jawaban:
Kalau itu dilakukan setelah selesai
shalat, kita tidak direpotkan. Kalau kebid’ahan itu dilakukan ketika shalat dan
khutbah, kita akan repot. Misalnya ketika khutbah lalu khotib
melakukan kebid’ahan, jama’ah agak repot untuk melakukan teguran atau
interupsi. Karena yang demikian itu di kita belum terbiasa, seorang khotib
ditegur oleh jama’ah ketika ia membawakan hadits (dalil) yang palsu. Padahal,
yang demikian itu boleh ditegur (diinterupsi). Karena khotib yang
meriwayatkan hadits yang palsu, hukumnya dosa besar. Maka wajib untuk diingatkan,
supaya ia tidak terkena dosa besar.
Sebaliknya khatib juga boleh
(sunnah) menegur (interupsi) kepada jamaah yang baru datang tidak melakukan
shalat Tahiyatul masjid. Seperti yang Rasulullah saw lakukan ketika
beliau sedang berkhutbah, ada seorang yang datang masuk masjid langsung duduk,
maka beliau tegur agar orang tersebut melakukan shalat Tahiyatul Masjid.
Maka hendaknya kita camkan baik-baik
bahwa antara khotib dan jama’ah, boleh melakukan interupsi bila ada sesuatu
yang bertentangan dengan sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Kalau ada khotib melakukan
kebid’ahan setelah selesai shalat, ironisnya ketika berkhutbah ia mengajak
kepada jama’ah untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi setelah
selesai shalat ia melakukan hal-hal yang tidak ada sunnahnya dari Rosuulullooh
صلى الله عليه وسلم. Misalnya ia mengomando: “Al Faatihah…” Mengajak
jama’ah untuk membaca Al Faatihah bersama-sama, lalu do’a berjama’ah, dan
seterusnya. Ia tidak paham bahwa itu adalah bid’ah, tidak sesuai
dengan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Bagaimana cara
menegurnya? Menegurnya dengan hikmah, dengan diberikan pengertian, dan
dikala ia siap menerima teguran. Atau sekali-sekali ia diberikan buku panduan
shalat Jum’at, panduan khutbah, yang kita tahu bahwa panduan itu sesuai dengan
Sunnah.
dff
Pertanyaan:
Bagaimana dengan shalat Sunnat Mutlaq
sebelum khotib naik mimbar, apakah ada haditsnya?
Jawaban:
Shalat Sunnat Mutlaq itu
kapan saja dan dimana saja, boleh dilakukan. Tetapi bila dilakukan sebelum
khotib naik mimbar pada hari Jum’at lalu ada kesan seolah-olah itu shalat
Qabliyatal Jum’at, sehingga menimbulkan syubhat; maka kalau menimbulkan
syubhat, itu tidak boleh dilakukan.
Pertanyaan:
Apa saja yang membatalkan shalat
Jum’at, atau yang membatalkan khutbah?
Jawaban:
Bagi khotib:
Janganlah khotib meninggalkan
perkara-perkara penting dalam khutbahnya. Misalnya, seharusnya melakukan
peringatan-peringatan kepada kaum muslimin, tetapi ia bahkan tidak
melakukannya. Khotib tidak melakukan khutbah sebagaimana mestinya, seharusnya
dalam khutbah ada Shalawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ada syahadat,
ada perintah, nasihat, do’a, semua itu harus ada dalam khutbah. Demikian
pula ada dalil yang shohiih, penjelasan yang jelas, dan seterusnya. Kalau
itu tidak ada, bisa menyebabkan fatal dalam berkhutbah. Bacaan ayat atau
lafal Hadits haruslah benar. Kalau belum benar, maka ia harus belajar dulu.
Bagi jamaah:
Lakukanlah beberapa perkara agar
tidak lalai ketika shalat Jum’ah dan mendengar khutbah misalnya: tidak membaca
koran, buletin atau main-main handphone dan sebagainya, itu semua bisa
membatalkan shalat Jum’at, bila itu dilakukan ketika khotib sudah naik
mimbar. Termasuk didalamnya adalah tidur ketika khutbah
berlangsung. Kalau sengaja dikondisikan sehingga tertidur, maka itu bisa
menyebabkan batal. Tetapi kalau sedang dalam posisi duduk tegak lalu
mengantuk, tertidur sebentar, maka itu tidak membatalkan shalat Jum’at-nya.
Pertanyaan:
Benarkah seseorang yang berhubungan
suami isteri ketika malam Jum’at adalah sunnah Rosuul?
Jawaban:
Secara definitif, tidak. Tetapi
tabarruk dengan waktu yang barokah, maka yang demikian itu adalah boleh.
Tidak ada Hadits yang mengatakan
demikian, tetapi bila mengingat bahwa malam Jum’at adalah malam yang diberkahi
oleh Allooh سبحانه وتعالى, lalu seseorang melakukan sesuatu yang
bersifat shadaqoh, maka berhubungan dengan isteri bagi seorang laki-laki
adalah baik. Itupun termasuk shadaqoh. Tetapi jangan diyakini bahwa itu
adalah ibadah khusus di malam Jum’at, karena tidak ada dalil yang
menjelaskannya.
Pertanyaan:
Membaca surat Al A’la dan Al
Ghosiyah dalam shalat Jum’at oleh Imam, apakah sunnah?
Jawaban:
Benar, itu memang ada
sunnahnya. Tetapi kalau bias, hendaknya tidak selalu dengan surat Al
A’la dan surat Al Ghosiyah. Secara hakiki memang itu suratnya,
tetapi secara maknawi bisa bermakna kadarnya, yakni sekadar membaca surat
tersebut, atau surat yang lebih panjang lagi.
Pertanyaan:
Bolehkah membaca Al Qur’an secara
duet?
Jawaban:
Tidak ada haditsnya, membaca Al
Qur’an secara duet, trio atau koor. Dalam hal membaca Al Qur’an, yang
benar adalah satu orang membaca, yang lain mendengarkan (menyimak).
Firman Allooh سبحانه
وتعالى.dalam Al Qur’an:
وَإِذَا
قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“ Dan apabila dibacakan Al Qur’an,
maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat
rahmat“. (QS. Al A’roof ayat 204)
Maka kalau ada orang membaca Al
Qur’an, lalu anda ikut membaca dan membarenginya, maka berarti anda tidak mau
dikasih-sayangi oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Apalagi tidak ada contoh dari
Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم atau shohabat bahwa membaca Al Qur’an itu
dengan duet, trio atau secara koor. Orang suka membaca dengan duet, trio atau
koor itu karena mereka menganggap membaca Al Qur’an adalah seni yang ada
rumus-rumusnya, misalnya ada Bayaati, Shiba’. Lalu mengatakan
bahwa membaca Al Qur’an dengan kriteria salah dan benar dari sisi lagu dan
nyanyiannya itu adalah tidak ada dalilnya. Bahkan yang demikian bisa
dikategorikan Bid’ah.
Tetapi apabila seseorang
memaksimalkan lagu yang ia punya, walaupun orang mengatakannya seperti suara
kaleng rombeng, kalau baginya adalah itu paling indah, maka itu menjadi ibadah
baginya dihadapan Allooh سبحانه وتعالى. Maka sebetulnya, tidak ada
suatu beban bahwa anda harus seperti suara Mu’ammar, atau Hudzaifi
atau Almin Syaawi, itu tidak dalilnya yang demikian. Bahkan kalau
lalu membebani seperti itu, maka menjadi bid’ah hukumnya.
Pertanyaan:
Bolehkah kita mengikuti bisnis
secara multi level marketing (MLM)?
Jawaban:
Tidak boleh, karena sistem bisnis
yang demikian itu termasuk Gharar dalam jual-beli. Kita tahu bahwa
hukum jual beli itu harus ada penjual, ada pembeli, ada barang dan ada sighot
al iijab wal qobuul (ada kesepakatan ijab dan qobul). Apabila itu sudah
berlangsung, maka tidak ada lagi transaksi berikutnya. Kalau ingin
menggunakan perantara (broker), maka akadnya adalah akad perantara. Dan itu
tidak ber-level.
Tidak ada dalam ekonomi Islam cara
yang demikian itu. Meskipun mereka memakai label Syar’i dan
sabagainya, tetapi tentang MLM maka ‘ulama mengatakan bahwa itu termasuk Gharar.
Dan jual-beli secara gharar adalah tidak halaal.
Pertanyaan:
Bagaimana kalau membeli untuk
keperluan sendiri produk-produk dari MLM?
Jawaban:
Boleh saja, asal tidak ikut dalam
sistem itu. Kalau hanya sekedar membeli produknya untuk dipakai sendiri, maka
itu sama dengan jual-beli biasa, itu boleh.
Pertanyaan:
Seberapa jauh sebenarnya jarak shafar
(bepergian) sehingga seseorang boleh men-jama’ shalatnya atau boleh
tidak shalat Jum’at?
Jawaban:
Berkenaan dengan jarak, para ‘ulama
sampai mengatakan ada 20 pendapat. Yang paling roojih, mendekati kebenaran
adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al Utsaimiin, kata
beliau: “Jika secara jarak mencapai 84 Km.”
Pada zaman sekarang para ‘ulama ada
yang ber-ijtihad, bukan jarak melainkan waktu. Bahwa orang melakukan
perjalanan 25 Km tetapi bisa berjam-jam, karena lalu-lintas macet dan
sebagainya, maka mereka mengatakan, kalau sudah tidak bisa dihindari, karena
kalau sampai ditempat maka sudah terlewati waktu sholatnya, maka kalian boleh jama’
Taqdim atau jama’ Ta’khir, atau Qashar, karena dihitung
dari sisi waktu.
Maka ada yang membatasi dari jarak
16 Km jika dihitung dari sisi waktu dan 84 Km jika dihitung dari sisi jarak.
Sekian bahasan kali ini, kita akhiri
denga Kafaratul Majlis:
سُبْحَانَكَ
اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ
وَأَتُوبُ إِلَيْك
والسلام
عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 15 Muharram
1427 H – 13 Februari 2006
No comments:
Post a Comment