9 Mar 2013

Kekeliruan Dalam Sholat Jum’at


tags: agama, ahlussunnah, amal, hadits, ibadah, islam, ittiba', Kekeliruan Dalam Sholat Jum'at, maksiyat, sunnah, syari'at
 

 KEKELIRUAN DALAM SHOLAT JUM’AT

Oleh: Ustadz Achmad Rofi’i, Lc.


بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allooh سبحانه وتعالى,
Bahasan kali ini masih merupakan kelanjutan dari bahasan sebelumnya yaitu mengenai kekeliruan dan kesalahan orang melaksanakan Shalat Jum’at. Pekan lalu kita sudah membahas 9 kekeliruan dalam shalat Jum’at termasuk yang terakhir adalah shalat sunnat 2 rakaat Qabliyatal Jum’at yang tidak ada contoh dan ajarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Kita teruskan yang 9 poin kekeliruan tersebut dengan beberapa kekeliruan lagi termasuk tambahan, yaitu seperti yang kita bisa temui dalam Kitab Al Amru bil Ittiba’ Wan Nahyu ‘Anil Ibtida’ yang ditulis oleh Imam As Suyuuthi. Dalam kitab tersebut diterangkan bahwa beberapa perkara dalam shalat Jum’at, baik tentang khutbah maupun perkara lainnya.
Kata beliau Imam As Suyuuthi (beliau adalah tokoh dalam Madzab As Syafi’iy) dalam kitabnya tentang Khutbah Jum’at, termasuk orang-orang yang mempersiapkan khutbah sering terjerembab dalam beberapa kekeliruan sebagai berikut:

1)      Mengetukkkan sebanyak tiga kali diatas mimbar Jum’at dengan tongkat ketika khotib menaiki mimbar sebagai tanda bahwa ia menaiki mimbar, termasuk setiap langkah berhenti, satu langkah berhenti, satu langkah lagi berhenti. Kemudian khotib banyak berdoa sebelum menghadap kepada jama’ah dan sebelum mengucapkan salam kepada jama’ah dan mengangkat kedua tangannya.Yang demikian adalah Bid’ah yang buruk.

2)      Ketika seorang khotib naik ke atas mimbar, ia dengan sengaja menengok ke kanan dan ke kiri, terutama ketika ia mengatakan: “Saya berpesan kepada jama’ah sekalian” atau ketika mengucapkan Shalawat Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Yang demikian tidak ada asal ajarannya sedikitpun dari Sunnah Rosuulullooh  صلى الله عليه وسلم, justru yang Sunnah adalah hendaknya khotib itu menghadap ke arah jama’ah sejak awal khutbah sampai dengan akhir khutbah. Sementara di kita katanya ada unsur siasat, unsur seni dalam beretorika, menebarkan pandangan ke kanan dan ke kiri. Kalau itu dijadikan kebiasaan atau mungkin menjadi afdhol bagi suatu khutbah, maka yang demikian tidak boleh, karena tidak ada landasannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Yang demikian juga dinyatakan oleh para ‘ulama yang sezaman dengan Imam As Suyuuthi. Menurut Imam Syafi’iy, yang diambil dari Kitab Al ‘Umm jilid I oleh Imam As Suyuuthi, bahwa hendaknya seorang khotib itu menghadapkan wajahnya kepada jama’ah yang ada di depannya, tidak perlu menolehkan wajahnya ke kanan atau kekiri.

3)      Mereka (para khotib) dengan sengaja mengangkat (mengeraskan) suara mereka ketika mengucapkan Shalawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم, dimana yang demikian itu menurut Imam Imam As Suyuuthi adalah bagian dari kejahilan (kebodohan), karena kata beliau ucapan shalawat atas Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan doa, mendo’akan kepada Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم dan doa-doa yang dipanjatkan itu seluruhnya Sunnahnya dengan Sirr (berbisik), bukan dengan Jahr (dikeraskan). Bahkan seluruh doa adalah dengan Sirr, tidak perlu dengan suara keras. Kalaupun ada doa yang harus disuarakan dengan suara keras adalah untuk keperluan maslahat, seperti doa Qunut shalat Witir, atau Qunut An Nazilah. Bahkan kalau khotib itu berkhutbah dan selalu berdoa di akhir khutbah kedua, yang merupakan rangkaian seluruh khutbah, maka yang demikian adalah sesuatu yang keliru. Karena yang demikian tidak disunnahkan oleh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

4)      Adzan dilakukan dua orang bersama-sama satu suara. Atau dua orang muadzin adzan satu-satu bering-iringan. Yang demikian adalah Bid’ah. Bukan Imam As Suyuuthi saja yang mengatakan demikian tetapi juga dalam Kitab-kitab yang lain. Yang benar, adzan cukup dilakukan oleh satu orang, tentunya tidak ada beda antara adzan yang satu dengan yang lain (bila dalam satu shalat Jum’at dilakukan adzan dua kali). Biasanya di masyarakat kita, adzan pertama lebih indah, sedangkan adzan kedua dilakukan sekedarnya saja. Padahal seharusnya sama indahnya/ lantangnya antara adzan pertama dan kedua. Pilih kasih demikian itu, juga merupakan kekeliruan. Adzan yang shohiih adalah satu kali saja, yaitu ketika khotib sudah ada diatas mimbar.

Kalaupun dilakukan adzan dua kali, maka hendaknya sesuai dengan apa yg Kholiifah ‘Utsman bin Affan رضي الله عنه rintis, yaitu untuk memanggil kaum muslimin yang pada saat itu masih bekerja di lading, maka praktisnya di zaman sekarang adalah agar ada waktu antara pemanggilan atau peringatan bagi kaum muslimin yang masih terlena dengan pekerjaan mereka, maka semestinya adzan pertama dikumandangkan seharusnya sejam sebelum khotib naik mimbar.

5)      Khotib memakai pakaian hitam, atau yang ada asesoris dari sutera, atau dengan memegang tongkat yang disepuh dengan emas. Yang demikian itu hukumnya haroom. Kalau jubah hitamnya tidak ada unsur suteranya atau lainnya, maka itu tidaklah tercela. Walau demikian, itu termasuk yang tidak disukai. Kata beliau صلى الله عليه وسلم:
الْبَسُوا مِنْ ثِيَابِكُمْ الْبِيضَ فَإِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِيَابِكُمْ وَكَفِّنُوا فِيهَا مَوْتَاكُمْ
Artinya:
Pakailah pakaian yang berwarna putih (untuk laki-laki, pen.-). Karena yang demikian itu lebih suci dan lebih baik dan indah. Dan kafani orang-orang mati dari kalian dalam pakaian putih itu”. (Hadits Riwayat Imaam Ahmad no: 3035)
Demikianlah kekeliruan yang sering terjadi menurut Imam As Suyuuthi. Namun demikian, juga dikatakan oleh beliau dalam Kitabnya Al Amri bin Ma’ruf Wannahyi Al Munkar ditambah lagi perkataan Syeikh Nashiruddin Al Albaany dalam kitab beliau Al Ajwibah An Nafi’ah disana dijelaskan, ada tambahan:
  1. Menganggap sebagai suatu ibadah untuk menangguhkan shafar (bepergian) pada hari Jumat. Misalnya seseorang mempunyai keperluan yang harus dilaksanakan hari Jum’at. Tetapi keperluan itu ditangguhkan karena hari Jum’at. Keyakinan menangguhkan perjalanan pada hari Jum’at itu dianggapnya sebagai bagian dari agama, maka keyakinan yang demikian itu adalah salah. Kalau memang kebetulan ada keperluan pada hari Jum’at (misalnya bepergian), lakukan saja, karena tidak ada ajaran yang mengatakan bahwa Jum’at menghalangi perjalanan atau keperluan lain. Berbeda lagi bila seseorang berkilah supaya tidak usah shalat Jum’at, lalu dengan sengaja mengadakan perjalanan hari Jum’at. Yang demikian itu juga tidak benar.
  2.  Menjadikan hari Jum’at itu libur untuk meniadakan kegiatan apapun yang bermanfaat bagi dirinya maupun bagi orang lain. Yang demikian, juga tidak ada sunnahnya. Yang dimaksud libur adalah libur kaum muslimin untuk mengkhususkan bahwa hari Jum’at adalah hari ‘Ied, yaitu mempersiapkan dirinya untuk bersih-bersih, potong kuku, sunnah fitrah, mandi, pergi ke masjid lebih awal, memperhatikan khutbah Jum’at, dan seterusnya, maka yang demikian adalah boleh. Tetapi kalau lalu tidak mau kerja atau melakukan kegiatan apapun karena hari Jum’at, maka itu adalah keliru.
  3. Orang-orang jahil justru malam Jum’at berbuat maksiat, mereka tidak menghiraukan bahwa malam itu adalah malam ‘Ied, malam barokah dari Allooh سبحانه وتعالى. Justru mereka berbuat maksiat, bahkan disengaja bahwa malam itu adalah malam yang menyeramkan. Itu tidak dibenarkan. Ada beberapa contoh, beliau mencontohkan : Misalnya, mencukur jenggot, memakai sutera dan emas, atau mengkhususkan ada karpet khusus untuk hari Jum’at sebelum mereka pergi ke masjid untuk shalat Jum’at, dsbnya. Ini juga termasuk yang tidak ada asal ajarannya.
  4. Termasuk ketika hari Jum’at ada kebolehan untuk khusus orang-orang tua duduk di masjid di shaf terdepan, dan dibolehkan untuk melangkahi jama’ah yang lain; walaupun ia datang belakangan, ia boleh duduk di shaf terdepan karena ia sudah tua. Itu yang tidak benar. Yang benar adalah siapa yang datang paling dulu, maka sunnahnya ia berhak untuk duduk di shaf terdepan walaupun usianya masih muda. Walaupun ia orang tua dan terhormat dalam masyarakat, kalau ia datangnya belakangan maka ia harus duduk di shaf paling belakang. Demikianlah Islam, tidak membeda-bedakan dalam urusan taqwa kepada Allooh سبحانه وتعالى.
  5.  
  6. Shalat sunnat Qabliayatal Jum’at, sudah diterangkan terdahulu; bahwa tidak ada shalat sunnat Qabliyatal pada hari Jum’at, karena hal itu termasuk Bid’ah.
  7.  
  8. Mimbar ditinggikan lebih dari tiga tangga. Hal ini diterangkan juga oleh Ibnul Qayyim رحمه الله dalam kitabnya Zaadul Ma’aad, sunnahnya bahwa mimbar itu hanya terdiri dari tiga tangga. Mimbar adalah tempat yang lebih tinggi daripada jama’ah untuk maslahat, yaitu agar khotib ketika berdiri bisa disaksikan dan dilihat oleh semua jama’ah. Maka menurut sunnah, yang dihitung hanya tangganya, bukan dari bahan apa atau modelnya mimbar itu dibuat. Dan tidak ada sunnahnya mimbar itu diberi tulisan nama “Muhammad” atau “Allooh saja. Kalau mau, hendaknya lengkap tulisan: “Asyhaadu an laa illaaha illallooh wa asyhaadu anna Muhammadur Rosuulullooh”. Karena itu adalah kalimat syahadat atau kalimat tahlil.
  9. Termasuk kekeliruan dalam khutbah adalah memperpanjang khutbah dan mempersingkat shalat dengan bacaan surat-surat pendek. Justru Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم khutbah itu pendek, singkat, shalatnya yang panjang, yaitu dengan bacaan surat-surat yang panjang. Karena di masyarakat kita ini, orang yang berkhutbah seringkali adalah orang-orang yang bukan Ahlul Syar’i ‘Ilmi, melainkan khotibya adalah orang pemikir, atau orang pakar / ahli di bidang tertentu (tetapi sebenarnya dia tidak ahli dalam bidang dien), para doktor, para akademisi, sehingga khutbahnya bukan ilmu syar’i; melainkan analisa, berita, prediksi, dll. Itu termasuk keliru. Hendaknya orang yang melakukan khutbah adalah orang Ahlul’Ilmi, tidak sekedar bisa berkhutbah. Khotib adalah Imaam, ia adalah hafidz Al Qur’an, dan cara-cara berkhutbah pun faham.  Sementara di negeri kita ini, banyak khotib yang tema khutbahnya seluruhnya adalah mengikuti keadaan yang sedang trendy yang ada dalam masyarakat. Yang demikian boleh, tetapi tidak selamanya. Karena khutbah itu bisa berupa ta’lim singkat, dalam waktu singkat kaum muslimin bisa mengetahui tentang ajaran Islam.
  10. Kekeliruan lain adalah khotib selalu memuji penguasa, para pejabat atau pejabat atasannya. Mendoakan dan menyebut kebaikan-kebaikan mereka dan sebagainya. Yang demikian adalah termasuk salah dan keliru. Kalau mendoakan secara umum (bukan secara individual), maka itu boleh.
  11. Ada sebagian kaum muslimin yang melakukan shalat Dhuhur setelah shalat Jum’at. Itu adalah keliru. Karena sesungguhnya shalat Jum’at adalah sebagai pengganti shalat Dhuhur pada hari biasa. Bila sudah shalat Jum’at, maka tidak perlu shalat Dhuhur. Kalau memang tidak sempat (berhalangan) shalat Jum’at, maka ia boleh shalat Dhuhur biasa. Bagi yang tidak shalat Jum’at, lalu mendengar adzan Jum’at, khotib sudah naik mimbar, berarti itu sudah masuk waktu Dhuhur. Pada saat itu mereka sudah dibolehkan shalat Dhuhur.
Dengan demikian sesungguhnya banyak sekali kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan oleh kaum muslimin dalam shalat Jum’at.
Ada beberapa perkara yang termasuk kesalahan dalam shalat Jum’at, yaitu adanya dzikir-dzikir tertentuMereka karena “kreatifnya” mengarang atau melazimkan dzikir-dzikir atau do’a-do’a khusus berkaitan dengan shalat Jum’at.

Oleh karena itu para ‘ulama seperti Asy Syaikh Shoolih bin Fauzaan Ali Fauzaan mengatakan : Shalat Jum’at itu tidak memiliki dzikir-dzikir khusus. Apa bila orang selesai melakukan shalat Jum’at, lakukanlah  dzikir-dzikir sebagaimana selesai shalat fardhu biasa”.
Jadi kalau dia katakan tidak ada, berarti itu karena tidak ada dalilnya. Bagi orang yang karena terburu-buru ada keperluan yang tidak bisa ditinggal, maka selesai dzikir langsung pergi, maka itu tidak mengapa. Sebaliknya ketika selesai dzikir lalu berdoa panjang, karena ada permohonan kepada Allooh سبحانه وتعالى, maka yang demikian pun boleh.

Tetapi seandainya, ia melazimkannya, seolah-olah selesai shalat Jum’at itu harus ada doa tertentu, seperti banyak dilakukan di masjid-masjid, apabila selesai shalat Jum’at si imaam langsung menghadap ke ma’mum dan memimpin jama’ahnya untuk bersama-sama berdoa, bahkan ada do’a yang panjang dan ada do’a yang pendek secara koor bersama-sama. Ia tidak tahu, bahwa yang demikian itu sesungguhnya menjadi Bid’ah. Bukan do’anya yang dilarang, tetapi CARA BERDO’A selesai sholat Jum’at dengan melazimkan seperti itu lah yang tergolong Bid’ah, karena tidak ada dalilnya / contohnya dari Rosuul صلى الله عليه وسلم.

Yang benar, sesuai contoh Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ketika selesai shalat Jum’at, do’anya masig-masing, tidak dengan dipimpin. Dan tidak boleh dibuat seragam, karena tidak ada penyeragaman dalam doa itu. Yang penting, ketika berdoa adalah dengan adab berdoa, misalnya didahului istighfar, dengan syahadat, memuji kepada Allooh سبحانه وتعالى, dan adab berdo’a lainnya.
Yang juga keliru dalam shalat Jum’at adalah melazimkan bersalaman (jabat tangan) dengan orang yang disebelah kanan dan kirinya. Hal tersebut tidak ada sunnahnya sama sekali. Dan itu menyimpang dengan ajaran Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Ada beberapa Hadits yang diyakini bahwa itu adalah ibadah, padahal itu tidak ada dan tidak boleh diyakini, misalnya:
Hadits yang mengatakan: “Aku ajari kamu beberapa kata, yang kalau engkau hafalkan ini Allooh سبحانه وتعالى akan memberikan manfaat kepadamu dan orang yang diajarinya, yaitu shalatlah pada malam Jum’at 4 rakaat, raka’at pertama membaca surat Al Fatihah, lalu membaca surat Yasin. Raka’at kedua membaca surat AlF atihah lalu membaca surat Ad Dukhaan, raka’at ketiga membaca surat Al Fatihah lalu surat As Sajdah dan raka’at ke-empat membaca surat Al Fatihah dengan surat Tabarak.”

Yang demikian itu disebutkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam kitab-kitab Hadits Maudhuu’ dan ia adalah sangat lemah, tidak bisa dijadikan dalil sebagai hadits yang shohiih. Maka bila anda mendengar bahwa malam Jum’at ada shalat-shalat tertentu yang landasannya seperti hadits tersebut, maka yang demikian itu landasannya tidak ada sama sekali.

Juga misalnya Hadits yang mengatakan: “Bahwa Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم  bila shalat Maghrib pada malam Jum’at, raka’at pertama sesudah Al Fatihah membaca surat Al Kaafirun, dan raka’at kedua setelah Al Fatihah membaca surat Al Ikhlash. Dan ketika shalat Isya’ beliau selesai membaca surat Al Fatihah pada raka’at pertama lalu membaca surat Al Jum’ah, dan raka’at kedua membaca surat Al Munaafiquun.”

Penggunaan pengkhususan surat-surat tersebut pada malam Jum’at, kata Imaam Al Irooqi haditsnya tidak shohiih, baik musnat maupun mursal. Jadi tidak dibenarkan bagi orang-orang untuk meyakini adanya hadits tersebut.
Ada Hadits lain yang mengatakan: “Barangsiapa yang masuk ke dalam Masjid Jami’ pada hari Jum’at, ia tidak duduk terlebih dahulu sampai ia shalat empat raka’at, pada raka’at pertama dibaca surat Al Ikhlash sebanyak duaratus kali, siapa yang melakukannya maka ia tidak akan mati sampai ia tahu diperlihatkan dulu kepadanya tempat duduknya di surga.”

Imaam Al Irooqi mengatakan bahwa hadits tersebut Ghoriib Jiddan, kata Imam Ad Daaruquthny hadits tersebut tidak benar. Itu adalah termasuk yang aneh-aneh. Mudah-mudahan di masyarakat kita tidak ada.
Ada lagi hadits yang mengatakan: “Orang yang masuk ke masjid hendak shalat Jum’at harus melihat Khotib yang sedang duduk.” 

Mengenai masalah tersebut tidak ada dalilnya yang shohiih.
Juga ada hadits yang sangat lemah, yang katanya : “Bila seorang melakukan shalat Jum’at dan Imam salam sebelum bersila, masih dalam keadaan duduk Tahiyat, kemudian orang membaca Al Qur’an, Al Fatihah, Al Falaq, An Naas masing-masing tujuh kali, lalu si Imam duduknya berubah atau membalikkan badan”.

Maka hadits tersebut dinyatakan oleh Syekh Abu As’ad Al Khusyairi bahwa sanadnya sangat lemah (dho’iif). Tidak perlu dipercayai.
Termasuk membiasakan (melazimkan) doa minta kaya:
اللهم اكفني بحلالك عن حرامك وأغنني بفضلك عمن سواك
(Hadits Riwayat Imaam At Turmudzy no: 3563)
Itu dilakukan dengan adanya keyakinan bahwa siapa yang membiasakan doa tersebut maka ia akan diberikan kekayaan dan rezki oleh Allooh سبحانه وتعالى. Yang demikian itu adalah tidak benar, karena tidak ada dalilnya yang shohiih. Itu hanyalah prasangka belaka, tidak ada dalilnya. Termasuk diantara adalah do’a yang diyakini, bila do’a tersebut dibaca 70 kali, maka yang membacanya akan diberikan kekayaan. Itu semua tidak berasal dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Tidak ada ajarannya dari beliau صلى 

الله عليه وسلم
Juga mungkin anda pernah mendengar katanya ada Hadits yang berbunyi: “Jum’at itu adalah hajinya orang-orang miskin”. Itu tidak benar.

Imam As Suyuuthi mengatakan bahwa hadits tersebut dho’iif, tidak bisa dijadikan landasan. Meskipun miskin, orang pergi haji harus ke Mekkah, Arafah dan Mina dan seterusnya. Kalau ia miskin dan tidak mampu untuk menunaikan ibadah haji, maka ia tidak wajib menunaikannya. Mungkin Jum’at itu orang beramai-ramai beribadah di masjid lalu dianggapnya pergi haji. Yang demikian itu tidak benar, karena haji mempunyai cara dan manasik tersendiri, sedangkan shalat Jum’at tidak ada persamaan dengan manasik haji. Itupun termasuk hal yang tidak benar. kan shalat Jum’at itu wajib pada setiap desa / kampung, walaupun dikampung itu hanya ada empat orang.”
Imam As Suyuuthi mengomentari bahwa hadits tersebut adalah dho’iif (lemah) dan terputus sanadnya. Dan itu tidak boleh kita yakini.

Yang benar adalah shalat Jum’at adalah wajib bagi orang laki-laki, ia mukim, tidak melakukan shafar, ia tidak berhalangan ataupun tidak sakit dan sebagainya. Kalau ada halangan tertentu, maka ia tidak diwajibkan shalat Jum’at, termasuk bila bertepatan dengan hari raya ‘Iedul Fitri atau ‘Iedul Adha (yang jatuhnya tepat pada hari Jum’at).

Jadi, bila hari raya ‘Iedul Fithri atau ‘Iedul Adha jatuh pada hari Jum’at, maka karena ia sudah shalat ‘Ied pada pagi harinya, maka shalat Jum’at-nya hukumnya (secara syar’ie) adalah menjadi tidak wajib. Boleh tidak shalat Jum’at, tetapi melaksanakan shalat Dhuhur.
Halangan untuk shalat Jum’at (yang disebabkan alam) adalah: angin badai, hujan lebat sekali, yang tidak memungkinkan orang menembus halangan itu.

Demikianlah , berbagai pembahasan diatas tentang hal-hal yang tidak ada haditsnya, tidak ada kebenarannya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, dan kalau dibacakan kitabnya yang memuat hadits-hadits dho’iif misalnya Imam Ibnul Jauzi yang menulis kitab Al Maudhuu’at Al Qubro, yang isinya menceritakan tentang hadits-hadits yang palsu. Ada tiga jilid, termasuk diantaranya adalah tentang kekeliruan dalam shalat Jum’at.
Dengan penjelasan tentang kekeliruan dan kesalahan dalam melakukan shalat Jum’at diatas, mudah-mudahan kita semua menjadi tahu dan tidak lagi mengerjakan kekeliruan dan kesalahan itu. Karena bila masih mengerjakan juga, maka tidak akan termasuk bernilai ibadah, bahkan bila ia termasuk orang yang ditiru maka ia akan mendapatkan dosanya dari Allooh سبحانه وتعالى.

Hikmah dari itu semua, hendaknya kita selalu berpegang-teguh pada Sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم terutama dengan ibadah mahdhoh seperti shalat Jum’at.
Ibadah di hari Jum’at, sejak mulai dari matahari terbenam di Kamis sore sampai dengan terbenamnya matahari esoknya di hari Jum’at, semuanya itu diberkahi oleh Allooh سبحانه وتعالى. Dan semuanya itu hendaknya dipakai untuk ibadah, bukan untuk maksiat.

Demikianlah tentang kekeliruan dan kesalahan kaum muslimin dalam melaksanakan shalat Jum’at. Insya Allooh pada pertemuan yang akan dating, akan kita bahas tentang: Kekeliruan dan kesalahan kaum muslimin dalam melaksanakan Shalat Jenazah

Tanya-Jawab:
Pertanyaan:
Bagaimana dengan seorang Khotib yang ketika diatas mimbar pada waktu shalat Jum’at berdo’a sambil mengacungkan telunjuk tangannya keatas, apakah yang demikian dibenarkan ?
Jawaban: 

Seorang khotib yang berdo’a, terutama pada khutbah kedua dengan mengacungkan telunjuk tangannya ke atas, itu dibenarkan karena memang ada haditsnya. Itu adalah sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Justru kalau khotib berdo’a dengan cara mengangkat kedua tangannya, itu justru yang tidak ada contohnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.

Pertanyaan: 

Apakah ada shalat sunnah Qabliyatal Jum’at ?
Jawaban:
Shalat sunnat Qabliyatal Juma’t itu tidak ada. Dipastikan bahwa shalat sunnah Qabliyatal Jum’at tidak ada. Karena Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم tidak pernah mencontohkannya. Maka hendaknya dipastikan oleh para penyelenggara shalat Jum’at untuk tidak memberi kesempatan kepada orang untuk melakukan shalat sunnat Qabliayatal Jum’at.
Sedangkan shalat sunnat Ba’diyatal Jum’at itu ada. Bahkan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم mencontohkan dengan dua cara.
Cara pertama, jika orang ingin melaksanakan shalat sunnat Ba’diyatal Jum’at itu di masjid, setelah dzikir dan berdoa terlebih dahulu, lalu bangkit untuk melakukan shalat sunnat Ba’diyatal Jum’at sebanyak 4 (empat) raka’at, yaitu dua raka’at salam dan shalat lagi dua raka’at salam.
Cara kedua, bagi orang yang tidak melakukan shalat Ba’diyatal Jum’at di masjid, maka ia boleh melakukannya di rumah (segera setelah masuk rumahnya) dengan shalat dua raka’at.

Pertanyaan:

Bagaimana dengan masjid yang ada mimbarnya yang tinggi-tinggi dan megah itu?

Jawaban:

Sunnahnya, mimbar di masjid tidak perlu tinggi. Sekedar beberapa sentimeter lebih tinggi dari jama’ah (sekitar 10 cm) maka itu boleh. Dan tidak perlu masjid membelanjakan dana untuk pembuatan mimbar yang megah, itu tidak benar. Yang benar mimbar itu sederhana saja, maslahatnya adalah agar sekedar yang berkhutbah bisa terlihat oleh jama’ah hingga yang di shaf belakang.

Pertanyaan: 

Bagaimana dengan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم yang melakukan shalat berjama’ah di tempat yang lebih tinggi daripada jama’ah?

Jawaban: 

Itu hanya dalam keadaan tertentu Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم lakukan, yaitu ketika beliau صلى الله عليه وسلم memberikan suatu contoh shalat kepada jama’ah ketika itu.
Tetapi dalam hal yang biasa, beliau tidak melakukan shalat diatas tempat yang lebih tinggi dari jama’ah.
Dan mimbar pada zaman Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم adalah terbuka bagian depannya. Bahkan berbentuk tangga, sehingga jama’ah bisa melihat keseluruhan yang berkhutbah. Tidak seperti mimbar di kita yang tertutup di depannya sehingga khotib hanya terlihat sebatas dadanya keatas. Seperti kita lihat di masjid Nabawy, mimbarnya hanya berbentuk tangga dan yang berkhutbah terlihat keseluruhan tubuhnya oleh jama’ah.
Pertanyaan:
Shalat sunnat apakah yang boleh dilakukan selain shalat Tahiyatul masjid sebelum khatib naik Mimbar?
Jawaban:
Tidak ada. Selain shalat sunnat Tahiyatul Masjid tidak ada lain lagi. Yang boleh, silakan anda sambil menunggu khatib naik mimbar itu maka anda berdzikir, berdo’a atau membaca Al Qur’an. Mungkin ketika itu diedarkan buletin boleh dibaca, tetapi buletin itu tidak boleh dibaca ketika khatib sudah naik ke mimbar.
Bahkan ada hadits, Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم bersabda:
وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
Artinya:
“Bila khotib sudah naik ke mimbar, maka siapa yang memegang kerikil saja ia sudah termasuk orang yang laghwun (dilarang)” (Hadits Riwayat Imaam Abu Daawud no: 1052)
Bagaimana dengan menggeser kotak amal yang sering diedarkan ketika shalat Jum’at? Dalam hal ini, perlu ada kebijaksanaan dari pengurus masjid, ketika jama’ah masjid sudah masuk masjid dan akan mengedarkan kotak infaq, maka hendaknya itu dilakukan beberapa menit sebelum khotib naik mimbar, sebelum dimulai khutbah. Misalnya diberikan alternatif setiap shaf satu kotak. Sehingga cepat selesai beredar dan  tidak ada lagi kotak berjalan ketika jama’ah mendengarkan khutbah. Demikian itu, sesuai dengan hadits tersebut diatas, agar supaya tidak mengganggu kekhusyu’an orang yang shalat Jum’at.

Pertanyaan:

Bagaimana dengan shalat sunnat Intidzoor?
Jawaban: 
Shalat sunnat Intidzar adalah sholat sunnat menunggu. Dari maknanya, shalat Intidzar bukanlah dimaksudkan untuk menunggu khotib naik mimbar ketika shalat Jum’at. Intidzar adalah nama shalat sunnat yang disabdakan Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم: “Antara dua adzan ada shalat”.
(Maksudnya antara adzan dan iqamat ada shalat). Orang boleh melakukan shalat sunnat antara waktu itu, yaitu yang disebut shalat Intidzar.

Pertanyaan:

Bagaimana kalau khotib melakukan ke-bid’ahan setelah selesai shalat?
Jawaban: 

Kalau itu dilakukan setelah selesai shalat, kita tidak direpotkan. Kalau kebid’ahan itu dilakukan ketika shalat dan khutbah, kita akan repot. Misalnya ketika khutbah lalu khotib melakukan kebid’ahan, jama’ah agak repot untuk melakukan teguran atau interupsi. Karena yang demikian itu di kita belum terbiasa, seorang khotib ditegur oleh jama’ah ketika ia membawakan hadits (dalil) yang palsu. Padahal, yang demikian  itu boleh ditegur (diinterupsi). Karena khotib yang meriwayatkan hadits yang palsu, hukumnya dosa besar. Maka wajib untuk diingatkan, supaya ia tidak terkena dosa besar.
Sebaliknya khatib juga boleh (sunnah) menegur (interupsi) kepada jamaah yang baru datang tidak melakukan shalat Tahiyatul masjid. Seperti yang Rasulullah saw lakukan ketika beliau sedang berkhutbah, ada seorang yang datang masuk masjid langsung duduk, maka beliau tegur agar orang tersebut melakukan shalat Tahiyatul Masjid.
Maka hendaknya kita camkan baik-baik bahwa antara khotib dan jama’ah, boleh melakukan interupsi bila ada sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Kalau ada khotib melakukan kebid’ahan setelah selesai shalat, ironisnya ketika berkhutbah ia mengajak kepada jama’ah untuk kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah, tetapi setelah selesai shalat ia melakukan hal-hal yang tidak ada sunnahnya dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم. Misalnya ia mengomando: “Al Faatihah…” Mengajak jama’ah untuk membaca Al Faatihah bersama-sama, lalu do’a berjama’ah, dan seterusnya. Ia tidak paham bahwa itu adalah bid’ah, tidak sesuai dengan Hadits Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم.
Bagaimana cara menegurnya? Menegurnya dengan hikmah, dengan diberikan pengertian, dan dikala ia siap menerima teguran. Atau sekali-sekali ia diberikan buku panduan shalat Jum’at, panduan khutbah, yang kita tahu bahwa panduan itu sesuai dengan Sunnah.
dff
Pertanyaan: 

Bagaimana dengan shalat Sunnat Mutlaq sebelum khotib naik mimbar, apakah ada haditsnya?
Jawaban: 

Shalat Sunnat Mutlaq itu kapan saja dan dimana saja, boleh dilakukan. Tetapi bila dilakukan sebelum khotib naik mimbar pada hari Jum’at lalu ada kesan seolah-olah itu shalat Qabliyatal Jum’at, sehingga menimbulkan syubhat; maka kalau menimbulkan syubhat, itu tidak boleh dilakukan. 

Pertanyaan: 

Apa saja yang membatalkan shalat Jum’at, atau yang membatalkan khutbah?
Jawaban: 

Bagi khotib
Janganlah khotib meninggalkan perkara-perkara penting dalam khutbahnya. Misalnya, seharusnya melakukan peringatan-peringatan kepada kaum muslimin, tetapi ia bahkan tidak melakukannya. Khotib tidak melakukan khutbah sebagaimana mestinya, seharusnya dalam khutbah ada Shalawat atas Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم, ada syahadat, ada perintah, nasihat, do’a, semua itu harus ada dalam khutbah. Demikian pula ada dalil yang shohiih, penjelasan yang jelas, dan seterusnya. Kalau itu tidak ada, bisa menyebabkan fatal dalam berkhutbah. Bacaan ayat atau lafal Hadits haruslah benar. Kalau belum benar, maka ia harus belajar dulu.

Bagi jamaah:
Lakukanlah beberapa perkara agar tidak lalai ketika shalat Jum’ah dan mendengar khutbah misalnya: tidak membaca koran, buletin atau main-main handphone dan sebagainya, itu semua bisa membatalkan shalat Jum’at, bila itu dilakukan ketika khotib sudah naik mimbar. Termasuk didalamnya adalah tidur ketika khutbah berlangsung. Kalau sengaja dikondisikan sehingga tertidur, maka itu bisa menyebabkan batal. Tetapi kalau sedang dalam posisi duduk tegak lalu mengantuk, tertidur sebentar, maka itu tidak membatalkan shalat Jum’at-nya.

Pertanyaan:

Benarkah seseorang yang berhubungan suami isteri ketika malam Jum’at adalah sunnah Rosuul?

Jawaban:

Secara definitif, tidak. Tetapi tabarruk dengan waktu yang barokah, maka yang demikian itu adalah boleh.
Tidak ada Hadits yang mengatakan demikian, tetapi bila mengingat bahwa malam Jum’at adalah malam yang diberkahi oleh Allooh سبحانه وتعالى, lalu seseorang melakukan sesuatu yang bersifat shadaqoh, maka berhubungan dengan isteri bagi seorang laki-laki adalah baik. Itupun termasuk shadaqoh. Tetapi jangan diyakini bahwa itu adalah ibadah khusus di malam Jum’at, karena tidak ada dalil yang menjelaskannya.

Pertanyaan:

Membaca surat Al A’la dan Al Ghosiyah dalam shalat Jum’at oleh Imam, apakah sunnah?

Jawaban:

Benar, itu memang ada sunnahnya. Tetapi kalau bias, hendaknya tidak selalu dengan surat Al A’la dan surat Al Ghosiyah. Secara hakiki memang itu suratnya, tetapi secara maknawi bisa bermakna kadarnya, yakni sekadar membaca surat tersebut, atau surat yang lebih panjang lagi.

Pertanyaan:

Bolehkah membaca Al Qur’an secara duet?

Jawaban:

Tidak ada haditsnya, membaca Al Qur’an secara duet, trio atau koor. Dalam hal membaca Al Qur’an, yang benar adalah satu orang membaca, yang lain mendengarkan (menyimak).
Firman Allooh سبحانه وتعالى.dalam Al Qur’an:

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“ Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat“. (QS. Al A’roof ayat 204)

Maka kalau ada orang membaca Al Qur’an, lalu anda ikut membaca dan membarenginya, maka berarti anda tidak mau dikasih-sayangi oleh Allooh سبحانه وتعالى.
Apalagi tidak ada contoh dari Rosuulullooh صلى الله عليه وسلم atau shohabat bahwa membaca Al Qur’an itu dengan duet, trio atau secara koor. Orang suka membaca dengan duet, trio atau koor itu karena mereka menganggap membaca Al Qur’an adalah seni yang ada rumus-rumusnya, misalnya ada Bayaati, Shiba’. Lalu mengatakan bahwa membaca Al Qur’an dengan kriteria salah dan benar dari sisi lagu dan nyanyiannya itu adalah tidak ada dalilnya. Bahkan yang demikian bisa dikategorikan Bid’ah.
Tetapi apabila seseorang memaksimalkan lagu yang ia punya, walaupun orang mengatakannya seperti suara kaleng rombeng, kalau baginya adalah itu paling indah, maka itu menjadi ibadah baginya dihadapan Allooh سبحانه وتعالى. Maka sebetulnya, tidak ada suatu beban bahwa anda harus seperti suara Mu’ammar, atau Hudzaifi atau Almin Syaawi, itu tidak dalilnya yang demikian. Bahkan kalau lalu membebani seperti itu, maka menjadi bid’ah hukumnya.

Pertanyaan:

Bolehkah kita mengikuti bisnis secara multi level marketing (MLM)?
Jawaban:
Tidak boleh, karena sistem bisnis yang demikian itu termasuk Gharar dalam jual-beli. Kita tahu bahwa hukum jual beli itu harus ada penjual, ada pembeli, ada barang dan ada sighot al iijab wal qobuul (ada kesepakatan ijab dan qobul). Apabila itu sudah berlangsung, maka tidak ada lagi transaksi berikutnya. Kalau ingin menggunakan perantara (broker), maka akadnya adalah akad perantara. Dan itu tidak ber-level.
Tidak ada dalam ekonomi Islam cara yang demikian itu. Meskipun mereka memakai label Syar’i dan sabagainya, tetapi tentang MLM maka ‘ulama mengatakan bahwa itu termasuk Gharar. Dan jual-beli secara gharar adalah tidak halaal.

Pertanyaan:
Bagaimana kalau membeli untuk keperluan sendiri produk-produk dari MLM?
Jawaban:
Boleh saja, asal tidak ikut dalam sistem itu. Kalau hanya sekedar membeli produknya untuk dipakai sendiri, maka itu sama dengan jual-beli biasa, itu boleh.
Pertanyaan:
Seberapa jauh sebenarnya jarak shafar (bepergian) sehingga seseorang boleh men-jama’ shalatnya atau boleh tidak shalat Jum’at?
Jawaban:
Berkenaan dengan jarak, para ‘ulama sampai mengatakan ada 20 pendapat. Yang paling roojih, mendekati kebenaran adalah seperti yang dikatakan oleh Syaikh Al Utsaimiin, kata beliau: “Jika secara jarak mencapai 84 Km.”
Pada zaman sekarang para ‘ulama ada yang ber-ijtihad, bukan jarak melainkan waktu. Bahwa orang melakukan perjalanan 25 Km tetapi bisa berjam-jam, karena lalu-lintas macet dan sebagainya, maka mereka mengatakan, kalau sudah tidak bisa dihindari, karena kalau sampai ditempat maka sudah terlewati waktu sholatnya, maka kalian boleh jama’ Taqdim atau jama’ Ta’khir, atau Qashar, karena dihitung dari sisi waktu.
Maka ada yang membatasi dari jarak 16 Km jika dihitung dari sisi waktu dan 84 Km jika dihitung dari sisi jarak.
Sekian bahasan kali ini, kita akhiri denga Kafaratul Majlis:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْك
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Jakarta, Senin malam, 15 Muharram 1427 H – 13 Februari 2006

No comments:

Translate