Memperbaiki Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan (1)
Penulis: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin (Murid Syaikh Muqbil bin Hadi Rahimahullaah (Ahli hadits negeri Yaman))
Sebagai orang yang ingin beribadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan
mendapatkan pahala serta ridho-Nya, maka tentunya sebagaimana yang kami
ketahui haruslah ibadah tersebut benar, sesuai dengan tuntunan Al-Qur`an
dan Sunnah, dan bebas dari adanya kesalahan pada ibadah tersebut.
Sehubungan dengan makin dekatnya bulan Ramadhan dan untuk menjaga agar
ibadah pada bulan tersebut (khususnya ibadah puasa) lepas dari
kesalahan, maka kami mohon penjelasan tentang bentuk-bentuk kesalahan
yang ada dan dilakukan orang di bulan Ramadhan ini. Terima kasih.
Jawab :
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.
Sering orang menyangka bahwa puasa Ramadhan yang ia lakukan sudah sesuai dengan tuntunan syari’at Islam, namun kadang ada beberapa hal yang tidak disadarinya bahwa apa yang dilakukannya atau apa yang diyakininya ternyata merupakan kesalahan yang dapat mengurangi nilai puasanya di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Maka kami akan mencoba menjelaskan beberapa kesalahan yang terjadi di kalangan kaum muslimin dalam berpuasa Ramadhan agar dapat menjadi nasehat dan bekal menyambut bulan Ramadhan.
Kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab
Pertama : Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu Falaq atau ilmu Hisab
Hal ini merupakan suatu kesalahan besar dan sangat bertolak belakang dengan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Allah subhanahu wa ta’ala menegaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 186:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barang siapa dari kalian yang menyaksikan bulan, maka hendaknya ia berpuasa”.
Dan juga dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar dan hadits Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhum riwayat Bukhary-Muslim, Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa sallam:
إِذَا رَأَيْتُمُ الِهلاَلَ فَصُوْمُوْا وَإِذَا رَأَيْتُمُوْهُ فَأَفْطِرُوْا
“Apabila kalian melihat hilal (bulan sabit) maka berpuasalah, dan apabila kalian melihatnya maka berbukalah”.
Ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya
Ramadhan terkait dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak
dikaitkan dengan menghitung, menjumlah dan cara-cara yang lainnya.
Kemudian perintah untuk berpuasa dikaitkan dengan syarat melihat hilal.
Hal ini menunjukkan wajibnya penentuan masuknya bulan Ramadhan dengan
melihat hilal tersebut.
Berkata Al-Bajy ketika membantah orang yang membolehkan menggunakan ilmu
Falaq dan ilmu Hisab : “Sesungguhnya kesepakatan para salaf sudah
merupakan hujjah (bantahan) atas mereka”. Lihat Subulus Salam 2/242.
Dan berkata Ibnu Bazizah menyikapi pendapat orang yang membolehkan
menggunakan ilmu falaq dalam menentukan masuknya bulan Ramadhan : “Ini
adalah madzhab yang bathil. Syari’at telah melarang menggunakan ilmu
Falaq karena sesungguhnya ilmu Falaq penuh dengan dugaan dan sangkaan
yang tidak jelas”. Lihat : Subulus Salam 2/242.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/243 : “Jawaban terhadap
mereka ini jelas, sebagaimana yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim
hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّا
أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ لاَ نَكْتُبُ وَلاَ نَحْسِبُ الْشَهْرُ هَكَذَا
وَهَكَذَا وَهَكَذَا وَعَقَدَ الإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ يَعْنِيْ
تِسْعًا وَعِشْرِيْنَ وَالْشَهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا يَعْنِيْ
تَمَامَ ثَلاَثِيْنَ
“Sesungguhnya kami adalah ummat yang ummi (yaitu) tak dapat menulis dan
tak dapat menghitung. Bulan itu begini, begini dan begini, beliau
menekukkan ibu jarinya pada yang ketiga yakni dua puluh sembilan (hari),
dan bulan itu, begini, begini dan begini yakni sempurna tiga puluh
(hari)”.
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga)
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
Kedua : Kebiasaan berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dengan maksud ihtiyath (berjaga-jaga)
Hal ini menyelisihi hadits dari Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim, beliau berkata Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَقَدَمُّوْا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُوْمُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah kalian mendahului Ramadhan dengan berpuasa sehari atau dua
hari sebelum Ramadhan kecuali seorang yang biasa berpuasa dengan suatu
puasa sunnat maka hendaknyalah ia berpuasa”.
Berkata Imam Ash-Shon’any dalam Subulus Salam 2/239 : “Ini menunjukkan
haramnya berpuasa sehari atau dua hari sebelum Ramadhan dalam rangka
untuk ikhtiyath (berjaga-jaga)”.
Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bary (4/160) : ”…karena
menentukan puasa haruslah dengan hilal, tidak sebaliknya -yakni dengan
dugaan-…”.
Berkata Imam At-Tirmidzy setelah meriwayatkan hadits di atas 3/364
(Tuhfathul Ahwadzy) : “Para ‘ulama menganggap makruh (haram-ed.)
seseorang mempercepat puasa sebelum masuknya bulan Ramadhan…“.
Berkata Imam An-Nawawy : “Hukum berpuasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan adalah haram apabila bukan karena kebiasaan puasa sunnah”.
Lihat : Syarah Shohih Muslim 7/158.
Maka bisa disimpulkan haramnya puasa sehari atau dua hari sebelum
Ramadhan dalam rangka ihtiyath, adapun kalau ia mempunyai kebiasaan
berpuasa seperti puasa senin-kamis, puasa Daud dan lain-lainnya lalu
bertepatan dengan sehari atau dua hari sebelum Ramadhan maka itu tidak
apa-apa. Wallahu A’lam.
Memperbaiki Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan (2)
Penulis: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin (Murid syaikh Muqbil bin Hadi rahumahullaah (ahli hadits negeri Yaman))
Ketiga : Meninggalkan makan sahur
Meninggalkan makan sahur merupakan kesalahan dan
menyelisihi sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dan
menyelisihi kesepakatan para ‘ulama tentang disunnahkannya makan sahur.
Kesepakatan para ‘ulama ini dinukil oleh Ibnul Mundzir, Imam Nawawy,
Ibnul Mulaqqin dan lain-lainnya. Lihat : Syarah Muslim 7/206, Al I’lam
5/188 dan Fathul Bary 4/139.
Dan dalil yang menunjukkan sunnahnya makan sahur banyak sekali
diantaranya, hadits Anas bin Malik riwayat Bukhary-Muslim dimana
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السَّحُوْرِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena pada makanan sahur itu ada berkah”.
Berkah yang disebutkan dalam hadits ini adalah umum mencakup berkah dalamperkara-perkara dunia maupan perkara-perkara akhirat. Dan berkah tersebut bermacam-macam di antaranya :
* Mendapatkan pahala dengan mengikuti sunnah.
* Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
* Menyelisihi orang-orang kafir dari Ahlul Kitab.
sebagaimana dalam Shohih Muslim Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكَلَةُ السَّحُوْرِ
“Perbedaan antara puasa kami dan puasa orang-orang Ahlul Kitab adalah makan sahur”.
* Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
* Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
* Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
* Menambah kekuatan dan semangat khusunya bagi anak-anak kecil yang ingin dilatih berpuasa.
* Bisa menjadi sebab dzikir kepada Allah, berdo’a dan meminta rahmat sebab waktu sahur masih termasuk sepertiga malam terakhir yang merupakan salah satu tempat do’a yang makbul.
* Menghadirkan niatnya apabila dia lupa sebelumnya.
Lihat : Al I’lam 5/187 dan Fathul Bary 4/140.
Keempat : Mempercepat makan sahur
Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu
‘alaihi wa alihi wa sallam dimana selang waktu antara waktu selesainya
beliau makan sahur dengan waktu mulai shalat subuh, adalah (selama
bacaan) 50 ayat yang sedang (tidak panjang dan tidak pendek). Hal ini
dapat dipahami dalam hadits Zaid bin Tsabit riwayat Bukhary-Muslim :
تَسَحَّرْنَا
مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ
قُمْنَا إِلَى الصَّلاَةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا قَالَ
خَمْسِيْنَ آيَةٍ
“Kami bersahur bersama Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam
kemudian kami berdiri untuk shalat. Saya (Anas bin Malik) berkata :
“Berapa jarak antara keduanya (antara sahur dan adzan) ia (Zaid bin
Tsabit) menjawab : “Lima puluh ayat”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Syarah Shohih Muslim (7/169) : “Hadits ini menunjukkan sunnahnya mengakhirkan sahur”.
Lihat : Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiqil ‘Ied 3/334, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/192-193 dan Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/128.
Lihat : Ihkamul Ahkam karya Ibnu Daqiqil ‘Ied 3/334, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/192-193 dan Fathul Bary karya Ibnu Hajar 4/128.
Kelima : Menjadikan tanda imsak sebagai batasan sahur
Sering kita mendengar tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara ayam
berkokok, suara beduk dan lain-lainnya yang terdengar sekitar
seperempat jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang
sangat besar dan bid’ah (perkara baru) sesat yang sangat bertolak
belakang dengan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa
alihi wa sallam yang mulia.
Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqarah : 187 :
وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ
الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى
اللَّيْلِ
“Dan makan minumlah hingga jelas bagimu benang putih dari benang hitam,
yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”.
Dan juga hadits Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ بِلاَلاً يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتَّى تَسْمَعُوْا تَأْذِيْنَ ابْنِ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari maka makanlah dan minumlah kalian sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum”.
Maksud hadits ini bahwa adzan itu dalam syari’at Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dua kali, adzan pertama dan adzan kedua.
Pada adzan pertama seseorang masih boleh makan sahur dan batasan
terakhir untuk sahur adalah adzan kedua yaitu adzan yang dikumandangkan
untuk shalat subuh.
Jadi jelaslah bahwa batas akhir makan sahur sebenarnya adalah pada adzan
kedua yaitu adzan untuk shalat subuh, dan dari hal ini pula dapat
dipetik/diambil hukum terlarangnya melanjutkan makanan yang sisa ketika
sudah masuk adzan subuh, karena kata hattaa (sampai) dalam ayat Al-Qur`an bermakna “ghoyah” yakni akhir batasan waktu.
Keenam : Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur
Perkara melafazhkan niat merupakan bid’ah (hal baru) yang sesat dalam agama dan tidak disyari’atkan karena beberapa hal :
* Satu : Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
* Dua : Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
* Tiga : Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalamhati.
* Empat : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
* Lima : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalambejana lalu saya mengambil makanan kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang.
* Satu : Tidak ada sama sekali contohnya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dan para shahabatnya.
* Dua : Bertentangan dengan makna niat secara bahasa yaitu bermakna maksud dan keinginan. Dan maksud dan keinginan ini letaknya di dalam hati.
* Tiga : Menyelisihi kesepakatan seluruh ulama bahwa niat letaknya di dalamhati.
* Empat : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya agama karena melafazhkan niat itu adalah bid’ah.
* Lima : Melafazhkan niat menunjukkan kurangnya akal, seperti orang yang ingin makan lalu ia berkata saya berniat meletakkan tanganku ini ke dalambejana lalu saya mengambil makanan kemudian saya telan dengan niat supaya saya kenyang.
Demikianlah melafazhkan niat ini dianggap bid’ah oleh banyak ulama
diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyyim, Abu Robi’
Sulaiman bin ‘Umar Asy-Syafi’iy, Alauddin Al-Aththar dan lain-lain.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Maka siapa yang berpuasa hendaknya berniat di dalam hati dan tidak melafazhkannya.
Lihat : Majmu’ Al-Fatawa 18/263-264 dan 22/238, Syarhul ‘Umdah karya
Ibnu Taimiyyah 2/290-291, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 1/201 dan
Qawa’id Wa Fawaid Minal ‘Arbain An-Nawawiyah hal 31-32.
Memperbaiki Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan (3)
Penulis: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin (Murid syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullaah (ahli hadits negeri Yaman))
Ketujuh : Tidak berniat dari malam hari
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum muslimin bahwa
berniat untuk berpuasa Ramadhan hanyalah pada saat makan sahur saja,
padahal yang benar dalam tuntunan syari’at bahwa waktu berniat itu
bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar. Ini
berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah radhiyallahu ‘anhum yang
mempunyai hukum marfu’ (seperti ucapan Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi
wa sallam) dengan sanad yang shohih :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa
baginya”. Lihat jalan-jalan hadits ini dalam Irwa`ul Gholil karya Syaikh
Al-Albany no.914.
Kata Al-Lail (malam) dalam bahasa arab artinya adalah waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.
Kedelapan
: Anggapan tidak sahnya puasa orang yang junub atau yang semakna
dengannya bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah umum apakah itu
junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri.
Dan yang semakna dengannya seperti perempuan yang haidh atau nifas.
Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar maka tetap boleh untuk
berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan
Ummu Salamah riwayat Bukhary-Muslim :
كَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا
مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Adalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memasuki waktu shubuh
dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi kemudian beliau
tidak buka dan tidak pula meng-qodho` (mengganti) puasanya”.
Kesembilan : Mengakhirkan buka puasa
Hal ini juga tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi
wa sallam, bahkan yang disunnahkan adalah mempercepat buka puasa ketika
telah yakin waktunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada
dalam kebaikan selama ia mempercepat buka puasa sebagaimana dinyatakan
oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin
Sa’ad As-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu riwayat Bukhary-Muslim :
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ
“Manusia akan selalu berada dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka”.
Bahkan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan mempercepat
buka puasa sebagai sebab nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau menegaskan :
لاَ يَزَالُ الدِّيْنُ ظَاهِرًا مَا عَجَّلَ النَّاسُ الْفِطْرَ لَأَنَّ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى يُؤَخِّرُوْنَ
“Agama ini akan terus-menerus nampak sepanjang manusia masih mempercepat
buka puasa, karena orang-orang yahudi dan nashoro mengakhirkannya”.
Hadits hasan. Dikeluarkan oleh Abu Daud no.2353, An-Nasa`i dalam
Al-Kubra 2/253 no.2313, Ahmad 2/450, Ibnu Hibban sebagaimana dalam
Al-Ihsan no.3503 dan 3509, Hakim 1/596, Al-Baihaqy 4/237 dan Ibnu ‘Abdil
Bar dalam At-Tamhid 20/23.
Kesepuluh : Anggapan bahwa muntah adalah pembatal puasa
Anggapan bahwa semua muntah merupakan hal yang membatalkan puasa, adalah anggapan yang salah karena muntah itu ada dua macam :
Satu : Muntah dengan sengaja. Ini hukumnya membatalkan puasa. Imam
Al-Khoththoby, Ibnul Mundzir dan lain-lainnya menukil kesepakatan
dikalangan para ‘ulama tentang hal tersebut walaupun Ibnu Rusyd menukil
bahwa Imam Thowus menyelisihi mereka.
Dua : Muntah yang tidak disengaja. Ini hukumnya tidaklah membatalkan puasa. Dan ini merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Hal di atas berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu
‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu
‘alaihi wa sallam), beliau berkata :
مَنِ اسْتَقَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَمَنَ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib
atasnya membayar qodho’ dan siapa yang dikuasai oleh muntahnya (muntah
dengan tidak disengaja) maka tidak ada qodho’ atasnya”. Dikeluarkan oleh
Imam Malik dalam Al-Muwaththo` no.673, Imam Syafi’iy dalam Al-Umm
7/252, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushonnaf no.7551 dan Ath-Thohawy dalam
Syarah Ma’ani Al-Atsar 2/98 dengan sanad shohih di atas syarat
Bukhary-Muslim.
Lihat : Al Mughny 3/17-119, Al Majmu’ 6/319-320, Bidayatul Mujtahid
karya Ibnu Rusyd 1/385, Ma’alim As-Sunan karya Al Khoththoby 3/261,
‘Aunul Ma’bud 7/6, Nailul Author 4/204, Fathul Bary 4/174, Syarhul
‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/395-404 dan Al-Fath Ar-Rabbany 10/44-45.
Kesebelas : Anggapan bahwa makan dan minum dalam keadaan lupa membatalkan puasa
Anggapan ini tidaklah benar, berdasarkan hadits Abu Hurairah yang dikeluarkan oleh Bukhary-Muslim :
مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ
“Barangsiapa yang lupa bahwa ia dalam keadaan puasa, lalu ia makan dan
minum, maka hendaknya ia tetap menyempurnakan puasanya (tidak berbuka).
Karena Allah-lah yang telah memberinya makan dan minum”.
Dari hadits ini menunjukkan bahwa siapa yang berpuasa lalu makan dan
minum dalam keadaan lupa maka tidaklah membatalkan puasanya.Ini
merupakan pendapat jumhur ‘ulama.
Lihat : Al Majmu’ karya Ibnu Qudamah 6/324, Syarah Muslim karya Imam
Nawawy 8/35, Syarahul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam karya Ibnu Taimiyah
1/457-462, Al-I’lam karya Ibnul Mulaqqin 5/203-204, Fathul Bary karya
Ibnu Hajar 4/156-157, Zadul Ma’ad karya Ibnul Qoyyim 2/59 dan Nailul
Authar karya Asy-Syaukany 4/206-207.
Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah
sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat
makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus
dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Memperbaiki Beberapa Kesalahan dalam Bulan Ramadhan (4)
Penulis: Al Ustadz Abul Fadhl Shobaruddin (Murid syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullaah (ahli hadits negeri Yaman))
Kedua belas : Anggapan bahwa bersuntik membatalkan puasa
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah
sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak mengandung sifat
makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus
dan sejenisnya. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang
menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Lihat : Fatawa Ramadhan 2/485-486.
Ketiga belas : Perasaan ragu mencicipi makanan
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk kedalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.
Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma
yang mempunyai hukum marfu’ (sampai kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa
sallam), lafazhnya:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang
ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam
keadaan) berpuasa”. Dikeluarkan Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf
2/304 no 9277-9278, Al Baghawy dalam Al-Ja’diyyat no.8042 dan disebutkan
oleh Imam Bukhary dalam Shohihnya 4/132 (Fathul Bary) secara mu’allaq
dengan shighoh jazm dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Irwa`ul
Gholil 4/85-86.
Berkata Imam Ahmad : “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan,
tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya
maka tidak ada masalah baginya”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Ibnu Aqail Al-Hambaly : “Hal tersebut dibenci bila tak ada
keperluan, namun bila diperlukan tidaklah mengapa. Akan tetapi bila ia
mencicipinya lalu masuk ke dalam tenggorokan, maka hal itu dapat
membatalkan puasanya dan bila tidak masuk maka tidaklah membatalkan
puasa”. Lihat Al-Mughny 4/359.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.108 :
“Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke
dalam mulutnya madu dan menggerakkannya maka itu tidak apa-apa kalau ada
keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air”.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam bersama ta’liqnya 1/479-481.
Keempat belas : Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air (ke dalam hidung) ketika berwudhu
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah
perkara yang disyari’atkan pada setiap keadaan, dalam keadan berpuasa
maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut
ditinggalkan. Tapi perlu diketahui bahwa bolehnya kumur-kumur dan
menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan bersungguh-sungguh atau
berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan,
sebagaimana dalam hadits Laqith bin Saburah bahwasahnya Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
وَبَالِغْ فِي الْإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (kedalam
hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan puasa”. Hadits shohih.
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah 1/18 dan 32, Ibnul Jarud dalam
Al-Muntaqa no.80, Ath-Thoyalisy no.1341, Asy-Syafi’iy dalam Al-Umm 1/27,
Abu Daud no.142, Tirmidzy no.788, Ibnu Majah no.407, An-Nasai no.87 dan
Al-Kubra no.98, Ibnu Khuzaimah no.150 dan 168, Ibnu Hibban sebagaimana
dalam Al-Ihsan no.1054,1087 dan 4510, Al-Hakim 1/248,4/123, Al-Baihaqy
1/76, 4/261, 6/303, Ath-Thabarany 19/216 no.483 dan dalam Al-Ausath
no.7446, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 18/223, Ar-Romahurmuzy dalam
Al-Muhaddits Al-Fashil hal.579 dan Bahsyal dalam Tarikh Wasith
hal.209-210.
Adapun mulut sama hukumnya dengan hidung dan telinga didalam berwudhu
yakni tidak membatalkan puasa bila disentuh dengan air, bahkan tidak
terlarang berkumur-kumur saat matahari sangat terik selama air tersebut
tidak masuk ketenggorokan dengan disengaja. Dan hukum menghirup air ke
hidung sama dengan berkumur-kumur.
Lihat Fathul Bary 4/160, Nailul Authar 4/310, Al-Fath Ar-Robbany
10/38-39, Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu ‘Utsaimin 6/406 dan Fatawa
Ramadhan 2/536-538.
Kelima belas : Anggapan bahwa tidak boleh mandi dan berenang atau menyelam dalam air
Anggapan tersebut adalah anggapan yang salah sebab tidak ada dalil yang
mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan wudhu sepanjang
dia menjaga agar air tidak masuk kedalam tenggorokannya.
Berkata Imam Ahmad dalam kitab Al-Mugny Jilid 4 hal 357 : “Adapun
berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga
sehingga air tidak tertelan”.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Tidak apa-apa orang yang
berpuasa menceburkan dirinya kedalam air untuk berenang karena hal
tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa.
Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai tegak (baca:ada)
dalil yang menunjukkan makruhnya atau haramnya dan tidak ada dalil yang
menunjukkan haramnya dan tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan
sebagian para ‘ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena
ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak
menyadari”.
Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan lain-lainnya.
Lihat : Syarhul ‘Umdah Min Kitabush Shiyam 1/387 dan 471, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 6/225-226 dan Fatawa Ramadhan 2/524-525.
Keenam belas : Anggapan menelan ludah membatalkan puasa
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga
boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja dimulut kemudian menelannya.
Berkata Ibnu Hazm : “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada
perbedaan pendapat (dikalangan para ulama) bahwa sengaja menelan ludah
tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa Billahi Taufiq”.
Berkata Imam An-Nawawy dalam Al-Majmu’ 6/317 : “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ‘ulama)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Syarhul ‘Umdah 1/473 : “Dan
Apa-apa yang terkumpul dimulut dari ludah dan semisalnya apabila ia
menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama
saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut
mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya …”.
Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari
dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan
dan minuman.
Lihat : Syarhul Mumti’ 6/428-429 dan Syarhul ‘Umdah 1/476-477.
Ketujuh belas : Anggapan tidak boleh mencium bau-bauan yang mengenakkan
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan,
apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil
yang melarang.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Al-Ikhtiyarat hal.107: “Dan
mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa”.
(Sumber : http://kebenaranhanya1.wordpress.com)
No comments:
Post a Comment