20 Feb 2014

IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM

MAKALAH IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM


BAB VI 
IJTIHAD SEBAGAI METODE KAJIAN ISLAM



A. PENGERTIAN IJTIHAD
 ijtihad dapat dipahami menurut bahasa (lughah, etimologis) dan menurut istilah
(terminologis). Menurut bahasa, ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta
seluruh derivasinya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasanya, sulit
dilaksanakan, di luar jangkauan kemampuan atau yang tidak disenangi. Kata ini pun
berarti kesanggupan (al-wus’), kekuatan (al-thaqah), dan berat al-masyaqqah)
(Ahmad bin Ahmad bin ‘Ali al-Muqri al-Fayuin, t.th: 112, dan Elias A. Elias dan Ed. E.
Elias, 1982: 126).
Para ulama mengajukan redaksi yang bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad
secara bahasa. Ahmad bin Ahmad bin Ali al-Muqri al-Fayumi (t.th: 112) menjelaskan
bahwa ijtihad secara bahasa adalah: pengerahan kesanggupan dan kekuatan yang
luar biasa dari seorang mujtahid dalam melakukan pencarian suatu supaya sampai
kepada ujung yang ditujunya (Atang Abdul Hakim, dkk, 2000: 96). Sedangkan menurut
al-Syaukani (t.th: 250), secara etimologis, ijtihad memiliki arti pembicaraan mengenai
pengerahan kemampuan dalam pekerjaan apa saja.
Jika pengertian ijtihad secara bahasa dilacak dalam Alquran, maka dapat
ditemukan bahwa kata “ jahada” terdapat di dalam Alquran surat al-Nahl [16] ayat
38, surat al-Nur [24] ayat 53, dan surat Fathir [35] ayat 42. Semua kata itu berarti
pengerahan segala kemampuan dan kekuatan (badzl al-wns’i wa al-thaqah), atau
juga berarti berlebihan dalam bersumpah (al-mubalaghat fi al-yamin).
Sedangkan dalam al-Sunnah, kata ijtihad terdapat dalam sabda Nabi yang artinya
“pada waktu sujud, bersungguh-sungguhlah dalam berdoa (fajtahidu fi al-du’a).
Dan hadis lain yang artinya “Rasul Allah Saw bersungguh-sungguh (yajtahid) pada
sepuluh hari terakhir bulan Ramadan (Atang Abdul Hakim, 2000 : 96).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa ijtihad menurut bahasa
adalah percurahan segenap kesanggupan untuk mendatangkan sesuatu dari berbagai
urusan atau perbuatan. Kata ijtihad berasal dari kata jahada yang artinya berusaha
keras atau berusaha sekuat tenaga; kata ijtihad yang secara harfiah mengandung
arti yang sama, Secara teknis, ijtihad ditetapkan bagi seorang ahli hukum yang dengan
kemampuan akalnya berusaha keras untuk menentukan pendapat di lapangan hukum
mengenai hal yang pelik dan meragukan.

Menurut Mahmud Syaltout (dalam Abuy Sodikin, 2000 : 65), ijtihad artinya
sama dengan Ar-ra’yu, yang perinciannya meliputi :
a. Pemikiran arti yang dikandung oleh Alquran dan Sunnah;
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak ditunjukan oleh nash dengan
sesuatu masalah. Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara’ amalitentang masalah yang tidak ditunjukkan hukumnya oleh suatu nash secara
langsung.Ada sebagian ulama ada yang menyamakan ijtihad dengan qiyas; Akan tetapi,pendapat ini ditolak oleh Imam al-Ghazali yang mengatakan bahwa ijtihad itu lebihumum daripada qiyas (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 481).Para ulama bersepakat tentang pengertian ijthad secara bahasa, tetapiberbeda pandangan mengenai pengertiannya secara istilah (terminologi). Pengertianijtihad secara istilah muncul belakangan, yaitu pada masa tasyri’ dan masa sahabat.
Perbedaan ini meliputi hubungan ijtihad dengan fikih, ijtihad dengan Alquran, ijtihad
dengan al-Sunnah, dan ijtihad dengan dalalah nash (Jalaluddin Rakhmat, 1989: 33).
Menurut Abu Zahrah (t.th: 379), secara istilah, arti ijtihad dipahami sebagai
upaya seorang ahli fikih dengan kemampuannya dalam mewujudkan hukum-hukum
‘amaliah yang diambil dari dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan menurut al-Amidi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili (1978: 480),
ijtihad ialah pengerahan segala kemampuan untuk menentukan hukum-hukum syara
secara dzanny .
 dianalisa, definisi ijtihad sebagaimana dijelaskan di atas, secara tersirat
menunjukkan bahwa ijtihad hanya berlaku pada bidang fikih, bidang hukum yang
berkenaan dengan amal; bukan bidang pemikiran. Oleh karena itu, menurut ulama
fikih, ijtihad tidak terdapat pada ilmu kalam dan tasawuf. Di samping itu, ijtihad
berkenaan dengan dalil zhanni, sedangkan ilmu kalam menggunakan dalil qaath’i.
Hal ini senada dengan pendapat Ibrahim Hosen, yang selanjutnya dikutip oleh
Jalaluddin Rakhmat (1989: 33), yang mengatakan bahwa cakupan ijtihad hanyalah
bidang fikih. Selanjutnya, Hosen mengatakan, pendapat yang menyatakan bahwa
ijtihad secara istilah juga berlaku di bidang akidah atau akhlak, jelas tidak bisa
dibenarkan.
Berbeda dengan Hosen, Harun Nasution menjelaskan bahwa pengertian ijtihad
hanya dalam lapangan fikih, adalah ijtihad dalam pengertian sempit. Dalam arti luas,
menurutnya, ijtihad juga berlaku dalam bidang politik, akidah, tasawuf, dan filsafat.
Senada dengan Harun Nasution, Ibrahim Abbas al-Dzarwi (1983: 9) mendefinisikan
ijtihad sebagai pengerahan dan upaya untuk suatu maksud tertentu.
Sebenarnya, tidak hanya Harun Nasution dan al-Dzarwi, Fakhruddin al-Razy,
Ibnu Taimiyah dan Muhammad al-Ruwaih pun tidak membatasi ijtihad pada bidang
fikih saja. Menurut menurt Fakhruddin, ijtihad ialah pengerahan kemampuan untuk
memikirkan apa saja yang tidak mendatangkan celaan (Jalaluddin Rakhmat; 1989:
33).
Dari definisi ijtihad seperti digambarkan di atas terlihat beberapa persamaan
dan perbedaan. Adapun perbedaannya adalah sebagai berikut :
Pertama, terletak pada penggunaan bahasa; sebagian menggunakan kata
istifrag dan sebagian lagi menggunakan kata badzl.
Kedua, terletak pada subjek ijtihad; sebagian ada yang dinisbatkan kepada
mujtahid yang berkonotasi bahwa lapangan ijtihad itu tidak hanya bidang fikih,
tetapi juga menyangkut berbagai persoalan.

Ketiga, terletak pada metode ijtihad. Ada yang menggunakan
metode manquli
(dari Alquran dan al-Sunnah), yaitu metode yang mengikuti (ittiba’) metode Rasul
Allah Saw, yang selalu menunggu wahyu dalam menyelesaikan setiap persoalan (Q.S.
al-Najm [53]: 3-4). Sebagian lagi menggunakan metode ma’quli (berdasarkan ra’y
dan akal), yaitu metode ini berdasarkan asumsi bahwa Rasulullah Saw diperbolehkan
melakukan ijtihad (Q.S. al-Hasyr [59]: 2).
Adapun persamaan-persamaannya adalah sebagai berikut :
Pertama, hukum yang dihasilkan bersifat zhanni; dan
Kedua, objek ijtihad berkisar seputar hukum taklifi, yaitu hukum yang
berkenaan dengan amaliah ibadah (Muhaimin, dkk: 1994; 188-189).
Dalam lapangan hukum Islam terdapat dua jenis hukum: Hukum yang qath’i
dan hukum yang zhanni. Para ulama sepakat bahwa ijtihad hanya boleh dilakukan
pada jenis hukum yang kedua, pada hukumhukum yang bersifat zhanni. Di sinilah
terdapat ruang gerak ijtihad. Mengingat pentingnya penjelasan tentang kedua jenis
hukum berikut uraian pendapat Muhammad al-Madani yang dikuip Jalaluddin Rahmat
(1992:197-198) :
Pertama, adalah hukum-hukum qath’i yang ditetapkan oleh dalil dalil
kekukuhannya. Tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat, tidak ada ikhtilaf
padanya, jenis ini meliputi:
1. Akidah yang qath’i, yang wajib diimani karena tegaknya dalil yang meyakinkan,
baik dari segi tsubutnya maupun dilalahnya. Inilah garis pemisah antara muslim
dan non muslim. Siapa yang menolak satupun darinya, ia menjadi keluar dari
ikatan Islam. Misalnya tauhid, diutusnya para rasul, diturunkan kitab-kitab,
ditutupnya kenabian dengan Muhammad Saw, kebangkitan sesudah mati, balasan
amal dari hari akhirat, bahwa Allah bersifat Maha Sempurna, terpelihara dari
segala kekurangan, dan bahwa Rasul tidak mungkin berdusta, menyembunyikan
atau hianat dan lain-lainnya. Di sini orang tidak diperkenankan ijtihad, untuk
memberikan penafsiran yang lain, yang mengubah atau membatalkannya.
2. Hukum-hukum amaliah yang didatangkan syariat secara jelas dan gamblang,
berupa tuntutan, larangan atau pilihan. Misalnya, wajibnya shalat, zakat, shaum
ramadhan, haji bagi yang mampu, shalat lima waktu sehari semalam, bilangan
rakaat tertentu, haramnya membunuh tanpa hak, memakan harta yang bathil,
menuduh yang tidak bersalah, zina, menimbulkan kerusakan di bumi dan
sebagainya.
3. Kaidah-kaidah umum, yang diambil dari syariat dengan nash yang jelas, atau
ditarik (di-istinbath) sesudah penelitian yang seksama, dan diketahui bahwa
syariat menjadikannya sebagai dasar-dasr hukumnya. Misalnya tidak
memudaratkan dan tidak dimudaratkan, Allah tidak menjadikan kesulitan bagimu
dalam agama, Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang disyariatkan, semua
muamalah bebas kecuali yang dilarang dan sebagainya.
Kedua, adalah jenis hukum-hukum atau penalaran yang tidak ditetapkan secara
jelas dan qath’i, baik periwayatannya maupun artinya. Hukum-hukum ini dipahami
karena adanya isyarat yang menunjuk ke arah situ, sehingga timbul perbedaan paham,
perbedaan perspektif, baik karena hal yang berkaitan dengan periwayatan ataupun
penunjukan. Inilah yang dijadikan syariat tempat ijtihad para mujtahidin. Inilah
tempat penalaran, pemikiran, pertimbangan, pertarjihan, penelaahan, perkiraan
kemaslahatan, kebaikan serta perubahan keadaan. Sebagai contoh :

1. Di bidang ilmu kalam. Perbedaan pandangan mengenai qadha dan qadhar, ta’wil
tentang wajah, tangan dan mata tuhan, kemungkinan kaum mukminin melihat
Allah dan sebagainya.

2. Di bidang hukum fikih. Perbedaan pendapat fuqaha tentang ukuran susuan yang
diharamkan untuk melakukan ikatan pernikahan, hukum qishash bagi yang
membunuh terpaksa, pernikahan tanpa izin wali, dan sebagainya.

3. Di bidang kaidah ushul dan fikih yang mengklasifikasikan hukum: Ikhtilaf tentang
nasikh mansukh dalam Alquran, menggunakan qiyas, beramal berdasarkan akal,
mendahulukan hadits ahad dari pada qiyas dan sebagainya.

Pendapat al-Madani di atas cukup jelas membedakan antara hukum-hukum
yang qath’i (yang bukan menjadi lapangan ijtihad) dan yang zhanni (yang menjadi
ruang gerak ijtihad). Namun kelihatannya pendapat tesebut baru pada tataran
permukaan. Pada hukum-hukum yang menurut al-Madani qath’i ternyata baru
gerbangnya saja, belum masuk ke wilayah yang lebih luas. Misalnya, tentang
“Pengakuan/keyakinan adanya kebangkitan sesudah mati” dan “balasan amal di
akhirat” disebut sebagai qath’i. Pada tataran bahwa dua hal itu akan terjadi, betul
qath’i. Tapi jika masuk lebih dalam dari dua masalah itu akan terdapat hal yang
zhanni. Misalnya, tentang kebangkitan sesudah mati, apakah yang bangkit itu
jasmaninya, rohaninya atau jasmani dan rohaninya. Dalam hal balasan di akhirat,
apakah berupa pisik atau non pisik?. Dalam sejarah kalam, falsafat dan tasawuf
ternyata terjadi ikhtilaf setelah para ahli melakukan ijtihad masing-masing.
Begitu pula dalam masalah hukum-hukum amaliah atau fikih, betul tidak ada
bahasan dan pertentangan tentang zakat, puasa, shaum, haji hukumnya wajib.
Tapi jika masuk lebih dalam akan nampak terdapat hal-hal yang bersifat zhanni dalam
bidang yang oleh al-Madani dianggap qath’i. Misalnya, zakat yang wajib itu di
dalamnya masih memerlukan ijtihad, mustahik zakat yang sembilan itu masih bisa
dipahami berbeda, begitu juga haji wajib bagi yang mampu, tapi bagaimana
pelaksanaannya di tanah suci, banyak terjadi perbedaan. Tidak syak lagi bahwa
lapangan ijtihad masih terus terbuka sekalipun dalam bidang akidah.

Sesungguhnya al-Madani pun dalam bidang-bidang tertentu mewaspadainya,
sebagaimana pernyataannya, bahwa ia sering menemukan orang-orang yang mengqath’i-kan yang zhanni atau men-zhani-kan yang qath’i. Perbedaan pengambiln
sahabat yang meriwayatkan hadits serta penafsiran konsep imamah atau wilayah
telah dianggap sebagai perbedaan pada qath’iyat antara Ahlussunah dan Syiah.
Khawarij yang mengafirkan orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, atau
sebagian kaum Wahabi yang memusyrikan tabarruk dan tawassul, telah menganggap
qath’i pada yang zhanni. Sementara itu, orang-orang yang menganggap boleh menolak
ahlussunah sama sekali, menghalalkan minuman keras, berijtihad yang melawan nash
adalah orang-orang yang men-zhanni-kan yang qath’i. Pada pemahaman tentang
perbedaan yang zhanni dan qath’i inilah terletak kendala ijtihad, Sehingga diperlukan
kriteria bagi mujtahid.
Metodologi Studi Islam
B. LANDASAN BERIJTIHAD
Dalam Alquran, banyak ditemukan dalil yang menjadi dasar hukum ijtihad Di
antara ayat Alquran yang menjadi dasar ijtihad adalah sebagai berikut:
 “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang
yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (Q.S. al-
Nisa [4]: 105)
... sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir. (Q.S. al-Rum [30]: 21)
Selanjurnya, lihat pula surat al-Zumar [39] ayat 42 dan surat al-Jatsiyah [45]
ayat 13.
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang)
yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang
telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai
waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tandatanda
kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.” (Al-Zumar:42).
 “Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir.” (Al-Jatsiyah:13).
Adapun Sunnah yang menjadi dasar ijtihad di antaranya adalah hadis ‘Amr bin
al-’Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang menyebutkan
bahwa Nabi Muhammad bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian
dia benar maka ia mendapatkan dua pahala. Akan tetapi, jika ia menetapkan
hukum dalam ijtihad itu salah maka ia mendapatkan satu pahala”. (Muslim,
II, t.th: 62)
Metodologi Studi Islam
Hadis lain yang dijadikan dasar ijtihad ialah hadis Mu’adz bin Jabal ketika ia
diutus oleh Nabi ke Yaman sebagai hakim:
“Dengan apa kamu memutuskan perkara Mu’adz?” Mu’adz menjawab:
“Dengan sesuatu yang terdapat di dalam kitab Allah.” Nabi bersabda: “Kalau
kamu tidak mendapatkannya dari kitab Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan
memutuskannya dengan sesuatu yang telah diputuskan oleh Rasul Allah.”
Nabi berkata: “Kalau kamu tidak mendapatkan sesuatu yang telah diputuskan
oleh Rasul Allah?” Mu’adz menjawab: “Saya akan berijtihad dengan pikiran
saya.” Nabi bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq
kepada utusan dari rasul-Nya.” (‘Ali Hasab Allah, 1971: 82).

Berijtihad berarti menggunakan segenap potensi nalar (akal) dalam menentukan
suatu hukum. Islam merupakan agama yang sangat menghargai akal. Banyak ayatayat
Alquran yang menyatakan suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana
dapat dilihat dari arti ayat-ayat di bawah ini, yaitu:
“Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi: dan silih bergantinya malam
dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” (Q.S. 3 :190).
 “Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya di sisl Allah ialah
orang yang pekak dan tuli yang mengerti apapun” (Q.S. 8:22).

Dalam beberapa keterangan dijelaskan, bahwa ijtihad juga dilakukan para
sahabat ketika Abu Bakar menjadi khalifah. Pada waktu itu terdapat sekelompok
umat Islam yang tidak membayar zakat fitrah, Abu Bakar melakukan tindakan dengan
memerangi mereka, tindakan Abu Bakar tersebut pada mulanya tidak disetujui oleh
Umar bin Khattab. Umar bin Khattab beralasan dengan menggunakan sabda Nabi,
yang artinya :
“Saya diperintahkan untuk memerangi orang banyak (yang mengganggu Islam)
sehingga mereka mau mengucapkan kalimah syahadat. Kalau mereka telah
mengucapkannya, terjagalah darah dan harta mereka, kecuali dengan cara
yang benar”.
Menurut suatu riwayat, dalam peristiwa itu Abu Bakar berargumen berdasarkan
sabda Nabi, Lilahi Haqqika. Dalam kata-kata itu menunaikan zakat adalah sebagaimana
mengerjakan shalat, termasuk haq.
Menurut Ahmad Salabi dalam Muhtar Adam (1992:142) Pada suatu waktu setelah
Abu Bakar dibaiat jadi khalifah, keesokan harinya orang melihat Abu Bakar membawa
perniagaan ke pasar, beberapa orang sahabat yang menyaksikan antara lain Abu
Ubaidah mendekati khalifah dan berkata “kekhalifahan itu tidak dapat dicampur
dengan berniaga”, Abu Bakar menjawab, “ Lalu dengan apakah aku dapat hidup dan
membiayai rumah tanggaku”? Keadaan ini mendapat perhatian sahabat, kemudian
ditentukanlah tunjangan secukupnya untuk Abu Bakar dan keluarganya.

Metodologi Studi Islam
Ada lagi suatu ijtihad yang dilakukan Abu Bakar di akhir kekhalifahannya di
bidang politik, yaitu dengan menunjuk seseorang yang akan menjadi khalifah
sepeninggalnya Abu Bakar kelak. Ijtihadnya ini dilakukan setelah melakukan
musyawarah terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh Anshar dan muhajirin.
Pada masa Abu Bakar pula, Umar bin Khattab mengusulkan agar Alquran
dikumpulkan dalam bentuk mushaf, mengingat telah banyak para sahabat yang
huffadz Alquran meninggal dalam peperangan. Pada mulanya Abu Bakar menolak,
mengingat hal itu tidak pemah dikerjakan oleh Rasulullah. Dalam hal itu Umar
berpendirian bahwa merupakan suatu kebaikan bagi kepentingan umat Islam dan
umat mukminin.

Adapun Umar bin Khattab sesuai dengan masa pemerintahannya yang panjang,
dan perkembangan masyarakat Islam yang luas, maka Umarlah yang paling berani
merealisasikan jiwa Alquran. Beliau banyak berpegang kepada ruh hukum Islam,
dari pada berpegang kepada bunyi tekstualnya. Khalifah Umar yang pertama kali
membentuk pasukan tentara yang digaji tetap setiap bulan, menyusun dewandewan,
jawatan-jawatan dan mengangkat pegawai, membagi pemerintahan dengan
sistem derah. Suatu bukti yang amat jelas bahwa Umar lebih berpegang kepada ruh
Islam dari pada tekstualnya. Misalnya ketika Umar melarang para sahabat besar
meninggalkan kota Madinah dan melarang memiliki tanah di daerah. Dalam ajaran
Islam tidak ada larangan seperti ini sedikitpun. Akan tetapi Umar berpendapat bahwa
jika para sahabat besar dibiarkan pergi ke daerah-daerah dan bertempat tinggal di
daerah itu, maka nantinya rakyat akan berkumpul di sekeliling mereka dan akan
terpesona, kagum dengan apa yang mereka dengar dari para sahabat itu tentang
pergaulan mereka dengan Nabi, dan peristiwa-peristiwa yang dialami mereka sewaktu
menolong dan mendukung Nabi.
 Selanjutnya keadaan ini akan memberikan suatu
kedudukan istimewa bagi mereka. Dikhawatirkan para sahabat itu akan mendirikan
negara dalam negara sehingga tidak ada lagi kesatuan kepemimpinan. Karena itulah
Umar melarang meninggalkan Madinah, kecuali dengan izinnya untuk sementara saja.
Dalam hal ini Umar berpegang kepada ruh Alquran dan semangat ajaran Islam. Hal
yang dikhawatirkan Umar itu benar-benar terjadi pada masa Utsman bin Affan jadi
Khalifah, para Sahbat dibiarkan bepergian kemana saja, akhirnya, para sahabat
kemudian mendirikan semacam aristokrasi keagamaan buat mereka sendiri. Masingmasingmembangga-bangakan pengalaman mereka sebagai orang-orang yang pertamakali masuk Islam dan pernah bergaul bersama Rasulullah. Sehingga kemudian masingmasingdari para sahabat itu mempunyai pengikut yang banyak jumlahnya. Kemudiandi waktu para utusan daerah datang ke Madinah untuk memakzulkan Utsman, masingmasingutusan itu menghendaki agar sahabat yang berada di daerahnyalah yangdiangkat menjadi khalifah. Penduduk Bashrah misalnya, menghendaki Zubair.Penduduk Kufah menginginkan Thalhah, sehingga akhirnya kurang terjalin kesatuan.Pada masa Umar bin Khattab menjadi khalifah, beliau pemah berijtihad dengantidak melakukan potong tangan pada suatu kasus pencurian tersebut telah sampaipada ketentuan di mana si pencuri harus dipotong tangan.

C. KUALIFIKASI MUJTAHID

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan syarat-syarat yang harus
dimiliki oleh seorang mujtahid. Mujtahid ialah orang yang mampu melakukan ijtihad
melalui cara istinbath (mengeluarkan hukum dari sumber hukum syariat) dan tathbiq
(penerapan hukum). Sebelum dikemukakan beberapa pendapat ulama mengenai
syarat-syarat mujtahid, ada baiknya dijelaskan dulu mengenai rukun ijtihad menurut
Nadiyah Syafari al-Umari (t.th: 199-200) sebagai berikut :
1. Al-waqi’, yaitu adanya kasus yang terjadi atau diduga akan terjadi, yang tidak
diterangkan oleh nash.
2. Mujtahid, ialah orang yang melakukan ijtihad yang mempuyai kemampuan untuk
berijtihad dengan syarat-syarat tertentu.
3. Mujtahid fih, ialah hukum-hukum syariah yang bersifat amali (taklifi).
4. Dalil syara untuk menentukan suatu hukum bagi mujtahid fih (Atang Abdul
Hakim, dkk, 2000 : 100).
Menurut Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (t.th: 350), syaratsyarat
bagi mujtahid ada dua, yaitu :
Pertama, mengetahui syariat serta hal-hal yang berkaitan dengannya sehingga dapat
mendahulukan yang seharusnya didahulukandan mengakhirkan sesuatu yang
seharusnya diakhirkan (tertib).
Kedua, keadaannya adil dan tidak melakukan maksiat yang dapat merusak
keadilannya. Orang yang tidak adil tidak dapat diterima fatwa dan pendapatnya.
Syarat-syarat yang diajukan al-Ghazali itu masih bersifat umum sehingga memerlukan
rincian, terutama syarat yang pertama. Al-Ghazali pun tidak menjelaskan yang
dimaksud adil pada syarat kedua . (Atang Abdul Hakim, dkk, 2000 : 100).
Menurut Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain al-Razi (1988:496-7),
syarat-syarat mujtahid adalah sebagai berikut:
1. Mukalaf, karena hanya mukallafah yang mungkin dapat melakukan penetapan
hukum.
2. Mengetahui makna-makna lafadz dan rahasianya.
3. Mengetahui keadaan mukhathab yang merupakan sebab pertama terjadinya
perintah atau larangan.
4. Mengetahui keadaan lafadz; apakah memiliki qarinah atau tidak.
Sedangkan menurut Abu Ishaq bin Musa al-Syatibi (1341 H: 90-1), syarat- syarat
mujtahid ada tiga, yaitu :
Pertama, memahami tujuan-tujuan syara’ (maqashid al-syari’ah), yaitu
adlaruriyyat yang mencakup pemeliharaan agama (hifzh al-din), pemeliharaan jiwa
(hifzh al-nafs), pemeliharaan akal (hifzh al-’aql), pemeliharaan keturunan (hifzh alnasl),

dan pemeliharaan harta (hifzh al-mal); hajiyyat, dan tahsiniy-yat.
Kedua, mampu melakukan penetapan hukum.
Ketiga, memahami bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya.
Berbeda dengan syarat-syarat terdahulu, Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad
al-Syaukani (t.th; 250-252) menyodorkan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut:

1. Mengetahui Alquran dan al-Sunnah yang bertalian dengan masalah-masalah
hukum. Jumlah ayat-ayat hukum di dalam Alquran sekitar 500 ayat.
2. Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi
ijmak ulama. Studi Islam
3. Mengetahui bahasa Arab karena Alquran dan al-Sunnah disusun dalam bahasa
Arab.
4. Mengetahui ilmu ushul fiqh. Ilmu ini merupakan ilmu terpenting bagi mujtahid
karena membahas dasar-dasar serta hal-hal yang berkaitan dengan ijtihad.
5. Mengetahui nasikh-mansukh sehingga tidak berfatwa atau berpendapat
berdasarkan dalil yang sudah mansukh.
Adapun syarat-syarat mujtahid yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah
(t.th: 250-2) adalah sebagai berikut:
1. Mengetahui bahasa Arab, karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab. Al-
Sunnah, sebagai penjelas Alquran, juga ditulis dalam bahasa Arab.
2. Mengetahui nasikh-mansukh dalam Alquran.
3. Mengetahui sunnah, baik perbuatan, perkataan, maupun penetapan.
4. Mengetahui ijmak dan ikhtilaf.
5. Mengetahui qiyas.
6. Mengetahui maqashid al-syari’ah.
7. Memiliki pemahaman yang tepat (shihhat al-fahm) yang karenanya mujtahid
dapat memahami ilmu manthiq.
8. Memiliki niat yang baik dan keyakinan (aqidah) yang selamat.

Hampir sama dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Abu Zahrah, Wahbah al-
Zuhaili (1977: 487-492) mengajukan syarat-syarat mujtahid sebagai berikut.
1. Mengetahui makna ayat-ayat hukum yang terdapat di dalam Alquran, baik secara
bahasa maupun secara tstilah. Mujtahid tidak mesti hafal, tetapi cukup
mengetahui tempat-tempatnya sehingga memudahkan baginya dalam
menggunakan ayat-ayat hukum tersebut.
2. Mengetahui makna hadis-hadis hukum secara bahasa dan istilah. Mujtahid tidak
hams hafal, tetapi cukup mengetahui tempat hadis-hadis tersebut dalam kitabkitab
induk hadis, seperti Shahih al-Bukhari, Shahih al-Muslim, Sunan Abi Dawud,
Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Sunan Ibn Majah.
3. Mengetahui nasikh-mansukh, baik dari Alquran maupun Sunnah.
4. Mengetahui ijmak sehingga tidak berfatwa atau berpendapat yang menyalahi
ijmak terdahulu.
5. Mengetahui qiyas dan syarat-syaratnya yang disepakati, karena qiyas merupakan
salah satu metode ijtihad; rincian hukum banyak dijelaskan dengan cara tersebut.
6. Mengetahui ilmu bahasa Arab, seperi nahwu, sharaf, ma’ani, dan bayan, karena
Alquran dan Sunnah disusun dalam bahasa Arab.
7. Mengetahui ilmu ushulfiqh karena di dalamnya dibahas dasar-dasar dan hukun
ijtihad.
8. Mengetahui maqashid al-syari’at dalam penetapan hukum, karena mujtahid wajib
mengetahui rahasia-rahasia hukum di samping dilalat al-alfazh (penunjukan
makna-makna lafadz).
Berdasarkan syarat-syarat (kualifikasi) mujtahid yang dikemukakan oleh
beberapa orang ulama di atas, dapat dipahami bahwa menjadi seorang mujtahid itu
tidak mudah. Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh seorang mujahid itu cukup
banyak. Maka menurut Muhaimin dkk. (1994: 198-199), sesuai dengan syarat-syarat
yang dimilikinya, mujtahid itu terbagi menjadi beberapa tingkatan. Tingkatantingkatanitu ialah mujtahid muthlaq dan mujtahid madzhab.Metodologi Studi Islam
Mujtahid muthlaq ialah mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum agama
dari sumbernya. Di samping itu, ia pun mampu menerapkan dasar-dasar pokok sebagai
landasan ijti-hadnya. Mujtahid muthlaq terbagi menjadi dua tingkatan.
Pertama, mujtahid muthlaq mustaqil, yaitu mujtahid yang dalam ijtihadnya
menggunakan metode dan dasar-dasar yang ia susun sendiri. Ia tidak taklid kepada
mujtahid lainnya, dan bahkan metode dan dasar-dasar yang ia susun menjadi mazhab
tersendiri. Yang termasuk mazhab ini, umpamanya, empat tokoh mazhab fikih
terkenal seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Kedua, mujtahid muthlaq muntasib, yaitu mujtahid yang telah mencapai derajat
muthlaq mustaqil tetapi ia tidak menyusun metode tersendiri. Mujtahid kelompok
ini tidak taklid kepada imamnya tanpa dalil dan keterangan; ia menggunakan
keterangan imamnya untuk meneliti dalil-dalil dan sumber-sumber pengambilannya.
Contohnya, al-Muzani dari mazhab Syafi’i dan al-Hasan bin Ziyad dari mazhab Hanafi.
Mujtahid fi al-madzhab ialah mujtahid yang mampu mengeluarkan hukumhukum
agama yang tidak dan atau belum dikeluarkan oleh mazhab nya dengan cara
menggunakan metode yang telah disusun oleh mazhabnya itu. Contohnya, Abu Ja’far
al-Thahtawi dalam mazhab Hanafi. Kelompok mujtahid ini terbagi dua: (1) mujtahid
takhrij; dan (2) mujtahid tarjih atau bisa disebut dengan mujtahid fatwa (Atang
Abdul hakim, dkk, 2000 : 102-103)

Karena begitu banyak dan beragamnya syarat-syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid, tampaknya untuk masa sekarang ini akan sulit terpenuhi. Oleh
karena itu, ijtihad tidak hanya dapat dilakukan oleh perorangan (ijtihad fardiah),
tetapi juga dapat dilakukan secara kelompok (ijtihad jamai’). Artinya, sekelompok
ulama dengan disiplin ilmu yang berbeda secara bersama-sama melakukan ijtihad
untuk menentukan sebuah hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam
Alquran dan Sunnah.

D. HUKUM MELAKUKAN IJTIHAD    

Bagaimana seseorang melakukan ijtihad? Ulama berpendapat, jika seorang
Muslim dihadapkan kepada suatu peristiwa, atau ditanya tentang suatu masalah
yang berkaitan dengan hukum syara’, maka hukum ijtihad bagi orang itu bisa wajib
‘ain, wajib kifayah, sunat, atau haram, bergantung pada kapasitas orang tersebut.
Pertama, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid
yang dimintai
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi dan ia khawatir peristiwa itu akan
hilang begitu saja tanpa kepas-tian hukumnya, atau ia sendiri mengalami peristiwa
yang tidak jelas hukumnya dalam nas, maka hukum ijtihad menjadi wajib ‘ain.
Kedua, bagi seorang Muslim yang memenuhi kriteria mujtahid yang diminta
fatwa hukum atas suatu peristiwa yang terjadi, tetapi ia mengkhawatirkan peristiwa
itu lenyap dan selain dia masih ada mujtahid lainnya, maka hukum ijtihad menjadi
wajib kifayah. Artinya, jika semua mujtahid tidak ada yang melakukan ijtihad atas
kasus tersebut, maka semuanya berdosa. Sebaliknya, jika salah seorang dari mereka
melakukan ijtihad, maka gugurlah tuntutan ijtihad atas diri mereka.
Ketiga, hukum berijtihad menjadi sunat jika dilakukan atas persoalan-persoalan
yang tidak atau belum terjadi
Keempat, hukum. ijtihad menjadi haram dilakukan atas peristiwa-peristiwa
yang sudah jelas hukumnya secara qathi’, baik dalam Alquran maupun al-Sunnah;
atau ijtihad atas peristiwa yang hukumnya telah ditetapkan secara ijmak. (Wahbah
al-Zuhaili, 1978: 498-9 dan Muhaimin, dkk., 1994: 189)                 

E. IJTIHAD YANG DILAKUKAN PADA ZAMAN RASULULLAH SAW

Jika dianalisa secara mendalam, wacana dan pembahasan mengenai ijtihad
Rasulullah di kalangan para ulama ternyata sangat pelik dan berbelit-belit. Secara
umum, mereka menyepakati ijtihad Rasul Saw dalam urusan-urusan kemaslahatan
yang bersifat keduniawian (al-mashalih al-dunyaiuiyah), pengaturan taktik dan
strategi peperangan (tadabir al-hurub), dan keputusan-keputusan yang berhubungan
dengan persengketaan (al-aqdhiyah wa al-khushumah). Akan tetapi, mereka berbeda
pendapat mengenai ijtihad Rasul Saw dalam urusan hukum-hukum agama (al-ahkam
al-syari’ah). (Wahbah al-Zuhaili, 1978: 499; al-Syaukani, t.th: 234)
Selanjutnya, dalam menanggapi boleh-tidaknya Rasul berijtihad dalam urusan
hukum-hukum agama, ulama berbeda pendapat. Atang Abdul hakim, dkk, 2000 :
106) mengemukakan :
Pertama, kebanyakan para ahli ushul fiqh membolehkan. Menurut mereka, ini pernah
dilakukan oleh Rasul Saw.
Kedua, para pengikut Abu Hanifah (Hanafiah) berpendapat bahwa Rasulullah Saw
diperintahkan untuk berijtihad setelah beliau menunggu wahyu untuk menyelesaikan
suatu peristiwa yang terjadi, dan beliau mengkhawatirkan peristiwa itu lenyap begitu
saja.
Ketiga, kebanyakan pengikut Asya’riah, ahli kalam, dan kebanyakan pengikut
Muktazilah tidak menyetujui ijtihad Rasulullah dalam urusan hukum-hukum agama.
Berikut dalil-dalil yang dikemukakan kelompok pertama.
 “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang mempunyai mata hati”. (Q.S. Ali Imran [3]: 13)
 “Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang
mempunyai pandangan”. (Q.S. al-Hasyr [59]: 2)
....
 “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orangorang
yang mempunyai akal....” (Q.S. Yusuf [12]: 111)
Kalimat “ ulu al-abshar, ulu al-albab, dan ‘ibrah” pada ayat-ayat terdahulu
tidak hanya berlaku bagi khithab ketika ayat itu diturun-kan, tetapi berlaku juga
bagi Rasul Saw karena beliaulah sesungguhnya
yang lebih tepat disebut ulul-abshar
dan ulul-albab. Kata-kata tersebut menggambarkan suatu perintah untuk
memprediksi masa depan dengan cara perbandingan, atau dalam istilah ushul adalah
qiyas, sedangkan qiyas adalah bagian dari kegiatan ijtihad.Kemudian dalam ayat
lain, surat Ali Imran [3]: 159, Allah Swt berfirman :
 “Maka disebabkan rahtnat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka
dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya.” (QS. Ali-Imran : 159)
Menurut kelompok ini, lafadz wa syawirhum fi al-amr dalam ayat di atas
mengisyaratkan adanya ijtihad, karena musyawarah hanya berlaku untuk
menyelesaikan urusan-urusan yang hukum-nya tidak ditunjuk secara jelas oleh nas.
Ulama yang menolak adanya ijtihad Rasul Saw, juga menjadikan Alquran sebagai
dalil:
 “Dan tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya.
Ucapkanlah itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”.
(Q.S. al-Najm ]53]: 3-4)
“Katakanlah, “Tiada patut bagiku menggantikannya dari pihak diriku sendiri.
Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan kepadaku.” (Q.S. Yunus
[10]: 15)
Pada fase berikutnya, ijtihad banyak dilakukan oleh para sahabat Rasulullah
para Tabi’in. Pada umumnya mereka sangat hati-hati dan menentukan syarat yang
cukup banyak jika ingin melakuklan ijtihad. Hal ini karena sikap mereka sangat
berhati-hati, tetapi tuntutan perkembangan zaman dengan segala persoalan
yangmuncul, harus senantiasa mendapatkan jawaban dalam Islam.

1 comment:

Anonymous said...

Bikin artikel niat dong ini gk rapi ratakan kiri kanannya

Translate